NovelToon NovelToon

Suami Pilihan Ayah

Part 1

Aku duduk menikmati sarapan seorang diri sembari ku perhatikan suamiku yang sibuk menata rambut di depan cermin besar yang ada di ruang tengah.

Sebelum pergi ke kantor ia memang selalu mematut diri di depan cermin besar itu untuk memastikan penampilannya sudah sesuai seperti keinginannya.

"Ini uang bulanan!" ia mengangsurkan amplop berwarna coklat di meja makan tepat di hadapanku.

Seperti biasa isinya tebal dan menggiurkan. tapi aku tidak peduli.

"Uang yang bulan kemarin masih sisa banyak mas" jawabku sembari mengunyah nasi goreng kesukaanku.

"Kenapa bisa masih tersisa? bukankah hobimu itu belanja dan boros? memangnya kamu tidak membeli gaun-gaun cantik seperti biasanya?!" sindir mas Alan padaku.

Aku memang memiliki beberapa koleksi gaun yang bagus dan hanya ku pakai saat mendampingi mas Alan ke pesta perusahaan atau undangan perkawinan temannya saja. tapi gaun itu aku beli dengan uangku sendiri hasil dari aku mengelola bisnis toko kain milikku.

Aku hanya diam tidak menjawab perkataan mas Alan.

Dengan kesal mas Alan mendekatiku sembari merapikan dasinya.

"Sebenarnya ada apa?! kenapa kamu jadi pendiam dan berubah seperti ini?! biasanya juga kamu banyak bicara"

Aku masih terdiam tidak menjawab omelan mas Alan padaku.

"Baik nanti malam kita bicara!"

Mas Alan terlihat memandangku dengan jengah. "Ayo pak berangkat" katanya pada pak Teddy supir setianya.

Aku masih terdiam lalu ku habiskan nasi goreng di piringku dan segera bersiap untuk ke toko.

Tiga tahun yang lalu ayah menjodohkan ku dengan seorang pria pilihannya. pria itu dari keluarga konglomerat dan terpandang hidupnya.

Kebetulan ayah berhubungan baik dengan papa mertuaku, mereka rekan bisnis sebelum ayahku bangkrut dan sakit-sakitan.

Sebenarnya aku tidak mau menuruti permintaan ayah tapi melihat ayah mengiba dan memohon padaku aku jadi tidak tega dan mengalah memilih menuruti permintaan ayah.

Saat pertama kali aku bertemu mas Alan aku tahu dia orang yang pendiam, tidak banyak bicara, tidak juga ramah. sudah ku kira orang seperti itu pasti egois.

Selama tiga tahun aku jalani hidup dengannya ternyata tebakan ku benar, dia memang pria egois.

Dalam lubuk hatiku aku mencintainya, hatiku luluh pada karisma nya yang begitu besar. ia tampan dan terlihat sempurna. meski secara sikap ia dingin padaku sejak awal pernikahan sampai sekarang.

Hubungan ranjang tetap berjalan selama pernikahan tapi hanya hangat di awal dan semakin kesini semakin hambar.

Mas Alan belum mau memiliki anak jadi yasudah aku memutuskan KB atas keinginannya.

Aku berjalan menuju mobil pemberian mas Alan. ku nyalakan mesin mobil dan bergegas menuju toko milikku.

Setibanya di toko aku melihat Erna sudah merapikan kain-kain di rak tinggi dan ia membersihkan semua kain itu dari debu dengan kemoceng khusus.

"Pagi Bu" sapa Erna begitu melihatku melangkah memasuki toko dan duduk di kursi kerjaku.

"Pagi, apa pesanan kemarin sudah di antarkan Er?" tanya ku padanya.

"Sudah Bu"

Aku mengangguk lalu duduk memandangi komputer di hadapanku. layar komputer memperlihatkan deretan data kain yang masuk dari supplier .

Aku termenung sesaat memikirkan mas Alan. perubahan sikapku yang memancing kemarahannya bukan tanpa sebab.

Dua hari yang lalu aku membaca pesan di ponselnya. pesan itu dari Larisa mantan kekasih mas Alan.

[Mas kamu sudah pulang kerja? jangan lupa makan ya terus jangan makan yang pedas nanti mag nya kambuh]

Begitu bunyi pesan yang aku baca di awal lalu ada pesan ke dua yang membuat hatiku hancur.

