NovelToon NovelToon

ARA The Bloody Moon

ATBM Bab 1. Dua garis biru

Tangan seseorang gemetar saat sepasang netranya melihat dua garis biru pada benda sepanjang pulpen yang ada di tangannya. Sekujur tubuh gadis itu penuh dengan luka lebam. Bahkan, salah satu matanya membengkak keunguan. Dia meremas testpack yang ada ditangannya, tubuhnya mulai bergetar dengan air mata berderai. Dunianya benar-benar hancur, sangat hancur. Apa yang harus dia lakukan. Sekolah pasti akan mengeluarkannya jika sampai mereka tahu kalau dirinya tengah mengandung.

Lim Nara, seorang gadis berusia 17 tahun, gadis cerdas dengan IQ di atas rata-rata ini menerima perundungan dari teman-teman sekolahnya. Karena dia lugu, dan anak baru di sekolah tersebut. Anak-anak yang lain dengan begitu teganya menjadikan dia samsak tinju, keset kaki dan terkadang jadi bahan percobaan. Entah anak siapa yang dia kandung, Nara tidak tahu. Satu bulan yang lalu, dia dipindahkan dari seolah yang ada di Gangnam ke sekolah swasta yang ada di kota Seoul. Nara pikir orang-orang di sini sama baiknya dengan orang-orang di sana. Namun ternyata, inilah yang dia dapatkan.

"Tidak, aku tidak boleh hamil. Bagaimana dengan beasiswa ku, bagaimana dengan sekolah ku. Aku harus melenyapkan anak ini!" gumam Nara beranjak dari atas closet. Dia memasukan testpack yang dia bawa ke dalam saku rok yang dia kenakan kemudian berlari keluar dari area sekolah tersebut.

Yeonwo School adalah sekolah swasta bergengsi. Meskipun itu adalah sekolah swasta, mereka mengedepankan nilai daripada hal lain. Atas permintaan pihak sekolah, Nara pun dipindahkan ke seolah ini dengan alasan kecerdasan yang dia miliki.

Langkah gadis itu tergopoh-gopoh. Dia melirik kanan kiri sebelum memasuki rumah sakit. Aneh memang, itu adalah rumah sakit khusus bersalin. Nara beruntung karena di negaranya, seseorang bisa memilih mengugurkan kandungan legal sebelum usia tertentu. Dengan tangan gemetarnya, Nara memegang tiket antrian. Gadis itu menatap pintu di depannya dengan jantung berdetak tak karuan. Dia tidak memiliki pilihan lain, dia masih pelajar, tidak mungkin dia bisa membesarkan anaknya dalam kondisi seperti ini. Apalagi Nara memiliki ibu tiri yang tidak akan segan untuk membunuhnya jika sampai dia tahu kalau dia hamil di luar nikah.

"Nyonya Nara! ... Lim Nara!" panggil seorang suster dari poli kandungan. Nara menoleh, dia mengangkat tangannya kemudian masuk ke ruangan itu.

"Anda masih pelajar?" tanya dokter wanita yang ada di depannya. Nara mengangguk dengan wajah tertunduk. "Kamu juga sepertinya terluka. Apa kamu menerima kekerasan dari seseorang? Sebaiknya kamu melapor saja! Kita ...."

Tidak, Nara menggelengkan kepalanya dengan cepat. Jika dia melaporkan orang-orang itu ke polisi, mereka akan baik-baik saja, dan ada kemungkinan jika dirinyalah yang akan semakin terpojok.

"Saya mau mengugurkan kandungan saya, Dok!"

"Anda yakin?" tanya dokter itu. Nara hanya mengangguk.

"Ya sudah, sebaiknya Anda berbaring dulu. Kita periksa apakah masih aman atau tidak!"

Nara melakukan apa yang dokter minta. Dia berbaring tetapi enggan untuk menoleh ke arah monitor. Bahkan, penjelasan yang dokter katakan seolah masuk ke telinga kanan, keluar dari telinga kiri. Nara benar-benar kacau, dia tidak akan sanggup jika harus menanggung malu sebesar ini.

"Usia kandungannya masih kurang dari 14 minggu, aman jika memang ingin aborsi sekarang."

Lagi-lagi tidak ada jawaban dari Nara. Gadis itu menitikkan air mata saat suara detak jantung bayinya diperdengarkan. Kedua tangannya mencengkram pinggiran ranjang meremasnya kuat. Jantungnya berdetak semakin kencang napasnya sesak juga tubuhnya menggigil.

"Stop!" ucap Nara membuka matanya. "Jangan lakukan itu, Dok, jangan perdengarkan detak jantungnya kepada saya. Saya ... saya akan memikirkan masalah ini dulu. Terima kasih!" ucap Nara membungkuk ke arah dokter tersebut kemudian keluar dari sana dengan tergesa-gesa. Nara berlari seperti orang bodoh di antara orang-orang yang sedang berlalu lalang. Bukan satu dua kali tubuhnya bersinggungan.

