"Laily, bangun udah siang nak!"
Lenguhan terdengar dari bibir gadis dengan balutan baju piyama pendek sepaha, Ibu dari gadis itu masuk kamar tampa mengetuk dulu pintu.
"bun, Laily masih ngantuk."
"udah jam berapa ini, kamu gak sekolah?"
Laily Arabella terperejat kaget, ia baru ingat ini hari piket. gawat ini, bisa habis dimarahi pak Banu.
"kenapa gak bagunin aku Bun~"
"ini udah bunda bangunin, cepetan siap-siap."
Bak kilat menyambar, Laily langsung berlari menuju kamar mandi tampa melihat bahwa dimeja makan keluarganya sudah bersiap untuk sarapan.
"Laily kenapa bun?"
"biasalah, adikmu itu. piket, kesiangan!"
Bunda Maya duduk, ia duduk disamping suaminya Papa Angga sedangkan didepannya ada kakak sulung Laily bernama Gibran. Laily 3 bersaudara dan yang paling tua adalah Gibran.
Kakak keduanyanya Laily bernama Alea turun tangga dan bersiap untuk sarapan, gadis itu sudah siap dengan busana kerjanya lalu duduk disamping Bunda Maya.
"Laily belum nongol?"
"kesiangan."
Hanya anggukan yang Alea respon, ia mengambil roti tawar dan selai coklat paporitnya. tampa malunya Laily menaiki tangga melewati mereka berempat dengan menggunakan handuk kecil melilit tubuh polosnya.
"ya ampun, Laily. kalo bukan adik gue, udah gue garap lo!"
"em em em, terus terus! abisin makannya abang."
Gibran tersenyum malu, ternyata gumamnya terdengar oleh bunda Maya.
"bun, aku gak sarapan. buru-buru."
"bawa bekel ya,"
"gak usah, aku berangkat!"
Hanya gelengan yang bisa bunda lakukan, setelah itu Alea, Gibran dan papa berangkat karena hari semakin siang.
Lalu disekolah Laily benar saja dapat hukuman karena tidak bisa datang lebih awal dihari piketnya, biarkan sajalah.
"angkat kakinya, jangan gerak! jaga posisi kamu biar terus kaya gitu."
"iya pak! saya juga tau."
"sudah melawan kamu!"
Plak!
Pukulan kecil Pak Danu daratkan pada bokong Laliy menggunakan ranting pohon kecil, tidak terlalu sakit tapi ada sakit juga.
"jangan ubah posisi sampai jam istirahat, kamu paham!"
"iya pak, paham banget."
Danu langsung meninggalkan lapangan luas itu, Danu memang menjadi guru bagian menghukum murid. ia juga salah satu guru matematikan tergalak yang pernah ada.
"dasar nyebelin, tua-tua meresahkan!"
Sampai jam istirahat Laily baru bisa masuk kelas, untung cuaca tidak panas. bahkan bisa dikatakan mendung, jadi Laily tidak pusing kepanasan.
"makanya Li, kalo hari kamis itu datang lebih awal." ujar Mona teman dekat Laily.
Laily tidak menanggapi, memang mudah bercakap namun tidak mudah melakukan. lupakan hukuman itu, ia lapar dan perutnya keroncongan.
"gue mau makan, laper!"
"ikut~"
Mona dan Laily menyusuri lorong sekolah yang panjang, Laily memiliki tubuh putih bersih yang sedikit berbulu. rambutnya juga hitam tipis yang biasa Laily gumbal-gumbal, ia masih duduk dikelas 2 SMA.
"bi, bakso ya."
"iya, berapa?"
"satu aja,"
Sebelum menjawab Laily menanyakan dulu apakah Mona mau, ternyata gadis dengan tubuh gemuk itu tidak mau. katanya sedang diet, oke lah gak papa.
***
Jam pulang sekolah ternyata hujan, banyak murid yang tidak langsung pulang dan memilih untuk diam dulu menunggu hujan reda disekolah, karena Laily murid yang sedikit bar-bar ia tentu saja tidak menggubris hujan yang turun dengan lebatnya.
