Setelah semalaman berpikir, Desri masih saja terlihat kebingungan. Ya, karna dia belum mendapatkan jawaban yang tepat.
"Bagaimana dengan hari ini, ya? Yaa Allah, bisakah aku mendapatkan jawaban dari semua ini, jika aku bekerja lagi untuk hari ini...?" Gumamnya sambil beranjak untuk bersiap ke kantor.
Tidak butuh waktu lama, Desri sudah rapi dengan pakaian kantornya yang terlihat sopan. Desri bergerak ke dapur menemui ibunya dan mengambil satu piring nasi goreng hangat yang telah di siapkan ibunya.
"Kamu sudah siap, Sayang?" Tanya Wiwit tanpa menghentikan aktifitasnya
"Sudah, Bu... Tinggal habisin sarapan enak buatan ibu ini saja." Jawabnya dengan suara yang tidak jelas karena di dalam mulutnya dipenuhi nasi goreng buatan ibunya itu.
"Hmmm... Kamu paling bisa memuji ibu, ya." Ucap ibunya yang entah ke berapa kali. Karena apapun yang di buat dan di lakukan Wiwit, selalu akan dipuji nya.
"Beneran kok, Bu.. Tuh, kan habis, Bu... Sebenarnya Desri mau nambah, tapi takut nggak kuat jalan ke kantor, Bu." Ucapnya cengengesan.
"Ya sudah, Bu, Desri pamit ya... Assalamu'alaikum." Pamit Desri sambil mencium punggung tangan ibunya dan berlalu dengan sedikit berlari ke arah pintu.
"Wa'alaikumsalam, Sayang... Hati-hati ya, Nak." Teriak Wiwit menyahuti pamitan anaknya.
^^^^^
Desri berjalan di bawah pepohonan yang tumbuh menghiasi pinggiran kota. Sesekali matanya terpejam dan tangannya di katup kan seolah tengah memanjatkan harapan dan doa-doa.
Sesampainya di kantor, Desri malah menekuk wajahnya. Sepertinya harapan Desri tak sesuai. Entah apa yang sebenarnya Desri harapkan.
"Des, kamu lagi apa?" Tanya seseorang dari belakangnya dengan sedikit berteriak.
Desri tersentak akibatnya. "Aku mau berhenti, Val." Jawabnya pelan seolah tak bersemangat sambil beranjak meninggalkan mesin print yang ditungguinya sedari tadi.
"Tapi kenapa, Des...?" Tanya temannya lagi dengan nada mulai memelas dan mengikuti Desri seperti anak bebek mengikuti induknya.
"Nggak ada alasan khusus sih, mau istirahat saja." Jawabnya asal tanpa meninggalkan rasa penasaran di benak temannya itu.
"Apa kamu mau menikah?"
"Kamu apaan sih, Rival? Nebak-nebak gitu..." Potong Desri cepat
"Padahal aku mau mengajak dia untuk menikah denganku..." Gumam teman Desri yang ternyata akrab disapa Rival. "Hmmm kapan-kapan saja aku datang ke rumahnya sambil menemui ibunya sekalian." Gumamnya lagi.
*****
"Assalamu'alaikum..." Ucap Desri sambil menyelonong masuk ke dalam rumah dan berjalan kearah ibunya yang tengah duduk di sofa usang ruangan utama.
"wa'alaikumsalam... Loh, kok kamu pulang cepat, Nak?" Tanya Wiwit sambil menerima tangan anaknya yang hendak mencium punggung tangannya itu.
"Desri... Emm... Desri sudah putuskan untuk menerima tawaran wanita itu, Bu..." Ucapnya pelan dengan keyakinan penuh.
"Apa???" Wiwit melongo tak percaya dengan ucapan anaknya.
"Iya, Bu, makanya Desri pulang cepat.. Desri sudah mengundurkan diri dari kantor..." Jelasnya tanpa penyesalan.
"Tapi, Nak..." Ibunya menghempaskan napas kasar sebelum melanjutkan ucapannya.
"Bagaimana mungkin kamu akan menikah dengan laki-laki lumpuh yang belum kamu kenal?"