[Oh ya mas cincin berlian yang kamu kirimkan untukku kemarin sudah aku pakai, pas dan bagus di jari ku]

Rupanya kedua sejoli itu masih berhubungan di belakang ku. aku kira cerita masalalu mereka sudah usai ternyata aku salah besar. cinta mereka malah terlihat semakin subur.

Part 2

Siang itu ku tinggalkan toko dan aku duduk di bangku taman menenangkan diri setelah seharian ini aku tidak bisa berkonsentrasi bekerja. ku tahan amarahku yang bergejolak di dalam hati.

"Tari?" sebuah sura membuyarkan lamunan ku.

Mas Alan tiba-tiba saja muncul di hadapanku entah kebetulan atau ia sengaja mencari ku di toko dan tidak menemukanku.

"Kog mas tahu kalau aku disini?"

"Dari siapa lagi memangnya?" jawabnya ketus.

Sudah pasti dari Erna pegawai di toko ku. aku tersenyum samar tapi tetap diam membisu. Mas Alan memandang wajahku dengan kesal.

"Sebenarnya kamu kenapa Tari?! jangan membuatku bingung seperti ini!"

"Aku tidak apa-apa, bukankah mas lebih senang kalau aku diam dan tidak cerewet seperti biasanya?!"

Dia memang sering mengataiku cerewet, manja, hobi belanja dan segudang keburukan lainnya.

Mas Alan membuang napas kasar, ia seolah tidak mau duduk di bangku taman itu karena takut jas mahalnya kotor.

Aku sengaja duduk berlama-lama dan tidak menghiraukannya.

"Ayo kita pulang, kita bicara di rumah"

"Aku tidak mau mas, tidak ada yang perlu di bicarakan"

"Menurutku perlu Tari, aku mau tahu perubahan sikapmu ini dari mana atau kamu sedang kesambet apa?"

"Maaf mas aku harus kembali ke toko masih banyak pekerjaan" kataku sembari meraih tas tanganku dan berjalan meninggalkan Mas Alan yang semakin kesal padaku.

Melihat Mas Alan aku jadi teringat pesan singkat dari Larisa untuknya. aku kesal bukan main karena di belakangku ia bermain api. kalau saja ia terang-terangan padaku meminta pernikahan ini berakhir aku akan setuju. toh diantara kami hanya aku yang jatuh cinta padanya.

"Bu tadi ada pak Alan kemari nanyain ibu"

"Iya Er saya sudah bertemu" jawabku sembari menarik kursi dan duduk manis di depan komputer.

Aku mencari kesibukan agar tidak perlu pulang lebih awal karena sedang malas berada di rumah.

Drtttt ..drrrt...

Ponselku berbunyi ada panggilan dari ayah.

"Halo iya ayah?"

"Tari kapan pulang? kog kamu nggak datang menjenguk ayah?" suara ayahku di telepon terdengar parau. ku ingat wajah sepuhnya kini yang terlukis di benakku.

"Iya yah besok ya Tari akan pulang jenguk ayah"

"Sama suami mu kan?" tanya Ayah.

Aku terdiam sejenak, aku tidak tahu apakah mas Alan mau ikut ke rumah ayah atau tidak karena ia pasti sekarang sedang kesal padaku.

"Mas Alan kan sibuk di kantor yah, nanti kalau sempat Tari akan ajak mas Alan"

"Yasudah, ayah tunggu ya Tari"

Telepon dimatikan, aku menghela napas perlahan. ayahku memang sudah sepuh dan tinggal di rumah bersama ibu sambungku.

Aku anak tunggal dan kebetulan setelah menikah suamiku langsung membawaku ke rumah baru kami. kata suamiku tidak nyaman jika tinggal ikut orang tua.

Aku melirik jam tangan lalu memutuskan pulang ke rumah. Erna sudah pulang lebih dulu karena jam kerjanya dari jam sembilan sampai jam empat sore. sekarang sudah jam lima sore, pasti mas Alan sudah berada di rumah.

Dengaan ragu aku segera tancap gas untuk pulang. ku amati jalanan sore yang ramai lalu lalang dengan para pekerja kantoran yang baru saja pulang.