Laily diam dihalte dengan keadaan baju seragamnya basah kuyup oleh air hujan, Laily menggosok-gosok tangannya agar tidak dingin tidak tahu kenapa bus lama sekali datang.
"hikssss..hiksss.."
Laily mengedarkan pandangan, ia sayup-sayup mndengar anak kecil menangis. tapi tidak ada rupanya, waduh takut nih.
"papaaaaa Sakti takut....."
Laily menatap bocah berusia 5 tahun dengan seragam TK nya, Laily menggeser duduknya dan mendekati anak kecil tersebut.
"dek, adek kenapa?"
"hikssss papaaa...."
"cup cup cup, adek kenapa? dimana papa nya?"
"pa-papaaaa..."
"iya papa nya kemana?"
Laily menghembuskan nafasnya, anak sekecil ini kenapa bisa sendirian dihatel bus dalam cuaca sedang hujan deras begini. kemana orang tuanya, kenapa bisa teledor sih?
"jangan nangis, nama kakak Laily. adek jangan takut ya."
Sakti kecil masih takut, ia waspada namun tidak bisa berbuat apa-apa.
"oh iya kakak punya sesuatu untuk kamu, mau?"
Sakti masih diam, diusia begini pasti ia sudah bisa menyadari dan paham betul takut penculikan.
"ini dia."
Laily mengeluarkan permen caramel yang selalu ia bawa kemana-mana, Laily memang suka sekali mengunyah permen caramel jika sedang panik.
"mau?"
Sakti kecil masih takut, ia tidak bisa menjawab meski dalam hatinya mau.
"ambilah, jangan menangis lagi."
Tangan Sakti mulai mengambil.
"enak?"
Sakti mengangguk.
"kenapa adek bisa sendirian disini, dimana mama dan papamu?"
Sakti menunjuk sekolah TK diujung sana, anak yang pintar pasti karena hujan anak ini meneduh disini. tapi Laily masih kesal kenapa anak sekecil ini dibiarkan sendiri sih, kasihan tau!
"anak pintar, nama mu siapa?"
"Sakti Dirgantara."
"wah bagus sekali, kau menghapal namamu."
"dimana orang tuamu?"
"papa bekerja dan mama sudah lama tidak bersama papa, bibi sedang pulang kampung dan aku akan dijemput papa, tapi karena hujan papa pasti terjebak macet."
Laily mengangguk, benar-benar anak yang pintar ia bisa dengan detail menjelaskan semua kejadian yang menimpa dirinya.
"kakak akan menemanimu sampai papa mu datang, bagaimana?"
Sakti mengangguk. Sakti duduk mepet pada tubuh Laily, Sakti yang lelah pun tertidur dipaha Laily. hingga ada sebuah mobil hitam yang tiba-tiba datang dengan ngebut.
"anak saya, ngapain kamu deketin anak saya."
Laily mendongak, ia menatap pria tampan yang wajahnya benar-benar keras. penampilannya formal sekali, apa jangan-jangan ini ya papa nya sakti? ah, tapi Laily tidak mau tertipu!
"malah bengong, sini itu anak saya!"
"om siapa ya?"
Pria itu mundur sembari melap bibirnya, tidak salah 'om?'
"saya JONATHAN ayah dari anak yang kamu gendong!"
"maaf ya Om, anak ini sendiri. saya gak mau ketipu, siapa tau kamu penipu!"
Jo kembali menghirup udara panjang, Sakti juga ngapain sih tidur.
"enak aja kalau ngomong, saya itu bapaknya Sakti!"
Laily mendongak, kok bisa tau ya namanya?
"kok Om tau namanya Sakti?"
"karena dia anak saya!"
Karena keributan yang Jonathan dan Laily lakukan membuat Sakti kecil terusik.
"papa..."
Sakti langsung turun, dan memeluk betis panjang Jonathan. Laily terkesip, benar dugaannya bahwa pria tampan ini adalah papanya.
"sayang, kamu gak papa kan? maaf ya, tadi macet karena hujan."
"papa jahat, Sakti benci papa!"
Laily beranjak dari duduknya, pasti menjadi ayah tunggal sangat sulot. apalagi ia harus mengatur jam kerja dan jam mengurus Sakti.
