✈✈✈
H -1 sebelum keberangkatan pacarnya ke Tokyo, Kalula tampak duduk melamun di ruang tunggu.
Ya, di ruang tunggu inilah beberapa bulan yang lalu ia mengadukan nasibnya. Serangkaian prosedural tes wawancara final untuk beasiswa yang ia impikan ia jalani.
Mana ia menyangka, sekarang ia kembali duduk di sini, tapi bukan sebagai penerima beasiswa. Ia hanya mengantar Edo-pacarnya yang sebenarnya tidak berniat untuk mengikuti program ini.
"Udah, Do. Kamu ikut aja. Tempat tesnya kan jauh. Daripada kamu cuma nganter aku doang dan lama nunggu aku di luar. Mendingan kamu ikut masuk ke dalam ikut tes. Siapa tahu keterima," ucap Kalula waktu itu meyakinkan.
Waktu itu Edo hanya tertawa saja. Ia bilang ia tidak sepintar Kalula dalam hal akademis. Pasti ia tidak lolos.
Kalula bilang tidak apa-apa. Nanti mereka mendaftar berurutan agar nomor tesnya berurutan juga dan tempat duduk mereka waktu tes bisa bersebelahan atau semacamnya, jadi Edo bisa mencontek jawaban Kalula.
Akhirnya ide konyol itu membuat mereka tertawa-tawa begitu mengetahui hasilnya. Mereka sama-sama lolos tes tahap pertama.
Serangkaian tes mereka hadapi. Lagi-lagi Edo lolos dengan bantuan Kalula. Hingga akhirnya di tahap final, dari ribuan peserta itu Edo dan Kalula menjadi bagian dari 20 besar kandidat yang nanti akan dipilih 5 orang saja.
Edo sudah yakin ia tidak akan lolos wawancara final. Bahasa Jepangnya sih lumayan oke karena dulu lagi-lagi Kalula memaksanya untuk ikut kursus bersamanya. Tapi siapa sangka pengumuman beberapa bulan berikutnya nama Edo lah yang muncul. Lalu Kalula? Ya, ia dinyatakan tidak lolos.
Kalula ingin menangis dan Edo hanya tertawa melihat kekonyolan ini. Ia tahu ini mimpi besar Kalula, jadi ia tidak ingin merebut mimpi Kalula. Apalagi ia bisa sampai ke titik ini karena bantuan Kalula juga. Ia memutuskan untuk mundur dari beasiswa tapi Kalula melarangnya.
"Aku bisa coba tahun depan, Do. Ini kesempatan kamu. Aku janji nanti akan nyusul. Jangan sia-siakan kesempatan. Jangan bodoh! Lagian di sini kamu belum dapat pekerjaan tetap juga. Apa salahnya mencoba."
Lagi-lagi Edo yang selalu penurut di depan Kalula itu mengikuti saran pacarnya. Dan di tempat inilah ia berakhir, menunggu kelengkapan berkasnya untuk berangkat besok.
"Kal, ayo pulang," ucap Edo yang keluar dari ruangan itu sambil memanggil Kalula.
Lamunan Kalula langsung buyar seketika. Ia berusaha tersenyum walau hatinya sedih dan menyambut gandengan tangan Edo.
Mereka keluar berjalan kaki menyusuri jalanan seperti yang biasa mereka lakukan.
"Makan di sini aja, yuk. Nanti pasti aku akan kangen makan bareng kamu," ucap Edo sambil menunjuk warung pinggir jalan tempat mereka biasa makan.
"Oke." Kalula hanya menjawab dengan tidak bersemangat.
Jujur, sudah ia kuat-kuatkan hatinya, tapi melihat Edo akan berangkat ke Jepang besok membuatnya merasa Edo merebut mimpinya.
Entahlah, kadang takdir memang selucu itu.
Edo berusaha bersikap konyol dan menghibur Kalula dengan kelucuannya seperti biasa, tapi Kalula tetap saja murung.
Ya, Edo ini semacam badut untuk Kalula. Ia rela melakukan apa saja agar pacarnya tertawa. Kalula adalah cinta pertamanya. Begitu pula di mata Kalula, Edo juga cinta pertamanya.
Mereka sama-sama jatuh cinta saat SMA. Kalula adalah adik kelas Edo. Mereka sama-sama berasal dari bawah, bukan dari kalangan keluarga berkecukupan.
