🤝🤝🤝
"Nona Kayesa? Kayesa Malena Samsir?" Seorang wanita bermata tajam menatapnya dengan sinis.
"Ya, saya." Kayesa langsung berdiri dari kursi tunggu dan masuk ke dalam ruangan yang ditunjuk perempuan tadi.
Para kandidat wawancara yang lain tampak menatapnya dengan gelisah. Kayesa mendapat giliran pertama untuk wawancara siang itu. Ia memasuki ruangan dengan wajah tegang.
Menit demi menit berlalu, hingga akhirnya Kayesa keluar dari pintu itu dengan wajah murung. Murung sekali.
Kandidat lain menatapnya dengan prihatin. Ya, jelas sekali hasilnya. Dari ekspresi wajahnya mereka bisa menyimpulkan: Kayesa gagal.
Kayesa keluar dari gedung kantor itu dengan tatapan hampa. Map berisi dokumen pribadinya juga kertas lamaran kerja ia dekap erat di dada.
Kantor ini adalah kantor ke-15 yang ia kunjungi beberapa pekan ini. Harapan terakhirnya pun pupus. Setelah kantor ini menolaknya, ia belum punya email balasan dari kantor lain untuk memanggilnya wawancara.
Mencari pekerjaan di ibukota yang kata orang adalah tempat paling enak untuk mencari kerja ternyata bukan hal yang mudah. Untuk datang ke tempat wawancara yang kadang tempatnya jauh, ongkos makan di jalan, transport, dan lain sebagainya ternyata menguras tabungan juga.
Kayesa terduduk dengan lemas di kursi kayu di bawah pohon rindang depan gedung perkantoran itu.
Entahlah apakah tempat ini terlarang untuk non karyawan sepertinya atau tidak. Ia tidak peduli. Ia hanya lelah, haus, dan lapar. Ia hanya ingin beristirahat. Nanti kalau diusir satpam ya tinggal pergi saja.
Kayesa mulai menangis. Bagaimana bisa ia menghadap ayahnya yang menunggu untuk operasi jika lamarannya ditolak lagi. Biaya rumah sakit ayahnya membuatnya makin tertekan.
Ia pun melepas sepatu hak tingginya dan menatap kakinya yang lecet-lecet itu dengan tatapan sedih. Maklum saja ukuran sepatu ini satu nomor di bawah ukuran kakinya, tapi ia tetap memaksa untuk memakainya.
Ya, sebenarnya ini bukan sepatunya. Ini sepatu temannya yang dibuang dan ia pungut. Sepatu inilah yang ia pakai juga saat wisuda beberapa pekan yang lalu.
Kayesa tak punya pilihan. Semua syarat yang tertera di iklan lowongan pekerjaan selalu menyebutkan kata "berpenampilan menarik." Tentu saja ia butuh sepatu feminin ini untuk menunjang penampilannya.
Kayesa tidak mungkin kan datang wawancara dengan sepatu kets-nya yang biasa ia pakai ke kampus atau kemanapun karena lebih fleksibel untuk ia berlarian mengejar bus atau kereta.
Kayesa sebenarnya juga tidak nyaman dengan blus yang ia pakai dan juga rok selutut ini. Ia yang lebih nyaman bercelana jeans harus melupakan keinginannya itu. Jelas ia tidak mungkin juga datang wawancara dengan pakaian seperti itu. Ia akan jauh dari kategori "gadis berpenampilan menarik."
Kayesa mengusap air mata putus asanya dan memakai sepatunya kembali. Ia sibuk menunduk hingga tak sadar tiba-tiba sudah ada seorang lelaki berkemeja rapi di berdiri di sampingnya.
"Sania, saya yang bangun perusahaan ini dari nol. Uang modal kamu tidak akan jadi apa-apa kalau perusahaan ini gagal. Nyatanya perusahaan sebesar ini makin sukses karena kerja keras siapa? Saya!
Jadi kalau kamu mau memiskinkan saya dengan menuntut aset-aset ini saat kita cerai nanti, saya nggak akan biarkan kamu menang! Saya dulu miskin tapi saya pintar. Kamu cuma mewarisi kekayaan ayah kamu. Kamu nggak ngerti kerja keras!