"Sakti, papa belikan mainan baru mau?"
"gak!"
Jo menggaruk kepalanya, pria itu benar-benar tidak bisa merayu anaknya sendiri.
"ehem ehem."
Deheman Laily membuat Jo memutar kepalanya 360° gak deng canda, Laily menghampiri Sakti yang cemberut sembari melihat air hujan terus turun tampa adanya tanda untuk berhenti.
"Sakti mau permen lagi?"
"mau!"
Laily merongoh sakunya lalu mengambil bungkus baru yang menjadi stok nya, Laily memotekan satu kotak permen itu lalu akan memberikannya pada Sakti.
"heh!
Bruk!
"jangan kasih macem-macem sama anak saya! siapa tau itu beracun!"
Laliy menatap bungkus yang baru ia potekan satu kotak dan masih terdapat beberapa potong permen caramel tersebut, naas sekali sudah tergelam dikobakan air hujan.
"papa! permen kak Laily jadi jatoh."
Laily tersenyum, meskipun ia merasa sakit hati. obat penenangnya jatuh dalam air kotor dan jumlahnya juga bisa dikatakan banyak karena baru diambil satu.
"ini untuk Saktu, kakak pergi dulu. ingat, jangan nakal."
Laily memberikan potongan yang masih terjaga ditangan kanannya, Sakti memberikan kupayan tangan bertanda dadah. Laily masuk kedalam bus yang sudah tiba dan meninggalkan anak dan ayah itu dihalte.
Maaf untuk semua nya untuk nama Sakti aku ganti jadi nama Saka aja, soal nya menurutku lebih bagus aja.
Lanujut kecetita nya aja yah.
"tuhkan, udah bunda bilangin kalo ujan neduh kamu. jangan ditrobos aja!"
"Laily cuma panas doang, besok juga sembuh."
"kamu itu cuma andelin besok besok aja, minum obatnya!"
Laily menjengah, karena tadi ia menerobos hujan akibatnya Laily sekarang demam tinggi.
"membaik?"
Laily mengangguk, setelah dikompres memang benar keadaan tubuhnya jauh lebih baik. namun tetap saja belum sepenuhnya enak, Laily menyesal setelahnya.
Sore harinya Laily yang merasa tubuhnya sudah jauh lebih enak pun memutuskan untuk jalan-jalan sembari membeli permen stoknya yang dijatuhkan duda siAlan itu!
"ini saja kak?"
"iya,"
Mbak kasir menjumlahkan belanjaan yang Laily beli, setelah itu Laily diam didepan minimarket tersebut. kepalanya cenat-cenut lagi, rasanya seperti ah tidak ini lebih sakit dari tadi.
Laily mencoba menahan dan berusaha berjalan kekursi yang diujung sana, setelah sampai Laily langsung duduk tepar sembari dahinya penuh keringat.
"kenapa sih, perasaan udah sembuh!"
Laily membuka minuman yang ia beli barusan, entahlah kenapa tempat ini ramai sekali orang berkunjung.Laily yang merasa kepalanya sakit semakin terngganggu, apalagi bising!
"KAKAKKKKKKK!"
Laily memutar kepalanya mencari siapa yang memanggilnya, setelah itu bayangan Saka menyapa Laily. Laily tersenyum, eh tunggu itu siapa yang dibelakang Saka?
"Saka, sedang apa?"
"aku jalan-jalan sama papa,"
Laily mendongak, si Formal ini ternyata bisa bergaya juga. hemm mana gayanya kece lagi, memakai celana bahan diatas lutut dan baju kaos polos hitam. rambutnya dibiarkan acak-acakan, aduh duda memang beda pesonanya!
"kak.."
Laily menatap canggung Saka, aduh malu. sepertinya Laily terlalu lama menatap dan memuji Jo.
"iya?"
"kakak sedang apa?"
Laily menunjukan botol minum, lalu tersenyum. berharap anak ini tidak banyak bicara karena kepalanya sakit.
"pulang yuk, udah sore."