Edo yatim piatu dan keluarga Kalula menyambutnya dengan hangat, apalagi dulu waktu ayah Kalula masih ada. Edo merasa punya keluarga. Maka dari itulah hubungan mereka bukan sekedar seperti orang pacaran biasa, tapi lebih dari itu.
Edo sebenarnya ingin melamar Kalula, tapi ia tahu usianya masih cukup muda. Ia juga belum punya pekerjaan mapan. Maka dari itu dia bekerja keras agar segera bisa meminang kekasih yang ia cintai itu.
Ketika mereka sedang bercanda dalam perjalanan pulang sambil berjalan kaki, ponsel Edo bergetar. Sebuah pesan masuk muncul di kotak notifikasi.
Kalula yang sedang mengamit lengan Edo melirik ke arah handphone itu dengan tatapan ingin tahu. Edo juga menyadari galagat itu. Ia hanya tertawa saja sambil memasukkan handphone itu kembali ke saku celananya.
"Siapa, Do? Kok nggak dibuka?" Kalula menghentikan langkahnya dan menatap Edo dengan curiga.
"Ini Erina. Yang kemarin lolos wawancara sama kita. Dia kan juga kepilih dan besok berangkat. Dia cuma nanya apa berkasku udah lengkap, Kal. Itu aja, kok. Nggak penting. Nggak usah dibales. Nanti aja," ucap Edo menenangkan.
Tatapan mata Kalula langsung berubah. Ia cemburu dan mulai curiga.
Ya, di sepanjang perjalanan kisah cinta monyet yang berubah menjadi serius itu Edo pernah sekali berselingkuh darinya. Pria itu menyesal dan minta maaf.
Berminggu-minggu Edo memohon, sampai akhirnya Kalula memaafkannya dan mereka kembali berpacaran. Maka ketika ada gelagat semacam ini dari Kalula, Edo mulai panik.
Edo mengerti perasaan Kalula. Kalula trauma ia bohongi dan ia selingkuhi.
"Kalau nggak ada apa-apa bales aja sekarang. Erina yang rambutnya panjang itu, kan? Cantik juga dia. Berarti tempat tinggal kalian nanti akan dekat, dong? Dan kalian ketemu tiap hari," ucap Kalula dengan sinis. Rasa cemburunya tidak bisa ia tutup-tutupi.
"Kal, mulai lagi, deh. Nggak, Kal. Kan nggak cuma sama Erina doang. Ada Aldo, Beni, sama Ajeng juga. Toh nanti kalau pendidikan bahasa udah lulus, kita juga beda fakultas dan nggak akan sering ketemu lagi.
Ayolah, jangan cemburuan begini, dong. Aku nanti jadi nggak tenang loh perginya," ucap Edo merayu.
Ia tahu suasana hati Kalula sedang tidak bagus. Makanya ia mengalah saja walaupun dicurigai terus-menerus itu rasanya tidak enak.
"Oke, oke. Ya udah aku pulang langsung aja. Maaf ya besok nggak bisa antar kamu ke bandara. Aku ada wawancara kerja di cafe dekat tempat kursus kita dulu.
Siapa tahu lolos dan aku dapat kerja. Ibu bilang sewa kontrakan bulan ini belum dibayar. Nggak tahu lagi mau ngomong apa nanti sama pemiliknya. Semoga tawaran gajinya bagus." Kalula kembali melanjutkan perjalanan.
Edo tersenyum. Ia merangkul pundaknya.
"Good luck, Kal. Nanti kalau uang bulanan beasiswaku sisa, aku kirim ke kamu, ya," ucap Edo.
"Nggak, Do. Aku akan marah kalau kamu kayak gitu. Aku bisa kerja, kok. Nanti aku akan daftar lagi beasiswanya, siapa tahu tahun depan aku nyusul kamu," ucap Kalula menolak.
Edo mengacak-acak rambut pacarnya itu dengan gemas. Ya, malam itu pertemuan terakhir mereka sebelum esoknya Edo terbang ke Tokyo. Sebuah kisah LDR dimulai.
***
Bugh!
"Aduh!" Kalula mengaduh. Ia buru-buru datang ke Cafe karena bangun kesiangan. Semalam ia menangisi Edo yang hendak meninggalkannya pergi.