Jangan macam-macam! Lebih baik urusi anak kamu yang pembangkang itu. Dengar baik-baik, sekali dia keluar dari rumah, semua fasilitas termasuk mobil, kartu kredit, ATM, pokoknya semua saya tarik! Sudah! Malas saya buang-buang waktu sama kamu!
Iya-iya! Tunggu sampai pengacara saya menemui kamu di rumah sakit!"
Lelaki yang kelihatannya berusia 40 tahunan itu tampak muram. Dahinya mengernyit dan garis rahangnya yang tegas makin menguatkan ekspresi kesalnya.
Kayesa yang sedari tadi duduk di samping pria itu berdiri sampai menahan nafasnya karena takut.
Sungguh, dari percakapan yang tak sengaja ia dengar Kayesa menyimpulkan kalau lelaki ini bukan pria sembarangan. Bahkan mungkin dia yang punya kantor ini! Kantor yang menolaknya wawancara barusan!
Astaga! Kayesa makin takut ketika pria itu tiba-tiba menyadari keberadaannya dan menoleh.
"Kamu siapa?" tanyanya dengan ketus.
"Sa--saya Kayesa." Kayesa menjawab tanpa berani menatap mata si pria angkuh.
"Kerja di sini? Hah, ngapain kamu di luar. Ini jam kerja. Dari section apa kamu? Mana ID card kamu! Biar dikasih surat peringatan kamu, ya! Saya tidak sudi memelihara karyawan pemalas di sini!"
Kayesa makin tergagap. Ia merasa diomeli padahal tidak salah apa-apa. Namun karena tak segera menjawab, boss angkuh itu langsung mendorong bahunya, berusaha mencari ID Card karyawan untuk ia periksa.
Kasar juga pria ini. Kayesa hanya bisa menghindar dan berdiri untuk kabur. Tapi karena kakinya lecet dan sepatu hak tingginya itu terasa tak nyaman, ia malah limbung dan hendak terjatuh.
Hap!
Si boss angkuh menangkap badannya. Persis seperti adegan dalam film, mata mereka saling pandang. Namun bukan tatapan jatuh cinta pada pandangan pertama yang ia rasa. Kayesa justru ketakutan. Dengan segera ia melepaskan diri.
"Sa--saya bukan karyawan sini, Pak. Saya habis wawancara kerja dan ditolak. Jadi saya cuma menumpang duduk di sini." Kayesa merapikan blusnya. Kakinya masih terasa limbung hingga akhirnya ia goyah lagi dan map di tangannya terjatuh berantakan.
Si pria angkuh yang wajahnya mirip aktor antagonis itu menatap Kayesa dengan dahi mengernyit.
Sungguh pria itu mungkin sudah berusia matang, tapi cukup tampan. Tampan tapi seram. Macam boss mafia yang jahat dan bengis. Setidaknya itulah aura yang terasa ketika Kayesa menatapnya.
Kata orang memang jangan menilai orang dari tampangnya. Yang berwajah seram dan bersikap dingin bisa saja ternyata adalah orang baik. Yan berwajah ramah dan penuh senyum bisa saja malah jahat aslinya.
Pria itu membungkuk dan membantu Kayesa merapikan berkas-berkasnya yang terjatuh. Matanya melirik sekilas pada wajah cantik Kayesa, juga pada dokumen yang tercecer itu.
"Kamu lulusan kampus Abyakta? Itu kan kampus favorit dan bergengsi. Cukup sulit ditembus kalau tidak cukup pintar. Penampilan kamu juga oke. Kenapa rekruiter tadi menolakmu? Apa alasannya?" Pria itu mulai bertanya-tanya. Tangannya berkacak pinggang dengan tatapan mengintimidasi.
Kayesa berdiri dengan limbung tapi ia berusaha tegap. Ia memeberanikan diri untuk menatap si pria yang ia duga adalah boss kantor ini.