Laily menatap Jo yang sedari tadi hanya berdiri tampa niatnya untuk duduk, padahal kursi besi bercat putih ini masih muat kok.
"aku masih betah disini pa."
"tadi janjinya cuma sebentar."
Laily hanya menyimak ia memdengarkan bagaimana anak ini berdebat dengan papa nya.
"gara-gara kamu anak saya jadi gak mau pulang!"
Laily mendongak ke pria tampan nan jangkung ini, Laily gak ngelakuin apa-apa kok disalahin sih.
"maksud Om?"
Terdengar decakan yang membuat Laily mengkerutkan kening, tidak tahu kenapa ini orang aneh banget.
"Saka, Saka harus pulang. nanti kita ketemu lagi, sudah sore lagian kak Laily mau pulang."
Saka sedikit cemberut, tapi akhirnya menurut.
"bagus, harus menurut biar jadi anak pintar."
Melihat kepergian kedua orang itu Laily berniat beranjak dari duduknya dan tapi kepalanya berat sekali penglihatannya kunang-kunang dan..
Bruk!
"kakakk!"
Sebelum menutup matanya Laily merasakan ada elusan kecil ditangannya, sepertinya itu elusan tangan Saka. dan setelah itu Laily menutup matanya kemudian terkulai lemas ditanah yang kotor.
***
Pov Laily.
"Eghhhhhh.."
Saat membuka mata yang pertama aku lihat adalah langit-langit yang tidak aku kenali, dimana ini? aku mengerjap dan berusaha beranjak meski kepalaku rasanya berat sekali.
"minum obatnya, dimana rumah kamu?"
Aku melenguh, ternyata ini dirumah si duda nyebelin itu. tapi kenapa aku bisa disini? jangan-jangan aku..
"kamu apain aku Om?"
Om Jo mengkerutkan kening, ia heran dengan pertanyaanku.
"masih sakit gak? mau pulang apa nginep?"
Aku mengerjap, aduh malu nanya apa aku ini. pria dewasa seperti Om Jo pasti tidak berselera pada gadis seperti ku.
"pulang, tapi ini dimana?"
"kalau pingsan tau kondisi dong,"
"maaf, tapi kan aku gak tau kenapa aku pingsan."
Om Jo mendesah, aku harus pulang. jam berapa ini?
"jam berapa ini Om?"
Tidak ada jawaban, Om duda itu hanya menarik tirai dan melihatkan bahwa diluar sudah gelap.
"gawat,"
Aku tersenyum getir, bagaimana ini aku pasti dimarahi papa sama bunda.
"tuan, ini bajunya."
Om duda itu menatap baju putih yang dipegang ibu-ibu paruh baya, sepertinya itu pelayan disini.
"aku mau pulang Om,"
Om Jo mengambil baju ditangan pelayan itu, lalu menyimpannya disisi ranjang. aku akui memang Om Jo tampan, baik pulak. tapi ketus sekali, aku kan gak suka.
"makan dulu, baru jam 9. jam 10 saya antar."
Hah, apa katanya? jam 10 diantar? ini Om Om gesrek ya?
"aku harus pulang Om,"
Aku beranjak dari dudukku, lalu mencari ponselku kemudian mendekati Om Jo.
"makasih, aku pulang dulu."
Aku membuka pintu, aku kaget sendiri. waduh, ini rumah apa istana sih? kok gede banget.
"turun tangga belok kanan, ada pertigaan belok kiri terus ada pintu, masuk aja."
Aku menoleh, peka juga tuh Om-Om. aku yang kebingungan harus kemana.
"kepintu keluar?" tanyaku memastikan.
"kedapur."
Kurang ajar, memangnya aku mau apa kedapur.
"hais!"
Aku melangkah meninggalkan kamar tersebut setelah tas selampangku ada ditanganku, rumah ini besar sekali. tapi terasa dingin dan hampa, mungkin karena tidak ada seorang ibu sekaligus istri.
"non mau kemana?"
Aku menoleh, pelayan tadi menyapaku menggunakan nama non? apa tidak salah dengar aku ini jadi nyonya?
"a-aku mau pulang."
"makan dulu, sudah bibi siapkan."
