NovelToon NovelToon

The Hidden World

Prolog

Hening. Malam hari terasa sangat sepi. Tidak ada satupun suara jangkrik yang terdengar. Seolah semua suara dalam hutan ini dibungkam oleh hutan sendiri. Aura hutan yang menyeramkan ditambah keheningan malam membuat sesuatu itu semakin berputar. Jika terus seperti ini aku tidak akan tahan.

Aku dan beberapa temanku berkemah di sebuah hutan yang jauh dari rumah, tepatnya hutan diluar kota. Meski posisi hutan agak sedikit berbeda dengan di peta, namun suasa hutan ini terasa cocok bagi kami yang memang sedang mencari suasana baru untuk berpetualang.

Entah apa yang pernah terjadi di hutan ini, tapi aku seperti tidak bisa merasa tenang mulai dari ketika aku menatap tubuh hutan. Perasaan seolah hutan juga sedang balik menatapku.

Tiba-tiba dari belakangku aku merasakan sesuatu datang. Aku menoleh, memperhatikan dengan seksama semua yang berada di belakangku. Tidak ada apapun. Aku melangkah masuk ke dalam tenda. Disini juga tidak ada. Hanya barang-barangku, seli, dan Layla yang ada di sini. Tapi jelas-jelas tadi aku merasakan kehadirannya. Aku melihat keluar jendela tenda. Dari kejauhan ada sesosok bayangan hitam. Bayangan itu terlihat samar sekali kemudian tertelan oleh kegelapan. Aku menarik napas dalam-dalam. Mungkin hanya halusinasiku saja. Mungkin aku hanya kelelahan. Yah, hanya kelelahan.

“Lina! Cepat keluar! Jika tidak kamu tidak akan kebagian ikan bakar!” Seli yang berada di dekat api unggun berteriak padaku. Aku bergegas keluar tenda, berkumpul dengan yang lainnya.

“Hei, kamu kenapa? Kayak orang baru lihat hantu, tahu! Terus muka kamu pucat amat! Kamu sakit?” Seli terlihat khawatir padaku. Seli dan Mery adalah sahabat baikku, bahkan sifat mereka tidak jauh berbeda. Yah, mereka adalah couple yang usil dan mengganggu.

Aku menggeleng, “Tidak. Aku hanya kelelahan.”

“Tadi pagi saja sebelum berangkat kamu sudah capek duluan.” Arthur berunar dengan kondisi mulut yang penuh dengan ikan bakar. Dia menyantapnya dengan begitu lahap.

“Nih, makan dulu. Nanti pasti baikan.” Arthur menjulurkan satu ikan bakar padaku. Mulut ikan itu ditusuk dengan bambu yang sudah dipotong kecil. Aku mengambil ikan panggang itu. Rasanya enak.

Arthur adalah siswa yang berada sekelas denganku. Sebenarnya kami semua memang teman sekelas. Arthur memiliki sifat yang lebih parah dari couple yang usil dan mengganggu, karena dia selalu menempel padaku.

“Siapa yang membawa ikan ini?” Aku bertanya dalam keadaan mulut penuh dengan daging ikan. Aku tidak bisa berhenti menyantap daging yang lembut dengan rasa asin pas seperti ini. Sekarang aku tahu kenapa Arthur memakan ikan bakar sampai seperti itu.

“Kamu tidak tahu? Tadi ada kakek-kakek ke sini. Dia bilang rumahnya juga berada di hutan ini. Awalnya aku ragu. Mana ada yang mau tinggal di sini? Tempat ini sangat menyeramkan jika hanya ditinggali seorang diri. Tapi kakek itu sangat berani karena bisa tinggal di hutan seperti ini. Dan dia kakek yang sangat baik. Dia memberikan semua ikan ini dengan cuma-cuma.” Percy menjelaskan dengan pelan dan lembut. Arthur melotot padanya. ‘Seharusnya aku yang mengatakan itu’ seolah kalimat itulah yang terlontar dari ekspresi wajahnya.

Percy Ericson, seorang lelaki kurus tinggi dengan kacamata bundar yang selalu bertengger di ujung hidungnya. Tidak lupa juga dengan rambut cokelat yang selalu tertata rapi. Seharusnya memang seperti inilah penampilan seorang pelajar yang teladan, kan?