"Sorry, sorry. Kamu nggak papa?" Pria bermata cokelat yang menabraknya itu memegangi pundak Kalula.
Kalula menggeleng sambil tersenyum. Ia bilang ia tak apa-apa.
Pria itu bernama Edward, pemilik tempat ini. Pria yang hatinya susah disentuh itu merasa jatuh cinta pada pandangan pertama.
Kalula mengalihkan dunianya.
Bersambung...
✈✈✈
Halo, tolong support LIKE, KOMENTAR, dan FAVORIT ya untuk karya ini. Secuil dukungan pun akan sangat berarti untuk Author.
Terima kasih.
Edward Megantara, anak konglomerat yang baru-baru ini terpukul karena papanya meninggal. Mamanya mulai mencemaskannya dan menyuruhnya segera pulang dari Adelaide begitu ia lulus kuliah.
Mamanya mencemaskan kelangsungan bisnis keluarga mereka. Edward adalah anak satu-satunya dan ia susah diatur.
Edward berjiwa bebas. Ia ingin lepas tangan dari bisnis ini. Ia ingin sekolah film seperti mimpinya, tapi mamanya terus memaksanya untuk sekolah bisnis. Akhirnya toh ia lulus juga.
Tapi ia sudah mulai lelah diatur-atur terus. Papanya yang biasa membelanya juga sudah tiada. Ia ingin kabur dari tanggung jawab ini tapi mamanya membuatnya tertahan di sini.
"Kamu kerja di sini?" tanya Edward yang sejak tadi matanya tidak lepas-lepas memandang Kalula yang berlesung pipit dan berkulit putih itu.
Kalula menggeleng. Ia memakai blus warna putih dan rok selutut berwarna hitam. Disibakkannya anak rambutnya yang jatuh ke belakang telinganya.
Sungguh gerakan itu seperti slow motion yang memikat Edward. Ia makin terpana.
"Aku ada wawancara. Kayaknya telat. Semoga masih ada kesempatan. Aku tadi kesiangan bangun. Aku pergi dulu, ya," ucap Kalula yang langsung berlari masuk ke dalam ruangan.
Edward langsung bergerak gesit memanggil manager cafe. Pria berkemeja biru itu menghadap padanya dengan bingung.
"Ada apa, Pak Edward?" tanya Dika sang manager cafe itu. Ia bingung kenapa Edward yang tadinya hendak pulang setelah mengecek salah satu cabang cafe ini memanggilnya lagi. Apa ia punya kesalahan? Dika menatap boss barunya itu dengan takut-takut.
"Cewek yang tadi, Dik. Katanya dia telat wawancara. Memang kita butuh karyawan baru, ya?" tanya Edward.
"Oh, iya, Pak. Pelayan yang kemarin resign, jadi butuh pengganti baru. Ada apa ya, Pak?" tanya Dika dengan bingung.
"Nggak papa. Kamu lolosin dia, ya. Terus biarin besok saya masuk kerja juga di sini. Jangan panggil saya Pak. Panggil saya Edward. Bilang sama yang lain juga yang sudah terlanjur tahu siapa saya.
Jangan sampai mereka tahu saya pemilik tempat ini. Saya pengen pura-pura jadi karyawan. Jangan tanya kenapa dan jangan banyak tanya. Jangan bilang sama mama saya juga. Oke? Ya sudah sana pergi," ucap Edward.
Dika menatap bingung. Bukannya pergi tapi ia hanya berdiam diri di tempat dengan panik.
Sungguh ia tidak mengerti dengan perintah boss barunya ini. Edward yang baru pertama kali datang ke sini untuk sekedar mengecek cabang cafe tiba-tiba mau ikutan kerja di sini?
"Kenapa lagi? Kamu bingung? Udahlah. Pokoknya nanti saya kasih bonus tambahan kalau kalian tutup mulut. Tadi siapa yang sudah terlanjur tahu kalau saya anaknya bu Amel? Cuma kamu kan sama cowok tadi? Pokoknya besok saya kerja di sini.
Sekarang ada posisi barista kosong, kan? Ada atau nggak ada saya akan tetap datang besok. Biarin saya di situ. Ngerti? Sudah sana!" Edward lalu mendorong Dika menjauh.
Dika masih kebingungan tapi Edward memberi kode ke arah Kalula yang sedang duduk menunggu di dalam ruangan dengan pintu kaca transparan itu.