Kayesa merasa ini adalah kesempatannya. Mungkin ini keajaibannya setelah puluhan kali ditolak sana sini.
Ya, dia bisa mencari muka dan menunjukkan potensinya. Siapa tahu pria itu tertarik padanya dan berubah pikiran, lalu diterimalah ia lewat jalur khusus. Siapa tahu? Mungkin ini jawaban atas doa-doanya, pikir Kayesa.
Kayesa langsung tersenyum dengan manis. Ia abaikan rasa perih di kakinya yang lecet-lecet itu.
"Ya, Pak. Saya lulusan Abyakta jalur beasiswa. Saya lulus beberapa pekan yang lalu, jadi belum punya pengalaman kerja. Baru punya pengalaman magang dan organisasi saja.
Tapi mungkin itu belum cukup memenuhi persyaratan posisi yang saya lamar. Mereka ingin mencari kandidat yang setidaknya punya pengalaman kerja 2 tahun. Jadi saya ditolak. Begitu pula dengan perusahaan lain. Mereka menolak saya dengan alasan yang sama."
Kayesa menjawab dengan suara bulat dan yakin, seolah ia sedang di-interview ulang oleh HRD.
Pria bercambang dan berambut licin nan maskulin itu menatapnya dengan tatapan tertarik.
Jantung Kayesa makin berdebar. Ia tahu ia sedikit sombong saat menyebut ia penerima beasiswa Universitas Abyakta. Hanya 5 mahasiswa dalam satu angkatan yang mendapatkannya. Dan ialah salah satunya.
Kalau bukan karena beasiswa mana mungkin ia yang hanya anak satpam bank bisa kuliah di kampus bergengsi macam Abyakta.
"Oke. Menarik. Kamu tertarik untuk interview ulang langsung sama saya? Oh, saya lupa. Saya Rius Madali, CEO MN Group. Ya, saya yang punya gedung ini." Pria yang ternyata bernama Rius itu mengulurkan tangannya.
Nafas Kayesa sesak oleh rasa senang. Ia menerima jabatan tangan pria itu dengan tatapan mata berbinar-binar.
"Saya mau," jawabnya dengan cepat.
Rius tersenyum. Cukup manis juga ternyata. Kayesa membalas senyumnya tanpa curiga. Ia tak tahu di balik senyum Rius itu menyimpan sesuatu yang menyesatkan, mengikat, dan menjebak.
Bersambung ...
🤝🤝🤝
Halo...
LIKE, KOMENTAR, dan klik FAVORIT ya untuk mendukung karya ini. Semakin banyak dukungan, karya ini akan berlanjut makin cepat. Terima kasih.
"Ayo ikut naik. Kantor saya di lantai paling atas. Hanya saya dan beberapa karyawan yang punya akses khusus bisa naik ke lantai itu. Satu lantai itu tempat pribadi saya," ucap Rius yang begitu memencet tombol lift, semua orang menyingkir sambil menunduk takut.
Kayesa mendekap map-nya dengan tegang sekaligus antusias. Di depan lift bahkan ia bertemu dengan wanita berwajah sinis yang tadi memanggilnya wawancara. Wanita itu menatapnya dengan bingung. Kayesa merasa menang.
"Lihat kalau aku diterima di sini. Lihat apa wajah sinismu itu masih memandangku dengan remeh?" Kayesa mulai membatin dengan harapan setinggi langit.
Rius menekan angka di tombol lift. Kayesa hanya diam di sudut. Tentu hanya ada mereka berdua saja di lift ini. Seharusnya ia merasa takut atau waspada tapi entah mengapa Kayesa tak berpikir bahwa Rius ini cukup berbahaya untuknya.
Kayesa menahan nafasnya saat pintu lift terbuka.
Oke. Ia merasa seperti sedang memasuki set sebuah film mafia.
Lantai ini dijaga bodyguard. Ada dua pria bertubuh besar dan kekar menatapnya dengan bingung, tapi pandangan mereka langsung menunduk takut begitu Rius lewat di depan mereka.