Aku menelan ludah. Kakek-kakek? Apa benar akan ada orang yang tinggal di sini? Seorang diri? Lansia? Yang benar saja! Tidak ada sumber kehidupan di sini. Aku tidak melihat danau, laut, atau apapun itu. Bahkan pohon-pohon di sini saja tidak ada yang berbuah satupun. Sesuatu itu semakin berputar dan berbenturan.

Aku menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. Ada sesuatu yang putus. Ada sesuatu yang salah. Sesuatu berdengung di telingaku. Apa ini?

“Lin?!” Arthur lembut menyentuh bahuku. Aku terperanjat. Napasku tersengal. Secara tidak sadar aku memeluk Arthur yang berada di sampingku.

“Hei?!” Arthur mendekap kepalaku dengan telapak tangannya. Entah kenapa aku menangis.

“Lina?” Seli yang berada di sisi lain semakin khawatir. Teman-temanku yang lain juga mulai mendekat.

“Bawa dia ke tenda! Biarkan dia beristirahat.” Liya berseru pada Arthur. Tatapannya yang tajam membuat Arthur tak bisa berkata-kata lagi. Dia adalah satu-satunya dari sekian banyak temanku yang bersikap dewasa dan bisa diandalkan.

Arthur mengangkat tubuhku. Entah kenapa lengannya yang keras terasa lembut menyentuh kulit dari balik pakaianku. Hangat dan nyaman. Setelah itu aku tidak mengingat apapun lagi.

⍟┈⛧┈┈•༶»»✧༺❖༻✧««༶•┈┈⛧┈⍟

Salam dari penulis buat para readers!

Novel ini masih dalam tahap revisi dan akan author lakukan satu persatu. Novel 'The Hidden World' juga memiliki another version dalam judul 'Curse of the Abyss' yang masih belum author upload.

Curse of the Abyss

Dalam novel ini ada pengurangan karakter. Jika di THW MC-nya adalah Lina dengan sudut pandang orang pertama, maka di COTA MC adalah Arthur dengan POV author alias sudut pandang orang ketiga. Mysteri yang disajikan juga akan sangat jauh berbeda. Penempatan nama setiap karakter juga mengalami sedikit perubahan.

Novel COTA dibuat khusus untuk pembaca pria karena menggunakan bahasa yang sedikit berat, berbeda dengan THW yang bahasanya sangat ringan.

Intinya selamat membaca dan selamat menikmati!

Bab 1 Muncul Keanehan

Dimana aku? Gelap. Aku tidak bisa melihat apapun. Aku menengadah, mengembuskan napas melalui mulutku. Seiring dengan napasku aku melihat gelembung yang naik ke atas. Aku menunduk dan mendapati kegelapan yang tak berdasar. Aku melayang? Tubuhku terasa berat dan dingin. Dimana ini? Aku kembali mengembuskan napas dan disaat bersamaan gelembung-gelembung kembali terlihat naik. Air? Apa aku di dalam air? Dadaku sesak, sakit, aku tidak bisa bernapas. Tidak ada udara. Siapa saja, tolong aku! Tubuhku tenggelam semakin dalam.

Aku terperanjat, terjaga dari tidurku.

“Lina? Kamu baik-baik saja?” Arthur menggenggam tanganku.

“Tentu saja tidak, Ar. Lihat bagaimana dia bermandi keringat!” Layla menjulurkan sapu tangan padaku. Aku mengambilnya dan mengusap keringat di wajah dan leherku. Apa itu mimpi? Hanya sebuah mimpi? Aku memegang dadaku. Tapi semua itu terlalu nyata sebagai sebuah mimpi. Apa yang aku lihat, apa yang aku rasakan, semuanya terlalu nyata.

“Pukul berapa sekarang?” Aku memegang keningku. Arthur melihat jam di tangannya.

“Setengah dua belas.”Arthur menjawab dengan cepat.

“Hah?!” Aku melongo. Setengah dua belas?

“Baru juga sadar, sudah bisa berekspresi seperti itu.” Arthur bangkit, meletakkan lampu senter di meja.

“Aku akan tidur. Layla dan Seli, aku serahkan Lina pada kalian.”

“Lalu kamu enak tidur sedangkan kami disuruh menjaga Lina? Begitu?” Seli berseru keberatan.

“Kalau begitu aku tidur di sini, kalian tidur di tenda sebelah.” Arthur melipat lengan.

“Kamu tidur di sini?” Seli menunjuk ke bawah. Arthur mengangguk.