"Maafkan aku! Maafkan aku. Aku sudah gila karena berpikir jahat seperti ini. Kau tidak salah apa-apa. Yang brengsek itu mereka, bukan kamu!" ujar Nara memeluk perutnya erat. Dia ambruk di bahu jalan. Tidak ada yang mencoba untuk membantunya meskipun kondisi Nara cukup mengenaskan. Dunia ini terlalu kejam. Namun, lebih kejam dia yang berpikir untuk membunuh anak itu.

Dalam bus menuju rumahnya, Nara menatap langit sore itu dengan tatapan kosong. Langit saja terlihat sangat cerah, kenapa hidupnya seperti ini. Apa gunanya menjadi orang yang cerdas jika dia tidak bisa mendapatkan kehidupan yang layak. Hidup tapi mati, itulah yang dia rasakan saat ini. Tangannya mengusap lembut perutnya yang masih sangat rata. Mungkin, mulai sekarang dia harus belajar untuk menyembunyikan kehamilan dari semua orang.

Suara-suara aneh terdengar begitu Nara masuk melewati pagar rumahnya. Rumah yang sengaja ayahnya beli untuk istri keduanya karena ibunya sudah lama meninggal. Satu bulan yang lalu Nara tinggal di sini. Satu minggu setelahnya ayah Nara meninggal karena terlalu lelah bekerja.

"Aku pulang!" ucap Nara membuka pintu geser di rumah tersebut. Rumah ini bukan rumah yang besar, mereka tinggal di sudut kota, sangat jauh dari kata makmur karena kehidupan di sana sangat sulit.

Bugh!

Prang!

Nara menunduk, suara mangkuk seng masih terdengar di atas lantai. Jagung yang ada di dalam mangkuk itu berhamburan kemana-mana. Bahkan, ada beberapa yang terselip diantara seragam yang dia kenakan. Nara sudah terbiasa karena hal ini. Dilempar menggunakan barang atau makanan sama sekali tidak pernah dia hiraukan. Dipukul mengunakan sapu juga tidak pernah dia rasakan.

"Dari mana kamu, jam segini baru pulang! Abis jual diri? Mana uang nya? Jangan cuma mau numpang makan. Kamu itu gila, udah dikasih tempat tinggal masih saja bersikap seenaknya! Cepat masak! Kami lapar."

"Nara masih capek, Yimo. Nara istirahat sebentar ya!"

"Brengsek! Aku bilang mau makan! Anak-anak ku belum makan. Masih juga belagu kamu!"

Nara melirik dua anak manusia, laki-laki dan perempuan yang seusia dengannya sedang memakan pop corn di depan TV. Ya Tuhan. Dia benar-benar sudah lelah. Ibu tirinya ini benar-benar keterlaluan. Helaan napas terdengar, tanpa menjawab, Nara melepaskan tas gendongnya kemudian berjalan ke dapur untuk membuat makan malam.

Hari rasanya terus berjalan dengan cepat. Gadis itu ternyata bisa menyembunyikan kehamilannya diantara kehidupan yang mencekik. Nara juga selalu pergi ke mini market untuk kerja paruh waktu agar dia bisa mendapatkan uang. Tidak mungkin dia diam saja seperti ini. Sebelum melahirkan, Nara akan meninggalkan rumah ibu tirinya. Mencoba untuk hidup berdua dengan bayi yang dia kandung. Kenaikan kelas sudah dia lewati. Kurang dari satu tahun lagi dia akan lulus dari sekolahnya.

"Makin hari si Nara makin gemuk ya! Makin jelek juga dia!"

"Pantes aja gak ada yang mau sama dia. Orang tampilannya aja kayak gembel. Bikin malu sekolah aja!"

"Apa jangan-jangan dia pakai kontrasepsi ya, mangkanya jadi gemuk kayak gitu. Mungkin dia jual diri buat nyari makan!" Seorang gadis tertawa terbahak-bahak. Dia menatap Nara dengan tatapan mengejek sekaligus jijik. Ya, dia adalah si ketua kelas yang selama ini sudah merundung Nara.

Nara tidak memperdulikan hal itu. Dia lebih memilih untuk membereskan buku-bukunya setelah mendengar bel pulang sekolah berbunyi. Baru sampai di depan koridor, Nara merasakan sakit di perutnya semakin menggila, ini sudah terjadi sejak tadi malam. Nara pikir, semakin lama rasa sakitnya akan semakin mereda. Namun ternyata dia salah. Nara langsung berjalan menuju toilet sekolah ketika perasaan ingin buang air besar melanda. Namun, saat sampai di dalam toilet, dia merasakan sesuatu yang pecah di dalam perutnya. Sesuatu yang hangat itu mengalir di antar betis dan kakinya. Nara mengunci pintu utama toilet wanita. Gadis itu mulai mengaduh kesakitan. Takut ada orang yang mendengar, Nara melepas hoodie yang dia pakai dan dia gunakan untuk menyumpal mulutnya. Keringat besar membanjir wajah cantik Nara, gadis itu semakin lama semakin pucat. Dia berusaha untuk melahirkan bayinya meski dalam keterbatasan tempat dan hanya dia sendiri yang bisa menolong dirinya dan bayinya.