Kayesa hanya mengikuti Rius seperti anak itik sedang mengikuti serigala. Ia tak tahu bahaya apa yang menantikannya di depan sana. Ia begitu polos.
Kalau kantor di lantai bawah bernuansa coklat, hangat, dan nyaman; maka lantai ini terlihat lebih menyeramkan. Dindingnya dicat abu-abu, semua furniture berwarna hitam dan didominasi logam.
Nuansa monokrom tapi agak seram, menggambarkan seolah-olah pemilik lantai ini ingin mengintimidasi setiap orang yang datang. Benar-benar seperti kantor boss mafia di film-film.
Entah kenapa Kayesa tidak merasa takut, tapi ia justru antusias.
Rius berjalan cepat dengan sepatu hitam mengkilatnya. Kayesa yang kesusahan berjalan dengan sepatu hak tinggi itu mengikutinya dengan terseok-seok.
"Duduklah," ucap Rius lalu ia mulai duduk di kursinya sendiri. Tangannya bergerak cepat menutup sebuah pigura foto yang ia pajang di meja kerjanya itu.
Entah kenapa ia melakukannya. Kayesa pun juga tidak sempat memperhatikan gerakan kecil itu. Andai saja ia duduk lebih cepat, maka ia akan melihat wajah seseorang yang ia kenali terpampang di foto itu. Seseorang yang membuatnya jatuh cinta dan patah hati.
"Oke, sekarang ceritakan soal diri kamu. Ya tentang pribadi kamu, latar belakang keluarga kamu, dan sebagainya. Kalau soal pendidikan, saya tidak meragukan. Kamu lulusan Abyakta. Sudah pasti kamu pintar, cerdas, dan pantas," ucap Rius yang lalu menyilangkan kakinya dan menatap Kayesa dengan matanya yang tajam itu.
Awalnya Kayesa agak bingung. Ia sudah melalui banyak tahap wawancara dengan banyak perusahaan tapi tidak ada yang bertanya soal pribadinya. Kenapa Rius ingin tahu tentang itu? Ia tentu ragu untuk menjawab.
Rius lalu tertawa. Ia kemudian mengetuk-ngetukkan jarinya di meja kacanya itu dengan senyum terkembang.
"Kayesa, saya yakin tadi kamu menguping pembicaraan saya lewat telepon. Jadi kamu tahu kan saya mau bercerai. Saya sedang ribut dengan istri saya dan sebagainya.
Kamu sudah tahu soal pribadi saya, jadi saya ingin tahu juga soal kamu. Ceritakan saja. Anggap saja ini pendekatan pribadi karena saya ingin karyawan yang terbuka," ucap Rius.
Kayesa menelan ludahnya dengan susah payah. Ia lalu berusaha menjawab dengan tenang. Walaupun begitu tangannya tetap gemetar juga.
Ini kesempatan. Ia tidak boleh menyia-nyiakan ini. Kalau ia bercerita soal kesedihan keluarganya, mungkin Rius akan kasihan dan menerimanya bekerja. Begitulah isi pikirannya yang polos dan lugu.
"Saya anak satu-satunya dari ayah saya yang bekerja sebagai satpam bank. Ibu saya meninggal waktu saya kecil. Saya kuliah mengandalkan beasiswa dan kerja paruh waktu untuk bantu-bantu ayah saya.
Sebulan lalu ayah saya dipecat dari kantor karena sudah terlalu banyak absen karena dia harus menjalani pengobatan karena sakit. Dokter bilang ginjalnya bermasalah dan harus dioperasi. Karena kalau tidak katanya keadaannya akan makin parah.
Tabungan kami habis dan saya butuh kerja. Entah saya tidak tahu mau cerita apa. Hidup saya biasa saja dan membosankan," ucap Kayesa lalu ia tertawa dengan miris seolah-olah menertawakan nasibnya sendiri.
Rius tampak mengangguk-angguk. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan. Gesture yang menggambarkan ia makin tertarik dengan obrolan ini.
"Berapa umurmu? Kamu punya pacar? Ada rencana untuk menikah dalam waktu dekat?" tanya Rius.
