Masih teringat dengan sangat segar dipikiran Hana, gadis desa yang cantik dan rupawan, berbibir sensual dan merah alami tanpa polesan lipstik.Ya teringat kembali saat Andri berdiri memegang kedua bahunya, ketika Andri berhasil menjadi siswa yang paling bagus nilai nem nya, diantara siswa yang tamat tahun itu.
Andri adalah kakak kelas Hana, saat ini Hana masih duduk dikelas satu SMA.
"Hana, aku berhasil masuk ke universitas paling bergengsi di Jakarta." Ucap Andri bahagia.
"Syukurlah kak, semoga kau dapat menggapai cita-citamu kelak." jawab Hana tersenyum sambil membuang jauh-jauh perasaan takutnya, takut akan kepergian Andri dari keseharian nya, takut kalau Andri kan menemukan gadis lain.
"Hei kok bengong, aku akan kuliah dengan sungguh-sungguh dan menggapai cita-citaku, kemudian aku akan meminang mu, Hana."
"Oh ya, benarkah?" tanya Hana mencibir.
"kau bicara sok dewasa, umur kita baru seumur jagung, waktu kuliah itu sangat panjang dan lama, jangan-jangan kau akan tergoda cewek lain."
"Apakah kau tak ingin, ha?" Tanya Andri mengguncang bahu Hana sambil mengangkat alis nya naik turun.
"Aku ingin dan aku memimpikan nya, bahkan menikah dengan mu adalah bagian dari cita-cita ku."Jawabnya sendu.
"Aduh adikku ini, gemes deh kalau lagi serius. Tapi aku janji, aku akan menjadi yang paling setia." Lagi-lagi Hana mencibir.
"pret!"
Andri mengejar Hana yang berlari kala itu.
Hana menghela napasnya berat. Sudah lama Andri mengikuti studi nya, dan Hana sekarang sudah tamat dari bangku SMA. Namun apa yang di takutkannya terjadi. Andri tak memberi kabar, dihubungi tidak tersambung, semua itu terjadi sejak keluarga Andri pindah ke Jakarta. Semua hubungan itu benar-benar terputus.
Hasrat nya untuk menggapai asa bersama Andri kian kandas.
Hari ini Hana akan berangkat ke kota, tapi bukan Jakarta. Selain menghindari gosip miring bahwa Hana akan dipinang oleh anak kepala desa, Hana sudah tidak sabar untuk memulai mata kuliah nya yang akan di mulai Minggu ini. Defta Miharja itulah nama dari anak pak Kepala desa yang akan meminang nya. Pemuda tampan kharismatik yang sejak dulu mengagumi nya. Namun sampai disitu Hana tak pernah ada perasaan suka atau cinta
pada pemuda itu.
"Kak Andri, bagaimana kabarmu?, kamu lagi ngapain?, aku rindu!" Kata hati Hana sambil mengusap mukanya yang sendu, pelan namun pasti, air bening itupun mengalir tanpa diundang. Hana kemudian menyeka air matanya, ditahannya tangis itu dengan susah payah, lalu dilanjutkan nya berbenah barang-barang yang akan dibawa nya nanti.
Tanpa sadar Hana menyenggol sebuah bingkai foto, diraihnya dan diusapnya foto itu, air mata kembali tumpah, dan saat ini Hana tak mampu membendungnya.
"Kak Andri, sampai kapan kita akan terpisah dengan ruang dan waktu seperti ini, jangan kan bertemu dan menatap mu, membayangkan wajah mu saja aku sudah tak sanggup karena kerinduan ini, sudah satu tahun kita tak bertemu dan berkomunikasi, apalah dayaku, untuk menyusul mu pun aku tak tahu dimana alamat mu. Lagi pula aku tak punya ongkos untuk ke Jakarta." Ucap Hana dalam hati pasrah.
"Tapi aku berjanji, aku akan selalu menunggumu, walaupun aku harus kehilangan nyawa sekalipun, aku pasrahkan hati ini hanya untukmu." Tekat nya seakan memungkiri bahwa jodoh bukan Allah yang ngatur.
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore, Hana pun akan berangkat diantar oleh Kedua orang tuanya sementara Rega Wahyudi, adik Hana masih ada sekolah sore.Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dari luar.
"Assalamualaikum." Suara dari luar.
"Wa'alaikum salam, silahkan masuk."Jawab pak Suherman sambil membuka pintu dan mengetahui bahwa pak Kades dan putranya Defta yang datang.
"Mari silahkan duduk Pak , nak Defta." Ucap pak Suherman dengan ramah, mereka pun ikut duduk.
"Ada keperluan apa ya, Pak?"
"Begini Pak, katanya saya dengar Hana akan pergi berangkat sore ini, apa benar?" tanya pak Kades.