"Ayo, Nak! Keluar Sayang! Kamu pasti bisa! Kita berjuang sama-sama ya! Maafkan mama!" batin Nara menjerit merasakan sakit yang amat luar biasa saat bayi itu sudah akan keluar dari dalam perutnya. Nara terkulai lemas saat sesuatu yang besar telah melewati inti tubuhnya, bening kristal meluncur membasahi wajah Nara kala itu, sekarang dia sudah menjadi seorang ibu, buru-buru dia duduk untuk mengambil bayi yang baru saja dia lahirkan.

Wajah Nara semakin lama semakin pucat. Gadis itu berjalan sempoyongan menuju rumah sakit. Dia harus mencari bantuan karena bayi yang ada di dalam gendongannya belum terputus dari jeratan tali ari-ari. Dia takut akan membahayakan bayi tersebut jika nekat memotongnya sendiri.

Pada awalnya tidak ada yang sadar akan apa yang terjadi dengan Nara. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Seolah tidak merasakan apa-apa, Nara masih terus berjalan meskipun darah mengalir melewati kakinya. Belum sampai di depan rumah sakit, pandangan Nara tiba-tiba buram, semuanya menjadi gelap dan Nara ambruk, masih dengan bayi di dalam gendongannya.

"Ya Tuhan. Lihat, siswi itu! Dia kenapa?" pekik seseorang.

"Sepertinya dia baru selesai melahirkan!"

"Panggil tenaga medis! Kita harus cepat menolongnya!" ujar yang lain lagi.

Orang-orang dari IGD rumah sakit itu mulai berhamburan. Mereka semua memindahkan Nara ke atas brangkar dan membawanya masuk ke IGD, begitupun dengan bayi yang ada dalam dekapannya.

"CPR!" ujar seseorang.

Karena kondisi yang tidak memungkinkan, seorang dokter wanita naik, mengangkangi perut Nara untuk melakukan pertolongan pertama. Denyut nadi Nara semakin lama semakin melemah. Sebanyak apa pun dokter wanita itu menekan dada Nara, tidak ada perubahan yang berarti.

Sampai di IGD pun, perawat sudah menyiapkan alat kejut jantung. Mereka sibuk menolong Nara meskipun mereka tidak tahu siapa Nara dan bagaimana ini bisa terjadi.

"Dok! Ada pasien lain yang masuk. Pasien kecelakaan!" ucap seorang perawat. Tak lama setelah itu, brangkar lain masuk ke IGD dengan seorang gadis yang terbaring di atasnya. Tubuh gadis itu penuh dengan luka. Kejadian apa yang menyebabkan gadis ini hampir meregang nyawa.

Dokter di IGD tersebut semakin banyak. Ada yang sibuk mengurus Nara, juga ada yang sibuk mengurus gadis yang terbaring di sebelahnya.

"Pasien ini mengalami komplikasi, kita sama sekali tidak tahu golongan darahnya apa. Ambil ini!" dokter itu mengambil sampel darah dari pasien karena para perawat pun tidak menemukan identitas Nara.

"Dok! Pasien semakin melemah!" ujar perawat lain pada dokter yang sedang membantu gadis yang ada di samping Nara. "Dok! Jantungnya berhenti!" ucapnya lagi.

"Defibrillator!" ujar Dokter itu.

Perawat pun memberikan alat kejut jantung yang diminta oleh dokter tersebut. Satu kali percobaan, gadis itu masih tidak memberikan reaksi, dua kali percobaan, masih sama. Tangan gadis itu malah terkulai hingga ujung jarinya menyentuh ujung jari Lim Nara. Dalam percobaan ke-tiga, gadis itu pun kembali bernapas. Monitor jantung memberikan gambaran jika jantung gadis itu kembali berdetak dengan baik.

"Oh syukurlah!" ucap para perawat di IGD tersebut.

Namun, salah satu dari mereka ternyata tidak tertolong. "Waktu kematian 15:30:19," ucap Dokter yang menangani Nara. Tubuh gadis itu ditutupi kain putih yang bagian bawahnya penuh dengan noda darah.

Selama mengandung, Nara bekerja terlalu keras, rahimnya masih terlalu muda. Terlebih, Nara juga kekurangan gizi dan nutrisi yang baik. Karena itu, mungkin terjadi komplikasi hingga gadis ini meninggal karena kehilangan banyak darah.

"Bayinya bagaimana, Dok?" tanya seorang perawat pada dokter yang mengurus Bayi Nara.

"Dia juga tidak dalam kondisi yang baik. Berat badannya kurang, napasnya juga terlalu lemah."

"Tolong kabari pihak sekolah, kita tidak tahu dimana keluarga anak ini berada. Jangan sampai memancing keributan."

"Baik, Dokter!"