"Bu, Desri mohon... Desri lelah, Bu.. Ibu pikir Desri tidak tau ibu ketakutan setiap kali mereka datang menagih hutang-hutang kita dengan cara kasar dan mengancam?" Ucap Desri memelas dan mata yang sudah berkaca-kaca. "Bahkan sisa gaji Desri tidak cukup untuk makan kita sebulan setelah membayar angsuran hutang itu..." Tambahnya dengan air mata yang sudah mulai mengalir deras.
Wiwit hanya diam dan tersedu mendengar ucapan putrinya.
"Ayolah, Bu, Desri mohon... Tolong hubungi wanita itu lagi, Ibu... Desri yakin pasti dia meninggalkan nomor teleponnya... Iya, kan, Bu?" Desak Desri penuh isak tangis.
"Tidak, Nak... Jangan lakukan itu, Sayang." Pinta ibunya sambil menggelengkan kepala dengan cepat. "Ibu juga akan bekerja jika itu diperlukan..."
"Nggak, Bu... Ibu nggak boleh bekerja... Ibu tidak boleh kecapean... Ibuuu..." Desri memelas sambil menggenggam erat kedua tangan ibunya.
.
.
.
.
.
Flashback on
Desri mengayunkan langkahnya gontai. Sesekali bibirnya menyunggingkan senyum keterpaksaan ketika ada yang menegurnya.
Sudah seminggu ini dia seperti tak bersemangat setiap pulang bekerja.
"Desriiiii..." Panggil seseorang dengan setengah berteriak dari balik pagar rumah sederhana yang terlihat jauh dari kata mewah.
Desri tersentak dan menghentikan langkahnya dengan gesit sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Eeh, Ibu..." Jawabnya sambil cengengesan dan masih menggaruk tengkuknya itu.
"Kamu lupa dimana rumahmu?" Tanya orang itu lagi yang tak lain adalah ibunya Desri sendiri.
"Nggak kok, Bu... Desri cuma sedikit melamun... Hehe..." Jawabnya menyeringai seperti menahan malu. Desri menghampiri ibunya dan meraih tangan ibunya itu. Ia kemudian mencium punggung tangan ibunya, sudah menjadi kebiasaan Desri jika hendak pergi dan kembali dari mana pun.
"Kamu kenapa, Nak? Apa kamu di kantor ada masalah?" Tanya ibunya keheranan. Beliau akrab disapa Wiwit.
"Nggak kok, Bu... Desri cuma kelelahan saja kok, Ibu.." Elaknya sambil berlalu masuk ke dalam rumah dan di ikuti ibunya dari belakang.
***
"Desri, Deees!" Seru Wiwit setengah berteriak memanggil putri satu-satunya itu dari arah dapur.
"Iya, Buuu...!" Desri menyahuti teriakan ibunya dari dalam kamarnya dan bergegas menuju dapur, dimana Wiwit memanggilnya.
"Ayo kita makan malam bersama..." Ajak Wiwit sambil menyiapkan sepiring nasi yang lengkap dengan lauknya, untuk putri kesayangannya itu.
"Terima kasih, Ibu..." Ucap Desri sambil menerima piring yang di sodorkan ibunya dengan makanan yang telah mengisi piring itu.
"Iya, sayang..." Jawab ibunya sambil tersenyum tipis.
Awalnya mereka makan tak bersuara. Ketika makanan di piring mereka hampir habis, Wiwit memulai percakapan serius dengan putri kesayangannya itu.
"Tadi pagi tidak lama setelah kamu berangkat, Ibu kedatangan wanita paruh baya bersama dua pengawalnya, Nak..." Cerita Wiwit membuka obrolan di meja makan.
"Siapa mereka, Bu..?" Tanya Desri menghentikan suapannya yang hendak masuk ke mulutnya dengan penasaran.
"Ibu juga tidak tau siapa mereka..." Jawab Wiwit dengan tetap melanjutkan suapannya.
"Ada perlu apa mereka kemari, Bu?" Tanya Desri lagi yang sudah mulai menyuap makanannya kembali.
"Dia ingin menjadikan kamu menantunya, Nak..." Jawab Wiwit santai.