"tidak bi, makasih. aku harus pulang, papa sama bunda pasti nyari aku."
Setelah sedikit berdebat dengan pelayan, aku pun keluar dari rumah atas bantuan pelayan. udik sih aku, rumahku kan tidak sebesar ini.
Aku melewati jalan yang amat gelap, terdengar suara langkah yang mengikutiku dibelakang. aku berusaha untuk tidak menoleh, namun langkah itu semakin kesini semakin dekat.
"papaaa Li takut.."
Untung saja kompleks Om Jo aku tahu, ini memang tidak jauh dari kompleks tempat aku tinggal. aku dengar-dengar sih ini kompleks kawasan elit, alias horang kayaa semua.
"tunggu!"
Aku berlari setelah mendengar teriakan seorang pria dari belakang, benar dugaanku bahwa ada yang mengikutiku dari belakang. siapa ya, aduh mana pria lagi. aku takut, Om duda itu juga ngapain gak anterin aku sih. tapi, kalau dianterin aku takut juga.
Bruk!
Aku tersandung batu yang ada dijalanan lepas itu, gerbang kompleks didepan mata. aku harus sampai sana dan melaporkan pada satpam tapi kenapa ini kaki pake ciuman sama batu sih.
"kamu gak papa?"
Aku merasa bahuku dielus lembut oleh seseorang, aku diam membeku. aku tidak tahu harus bagaimana, malam-malam begini ditempat gelap mana ada pria aneh lagi.
"jangan macam-macam kamu ya!"
Aku memukUl keras tangan kekar itu, terdengar aduhan dari pria itu. posisiku masih membelakanginya, aku takut sekedar melihat wajahnya saja.
Aku kembali berlari, aku takut aku benar-benar takut.
"Laily tunggu!"
Apa? Laily? benar tidak ya aku mendengar orang itu memanggil namaku?
"Om Jo?"
Aku melihat wajah tampan itu tersorot lampu karena kami sudah sampai pos satpam, dia menggosok lengannya yang tadi habis aku tangkis.
"kamu berani pulang sendiri?"
Aku celingukan, benar juga ya. aku sebenarnya tidak berani alias takut, namun ketakutan itu kalah dengan marahnya papa.
"be-berani lah!"
Om Jo terkekeh, apa nya yang lucu sih?
"aku mau pulang, ini terakhir kita ketemu! camkan baik-baik!"
"saya anter sampek depan rumah kamu."
"gak usah!"
Om Jo malah mendahuluiku, dasar menyebalkan. dia memang tau rumahku dimana? diblok berapa dan no berapa? sotoy banget ini duda.
Aku kemudian mengukuti langkah pria jangkung itu, aku rasa tinggi badanku hanya sepundaknya saja. dia benar-benar tinggi, eh apa aku yang pendek ya?
"sampai sini aja Om, makasih!"
Bukannya mendengarkan Om Jo malah terus berjalan, hingga sampai rumah samping rumahku dia berhenti dan menatap wajahku.
"tuh, mereka udah siap mau marahin kamu."
Aku menatap kesal wajahnya, dia terkekeh.
"selamat menikmati hukumannya,"
Aku tidak menggubris ucapan duda nyebelin itu, aku mendekati tumah cat biru langit dengan dua kursi teras kecil berwarna putih.
Papa sedang memegang ponselnya, sedangkan Bunda sedang ditenangkan oleh ka Alea. apa kepergianku membuat mereka risau?
"Bun, Pa."
Seketika 4 orang itu menoleh, aku menunduk takut. aku yakin papa pasti marah melihat anak gadisnya pulang malam begini.
"ASTAGA LAILY, KAMU DARI MANA?"
"L-Laily.."
"kamu gak tau kita semua khawatirin kamu! anak cewe gak baik pulang malem diatas jam 8 Laily! kamu itu masih sekolah, apa kata orang nanti."
"Maaf, Pa."
Bunda memeluku, aku masih menunduk. aku takut sekali tatapan papa yang bak singa kelaparan.
"kamu gak papa kan sayang?"
Aku mengangguk.
"ada yang sakit?"
Aku menggeleng, meskipun kepalaku berat.