"Terima." Edward memberi kode tanpa suara.
Dika hanya mengangguk dengan pasrah. Entahlah apa rencana Edward itu. Ia tak paham. Yang jelas dia tidak mau melanggar perintah boss-nya.
***
Siang itu Kalula meninggalkan area cafe dengan senyum terkembang. Ya, ia diterima bekerja di sana.
Dika sang manager cafe yang tadi mewawancarainya langsung menerimanya tanpa banyak tanya.
"Hei, gimana wawancaranya?" tanya Edward yang tiba-tiba sudah muncul menyapanya.
"Aku diterima. Oh ya, kamu ngapain masih di sini?" tanya Kalula.
Suasana hatinya sedang bagus. Ia yang biasanya tidak akan ramah pada orang yang tak dikenal itu mendadak menjadi ramah.
"Oh, aku tadi juga barusan wawancara. Mulai besok aku kerja di situ jadi barista." Edward membual. Padahal mobil sport-nya terparkir di depan cafe itu.
Mobil mewah itu sekarang ia lewati seolah bukan ia pemilik mobilnya. Ia terus bicara mengikuti Kalula.
"Oh ya, salam kenal. Aku Kalula," ucap Kalula yang langsung menghentikan langkahnya dan mengulurkan tangannya ke arah Edward.
"Aku Edward," ucapnya sambil menyambut uluran tangan itu. Sejak tadi wajahnya tidak berhenti tersenyum.
Kalula sungguh-sungguh membuatnya merasa bersemangat. Ia yang awalnya menolak permintaan mamanya untuk mengelola tempat-tempat usaha mereka jadi berubah pikiran.
Ya, baiklah. Daripada kabur-kaburan lagi dan membuat mamanya sakit-sakitan, lebih baik ia turuti saja mamanya.
Gampang, kan? Tinggal beberapa hari sekali mendatangi cafe mereka dan juga cabang-cabangnya. Juga beberapa tempat usaha lain di dalam kota juga. Yang di luar kota itu urusan mamanya.
Mamanya bilang ini sebagai latihan saja. Siapa tahu Edward nyaman dan setuju untuk mewarisi juga mengambil alih semua bisnis keluarganya itu.
"Aku senang dapat teman baru, lolos wawancara kerja juga. Gimana kalau aku traktir makan? Ini sudah masuk jam makan siang belum, sih?" ucap Edward lalu dengan spontan ia melihat jam tangannya.
Ya, jam tangan mahal yang tidak mungkin dimiliki barista cafe lalu ia sembunyikan di balik punggung. Ia menatap Kalula dengan nyengir.
Untung Kalula tidak menyadari gelagat itu. Ia hanya mengangguk saja. Entah kenapa ia menyetujui ajakan Edward
"Ke sana, yuk." Tunjuk Kalula sambil berjalan menuju ke arah gerobak bakso di pinggir trotoar yang rindang itu.
"Oke." Edward menyahut dengan agak ragu tapi wajahnya tetap tersenyum.
Ia dibesarkan di sangkar emas. Ke mana-mana diantar jemput sopir dengan mobil mewah. Mana ia pernah makan di pinggir jalan begitu. Tapi demi Kalula ia mengangguk saja.
Entah kenapa setiap Kalula sedang asyik bicara, seolah-olah ada energi darinya yang menyalur untuknya. Tak lepas-lepas ia menatapnya. Ia kagum dan makin ingin mengenal sosok itu. Kalula yang selalu terlihat ceria.
Dan esoknya di cafe itu, Edward terus menerus mencuri-curi pandang ke arahnya sambil mencari-cari kesempatan untuk sekedar mengobrol atau menghabiskan waktu bersama saat jam istirahat.
Dika menatap boss-nya dengan cemas. Ia bingung kenapa pria itu mau saja disuruh-suruh para karyawan yang lain yang tidak tahu siapa jati dirinya sebenarnya. Tapi Edward selalu mengancam Dika dengan pelototan matanya.
"Udah, jangan bilang-bilang. Suruh-suruh aku saja tidak apa-apa. Jangan terlalu sungkan dan kaku begitu. Nanti yang lain malah akan curiga. Sekarang aku karyawan dan kamu atasannya. Oke?" Edward menyikut perut Dika yang mengikutinya dengan cemas ke toilet.