ATBM Bab 2. Kehidupan Kedua

Seorang gadis mengerejapkan matanya beberapa kali ketika kesadarannya mulai kembali. Dia menatap langit-langit di atas kepalanya dengan tatapan kosong. Ada di mana dia sekarang? Di akhirat kah? Kenapa ini sangat tidak nyaman.

"Hai! Kau gadis itu 'kan? Gadis yang meninggal di UGD rumah sakit waktu itu! Aku Han Bora. Aku orang yang memiliki tubuh ini. Kau sangat cantik sama sepertiku, tapi kenapa kita tidak beruntung? Kenapa kau masuk ke dalam tubuhku seharusnya kau pergi ke alam baka. Karena kau seharusnya tinggal di sana. Aku tidak bisa kembali masuk, ke tubuhku karena mu," celoteh gadis lain yang wajahnya persis seperti wajah Nara saat ini. Gadis itu mengenakan seragam SMA. Seragam yang Nara tahu adalah seragam sekolah swasta paling bergengsi di negara itu. Nara tidak mengatakan apa pun, dia hanya menatap kosong ke arah gadis itu tanpa ekspresi. Dia masih mencoba untuk mencerna semuanya. Dia telah mati satu kali, mungkin karena itulah, dia tidak terlalu antusias untuk melihat keadaan sekitar.

"Bora, Sayang!" panggil seorang wanita paruh baya yang masih sangat cantik.

Nara menatap wanita itu, siapa orang ini, kenapa dia memanggilnya dengan nama lain. Lalu, siapa Bora? Namanya Nara, bukan Bora.

"Sayang, ini Mama, Nak! Kau sudah satu minggu di sini. Syukurlah kau sadar. Mama sangat senang karena itu. Terima kasih Sayang!" ucap wanita itu lagi. "Mama akan memanggil dokter sebentar ya Nak! Tunggu!" Wanita itu tersenyum setelah mengusap bulir bening dari matanya.

Kening Nara semakin mengerut saat melihat dan mendengar wanita paruh baya itu memanggilnya dengan sebutan Nak. Ada apa ini, siapa wanita ini. Sejak kapan dia memiliki seorang ibu, ibunya sudah meninggal sejak lama. Nara meraba bagian wajahnya, dia ingin beranjak akan tetapi tidak bisa karena tubuhnya masih sangat lemah. "Ada apa ini?" gumam Nara dengan suara yang sangat pelan. Dia berusaha untuk kembali bangun dan memiringkan tubuhnya ke sisi lain. Namun, saat dia sedang mencoba melakukan itu, tubuhnya mendadak kaku, dia menatap wajahnya dari pantulan cermin di depan dengan mata membulat sempurna.

"Ini wajah siapa?" Nara membatin. Dia kembali meraba wajahnya lantas menoleh ke arah pintu ketika ibu tadi memanggilnya lagi. Kenapa semuanya menjadi seperti ini? Alur kehidupan seperti apa yang dia jalani, apa omongan mahluk tak kesat mata ini sungguhan? Kenapa Nara sangat berharap jika ini memang benar adanya. Dia harus hidup, dan dia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang telah Tuhan berikan padanya. Pasti ada alasan kenapa dia kembali dilahirkan. Nara tidak bisa tinggal diam.

"Itu ibuku! Wanita paling baik dan paling cantik di dunia ini. Jangan bingung. Kau hanya tinggal di tubuhku untuk beberapa waktu. Nanti aku akan kembali jika kau bisa keluar dari tubuh milikku. Nama mu Han Bora. Mulai sekarang, jadilah Bora untuk ku. Jangan membuat orang-orang yang aku sayangi bersedih. Aku akan membantumu dan menjelaskan siapa saja orang yang harus kau hadapi nantinya!" ucap Bora di sisi tubuhnya.

"Apa kau tidak bisa mendengar ku? Apa hanya aku saja yang bisa melihatmu, Kak?" tanya Bora dengan wajah sendu. "I hope you can at least hear me, Sis." Hantu itu kembali berbicara.

Nara lagi-lagi diam. Dia enggan untuk berbicara dengan orang itu. Jika benar Tuhan memindahkan tubuhnya ke tubuh orang lain, maka itu sudah menjadi takdir yang harus mereka terima. Apa ini yang disebut dengan kelahiran kembali, dia hidup pada tubuh orang lain? Tapi kenapa dia tidak bisa mencerna semuanya. Dia tahu gadis berseragam SMA itu bukan manusia karena sejak tadi, orang-orang bisa menembus tubuhnya. Tapi anehnya, dia sama sekali tidak merasa takut. Semuanya masih seperti mimpi untuk Nara.

"Sayang, apa ada yang sakit? Kau mau minum?" tanya ibu paruh baya tadi. Nara menggelengkan kepalanya. Bibirnya menyunggingkan senyum meskipun sangat tipis.