“Berdua?” Seli menautkan alis. Arthur mengangguk sekali lagi.

“What? Kalian akan tidur berdua dalam satu tenda? Hah? Buuuaaahayaaaa!!!” Seli melotot.

“Aku tidak bisa mempercayakan Lina pada orang sepertimu. Sungguh!” Seli geleng-geleng kepala. Arthur

menatapnya heran.

“Memang kenapa? Kami hanya tidur, 'kan?”

Seli menepuk jidat. “Kurang-kurangi sifat sok polosmu itu. Aku tahu kamu mengerti maksudku.”

“So?” Arthur semakin mengeratkan kerutan di dahinya.

“Tidak jadi, deh!” Seli tersenyum penuh paksa. Aku terkekeh, menoleh pada Layla. Wajahnya sangat jelas mengatakan bahwa dia benar-benar tidak mengerti arah pembicaraan ini. Wajah polos yang sebenarnya.

“Jadi bagaimana? Aku yang akan menjaga Lina atau kalian?” Arthur menatap Seli, menantangnya. Seli menyipitkan mata.

“Heh, kunyuk. Kamu itu—emmm. Terserah! Aku menyerah!” Seli menggelar kasur gulung disampingku.

“Terserah? Oke, aku tidur di sini dengan kalian.” Arthur kembali berjalan memasuki tenda. Seli yang tadinya sudah bersiap tidur dengan selimut hangat tiba-tiba terperanjat bangun, memelototi Arthur.

“Apa lagi?!” Arthur menatap Seli gemas.

“Enak saja kamu, ya. Main tidur di tenda gadis. Pergi!” Seli menghardik.

“Ampun, Mak. Iya, iya, aku keluar dari rumah, Mak. Tapi jangan coret nama aku dari KK, ya!” Arthur nyengir lebar. Mengacungkan jari tengah dan jari telunjuknya membentuk huruf “V”.

“DASAR BIAWAK!! SETAN!!!” Seli melempar bantal pada Arthur.

“Ampun, Nyaii!!” Arthur tertawa, berlari keluar tenda.

“Tadi kunyuk, habis itu biawak, terus setan. Yang benar yang mana?” Layla menatap Seli penuh tanya.

“SEMUANYA!!” Seli melotot.

“Goodbye, good night. Jangan ganggu lagi! Berani ganggu hilang pala kau!” Seli merebahkan tubuhnya, menarik selimut. Layla menatapku. Aku menggeleng.

✧༺❖༻✧

Sinar matahari menyeruak masuk ke dalam tenda. Menyilaukan mata. Mataku mengerjap-ngerjap, menoleh. Aku mendapati Arthur yang sedang tertidur di sebelahku.

“Heh?!”

“HEH?!”

“HEEEEH?!!!” Aku terperanjat. Tanganku spontan menampar Arthur. Dia juga ikut terperanjat, terduduk.

“Ya ampun, Lina!” Arthur mengelus-elus dada, menggeleng.

“Kenapa kamu tidur di sini?” Aku melotot.

“Tanyain saja sama Seli, dia yang nyuruh!” Arthur mendengus. Aku beranjak keluar tenda, memeriksa keadaan. Oh Tuhan, aku benar-benar ditinggalkan berdua dengan Arthur. Lihatlah! Tidak ada Satu orangpun di sini.

“Astaga! Mereka benar-benar kelewatan!” Aku menggeleng kepala. Tidak lama kemudian, aku melihat batang hidung mereka dikejauhan. Aku mendengus.

Arthur menyusul keluar tenda, menguap panjang, mengacak-acak rambutnya yang memang sudah berantakan.

“Itu mereka!” Ujar Arthur sambil menguap.

“Masih ngantuk?” Aku mengangkat alis. Arthur menggeleng.

“Hai, Lina!” Layla tersenyum. Demi melihat senyum itu wajahku berubah masam.

“Kenapa?” Mery bertanya sambil meletakkan ember di dekat bekas api unggun semalam.

“Keterlaluan kalian!”

“Lha? Kok?” Harry menatapku bingung.

“Bisa-bisanya kalian meninggalkan aku sendirian.”

“Terus aku setan? Ya ampun, Lin!” Arthur melotot.

“Ya kamu juga! Ngapain tidur di tenda cewek?” Aku balas melotot. Arthur memalingkan wajah.

“Aku yang nyuruh!” Seli menimpali. “Kasihan kalau kamu ditinggal sendrian. Kalau-kalau nanti ada yang nyulik gimana?”