Dulu mas Alan sempat menawariku bekerja di perusahaannya tapi aku tidak mau. karena terikat jam kerja dan aku merasa bekerja kantoran bukan passion ku.

Tidak terasa mobilku sudah sampai di halaman rumah. aku lirik mobil mas Alan yang sudah terparkir dan sedang di bersihkan oleh pak Teddy.

"Sore Bu baru pulang?" sapa pak Teddy sembari membersihkan mobil agar terlihat selalu mentereng seperti pemiliknya.

"Sore pak, saya masuk dulu ya" kataku pada pak Teddy.

"Silahkan buk"

Aku memasuki ruang utama rumah besar kami.

"Tari!" suara Mas Alan terdengar memanggil begitu aku membuka pintu rumah.

"Iya mas"

"Kita bicara sebentar di samping" Mas Alan memegang secangkir latte sembari berjalan menuju halaman samping rumah yang asri dan bersih.

Aku sempat memandangi penampilan mas Alan yang selalu rapi meski di rumah. sore itu ia mengenakan kaos oblong hitam dan celana kain yang juga berwarna hitam. ku pandangi dari belakang kulit lehernya yang terlihat putih bersih.

"Duduk" perintahnya sembari melihat wajahku dengan ekspresi datar.

Aku duduk di hadapannya di kursi rotan sembari memandangi tanaman hijau dan mengalihkan pandanganku dari wajah tampannya.

"Sekali lagi mas tanya sama kamu ada apa sebenarnya? sikap mu ini tidak biasa Tari!"

Aku meliriknya tajam dan menahan air mata yang hampir menganak sungai di pipiku.

Part 3

Mas Alan masih memandangku dengan kesal. dia memang selalu tidak bisa lembut dan romantis padaku sejak kami menikah.

"Katakan Tari ada apa?! jangan membuatku semakin kesal!"

"Aku sudah tahu kalau kamu main belakang dariku mas!" kataku sedih.

"Main belakang apa?!"

"Kamu pikir aku belum tahu tentang hubungan kalian mas?!"

"Kalau bicara yang jelas Tari jangan berputar-putar, aku pusing mendengarnya!"

"Mas dan Larisa masih berhubungan sampai sekarang bukan?" tanya ku getir.

Mas Alan terdiam kini wajahnya sedikit panik.

"Sudahlah Tari bukankah aku sudah bilang kalau Larisa cuma masalalu ku?! kmu hanya salah paham saja"

Mas Alan melangkah pergi ke kamar. aku tahu dia sengaja menghindari serentetan pertanyaan dariku.

Lihat saja mas, aku akan mencari tahu soal wanita itu lalu aku akan melabraknya!

aku kesal setengah mati.

🌵🌵🌵

Keesokan paginya mas Alan sudah sarapan lebih dulu, ia langsung berangkat ke kantor dengan pak Teddy.

Aku menyendok nasi dengaan malas di piringku. hari ini aku tidak ke toko karena akan ke rumah ayah sementara mas Alan belum ku beritahu jika aku akan berkunjung ke rumah ayahku.

Selesai sarapan aku langsung berganti baju dan merias wajahku agar terlihat segar dan bahagia. aku tidak mau ayah sakit karena memikirkan ku.

Aku bergegas menuju rumah ayah yang berjarak satu jam dari rumah ku. ponselku terus berdering ada panggilan telepon dari mas Alan.

"Halo, ya mas?!" jawab ku ketus.

"Kamu dimana?! kenapa tidak ada di toko?"

Pasti mas Alan menelpon pegawai ku Erna dan aku tidak ada di toko kain milikku.

"Aku di jalan mau ke rumah ayah" jawabku datar.

"Ke rumah ayahmu? kenapa tidak bilang kalau mau kesana?"

"Untuk apa? bukankah mas sibuk di kantor?" sindir ku.

Aku tahu mas Alan hanya menganggap mengunjungi ayahku adalah sebuah tugas. papa mertuaku sudah berpesan agar mas Alan menjaga silaturahmi antar keluarga dengaan baik. ia selalu saja patuh pada papanya karena takut tidak di bagi warisan.

"Maaf mas aku sedang di jalan nanti saja berdebatnya" aku menutup telepon dan menambah sedikit kecepatan mobilku. tidak berapa lama aku tiba di rumah ayah.