"Iya Pak, Hana masuk ke perguruan tinggi di kota, tepatnya di fakultas kedokteran, dia mendapatkan beasiswa di sana." Tutur pak Suherman.
"Sekolah walaupun beasiswa pasti banyak biayanya Pak Herman, dari mana bapak mendapatkan biaya itu sedangkan bapak hanya tukang jahit sepatu." Jawab pak kades seolah-olah menghina akan penghasilan pak Herman.
"Masalah rezeki itu urusan Allah pak, kita tidak tahu apa yang akan menjadi takdir manusia." Jawab Bu Fatmi yang baru keluar dari dapur.
"Bukan begitu maksud kami, Pak." Sela Defta.
"Sebenarnya kami sudah lama bermaksud datang berkunjung kesini, cuma karena waktu belum sempat, ya mau tak mau hari ini kami sempatkan, karena Hana akan pergi," Tukas pak kades.
"Maksudnya apa ya, Pak?" tanya pak Herman.
Nampak Hana keluar dengan nampan berisi empat gelas air teh hangat, kemudian meletakkan teh itu dan mempersilahkan tamunya untuk meminumnya.
"Begini Pak, kami bermaksud melamar anak Bapak!"
Deg, bagai disambar petir disiang bolong Hana mendengar ucapan pak kades. Sekilas Hana menatap wajah Defta yang kala itu Defta pun menatap nya.
"Kalau masalah itu terserah sama Hana Pak, bukan begitu, Bu?" Tanya pak Herman pada istri nya.
"Kebetulan Hana di sini, bagaimana kalau kau menikah saja dengan Defta?" ujar pak Kades langsung.
"Maaf pak, Hana masih ingin kuliah, belum kepikiran sampai ke situ."
"Berarti kamu menolak anak ku?"
"Saya tidak bermaksud seperti itu, Pak!"
"Alah jangan mangkir, gak bakalan kamu sanggup kuliah dengan penghasilan ayahmu yang hanya berapa perak itu." Hana berlinang mendengar ucapan pak Kades, dengan tegas Hana menjawab.
"Apakah ini contoh dari seorang pemimpin, seharusnya bapak selaku kepala desa di sini merasa bangga ada dari penduduk nya melanjutkan pendidikan, sehingga masyarakat Bapak akan mempunyai pemikiran yang lebih modern, justru seorang pemimpin yang menghalangi kemajuan maka masyarakat nya pasti akan tertinggal."
"Hana, belajar boleh, tapi mikir dari mana kamu akan mendapatkan biaya nya?" sanggahnya.
"Saya punya kemauan yang kuat dan itu cukup untuk ku."
"Dengan perut kosong apakah kamu masih sanggup untuk belajar, semua usaha butuh modal,dan kamu apa modal mu?" Hana diam.
"Hana, menikahlah dengan Defta, aku tidak menghentikan mu untuk kuliah, nanti kalau kau sesudah menikah boleh kok mengejar cita-cita mu itu.
Hana berlari menuju kamarnya, menangis sesenggukan di sana. Ibunya pun mengikuti gadisnya itu. Membelai rambut nya lembut.
"Hana sayang, jangan di dengar kata-kata pak Kades ya, memang saat ini kita gak punya apa-apa, nanti kalau terdesak pasti ada usaha lain, jangan berputus asa dari Rahmat Allah, itu dosa nak...."
Hana memeluk ibunya. "Tapi kata pak Kades ada benarnya Bu, aku nggak mau menyusahkan Ayah dan Ibu."
Sementara di ruang tamu pak Kades berpamitan untuk pulang. Sementara rumah kediaman keluarga Suherman tampak sepi. Nampaknya Hana tidak jadi pergi sore itu
Bagaimana keadaan Hana begitu juga hal nya dengan Andri. Ia kebingungan bagaimana cara nya menghubungi Hana. Dibalik kegagahan dan ketampanan Andri tersimpan sejuta kegalauan dan kecemasan, semua itu terpancar dari tatapan matanya.
"Hana." Bidiknya dalam hati. Andri kian larut dalam lamunan, tanpa menyadari bahwa dosen sudah masuk dan memulai mata kuliah nya.
"Adrian Maulana!" panggil dosen itu, namun Andri masih termenung tak menyadari panggilan itu.
"Andri ... anda tidak menyimak penjelasan materi dari saya!" kini dosen itu menghampiri dan bicara pelan didepan Andri.
"Maaf pak, saya...." kata Andri terbata.
"Ini tugas untuk kamu, kamu kumpulkan pada mata kuliah saya berikutnya." Ucap dosen itu sambil memberikan secarik kertas pada Andri.
"Iya pak, baik pak!" jawab Andri.
Kemudian dosen itu melanjutkan mata kuliah nya sampai sembilan puluh menit kemudian.
Andri menghela napas. "Kok sampai kayak gini ya aku?" tanya nya dalam hati.