“Ya tapi, ‘kan tidak harus si biang rusuh ini!” Aku mendengus.

“Biang rusuh kata kamu?!” Aku menautkan alis.

“Sudah! Jika kalian tidak mau berhenti, lebih baik kita pulang!” Liya menengahi. Aku berdecak.

“Terus kalian dari mana?” Aku menatap ember hitam yang dibawa Mery tadi.

“Kami memancing.” Mery nyengir lebar.

“Hah?! Memancing?” Aku melongo tidak percaya. Mery mengangguk.

“Sekarang aku tahu dari mana kakek itu mendapatkan ikan. Ternyata di sini ada danau yang lumayan besar dan banyak ikannya.” Percy membetulkan posisi kacamatanya.

“Danau? Yang benar saja! Di tempat seperti ini?” Aku menggeleng.

“Aku rasa kita perlu menjelajahi tempat ini.” Nana memberi saran.

“Aku setuju. Pasti akan ada banyak hal menarik yang menunggu untuk ditemukan.” Liya menatap dahan-dahan pohon yang menjulang tinggi.

Aku menggeleng. Perasaanku sangat tidak nyaman. Firasatku mengatakan kalau menjelajahi hutan ini adalah ide yang buruk.

“Kenapa?” Mery menatapku tidak mengerti. Aku menghela napas.

“Jika kalian memang ingin pergi, silahkan! Tapi aku akan tetap di sini!” Aku dengan tegas menolak ajakan mereka.

Hutan ini terasa seperti hutan tubuh Dryad yang selalu mengawasi kami. Aku tahu, berpisah seperti ini bukanlah hal yang tepat. Tapi, aku juga ingin menghentikannya. Menghentikan mereka supaya tidak pergi terlalu jauh dan tenggelam di dalam hutan.

"Liya, bukankah lebih baik kita tetap bersama sampai besok? Kita baru sampai kemarin, setidaknya istirahat dulu untuk sekarang."

"Apa maksudmu? Justru karena kita sudah sampai dari kemarin kita harus menjelajah hari ini. Kita berkemah memang untuk ini, 'kan? Waktu kita juga tidak banyak."

"Tapi, Seli—"

"Aku setuju dengan Seli."  Percy berjalan mendekati kami sambil menguap.

"Percy, kamu mau ikut?" Mata Seli berbinar mendengar Percy setuju dengannya.

"Ya! Aku akan ikut. Tapi aku tidak mau Arthur juga ikut. Dia orang yang sangat merepotkan!"

"Siapa juga yang mau ikut?! Mending disini sama Lina daripada sama orang muka datar modal tampang doang!" Arthur memonyong bibir, mengejek Percy yang sangat jarang berekspresi.

"Aku juga akan tetap disini. Harus ada yang bisa mengatur anak keras kepala." Layla melirik ke arah Arthur yang sedang berada tidak jauh dariku.

"Ya..ya.. Terserah kalian saja!" Arthur membuang muka masamnya.

Bab 2 Kota Tua

Lengang. Malam ini mereka benar-benar pergi berjelajah. Tapi, tidak semuanya. Ada Nana, Layla, dan Arthur yang menemaniku.

“Huh!” Aku mendesah. Bahkan Seli sekalipun ikut pergi. Menjelajah memang sangat menggiurkan, aku saja sangat ingin pergi. Tapi, firasatku berhasil membungkam ambisiku.

Mereka sudah pergi berjam-jam yang lalu. Sekarang sudah pukul Sembilan malam dan mereka tidak kunjung datang. Aku mulai khawatir.

“Apa sebaiknya kita menyusul mereka? Bukannya aku tidak takut, hanya saja aku merasa khawatir. Kita tidak pernah datang ke tempat ini dan walaupun kita memang menemukan sesuatu yang unik di dalam hutan ini kita juga tidak tahu apakah itu berbahaya atau tidak.” Nana menatapku was-was.

Dia ada benarnya. Mungkin firasat ini hanya perasaanku saja karena baru kali ini aku jauh dari rumah dan berada di tempat asing yang menyeramkan. Sudah saatnya aku keluar dari tempat yang mengunciku sekarang.

“Yosh!” Aku berdiri. “Kita akan menyusul mereka. Kita memang tidak seharusnya terpisah seperti ini.”

“Baru sadar, Non?” Arthur mengernyitkan dahi. Aku melambaikan tangan.