Pertanyaan ini memang cukup keluar dari konteks wawancara kerja pada umumnya. Tetapi Kayesa menjawab saja dengan kepolosannya.
"Saya 25 tahun. Agak telat lulus kuliah memang karena saya gap year karena harus bekerja dan menunggu kesempatan beasiswa tahun berikutnya. Saya tidak punya pacar dan saya belum berencana menikah.
Fokus saya cuma ingin mencari biaya untuk operasi ayah saya," ucap Kayesa yang ketika kembali menyebut-nyebut soal ayahnya yang sakit, matanya tanpa sadar berkaca-kaca.
Rius madali makin mengangguk-angguk. Matanya menyipit dan menatap Kayesa dengan senyuman kelicikannya.
"Kayesa, saya punya tawaran menarik. Kamu tidak harus bekerja, bahkan saya bisa biaya kamu S2. Kamu cukup potensial dan terlalu cantik untuk hidup bersusah-susah," ucap Rius dengan misterius.
Kayesa yang awalnya menunduk langsung mengangkat wajahnya dan menatap Rius dengan bingung. Tawaran semacam apa itu? Bermimpi akan melanjutkan S2 tentu tidak terbayang di kepalanya.
"Saya ingin kamu menikah sama saya. Menikah secara resmi, secara hukum perundang-undangan yang berlaku di negara ini. Mudah, kan? Jadilah istri kedua saya.
Saya akan membiayai operasi ayah kamu. Saya akan tanggung semua biaya pengobatannya sampai sembuh. Kamu akan jadi Nyonya. Kamu akan dihormati. Kamu hanya perlu menuruti kata-kata saya," ucap Rius Madali.
Kayesa mengerutkan alisnya. Air mukanya langsung berubah drastis.
Menikahi pria itu?
Ia tidak bisa menjawab apa-apa karena terlalu terkejut dengan semua ini.
"Kayesa, lihat saya. Saya baru 40-an tahun. Dulu saya menikah muda. Kalau kamu menikah di umurmu yang sekarang kamu sudah cukup pantas. Paling usia kita selisih 20-an tahun. Tapi apalah artinya umur?
Istri saya menuntut cerai dan ingin merebut semua hasil kerja keras saya ini. Kalau saya menikahi kamu, saya bisa memindahkan sebagian aset-aset ini atas nama kamu tanpa melanggar hukum apapun.
Jadi nanti saat sidang cerai, harta yang bisa dibagi atau ia tuntut sudah terpecah belah dan bagian yang dia dapat hanya sedikit.
Kita buat perjanjian tertulis. Setelah semua ini beres, beberapa tahun lagi kita bisa cerai baik-baik dan kamu tetap mendapatkan hak kamu. Harta yang atas nama kamu tentu akan saya alihkan lagi atas nama saya.
Tapi saya tidak sepelit itu. Kamu tetap mendapat bayaran yang layak. Ya selain pengobatan ayah kamu saya tanggung, kamu boleh lanjutkan kuliah, saya juga akan ngasih kamu rumah atau mobil dan modal usaha.
Ya biar orang-orang tidak curiga. Masak setelah menjanda kamu kembali miskin. Saya serius Kayesa." Rius berkata dengan entengnya.
Kayesa menelan ludahnya dengan keringat dingin yang tiba-tiba membasahi dahinya, padahal ruangan ini dingin dan ber-AC.
Ia punya pernikahan impian. Menikah dengan pria yang ia cintai, punya tiga anak, hidup di rumah sederhana bercat putih dan berhalaman luas. Ayahnya akan ikut tinggal bersamanya dan menikmati masa pensiun dengan memelihara ternak dan menanam sayur di pekarangan rumah seperti hobinya.
Lalu ini...
Pernikahan kontrak?
Tawaran macam apa ini? Tawaran yang menakutkan tapi menggiurkan.
Bayangkan! Kayesa yang dibuat pusing setiap hari karena takut tidak bisa membawa ayahnya ke meja operasi mendapatkan solusi yang mudah. Semua biaya akan ditanggung Rius Madali!