"Aku yakin kau mendengar ku, Kak. Kenapa kau bisa bersikap setenang ini. Apa kau tidak tahu jika saat ini kau ada di dalam tubuhku? Kenapa kau tidak berbicara?" Bora menunduk dengan mata berkaca-kaca. Tepat, ketika pintu kamar rawat itu terbuka, Bora keluar dari sana. Dia terlalu sakit hati karena ibunya sama sekali tidak menyadari jika Bora yang asli ada di belakangnya dan malah melewatinya begitu saja.

Hantu Bora tertegun saat melihat seorang datang menghampirinya dengan setelah serba hitam. Apa ada yang bisa melihat dia? Bora tersenyum karena berpikir jika dia masih memiliki kesempatan.

"Han Bora! Kau itu sudah mati, dan seharusnya kau mati ketika kau masih bayi. Tidak ada kesempatan untuk kembali. Kami memberikan kamu pilihan, ikut ke alam baka sekarang? Atau kamu mau tetap tinggal sebagai hantu di sisi tubuhmu?" Malaikat penjaga gerbang kematian bersuara dengan lantang. Tatapan matanya tajam tapi tidak ada kehidupan. Orang bersetelan hitam panjang itu menatap Bora lekat, mengulurkan tangan agar Bora mau ikut bersamanya.

Bora ambruk di atas lantai setelah mendengar seseorang mengatakan hal tersebut kepadanya. Jadi, yang meninggal itu sebenarnya dia, bukan gadis yang sekarang ada di tubuhnya. Lantas, bagaimana dengan sekolahnya? Bagaimana dengan pernikahannya? Bagaimana dengan orang-orang yang dia cintai. Bora sama sekali belum siap menerima kenyataan ini. Tuhan tidak adil kepadanya, kenapa dia harus merelakan tubuhnya di ambil orang lain.

"Jika kau ingin tetap tinggal, berbuat baiklah! Saat kau sudah siap untuk kembali, kau akan kembali bertemu dengan ku!" ujar orang bersetelan hitam yang terus berjalan menjauh di koridor rumah sakit tersebut. Bora menangis seraya memeluk lututnya. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia benar-benar masih ingin kembali.

Orang-orang berlalu lalang melewati koridor tersebut, tanpa mereka tahu jika mereka berjalan menembus ruh seorang gadis yang sedang meringkuk dengan tangis yang pilu.

Bora baru sedang tersenyum. Dia menerima perhatian yang ibunya berikan untuknya. Bahkan ketika Han Junmyeon, sang ayah dari pemilik tubuh itu menyuapkan buah-buahan, Nara menerimanya dengan wajah berbinar. Jika dia dengar dari apa yang Bora asli katakan tadi, gadis yang memiliki tubuh ini pasti adalah orang yang manja. Nara harus bisa merebut hati orang-orang ini agar dia bisa menjadi Bora tanpa dicurigai. Andai ini mimpi, Nara berharap jika mimpinya tidak akan berakhir. Dia akan mengikuti alur yang telah Tuhan tetapkan untuknya.

"Kata Dokter, setelah kamu terapi beberapa hari, kamu sudah bisa pulang, Sayang! Sudah bisa sekolah lagi seperti dulu!" kata wanita paruh baya yang sedang memijat betisnya.

Semua orang itu menoleh ke arah pintu ketika pintu di ruangan itu digeser dari luar, seorang laki-laki yang tampan nan gagah masuk ke ruangan itu. Namun, di mata Nara, ada orang lain yang mengikuti pria itu dari belakang.

"Selamat siang, Ma! Pa!" ucapnya seraya mengangguk. Pria itu memberikan bucket bunga kepada Nara. Gadis itu malah terbengong, bingung harus menerima bucket bunga itu atau tidak.

"Dia adalah Kang Myung-soo. Calon suamiku, ah tidak, sekarang dia adalah calon suamimu. Dia merupakan CEO di perusahaan furniture paling besar di negara ini. Kau tahu, saat kemarin aku kecelakaan, itu terjadi saat aku sedang mengejarnya di zebra cross, " papar Bora asli.

"Mama! Bora gak mau ketemu sama dia? Dia jahat!" ujar Nara membuat orang-orang itu terbengong. Mereka tahu betul kejadian yang sebelumnya terjadi. Wajar jika Bora tidak menyukai orang ini.

"Ma! Saya ingin bicara dengan Bora sebentar. Bolehkah?" tanya Kang Myung-soo dengan senyum tipis di bibirnya. Orang tua Bora pun beranjak dari tempat duduk mereka.

"Ma! Kenapa Mama ninggalin Bora sama orang ini! Ma ... Papa!" rengek Nara pada kedua orangtuanya. Gadis itu menatap Junmyeon sang ayah dengan mata berkaca-kaca. Karena kejadian di masa lalu, Nara menjadi sangat benci pada laki-laki, termasuk laki-laki bernama Myung-soo.