Hari-hari terus berjalan hingga tak terasa sudah seminggu. Edward merasa waktunya kurang untuk bisa dekat dengan Kalula. Ia pun mencari segala cara untuk lebih dekat dengan gadis itu.
Kalula tidak menyadarinya dan menganggap Edward hanya teman bekerja biasa saja. Ia fokus saja jangan pekerjaannya dan sesekali mencuri waktu untuk menghubungi Edo yang jauh di Tokyo sana.
Walaupun Jakarta dan Tokyo hanya punya selisih waktu 2 jam, tapi perbedaan waktu itu cukup mengganggu juga. Apalagi Edo juga sibuk dengan lingkungan barunya, kesibukannya di kampus, dan banyak hal lagi yang harus dia urus sebagai mahasiswa baru.
Kalula merasa terabaikan. Pikirannya jadi kemana-mana karena takut Edo makin dekat dengan Erina.
Ia trauma karena pernah diselingkuhi Edo. Dan rasa ketakutan itu membuat pikirannya beracun.
Sore itu setelah berganti pakaian dan bersiap hendak pulang, Kalula menatap handphone-nya dia melihat akun sosial media Erina yang ia ikuti karena mereka saling mengenal saat seleksi dulu.
Kalula melihat kebersamaan 5 kandidat yang lulus beasiswa itu sedang makan bersama di sebuah resto. Rasa iri mengguncang hatinya. Seharusnya ia di sana, di antara mereka.
Mereka mengunggah foto juga beberapa video bersama. Dan dari video itu Kalula melihat Erina dan Edo duduk bersebelahan. Hatinya langsung panas.
Erina juga secara khusus memposting foto selfie mereka berdua yang sedang menikmati makanan. Sungguh ini hanya pertemanan biasa saja. Toh Erina juga berfoto dengan yang lain juga. Tapi hati Kalula terlanjur panas.
Ia mematikan handphone-nya dan berjalan pulang dengan murung. Edward mengikutinya dan terus berusaha sok akrab mengajaknya bicara.
Dengan semua sandiwara Edward, akhirnya Kalula yang kesepian dan sedang dilanda cemburu itu setuju untuk menghabiskan makan malam bersama di warung bakso tempat mereka dulu makan saat pertama kali bertemu.
Padahal sebenarnya tempat itu adalah tempat makan favorit Edo dan Kalula.
"Pacarku jarang mengabari. Katanya sibuk. Tapi aku melihat foto ini. Menurut kamu mereka berteman saja atau ada hubungan lebih? Apa aku terlalu berlebihan ya karena aku cemburu?" Akhirnya Kalula yang sudah mulai terpancing itu curhat dengan Edward.
Edward langsung menatap kecewa.
Oh, ternyata Kalula sudah punya pacar.
Diliriknya layar handphone Kalula. Kalula menunjukkan foto Edo dengan Erina.
"Kayaknya temenan. Tapi kok deketan gini, sih. Kamu yakin mereka nggak ada apa-apa?" Edward justru mengompori dan menghasut Kalula yang sedang galau.
Bersambung ...
Mendengar komentar Edward yang makin membuatnya resah, Kalula langsung kembali menutup handphone-nya dan mematikannya, lalu memasukkannya ke dalam tas.
Bakso favorit yang dulu sering ia makan bersama Edo itu jadi terasa tidak enak. Ia menyingkirkan mangkuk itu dan meletakkan tangannya di pipi.
Kalula melamun dengan sedih. Lalu karena terbawa suasana dan perasaannya sedang tak karuan, Kalula terus curhat soal Edo kepada Edward.
Gayung bersambut. Setiap cerita Kalula soal Edo selalu direspon Edward dengan negatif. Secara tak sadar Edward mulai menghasut, seolah-olah ia menjelek-jelekkan Edo agar Kalula makin mencurigai pacarnya itu selingkuh.
"Aku cuma takut aja sih kalau dia selingkuh lagi," ucap Kalula.
Mereka sedang berjalan-jalan melewati jalanan ramai yang penuh lalu-lalang mobil dan motor itu.
Malam itu cuaca cerah. Gedung-gedung tinggi yang berlampu terang membuat suasana malam menjadi makin indah, tapi tidak indah bagi hati Kalula yang sedang gundah gulana.
"Hah? Edo pernah selingkuh? Ya ampun, Kal. Kok kamu masih mau sama dia?" Edward terus menghasut.