“Kalau begitu aku akan mengambil senternya!” Layla berjalan menuju tenda.

“Jangan lupa baterainya.” Arthur mengingatkan. Layla memang membawa bebtapa senter dengan daya baterai. Sekitar sepuluh senter. Tiga diantaranya sudah dipinjam Seli, Harry, dan Percy. Jadi tersisa tujuh senter lagi.

Layla keluar tenda membawa empat senter dan dua puluh baterai. Setiap dari kami mendapat lima buah baterai. Layla menjulurkan senter dan baterai pada kami. Aku menarik napas, berjalan di depan.

Beberapa ratus meter jarak kami dengan tenda, suasana di hutan ini sudah sangat berbeda. Dahan-dahan pohon yang menjulang tinggi seperti makhluk yang siap menangkap kami.

“Apa hanya aku yang merasa merinding?” Arthur memegang leher belakang, menatap sekitar. Aku tidak mengacuhkannya.

Orang yang tidak merasa merinding saat berada di hutan ini aku rasa dia bukanlah manusia. Bayangkan saja jika ada orang yang merasa ‘biasa saja' di hutan gelap dengan pohon-pohon tinggi tanpa suara hewan satupun. Jangankan suara hewan, bahkan aku tidak merasakan adanya angin di hutan ini.

Semakin kami memasuki hutan, aku merasa oksigen semakin menipis. Aku mulai sesak napas. Pandanganku pun mulai kabur. Samar-samar aku melihat seorang anak kecil berlari menuju kami. Gaun putihnya terlihat sangat kumuh. Kulitnya yang putih tertutup debu tebal. Rambut merah keritingnya sangat lebat dan kusut. Anak kecil itu memegang pergelangan tanganku. Aku tersentak, reflek mendorong anak kecil itu hingga dia terjatuh.

“Lina!” Layla memegang bahuku, menggeleng, bergegas menolong anak itu.

“Siapa namamu?” Nana ikut mendekat. Gadis itu berdiri, berlari menjauhi kami.

“Lihat, dia jadi takut!” Arthur menatapku datar.

“Itu hanya reflek. Aku hanya terkejut.”

“Kamu terkejut dengan anak kecil semanis itu?” Arthur menatapku heran. Aku terbungkam. Aku tidak merasa kalau aku salah. Aku hanya terkejut karena aku merasa dia tidak seperti manusia pada umunya.

Kami kembali berjalan menelusuri hutan sampai kami tiba di tempat yang tidak lazim. Wilayah ini seolah terbagi. Rumput hutan yang lebat terbagi dengan tanah yang gersang. Seperti dua dunia yang jauh berbeda. Di depan kami terdapat bangunan seperti kota yang mungkin sudah ditinggalkan. Kami bisa melihat bahwa tanah-tanah di sana terhembus angin yang lumayan kencang. Sedangkan di tempat kami berdiri, di atas rumput lebat, kami tidak merasakan angin sedikitpin.

“Bukankah ini terlihat sedikit aneh?” Arthur memiringkan kepala.

“Bukan sedikit aneh, tapi sangat aneh.” Nana lamat-lamat menatap 'dunia lain' di depan kami sampai tidak berkedip. Aku terpaku menatapnya. Perasaan antara kagum, takut, dan bingung. Aku menelan ludah. Ternyata firasatku memang benar.

Aku melangkah melewati batas, menginjakkan kaki di tanah gersang. Udara di tempat ini berbeda. Auranya jauh lebih ringan, namun keberadaan oksigen di sini juga sama sedikitnya.

“Apa kamu Lina?” Arthur berseru di belakangku. Aku menoleh, menyipitkan mata. Arthur menggaruk kepala belakang.

“Aku pikir saat melewati batas ini siapapun akan berubah menjadi sesuatu yang baru.” Arthur menyeringai. Aku tetap menatapnya tidak berkedip.

“Sudah kuduga! Kamu bukan Lina. Lalu siapa kamu?”Arthur melangkah mundur. Nana dan Layla melangkah

menyusulku.

“Raja drama banget, sih! Kalau masih mau drama kami tinggal.” Nana melangkah duluan, disusul aku dan Layla. Arthur mendengus. Tidak ada pilihan lain selain berhenti berdrama.