"Gimana Kayesa? Kenapa diam saja? Kamu takut sama saya?" tanya Rius lalu ia tertawa dengan tawanya yang arogan.
Bersambung...
Ada hal yang tak bisa ditawarkan oleh nasib. Ada hal yang sudah diperjuangkan tapi tetap tak tergapai. Ya, hidup memang tak adil untuk sebagian orang.
Mata Kayesa berkaca-kaca. Masa depan yang sudah ia rancang dengan indah di kepala itu akan hancur kalau ia menerima tawaran ini.
Sungguh ia tidak pernah bermimpi punya suami kaya raya semacam Rius. Ia hanya ingin menikahi pria berkepribadian hangat, bertanggung jawab, dan penyayang juga setia seperti ayahnya.
Rius menatapnya dengan tatapan yang arogan. Kayesa semakin merasa tak punya pilihan. Ia berhak menolak, kan? Tapi bagaimana nasib ayahnya?
Ia dapat pekerjaan pun harus menunggu sebulan untuk mendapatkan gaji. Gajinya pun pasti belum cukup juga untuk membawa ayahnya ke meja operasi. Bagaimana kalau ayahnya semakin sakit? Bagaimana kalau vonis dokter itu benar-benar terjadi?
Ayahnya mungkin tidak akan tertolong selamanya. Ayahnya satu-satunya keluarga yang ia punya dan Kayesa tidak ingin kehilangan pria itu. Ayahnya adalah cinta pertamanya, pahlawan hidupnya.
"Kamu takut? Perjanjiannya tertulis dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Kamu bisa menuntut saya kalau saya ingkar janji. Kamu tidak perlu khawatir dan takut saya akan berbuat macam-macam ke kamu di luar perjanjian.
Kayesa, kamu memang cantik, tapi di luar sana banyak juga perempuan lain yang lebih cantik. Yang bisa saya bayar untuk saya apakan saja. Saya tidak akan meniduri kamu. Saya tak akan menyentuh kamu.
Kalau itu yang membuat kamu ragu dan takut, kamu bisa tulis di perjanjian. Kamu hanya perlu menjadi nyonya palsu untuk membuat posisi istri saya yang sedang minta cerai ini terancam. Itu saja," ucap Rius Madali makin meyakinkan.
Oke. Pria itu rupanya bisa membaca isi pikirannya. Kayesa lalu memberanikan diri untuk menatap Rius Madali dengan tatapan penuh keberanian.
"Kalau banyak perempuan di luar sana yang bisa Anda bayar, kenapa tidak mereka saja yang Anda nikahi? Kenapa Anda menawarkan tawaran pernikahan kontrak ini ke saya?" tanya Kayesa. Sungguh pertanyaan yang cukup cerdas.
Rius Madali tertawa terbahak-bahak. Ia lalu mengusap dahinya dengan tangannya yang berbulu lebat itu dan kembali menatap Kayesa sambil tersenyum.
"Perempuan di luar sana itu hanya tahu uang. Otaknya uang, uang, dan uang saja. Saya tidak mau merendahkan diri saya dengan memilih mereka untuk menjadi istri palsu saya.
Saya akan tetap memilih yang terbaik. Kamu pintar, kamu cerdas, kamu lulusan kampus terpandang. Soal penampilan kamu, bisa saya poles agar lebih berkelas.
Istri saya mencampakan saya dan sebagai gantinya saya akan menenteng kamu kemana-mana. Ke acara bisnis, acara kelas atas. Saya perkenalkan kamu ke relasi saya sebagai istri baru. Saya tidak ingin mempermalukan diri saya dengan membawa wanita biasa.
Kamu pantas. Kamu cocok. Kamu pasti bisa membawa diri dan ya setidaknya bisa mengikuti obrolan. Otak kamu tidak kosong. Itu yang saya suka.
Dan yang paling penting, kamu butuh uang. Ayah kamu pasti dalam kondisi terhimpit ekonomi dan dia pasti tidak akan melarang-larang kamu. Kamu juga bisa kan berbohong soal pernikahan ini seolah-olah kamu menginginkannya dan jatuh cinta sungguhan sama saya. Itu kamu atur sendiri.