Kalula terdiam. Ia lalu berjalan pelan sambil menunduk. Ia merasa keceplosan dan terlalu banyak bicara. Bagaimanapun ia baru mengenal Edward beberapa minggu. Tapi entah kenapa ia bisa seterbuka ini.
Edo pun juga tidak tahu kalau ia sedang dekat dengan Edward. Ya mereka berteman biasa saja, sih. Tapi biasanya Kalula selalu bercerita soal hal apapun dengan Edo.
Hanya saja akhir-akhir ini mereka sering banyak bertengkar dan rupanya Edo juga mulai kesal karena terus dicurigai. Maka komunikasi mereka jadi terhambat.
"Dia minta maaf. Katanya nyesel. Mungkin aku juga kali yang kurang perhatian sama dia. Waktu itu ayahku lagi sakit. Aku bolak-balik ke rumah sakit berbulan-bulan sampai nggak punya waktu lagi selain sekolah sama urusin keluarga.
Waktu itu Edo lagi sakit juga. Kakinya cedera waktu main basket. Dia dirawat beberapa hari di rumah sakit, tapi sisanya dia izin cuti sekolah sebulan untuk pemulihan. Tantenya yang rawat dia. Aku nggak pernah jenguk dia.
Terus waktu itu teman sekolahku juga yang nabrak dia sampai cedera jenguk dia terus. Dia cewek. Cantik pula. Anak cheerleader. Mereka jadi deket dan cewek itu sendiri yang ngaku kalau mereka saling menyukai.
Aku sedih. Aku marah. Lalu aku minta putus. Bertepatan sama momen itu ayahku meninggal. Aku terpukul dan merasa nggak punya siapa-siapa.
Edo memaksa datang ke rumah menemui aku sambil terpincang-pincang kakinya. Sudah hampir pulih cederanya, tapi harusnya dia nggak boleh keluar-keluar rumah sejauh itu. Dia minta maaf. Mohon-mohon terus.
Ya akhirnya aku maafin sampai sekarang kita udah mau 5 tahun. Kita punya mimpi yang sama. Kita punya latar belakang keluarga yang sama. Kita saling melengkapi. Saling ada satu sama lain.
Aku terlalu sayang sama dia. Makanya aku maafin." Kalula terus bicara sambil menatap langit ibu kota yang gelap tanpa bintang ini.
Edward mengangguk-angguk. Ya, Kalula ini tulus dan setia. Ia merasa Edo tak pantas mendapat kesempatan kedua.
Edward jadi kesal. Sosok Edo yang baru ia kenal lewat cerita Kalula dan foto sekilas tadi membuatnya iri.
Edo dicintai perempuan setulus Kalula. Awas saja Edo macam-macam di Tokyo dan membuat Kalula sedih. Ia akan ikutan marah. Andai saja anak itu di sini, akan ia pukuli anak itu.
Edward termasuk tipe cowok dengan temperamen tinggi dan berapi-api. Ia membatin dengan emosional.
"Tapi yang namanya orang selingkuh itu sulit dipercaya lagi, Kal. Kata orang selingkuh itu seperti penyakit yang nggak ada obatnya. Nggak bisa sembuh.
Ya semoga Edo-mu itu nggak macam-macam, lah. Kalau macam-macam lagi, udah minta putus aja. Jangan makan hati dan mengorbankan diri demi cowok tidak tahu diri," sahut Edward.
Kalula kembali galau. Bukannya ditenangkan tapi Edward malah makin mengomporinya. Lama-lama kata-kata itu merasuki pikirannya. Ya memang perkataan Edward ada benarnya juga. Kalula makin kesal sendiri karena makin mencurigai Edo.
Mereka terus berjalan menjelajahi kota. Edward merasa nyaman. Ingin ia gandeng tangan Kalula yang mungil itu tapi ia tidak berani.
Ini adalah hal baru yang menyenangkan untuknya. Kalula yang hidup sederhana memperkenalkannya dengan banyak hal. Termasuk warung bakso yang enak di pinggir jalan itu.
Ternyata berada di luar dan melihat sekeliling begini membuatnya merasa lebih hidup. Selama ini ia hanya duduk di balik jok mobil mewahnya dan melihat dunia luar dari jendela.
"Kalau kamu sendiri gimana? Kamu punya pacar? Atau pernah punya pacar? Pernah nggak mengalami hal serupa kayak aku?" tanya Kalula.