"Gak papa, Sayang! Calon suamimu hanya ingin berbicara, kami ke luar sebentar ya! Kamu itu sangat menyukai pria ini. Semuanya akan baik-baik saja!" jelas Junmyeon kepada anak gadisnya. Nara mengembuskan napas kasar. Begitu pun dengan hantu Bora. Mereka berdua sebenarnya sama-sama enggan untuk bertemu dengan Myung-soo. Hantu Bora jelas masih kecewa pada tunangannya. Nara juga sama.

"Saya minta maaf jika saat itu saya mengabaikan mu. Saya benar-benar sedang terburu-buru. Saya tidak bermaksud melakukan hal seperti itu, Bora. Maafkan saya!"

Nara bergeming. Dia enggan untuk melirik pria di sampingnya dan malah memalingkan wajah. "Aku enggak suka sama kamu! Kenapa kau harus minta maaf jika tidak melakukan kesalahan, jangan jadi orang munafik. Jika kau memang tidak menyukai ku. Ambilah perempuan lain. Aku rasa kau cukup sadar diri! Dilihat dari tampilan pun, kau itu sudah tua. Seharusnya kau malu karena mau menikah dengan anak gadis yang masih duduk di bangku SMA."

Hantu Bora melongo. Dia berjalan ke arah Nara kemudian berdiri di depan wajah gadis itu. "Hei! Jangan terlalu kejam. Dia itu calon suami mu. Jangan memprovokasi nya. Jika dia membatalkan perjodohan, kau yang rugi, bego!" ketus Hantu Bora membuat Nara memutar bola mata.

"Kau yang bego! Udah tahu pria tua masih di pacari. Ditambah dia gak cinta sama kamu, Hara! Buang aja lelaki seperti ini. Perempuan itu bisa hidup tanpa spesies seperti mereka!" gerutu Nara di dalam hatinya.

Hantu Bora menepuk kening melihat Nara yang semakin berwajah masam. Dia mendongak begitu mendengar lelaki di depannya tergelak. Kening gadis hantu dan manusia itu mengkerut, mereka berdua menoleh ke arah Myung-soo dengan tatapan bingung.

"Saya suka kamu yang seperti ini. Saya masih banyak pekerjaan. Cepat sembuh! Saya janji, saya akan lebih bersikap baik padamu!" ujar Myung-soo seraya mengusap kepala Nara akan tetapi ditepisnya oleh gadis itu.

"Orang gila! Lebih baik jangan ketemu lagi!" ketus Nara dengan api membara.

"Shhutttt! Jangan seperti itu, Kak. Dia itu masih sangat muda, umurnya baru 28 tahun. Hanya beda 11 tahun dengan ku. Dan kau tahu, dia itu adalah pria yang paling banyak disukai wanita muda seperti kita. Jangan membuang kesempatan. Oppa Myung-soo itu sudah jelas asal usulnya."

Uhukkk!

Nara tersedak air liurnya sendiri ketika mendengar kata oppa keluar dari mulut hantu di sampingnya. Eishhhhhh ... Bora ini terlalu bucin. Sudah jelas laki-laki ini songong dan arogan. Masih juga Bora pertahankan. "Kau lihat saja Bora, aku akan membuat hubungan kalian retak. Laki-laki itu tidak pantas untuk mu!" Nara membatin.

....

Gadis itu melangkahkan kakinya masuk ke dalam sebuah rumah yang lebih terlihat bak istana kerajaan. Para maid menyambutnya penuh antusias.

"Kembalilah ke kamar mu, Nak! Kau pasti masih sangat lelah! Mama akan membuatkan mu camilan sore. Tolong antar Non Bora ke kamarnya Nam!" pinta nyonya Han kepada kepala pelayan di rumah itu.

"Baik Nyonya!"

"Silakan, Non! Saya sudah membersihkan kamar Non Bora, semua kebutuhan Non Bora sudah lengkap, Non membutuhkan sesuatu tidak?" tanya Bu Nam dengan senyumannya.

"Tidak, Ahjuma terima kasih!" ujar Nara.

Gadis itu memperhatikan kamar barunya dengan seksama. Ini terlalu mustahil, dia baru saja mengalami hal yang buruk, kenapa sekarang semuanya berbanding terbalik. Apa ini hanya mimpi?

Nara membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Dia tidur dengan posisi menyamping ke arah kanan, lengan yang dia jadikan sebagai bantalan membuatnya merasa jauh lebih nyaman. Makhluk itu juga ikut berbaring di depan Nara membuat Nara berpura-pura menatap kosong ke arahnya. Nara meraba perutnya yang sudah rata, tapi tidak, ini bukan perutnya, ini perut orang lain. Kemana perginya anak yang dia kandung selama 9 bulan? Bayi itu masih hidup atau tidak, dia tidak tahu. Bulir bening mengalir dari sudut matanya tanpa dia minta. "Kamu di mana, Nak?" Nara membatin dengan mata terpejam.

"Aku tahu kau sadar siapa dirimu, Kak. Aku janji, aku akan membantumu. Tubuh ini akan tetap menjadi milikmu. Permintaan ku cuma satu, tolong bahagiakan kedua orangtuaku. Jika kau mau melakukan itu, aku akan membantumu untuk mencari anak yang waktu itu kau lahirkan."