"Tapi Desri belum ingin menikah, Bu... Desri masih ingin bekerja. Hutang-hutang kita banyak, Bu." Sergahnya dengan nada penuh penekanan, takut jika ibunya itu telah mengambil keputusan.
Sebenarnya Desri anak yang penurut dan penyayang, tapi karna keadaan yang membuatnya menolak lamaran orang itu. Dua tahun yang lalu sebelum ayahnya meninggal karna tumor ganas yang dialami ayahnya, Wiwit terpaksa harus berhutang banyak dan menjual rumah beserta aset berharga yang ia miliki kala itu untuk biaya pengobatan ayahnya Desri, dan dia hanya bisa membeli rumah kecil yang mereka tempati sekarang.
"Ibu juga tidak ingin menikahkan kamu dengan anaknya, Sayang. Kamu harus menikah dengan laki-laki pilihan kamu." Jawab Wiwit sambil tersenyum.
"Siapapun itu, Ibu, yang penting Desri lunasi hutang-hutang kita dulu." Imbuh Desri seolah tak pilih-pilih pasangan.
"iya, Sayang.. Ibu minta maaf ya, Nak... Ibu telah banyak menyusahkan kamu." Ucap ibu Desri lirih.
"Ibu tidak pernah menyusahkan Desri kok, Bu..." Sahut Desri memelas agar ibunya tak lagi berucap seperti itu.
"Sebenarnya ibu kasihan dengan wanita itu.. Dia seperti memohon kepada Ibu... Bahkan dia menawarkan uang yang sangat banyak melebihi hutang-hutang kita, Nak...."
"Kalau begitu terima saja, Bu.." ucap Desri penuh keseriusan. Ia dengan cepat berubah pikiran setelah mendengar penjelasan ibunya.
"Tapi, Nak..."
"Bu, Desri nggak ada kekasih kok... Lagian laki-laki yang Desri suka tidak akan pernah jadi milik Desri.... Desri siap, Bu..." Potongnya cepat tanpa mendengar penjelasan ibunya terlebih dahulu.
"Bagaimana mungkin Ibu akan membiarkan kamu menikah dengan pemuda lumpuh?" Jelas Wiwit seakan tak rela anaknya menerima tawaran tersebut.
"Lu-lumpuh, Bu...?" Ulang Desri seakan tak percaya.
"Iya, Nak... Wanita itu mengatakan bahwa anaknya lumpuh akibat kecelakaan yang dialaminya minggu lalu. Sementara, tunangannya malah memutuskan ikatan mereka..." Jawab Wiwit sambil mengenang cerita tamunya tadi pagi. "Sedangkan pernikahannya akan di langsungkan tiga minggu lagi, Nak." Tambah Wiwit.
.
.
.
.
.
aduuh... maaf ya... ini perdana soalny.. harusnya bab ini bukan flasback sih... berhubung aku belum paham jadinya episode ini hilang ntah kemana... yaudah jadiin aja episde 2 wkwkwk
Flashback off
Hampir setengah jam Desri menimang sebuah kartu nama di tangannya, namun tak kunjung juga dia menghubungi wanita itu. Ya, kartu nama yang sempat diberikan oleh wanita yang mengunjungi ibunya pagi kemarin. Wiwit hanya memperhatikan tingkah anaknya itu sambil berharap agar anaknya mengurungkan niat untuk menerima tawaran tersebut.
"Nak, kemari lah..." Panggil Wiwit pelan penuh kehangatan sambil menarik pundak anaknya ke dalam dekapannya. "Kamu tidak perlu menjual kebahagiaan kamu, Nak." Ucap Wiwit lagi dengan air mata yang kembali menggenang di pelupuk matanya itu.
"Maafkan Desri, Bu... Desri sebenarnya juga bingung." Ucapnya lirih sambil memeluk ibunya semakin erat.
"Desri harus tetap menghubunginya..." Ucap Desri lagi dengan mantap sambil melepas dekapannya terhadap ibunya itu.
"Tapi, Nak..." Protes Wiwit memelas dan memandangi Desri dengan cemas.
"Tidak apa-apa, Bu..." Ucap Desri menenangkan hati Wiwit.