Ayolah, Kayesa. Ini tawaran yang sama-sama menguntungkan untuk kita," rayu Rius panjang lebar. Matanya menatap Kayesa dengan tatapan meyakinkan, penuh tipu daya, dan kelicikan.
Kayesa merasa debar jantungnya bertalu-talu seperti genderang yang ditabuh. Gendang telinganya sampai berdengung. Ini adalah adegan yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi di hidupnya.
Dan sambil menguatkan dirinya sendiri, keputusan besar itu ia ambil. Sebuah anggukan setuju membuat hidupnya berubah hari itu.
***
Kayesa mulai pandai bersandiwara di depan ayahnya. Ia bilang ia jatuh cinta pada boss-nya. Boss yang sempat menjadi atasannya waktu ia magang beberapa tahun lalu di kampus, yang kembali ia temui secara tidak sengaja saat wawancara kerja.
Ia bilang ia ingin menikahi lelaki itu. Ayahnya yang sakit-sakitan dan kebingungan mau tak mau setuju tanpa banyak tanya.
Kayesa bilang pengobatan ayahnya akan segera diurus. Pria tua sakit-sakitan itupun diurus oleh anak buah Rius. Ia dirawat di rumah sakit dengan fasilitas di VVIP. Namanya bahkan sudah masuk dalam daftar pasien operasi yang sudah diatur jadwalnya beberapa hari mendatang.
Kayesa cukup lega. Ia cukup kooperatif dan tidak banyak tanya. Apapun yang Rius dan anak buahnya lakukan padanya, ia hanya mengangguk setuju. Termasuk soal mengubah penampilannya, caranya berpakaian, gaya rambutnya, atau apapun itu.
Singkatnya pernikahan itu sah diresmikan dengan sedikit orang yang tahu. Perayaan tidak penting. Yang penting Rius sudah memegang surat resmi itu. Surat yang membuatnya bisa bebas mengalihkan banyak asetnya atas nama Kayesa karena mereka terikat pernikahan yang sah.
Kayesa membuat beberapa akun bank sesuai yang Rius mau. Ia tidak perlu repot-repot mengurus karena ia hanya perlu tanda tangan. Banyak sekali hal yang harus ia tandatangani.
Bahkan kadang ia tak sempat membacanya karena kalimat perjanjian itu begitu panjang. Ia percaya saja, yang penting ayahnya sudah mendapatkan jaminan kesembuhan. Itulah isi pikirannya.
Sejauh ini Rius juga bersikap sopan. Ia tidak pernah menyentuhnya hingga akhirnya ia diminta pindah ke rumah megah itu.
"Saya tinggal sendirian. Anak istri saya sudah beberapa bulan yang lalu keluar dari rumah ini. Kami cukup bermasalah. Sekarang kamu jadi Nyonya, Kayesa. Kamu tinggal di kamar terpisah. Saya menepati janji, kan? Sesuai perjanjian, saya tidak akan menyentuh kamu."
Rius meninggalkannya dengan pelayan-pelayan yang tunduk pada Kayesa dan akan melakukan apapun permintaannya. Ia nyonya rumah ini sekarang.
Kayesa duduk ranjang mewah kamarnya dengan bingung. Ia seperti burung kecil yang tiba-tiba dipindahkan ke sangkar emas.
Bahagiakah ia? Entahlah. Yang jelas tempat ini begitu asing dan mencekam. Satu-satunya hal yang menenangkan baginya adalah ayahnya yang sering menelpon dan bilang ia ditangani dengan baik di rumah sakit.
Kayesa meminta sejak awal pada ayahnya agar ia tidak bertanya-tanya banyak soal pernikahannya. Ayahnya hanya menangis waktu ia mengatakan itu. Mungkin dia itu sudah tahu atau merasa Kayesa menyembunyikan sesuatu demi pengobatannya.
Ayahnya hanya mengucapkan terima kasih berkali-kali dan mendoakan agar putri kesayangannya satu-satunya itu hidup berbahagia apapun pilihannya.