Rumah yang ayah tempati sekarang adalah rumah kuno bergaya Belanda warisan dari nenekku dulu. sementara rumah mewah kami sudah terjual untuk membayar hutang saat usaha ayah bangkrut.

Ku parkir mobilku di halaman dan berjalan perlahan memasuki teras rumah yang asri.

"Eh Tarina, ayo masuk ayah sudah menunggu dari tadi" kata ibu Nani dengan ramah seperti biasanya. ibu Nani ini adalah ibu sambung ku yang jauh dari drama ibu tiri kejam. ia malah menyayangiku seperti anak kandungnya sendiri. selama menikah dengan ayah ku Bu Nani tidak memiliki anak.

"Iya Bu, ibu sehat?" tanya ku pada Bu Nani seraya ku rangkul dan ku peluk bahunya dengan hangat.

"Alhamdulillah sehat, itu ayah"

Ayah bangkit dari duduknya berdiri dengan tongkat klasik menopang tangannya.

"Tari! ayah kangen kenapa lama sekali tidak pulang?"

"Maaf ayah Tari sibuk akhir-akhir ini, toko juga sedang ramai"

"Syukurlah kalau bisnis mu berhasil Ayah ikut senang" aku memeluk ayahku yang badannya sudah terlihat ringkih.

"Mana Alan?" tanya ayah, ibu Nani melirikku seolah ingin mempertanyakan hal yang sama.

Ayah masih memandang wajahku, ia seolah menelisik apakah ada masalah antara aku dan suamiku.

"Mas Alan sedang ada meeting yah jadi tidak bisa ikut"

"Oh begitu, yasudah tidak apa, ayo kita makan ibumu sudah masak makanan kesukaan mu Tari"

Aku tersenyum dan mengikuti langkah ayah menuju meja makan.

Di atas meja kayu dengan cat coklat mengkilat itu tersaji beberapa hidangan seperti sob buntut, sambal goreng lengkap dengan kerupuk udang dan beberapa camilan kesukaanku.

Tidak berapa lama terdengar suara seseorang memberi salam. Ibu berjalan membuka pintu.

"Nak Alan ayo masuk, kita sedang makan" kata Bu Nani.

Aku sedikit terkejut melihat mas Alan menyusul ke rumah ayah.

"Alan ayo duduk kita makan bersama" kata Ayah sumringah.

"Iya yah, maaf tadi Alan ada meeting dulu jadi kesini tidak bareng dengaan Tari"

"Oh tidak masalah nak Alan, yang penting sekarang kita berkumpul nanti kita main catur ya?" tanya ayah.

Mas Alan melirikku, sembari menyendok makanan ke mulutnya. ada sedikit rasa canggung yang terlihat diantara kami berdua. sesekali ayah melihatku tapi beliau tidak bertanya apapun.

Selesai makan aku melihat-lihat bekas kamar ku dulu yang ada di rumah ayah. aku duduk di tepi ranjang terdiam memandang ke luar jendela yang terbuka.

"Tari setelah ini mari kita bicara" mas Alan mendekatiku. ia duduk di sampingku.

"Apa yang mau di bicarakan mas?!"

"Kamu jangan seperti anak kecil begini Tari!"

Lagi-lagi mas Alan mengataiku seperti anak kecil, kalau dulu aku tidak tersinggung dengan perkataannya itu tapi sekarang rasanya perkataan itu sungguh menyakitkan bagiku.

"Sejak dulu mas memang menganggap ku kekanakan bukan? manja, tidak dewasa dalam menyelesaikan masalah dan segudang sikap negatif ku lainnya!"

Wajah mas Alan jadi masam mendengar perkataan barusan. ia mungkin tidak akan menyangka jika aku berani berkata demikian padanya.

tuk...tuk...

"Tari....Alan..." terdengar suara ayah memanggil kami.

Segera ku sapu air mataku dan kembali memasang senyum ceria, begitu juga mas Alan ia nampak biasa saja seolah tidak ada permasalahan diantara kami.

Untuk hari ini kami gencatan senjata dulu karena sedang berada di rumah ayahku. tapi untuk perempuan bernama Larisa aku akan tetap mencari tahu dan memperingatkannya agar tidak mengganggu rumah tanggaku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!