Desri mengambil ponsel yang sedari tadi terletak di atas meja di hadapannya, lalu mulai menyalin nomor yang tertera di kartu nama itu. Tanpa ragu lagi ia menekan tombol hijau di layar ponselnya itu.
Tut... Tut... Tut...
"Halloo..." Sapa orang dari seberang.
Seketika hening tanpa suara.
"Halloooo..." Kembali dari seberang mengulangi sapaannya.
"I-iya... Hallo.." Desri tersentak dari lamunannya.
"Apa ini Desri...?" Suara dari seberang mencoba menerka kebenaran.
"I-iya, betul saya Desri... Apa tawaran yang Anda sampaikan kepada ibu saya kemaren masih berlaku?" Tanya Desri gugup dan tubuh yang gemetaran.
Terdengar percakapan dari seberang dan Desri hanya mengiyakan. Entah apa itu, hanya Desri yang tahu.
****
"Oh Tuhaaan... Apa ini sebuah kesalahan?" Gumamnya sambil menghempaskan napas dan mengusap wajahnya dengan kasar.
Tidak sampai sejam dari sejak dia menghubungi orang itu, terdengar suara mobil berhenti di depan pagar rumahnya.
Ternyata orang itu ingin menemui Desri rupanya.
"Assalamu'alaikum..." Terdengar suara wanita paruh baya dari luar rumahnya yang turun dari mobil yang baru saja terparkir di depan pagar rumahnya itu.
"Wa'alaikum salam.." Jawab Desri dan ibunya hampir bersamaan. Dan segera menjabat tangan wanita itu sembari mempersilakan untuk masuk.
Wiwit berlalu ke dapur untuk membuatkan minum dan mengambilkan cemilan seadanya.
"Ternyata kamu cantik... Hanya di tambah sedikit polesan saja akan membuatmu lebih mempesona." Ucap wanita itu memecahkan kesunyian di antara mereka kala itu.
"Terima kasih, Bu.." Jawab Desri polos dan masih dengan wajah menunduk.
"Begini, Desri.. Emmm... Pasti ibumu sudah menceritakan kepadamu tentang kedatangan saya kemarin, bukan?" Tanya wanita itu lagi yang hanya disahut anggukan kecil dari Desri.
"Sebelumnya perkenalkan, nama saya Nur...
Begini, kamu hanya sebatas menikah dengan putra saya yang lumpuh. Kamu tidak perlu memikirkan apa pun sebagai istri, karena keluarga kami hanya ingin menutupi malu. Putra saya mengalami kecelakaan minggu lalu, sementara pernikahannya akan di adakan tiga minggu lagi. Untuk beberapa bulan ke depan setelah pernikahan, bersikaplah layaknya seorang istri putra saya di depan keluarga dan kerabat kami. Kemudian setelah itu, kamu boleh menentukan pilihan kamu." Ucap wanita yang bernama Nur itu menjelaskan dengan panjang lebar. "Saya akan memberikan uangnya setelah pernikahan kamu di langsungkan." Tambahnya lagi.
Desri hanya terdiam, bagaimana mungkin sesuatu yang sakral hanya menjadi sandiwara dalam hidupku? Gumamnya.
"Bagaimana, Desri?" Tanya wanita itu sedikit mendesak.
Desri menghela napasnya dalam-dalam. Wiwit memperhatikan putrinya dengan perasaan iba dari balik tirai yang memisahkan ruang itu dengan dapur.
"Baiklah, saya bersedia..." Akhirnya jawaban itu keluar dari mulutnya. Salah satu pengawal wanita itu diam-diam menyunggingkan senyumnya.
kau tidak akan menyesal, Nona~ Batin pengawal itu, seolah-olah ada sesuatu yang di ketahuinya.
Setelah meneguk dan mencicipi hidangan yang dibawakan Wiwit, Nur berpamitan pulang. Desri dan ibunya mengantar sampai ke depan hingga mobil itu tak terlihat lagi.
Wiwit hanya diam memperhatikan putrinya. Ia seakan tak ingin lagi membantah keputusan anaknya itu. Dia rasa sudah cukup menghentikan anaknya itu dari kemarin.
.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!