***
Sedangkan di belahan bumi yang lain, tak berapa jauh dari istana megah Kayesa, seorang pria berwajah dingin tampak menggenggam tangan mamanya sambil menatap sedih.
Ruangan rumah sakit ini hanya beberapa meter jaraknya dengan ruangan tempat ayah Kayasa dirawat. Sungguh, takdir bersinggungan setipis itu.
"Ma, apa kata Pak Budiman?" tanya Antara.
Budiman adalah pengacara mereka.
Sania Narita menggeleng pelan. Wajahnya pucat karena sakit yang sudah ia tanggung berbulan-bulan. Nyonya sosialita itu sekarat.
"Papa kamu menikah lagi. Diam-diam dia memindahkan semua aset perusahaan dan beberapa properti menjadi atas nama dia. Tentu kamu tahu kan ini hanya trik licik papa kamu. Gadis itu dimanfaatkan. Mama yakin itu. Dan kamu mau tahu siapa gadis itu?" tanya Sania dengan tatapan hampa dan putus asa.
"Siapa?" tanya Antara dengan bingung.
Sania menyerahkan satu map berisi data lengkap yang ia kumpulkan dari mata-matanya soal Kayesa.
Sania terkejut sekali begitu tahu siapa gadis yang menjadi madunya itu. Kayesa Malena Samsir adalah gadis yang ia temui diam-diam beberapa tahun lalu untuk ia ancam agar meninggalkan putranya. Gadis yang ia hina-hina karena miskin dan tidak selevel dengan Antara.
Antara membuka map itu dengan mata terbelalak. Ia menatap mamanya dengan wajah tidak percaya.
"Kayesa? Mama tidak bercanda?" tanya Antara dengan wajah terkejut.
Sania menggeleng. Ia lalu membuang muka. Tak tega ia menatap putranya.
Hening. Pasangan ibu dan anak itu sama-sama terdiam dan larut dengan pikiran masing-masing.
"Mama jangan larang-larang aku lagi. Terserah kalau Mama ingin menyerah dengan papa dan menyerah merebut kembali hak-hak Mama. Aku akan kembali ke rumah itu. Aku akan merebut kembali semua milik Mama sekaligus menyelamatkan Kayesa.
Mama jangan larang-larang aku, Ma. Mama fokus untuk kesembuhan Mama saja," ucap Antara lalu membawa map itu pergi meninggalkan mamanya sendirian di rumah sakit.
Perempuan itu menangis sambil menatap sedih ke arah cairan infus yang menetes-netes masuk ke tubuhnya.
***
Hari itu juga Antara yang sudah beberapa bulan lalu kabur dari rumah menyeret kembali kopernya. Ia kembali ke rumah itu diam-diam. Para pelayan tidak bisa berbuat apa-apa termasuk mengusir. Ini memang rumahnya, kan? Dari lahir ia tinggal di sini.
Malam itu Kayesa yang juga tidak tahu apa-apa turun dari kamarnya menuju meja makan.
Rius pasti belum pulang dari kantor. Ia tahu kebiasaan itu walau baru beberapa hari tinggal di rumah ini.
Kayesa duduk dengan tenang walau agak asing juga karena dilayani oleh banyak orang begini.
Tiba-tiba datanglah sesosok pria yang membuatnya terkejut. Pria itu adalah Antara-mantan pacarnya saat SMA dulu.
"Kenapa Kayesa? Terkejut? Atau pura-pura terkejut? Seharusnya aku yang terkejut karena tiba-tiba kamu tinggal di rumah ini. Ini rumahku.
Oh ya. Apa aku harus memanggilmu 'Mama?' Sekarang kamu ibu tiriku, kan?" Antara menarik kursi lalu ia duduk dengan santai.
Kayesa merasa tertampar. Ia merasa seolah-olah kepalanya sedang tersambar petir. Takdir macam apa ini?
Jadi Antara adalah anak Rius Madali? Kenapa selama ini ia tidak tahu?
Sekarang, mantan pacarnya menjadi anak tirinya...
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!