ATBM Bab 3. Kesepakatan

Nara menatap Bora dengan dalam. Dia bingung harus bagaimana, di sisi lain, dia tidak ingin terlibat dengan ruh pemilik tubuhnya saat ini, tetapi di sisi lain juga Nara kasihan melihat Bora. Walau bagaimanapun dia tetap membutuhkan bantuan Bora agar semua orang tidak curiga sehingga dia bisa membalaskan dendam tanpa harus takut ketahuan.

"Aku bisa melihatmu, Bora." Nara mengucapkan itu dengan suara yang sangat pelan. Gadis hantu di depannya semakin mendekat, wajahnya berseri dengan mata berbinar.

"Aku tahu," jawabnya. Senyum tersungging di bibir keduanya, hubungan antara hantu dan manusia resmi di mulai, mereka sama-sama memiliki tujuan, tapi dengan arah yang berbeda, Nara ingin membalaskan dendam, sementara Bora ingin membuat hidupnya menjadi sempurna agar kedua orangtuanya bahagia.

"Bantu aku untuk menjadi Bora," pinta Nara. Bora mengangguk mengiyakan. Tentu saja, akan sangat menyenangkan jika menjadi dirinya. Tentu hal pertama yang harus Nara lakukan adalah belajar memahami kebiasaan sehari-hari Bora. Dari cara berpakaian, selera makan, bersosialisasi, dan semua hal itu harus melekat pada diri Nara. Beruntungnya Bora tidak lemah, dia cenderung baik tapi licik. Hanya saja, otaknya agak kurang dalam hal akademik.

"Apa ku sangat cerdas?" tanya Bora saat melihat tulisan tangan Nara, terlebih ketika Nara mengerjakan soal di buku pelajarannya, ini benar-benar sangat luar biasa.

"Aku akan mulai dengan urusan ku, kau cari dimana bayi itu, dan aku akan menjadikan mu Bora yang sempurna," kata Nara. Gadis itu menatap pantulan wajahnya dari cermin, dia sangat tahu jika dibelakangnya ada Bora hanya saja tidak nampak di cermin tersebut. " Kau bisa pergi ke rumah sakit sendiri 'kan?" tanya Nara menelisik.

"Akan aku coba," jawab Bora. Dia bisa menyentuh sesuatu dan bisa menembus tembok, seharusnya dia juga bisa menghilang, tapi bagaimana caranya, dia akan mempelajari itu semua. Saat itu dia sempat bertemu dengan hantu senior, mereka mungkin bisa membantunya untuk bisa survive di tengah-tengah kehidupan manusia.

....

Sarapan pagi itu terasa sangat hening, Junmyeon memerhatikan anak bungsunya dengan seksama. Bora tidak biasanya diam seperti ini, biasanya dia akan banyak bicara, tapi kenapa setelah kecelakaan banyak hal-hal aneh terjadi. Perubahan Bora memang tidak signifikan, tapi tentu hal kecil tentang Bora saja mereka sangat hafal, jadi saat semuanya tidak sama, mereka adalah orang pertama yang akan tahu perubahan tersebut.

"Ma, Pa!" panggil Nara setelah sarapan paginya habis. Gadis itu menunduk dengan perasaan gelisah, apakah ada kemungkinan permintaanya diwujudkan.

"Iya, Sayang. Kenapa Nak?" tanya Yuri, ibu dari Bora. "Ada yang sakit, apa kepalanya masih suka pusing?"

Nara menggeleng, bukan, dia bukan ingin mengeluh, tapi ia hanya menginginkan sesuatu. "Bora mau pindah sekolah, Bora gak nyaman di sekolah lama," bohongnya yang tentu saja tidak diketahui oleh Junmyeon dan Yuri.

Kedua itu saling menatap satu sama lain. Selama Bora sekolah, tidak pernah ada masalah, kenapa baru sekarang dia meminta pindah, tapi jika mereka tidak menuruti keinginan Bora, mereka takut kalau nantinya Bora malah stress, baik Junmyeon ataupun Yuri tidak ingin hal tersebut terjadi.

"Papa akan urus semuanya, mau pindah ke mana?" tanya Junmyeon. Ia menenggak air di dalam gelas dalam beberapa kali tarikan napas.

"Yeonwo School!"

"Really?" tanya Yuri seraya melirik ke arah suaminya. Sekolah ini tak lebih baik dari sekolah Bora sekarang, jadi mereka agak sedikit terkejut.

"Hmmm ... Bora ingin suasana baru, boleh 'kan, Ma. Pa," rengeknya dan langsung dipangguki oleh kedua orangtuanya. Nara bersorak heboh dalam hati. Akhirnya apa yang dia inginkan akan segera terwujud, membuat anak-anak itu sengsara, dan membuat para bajingan itu merasakan balasan atas kesalahan mereka di masa lalu.

....