Aku rasa kota ini sudah puluhan atau bahkan ratusan tahun ditinggalkan. Beberapa bangunan bertingkat hancur dan beberapa lagi masih berdiri. Jendela kaca sudah hancur. Aku tidak pernah tahu kalau ada kota seperti ini di tengah hutan. Dan apa yang terjadi dengan kota ini? Kenapa kota ini ditinggalkan?

Kami terus berjalan menyusuri bangunan kota tua. Ada beberapa bekas tembakan di tembok bangunan. Apa di kota ini pernah terjadi perang? Mataku menyapu setiap sudut kota, sampai aku menemukan bangunan yang sangat besar. Bangunan itu masih berdiri kokoh walau sudah terlihat usang dan semua jendela kacanya juga sudah hancur. Bangunan ini memiliki sekitar seratus lantai. Luas alas bangunan ini juga besar. Aku mendongak, menyipitkan mata, mencoba melihat puncak bangunan.

“Mau masuk?” Nana berdiri di sampingku.

“Aku rasa tidak mustahil jika kita menemukan mereka di sana.” Layla ikut mendongak.

“Lagipula jika mereka menemukan bangunan seperti ini mereka akan langsung masuk tanpa pikir panjang.” Arthur mengarahkan senternya pada pintu masuk yang terbuat dari besi. Itu terlihat sangat berat. Layla berjalan menghampiri pintu itu, merabanya.

“Aku rasa beratnya mencapai seratus kilogram. Karena ini ada dua pintu jadi dua ratus kilogram.” Layla menengadah, melihat pintu yang tingginya dua kali dari tinggi badan Layla. Aku menelan ludah. Ada pintu seberat itu? Kalau pintunya saja sudah seperti ini bagaimana dengan bagunannya? Apa semua pintunya seberat ini?

“Arthur, coba buka pintu ini!” Layla melangkah mundur.

Arthur menggeleng, “Mana bisa?!”

“Kita lakukan bersama. Arthur dan Lina pintu kiri, aku dan Nana pintu bagian kanan.” Layla menarik pergelangan tangan Nana. Aku menoleh pada Arthur. Dia mengangkat bahu, berjalan menuju pintu besar itu. Aku menyusul.

Empat telapak tangan sudah menekan pintu kiri, dan empat telapak tangan juga sudah Menekan pintu kanan.

“Satu, dua, dorong!” Kami mendorong pintu secara bersamaan. Pintu bergeming, tidak bergerak sedikitpun.

“Aku rasa kita hanya melakukan hal yang sia-sia.” Nana menghempaskan tangannya.

“Seharusnya pintu sebesar dan seberat ini mempunyai tuas atau tombol untuk membukanya.” Arthur menatap pintu lamat. Aku terperanjat.

“Itu dia!” Aku memukul lengan Arthur. “Seharusnya ada tuas yang tidak jauh dari sini. Kita cari, berpencar!” Ujarku antusias. Aku dan Arthur mencari di sebelah kiri, Layla dan Nana mencari di sebelah kanan. Setelah setengah jam mencari hasilnya nihil. Kami tidak menemukan tuas atau tombol untuk membukanya.

“Apa pintu ini memang dibuka secara manual? Jika iya maka membutuhkan sekitar sepuluh orang.” Arthur mendesah.

Aku memperhatikan pintu ini lamat-lamat dari atas sampai bawah. Di bagian bawah pintu Seperti ada retakan yang membentuk melingkar. Aku melangkah mendekati pintu, berjongkok.

“Lihat, menurut kalian ini apa?” Aku menoleh, menunjuk retakan itu. Mereka berjalan mendekat. Arthur menekan lubang itu sampai menjorok ke dalam, tidak lama kemudian tanah bergetar dan pintu perlahan terbuka.

“Wow!” Kami terpesona menatapnya.

“Apa ini teknologi kuno? Atau sihir? Tidak mungkin hanya dengan menekan retakan itu tiba² pintu terbuka sendiri tanpa adanya listrik.” Arthur melongo.

“Kecuali jika arsitektur bangunan ini memasang kabel di dalam batu!” Nana melangkah masuk. Aku menelan ludah. Ruangan ini sangat gelap. Jika tidak membawa senter mungkin kami tidak dapat melihat apa-apa. Tidak seperti yang aku pikirkan, ternyata semua ruangan di bangunan ini tidak memiliki pintu. Bangunan ini sangat berdebu. Aku terbatuk. Kami terus melangkah mencari tangga menuju lantai berikutnya. Tiba-tiba pintu menutup dengan sendirinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!