"lain kali kalau mau keluar jangan matiin hp kamu, biar kita gak khawatir."
Aku baru ingat, ponselku kehabisan daya.
"iya bun, aku minta maaf."
Papa masuk lebih dulu, bang Gibran juga menyusul papa hanya aku diluar dengan bunda dan kak Alea, setelah tenang aku baru masuk kedalam rumah bersama bunda dan kak Alea.
Aku pria dengan status Duda anak satu, Vanya mantan istriku meninggalkan ku dengan pria lajang yang sangat aku benci. Vanya sampai rela meninggalkan Saka yang masih berumur 3 tahun, dengan alasan aku belum bisa membagi waktu kerja dan waktu dengannya.
Alasan apa itu? aku kerja kan untuknya juga.
***
Hari ini cuaca sungguh tidak bersahabat, aku harus sampai sekolah Saka tepat waktu jika tidak mau anak itu merajuk. tapi, cuaca hujan seperti ini jalanan licin dan jika aku mengebut tentu saja ban mobil ini pasti tergelincir.
"syukurlah, sampai."
Aku membuka sabuk pengaman, lalu berniat membuka pintu mobil. tapi, siapa itu gadis bersama Saka?
"anak saya, ngapain kamu deketin anak saya?"
Gadis dengan seragam SMA itu menoleh, baju nya basah kuyup. ia tampak sedang memangku Saka yang tertidur.
"malah bengong, sini itu anak saya!"
"Om siapa ya?"
Apa katanya? Om? aku Om? tidak lihatkah aku masih muda.
"Saya Jonathan, ayah dari anak yang gendong!"
"maaf ya Om, anak ini sendiri. saya gak mau ketipu, siapa tau kamu penipu!"
Aku menarik nafas, aku lelah sekali hari ini. tapi kenapa ada masalah ini sih?
"enak aja kalo ngomong, saya itu bapaknya Saka!" ucapku lantang.
Gadis itu mendongak lagi, wajahnya tersenyum malu.
"kok Om tau namanya Saka?"
Aih, pertanyaan apa lagi itu. sudah aku beritahu kan barusan, aku bapaknya!
"Karena dia anak saya!"
Saka terusik, ia menatapku yang sedang berdebat kecil dengan gadis ini.
"papa.."
Saka turun dari pangkuan gadis itu, ia memeluk betisku.
"sayang kamu gak papa kan? maaf ya, tadi macet karna hujan." ucapku mengelus kepala kecil Saka.
"papa jahat, Saka benci papa!"
Gadis itu beranjak dari duduknya.
"Saka, papa belikan mainan baru ya. mau?"
"gak!"
aku menggaruk kepalaku, aku sibuk bekerja dan tidak tahu caranya merayu anakku itu.
"ehem-ehem."
Deheman gadis itu membuatku memutar kepala melihat gadis itu mendekati Saka yang cemberut sembari melihat rincik hujan turun.
"Saka mau permen lagi?" tanya gadis itu.
"mau!" jawab Saka sumringah.
Gadis itu merongoh sakunya, lalu mengambil sekebet permen caramel. gadis itu memotek satu kotak, lalu akan memberikan permen itu pada Saka.
"heh!"
Bruk!
"jangan kasih macam-macam sama anak saya, siapa tau itu beracun!"
Gadis itu menatap bungkus permen yang baru ia potekan satu itu, aku merasa bersalah karna permen itu jatuh tepat dikobakan air hujan.
"papa! permen kak Laily jadi jatuh."
Gadis itu ternyata namanya Laily, Laily tersenyum getir semakin besar rasa bersalahku.
"ini untuk Saka, kakak pergi dulu. ingat, jangan nakal."
Laily memberikan permen yang masih terjaga ditangan kanannya, Laily lalu pergi menaiki bus yang berhenti. Saka mengibaskan tangan kecilnya berupaya memberikan kode dadah atau selamat tinggal.
***
Pov Laily.
"Laily, pulang jangan kemana-mana ya. langsung pulang!"
Aku mendesah, bunda pikir aku anak SD apa.
"iyaaaaa."