"Kakak ke kantor dulu, ya! Baik-baik di sekolah," ujar seorang pria seraya mengusap puncak kepala Nara. Gadis itu tersenyum, agak dipaksakan karena sebenarnya dia teramat sangat risih menerima sentuhan dari seorang pria meskipun itu adalah Kyung-jin, kakak dari Bora, tapi untuk Nara, Kyung-jin tidak lain dan tidak bukan hanyalah sejenis spesies yang sama dengan para bajingan di masa lalunya.

Mobil mewah milik Kyung-jin melesat meninggalkan Nara di gerbang Yeonwo School, sekolah yang menjadi saksi jika dulu Nara sempat menerima kemesraan dan juga pelecahan sampai pemerkosaan di sini. Jantung Nara berdegup sangat kencang, gadis itu menunduk seraya memegangi dadanya, tubuhnya mendadak sakit dan gatal, Nara memejamkan mata, dia berusaha untuk menepis bayangan di masa lalu meski itu sangat sulit.

"Kau baik-baik saja 'kan?" tanya Bora khawatir. Hantu itu berdiri tepat di depan Nara, memperhatikan wajah pucatnya cemas.

"I'm oke," jawab Nara akhirnya. Gadis itu mengembuskan napas berat, dia menatap bangunan mewah itu dengan tekad yang pasti. Hari ini, semuanya akan kembali dimulai, Nara telah bangkit, dan dia tidak akan menjadi Nara si target bullying, Nara akan menjadi pemeran utama, tak masalah menjadi antagonis, yang terpenting dia bisa bertahan sampai akhir.

Nara melangkahkan kakinya penuh percaya diri. Gadis itu menjadi pusat perhatian seantero sekolah. Jangankan murid pria, murid wanita saja banyak yang terpesona dengan kecantikan yang Nara miliki sekarang.

Bora tersenyum sangat lebar, hantu itu ternyata lebih bahagia daripada Nara. Dulu, dia memang seberani ini, akan tetapi dia sepertinya cenderung centil, petakilan dan mudah dibohongi. Namun, pembawaan Nara sangat berbeda, gadis itu menggunakan tubuhnya dengan sangat maksimal sehingga para pria pun seperti akan menumpahkan air liurnya.

Kening Nara mengkerut ketika sepasang netranya tak sengaja melihat para gadis menyeret gadis lain ke samping gedung sekolah, lebih tempatnya ke tempat pembakaran sampah. Senyum menyeringai muncul, Nara mengikuti kemana orang-orang itu pergi.

"Nara, kau mau ke mana? Kelas mu ada di sana!" tunjuk hantu Bora ke arah bangunan lain, tapi tidak Nara gubris sama sekali. Mau tidak mau dia mengikuti Nara sampai pada akhirnya mata Bora terbelalak. Gadis itu membekap mulutnya tidak percaya. Bisa-bisanya manusia bertingkah seperti ini. Kenapa para siswa ini bertingkah menjijikkan.

Senyum evil kembali terlihat dari wajah Nara. Gadis itu mengeluarkan ponsel miliknya untuk merekam semua kejadian di depan. Puas dengan video, dia beralih ke kamera, akan tetapi sayangnya blitz kameranya menyala sehingga orang-orang gila itu menoleh.

Minho, bajingan gila itu melepaskan gadis yang tengah diciumnya, menghempaskan tubuh gadis itu ke tanah. Si gadis hanya bisa menangis sesenggukan, dia merapatkan kembali seragamnya yang dibuat acak-acakan oleh Minho dan kawan-kawan.

"Siapa kau!" ketus Minho dengan wajah sangarnya.

Nara tersenyum, dia tidak menjawab dan malah berjalan mendekat, Nara menatap orang itu satu persatu, ternyata wajah mereka sama sekali tidak berubah, baik dulu atau sekarang, mereka tetap memiliki wajah iblis.

"Hei! Apa yang kau lakukan?" teriak Minho lagi saat Nara ingin membantu gadis tadi berdiri. "Jangan menggangguku, atau kau ingin bermain dengan kami?" ucap Minho mengejek. Pria itu, juga teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Mereka membayangkan betapa asyiknya 'bermain' dengan gadis secantik ini.

"Apa kalian yakin kalian bisa lolos setelah aku sebarkan ini?" sarkas Nara memperlihatkan foto pada ponselnya. Anak-anak itu saling menatap, wajah mereka mendadak pucat pasi, Minho ingin merebut ponsel dari tangan Nara, akan tetapi Nara yang lebih sigap langsung memasukan ponsel itu ke dalam saku roknya. Minho menggeram, air wajahnya semakin tidak menyenangkan, semua tawa itu berubah menjadi kemarahan. Sangat jelas jika saat ini Minho begitu ingin membuat perhitungan dengan Nara.

Tanpa merasa takut, Nara mencondongkan tubuhnya ke arah Minho, kemudian berbisik. "Apa kau tahu, gadis yang kalian perkosa dan kalian siksa sudah mati?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!