Edward menanggapi pertanyaan Kalula dengan tertawa pelan. Ia menggeleng.
"Aku nggak pernah punya pacar. Belum tertarik. Aku sulit jatuh cinta," ucap Edward.
Padahal perkataan Edward tidak sepenuhnya benar. Ia menutupi sesuatu dari Kalula.
Dia dulu sempat dekat dengan seorang gadis cantik dari keluarga terpandang. Dan yang paling penting gadis itu adalah anak dari teman mamanya.
Jelas sekali kalau mamanya ingin menyetir jalan hidup Edward dengan menjodohkannya dengan gadis yang ia tunjuk. Mamanya ingin jodoh yang selevel status sosialnya.
Waktu itu Edward merasa oke saja. Ia pikir tak apalah menyenangkan mamanya. Toh gadis itu juga baik dan membuatnya jatuh cinta sungguhan. Tetapi seiring hubungan itu berjalan dan Edward sudah mantap untuk menyatakan cintanya, ia malah dibuat kecewa.
Ia tak sengaja mendengar gadis itu bercakap dengan mamanya yang mengunjunginya ke London.
"Udahlah. Edward itu anak baik-baik. Dan yang paling penting bisnis kita yang terancam bangkrut ini bisa selamat kalau kamu jadian sama dia.
Mama akan lebih mudah merayu mamanya Edward biar dia bantuin kita. Kamu lihat sendiri kan resto kita sudah berapa cabang yang tutup tiap bulan? Kita butuh modal untuk membangkitkan bisnis ini kembali. Nanti lama-lama kamu juga suka beneran sama Edward."
Ya, Edward tertipu. Tidak ada ketulusan seperti yang ia harapkan. Gadis itu mendekatinya karena keinginan mamanya. Demi uang. Demi bisnis keluarganya. Bukan karena tulus mencintainya.
Apa bedanya gadis itu dengan gadis lain yang selalu mengincarnya karena kaya?
Di kalangan atas, hal seperti ini memang bukan hal yang asing lagi terjadi. Pernikahan demi bisnis, perjodohan untuk bisnis. Ya, hal-hal yang terasa lumrah saja.
Tapi Edward ia tak mau seperti ini. Ia bukan boneka. Ia marah dengan mamanya dan pulang dari London.
Ia kecewa pada mamanya yang sebenarnya juga tidak tahu apa-apa soal ini. Papanya yang waktu itu sudah sakit-sakitan menyarankannya untuk pindah kuliah saja.
Edward meninggalkan kuliahnya di London dan memulai awal yang baru di Adelaide. Ia tidak ingin lagi kembali bertemu dengan gadis itu. Bagaimanapun London kota yang cukup kecil dan mereka bisa sering bertemu. Apalagi mereka kuliah di tempat yang sama.
"Masak sih tidak pernah jatuh cinta? Tapi kalau ditaksir orang pasti sering, dong. Kamu kan ganteng, tinggi, keren," ucap Kalula.
Senyum Edward terkembang. Kalula memujinya? Hatinya langsung membumbung tinggi.
"Oh, ya? Serius kamu bilang aku ganteng dan keren? Beneran kamu bilang gitu? Thanks, Kal. Kalau Edo buat kamu patah hati, kamu sama aku aja. Aku akan jatuh cinta sama kamu dengan mudah." Edward menatap Kalula dengan mata jenakanya sambil tertawa.
Kalula ikut tertawa juga dengan bercandaan Edward. Tapi sedetik kemudian wajahnya berubah murung.
"Edward, jangan bilang begitu. Gimana kalau Edo sungguhan ninggalin aku? Dia baru akan lulus dan bisa kembali 4 tahun lagi." Mata Kalula berkaca-kaca.
Situasi langsung berubah. Kalula mendadak melankolis.
"Cuma bercanda, Kal. Jangan nangis. Sini sini." Dan Edward dengan spontan merentangkan tangannya.
Kalula yang air matanya mulai bercucuran membalas pelukan itu. Di bawah gedung pencakar langit ibukota yang gegap gempita bercahaya, pelukan itu bak adegan romantis dalam film.
Ah, kenapa nyaman? Edward adalah lelaki pertama selain Edo dan papanya yang memeluknya sehangat ini.
Perasaan aneh macam apa ini?
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!