Bunda mengecup kepalaku, lalu aku pergi menuju halte dekat kompleks. aku memang biasa sekolah menaiki bus umum sedangkan bang Gibran dan kak Alea sudah bekerja.
Aku duduk dekat jendela kemudian bus pun berjalan, aku bersyukur sekolahku dekat halte ya walaupun aku harus berjalan beberapa menit untuk sampai sekolah dari halte.
"kak Laily."
Aku menoleh.
"Saka..."
Anak laki-laki dengan rambut ala-ala korea itu tersenyum sembari memelukku, aku jadi salah tingkah.
"kenapa Saka?"
"kak Li..."
"ada apa?"
Aku jongkok, aku menatap raut kesedihan diwajah imut itu.
"kenapa?" tanya ku lagi.
Hap!
Aku melolot, anak ini tiba-tiba memelukku. aku mengelus pundak kecilnya yang bergetar.
"kenapa? cerita dong sama kakak." aku berusaha melepaskan pelukan itu.
"aku gak mau papa nikah lagi, aku takut mama baru aku jahat kak."
"menikah?"
Saka mengangguk, aku tidak tahu jika Om Jo sudah punya pacar. padahal ganteng, boleh juga kugarap.
"Saka kenapa mikir kaya gitu?"
"kata temen Saka, mama tiri itu pada jah4t sama anaknya."
Aku hanya bisa tersenyum, maklum kan namanya juga anak-anak.
"kamu sekolah?"
Saka mengangguk.
"sekarang sudah siang, kakak juga harus sekolah."
Saka menggeleng, ia memelukku lagi.
"Sakaaa.."
"aku mau nya kak Laily!"
Astagaa, jika dipaksa aku pun mau lah. tapi timingnya lho, sudah punya pacar!
"kakak antar kesekolahmu yuk?"
Saka masih memelukku, aku jadi bingung sendiri.
"Saka, kakak harus sekolah."
"Saka bisa sendiri,"
Anak itu mendorong tubuhku lalu meninggalkan ku dihalte, dia berjalan seorang diri menuju sekolah TK didepan sana. aku mau mengejar tapi kepepet waktu, aku tidak mau harus dihukum lagi seperti minggu kemarin.
Sampai sekolah aku langsung duduk dikursi kepimilikannku, kepalaku tiba-tiba saja pusing. kenapa sih denganku, apa aku sakit lagi?
"haiiii bestieeeee!"
Mona menepuk pundakku dari belakang, aku hanya diam tampa adanya perlawanan. aku harus tenang, kepalaku cenat-cenut.
"looo tau gakk?"
Aku menggeleng, tanganku memijat keningku agar pusingnya mereda.
"ishh itu lho, hari rabu ini ada camping. liat noh disana yang ikut, gue liat nama gue ada tapi nama lo gue gak tau."
"hah malam kamis dong?"
"ho'oh, gue seneng banget. kak Marvel juga ikut, dia jadi pemimpin. ih seneng banget!"
Aku mengangguk, Mona memang menyukai kaka kelas kita, dia tampan dan COOL abis. aku juga suka, tapi cukup sadar diri dia begitu tampan pintar dan cekatan.
"gue kayanya gak ikut, pusing mulu."
"masa gue sendiri sih, gak setiakawan lo."
Aku mendengus, aku ingin lihat apakah namaku tertulis disana. aku berharap sih tidak ya, tahu sendiri lah kepalaku suka kumat tiba-tiba.
"dimana emang?"
"dibawah tangga, banyak orang juga pada liat."
Aku meninggalkan kelas, aku menuju bawah tangga yang posisinya itu sudah ramai semua murid. karna proposi tubuhku kecil, aku bisa menyelinap dan masuk.
Aku mulai membaca satu persatu daptar orang yang ikut, sampai pada jajaran ke 26 aku melihat namaku. gawat!
"gimana? ada?"
Aku hanya mengangguk, aku malas mengikuti camping.
"yey!"
Mona tertawa aku kembali lagi kekelas, kepalaku sudah mending dan tidak terlalu pusing dari tadi. syukurlah, aku jadi bisa belajar dengan tenang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!