"Hai An, kamu ngapain sih, ngelamun, nggak biasanya kamu kayak gitu?" tanya seorang gadis yang tiba-tiba duduk di sebelah nya.
"Jawab atau gak nih?" balas Andri.
"Gue kayak gini, itu gara-gara lo, ganggu gue terus!" jawab Andri sambil ngeloyor pergi.
"Andri, tunggu An, kamu mau kemana?"
"udah deh gue lagi gak mood, gue capek!"
Andri terus keluar dari kelas dan menuju parkiran dimana mobil nya berada. Sementara gadis yang mendekati nya tadi hanya merasa aneh dengan kelakuan Andri hari ini. Marshela Ayuningtyas itu lah nama gadis itu, gadis yang selalu memperhatikan dan mencintai Andri, mulai pada saat pertama kali bertemu. Namun tak pernah sekalipun Andri membalas cintanya, banyak gadis yang mengejar -ngejar cinta Andri tapi lelah sendiri, lain halnya dengan Shela, sikap dingin yang di tunjukkan Andri merupakan tantangan bagi nya.
sementara itu Andri mengendarai mobil nya dengan malas, membuat pengendara lain merasa terganggu sambil sesekali membunyikan klakson, ada juga yang meneriaki "woi, emang ini jalan nenek moyang Lo!"
Akhirnya Andri mengalah, ia menyingkir dari jalanan, menuju taman, kemudian memarkirkan mobilnya. Ia melangkah dengan gontai, duduk di kursi dengan menghempaskan pantat nya begitu saja.
"Hana, kamu dimana, lagi ngapain sayang?" batinnya sambil meremas rambut nya.
"Pasti kau menangis kan?, Hana bukan cuma dirimu yang tersiksa sayang, aku jauh sangat tersiksa, aku ingin sekali menemui mu, mengatakan bahwa aku sangat rindu!"
"Tuhan, mengapa perpisahan yang tak sengaja ini terjadi, akankah Engkau akan memisahkan kami?, andai saja aku bisa menjerit aku akan menjerit, akan kukatakan kalau aku tak bermaksud mendiamkan mu begini. Justru kediaman ini yang menyiksa kita, kalau kita terus begini apakah kau akan menanti ku?, ah....
Rasanya Andri seperti mau menangis tapi ditahan nya. Ia merebahkan tubuhnya di atas bangku dan lama kelamaan ia pun tertidur pulas.
Suara ponsel berbunyi namun tidak mengusik tidurnya yang pulas itu.
Sore hari nya Marshela datang kekediaman Andri karena ia merasa aneh dengan sikap Andri hari ini. Tampak dipekarangan rumah seorang wanita paruh baya sedang menyiram bunga dan tersenyum menatap kedatangan Shela.
"Hei nak Shela tumben main kesini?" tanya wanita itu yang tak lain dan tak bukan adalah ibu Andri.
"Iya Bu, Andri nya ada ya Bu?"
"Dari pagi belum pulang tuh!"
"Dari pagi?" tanya Shela heran.
"Iya." Shela terdiam sambil menatap wajah Bu Wisnu.
"Ada apa Shela?"
"Ng ... anu, Bu...."
"Jangan ragu katakan saja, ada apa?"
"Andri sudah sejak siang tadi pulangnya Bu, bahkan mata kuliah kedua dia tidak masuk, ada apa ya Bu, kok aku perhatikan Andri kayak kalut gitu?"
"Masak sih, kayak nya tadi waktu pergi baik-baik saja." Jawab ibu Wisnu, seakan dia tahu masalah anaknya, tapi berusaha untuk menutupi nya dari Shela.
"Ooo, mari masuk, lagi pula saya sudah selesai menyiram bunga nya."
"Nggak usah Bu, saya kira Andri sudah pulang."
"Belum, tapi biar nanti Ibu tegur dia!"
"Iya Bu, saya pulang dulu." Sambil Salim sama perempuan tua itu.
Tak berselang lama setelah Shela pulang, Andri pun datang. Ibunya pun sengaja membiarkan Andri seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Andri pun mengucapkan salam kemudian menyalami Ibunya kemudian menuju kamarnya dan langsung mandi. Setelah mandi ia menghempaskan tubuhnya di kasur sambil menatap langit-langit kamar.Terdengar suara pintu diketuk dan Andri pun duduk.
"Masuk!" sahutnya.
"Kamu lagi ada masalah An?"
"Entah lah Bu."
"Jadi cowok kok loyo, seng semangat An, Ibu ngerti apa masalahmu, Hana kan?"
"Emang nampak ya Bu?"
"Ibu juga pernah muda Lo, An."
"Kamu yang kuat, karena Ibu yakin kalau Hana pun kuat, masak kamu kalah sama Hana."
"Tapi Bu...."
"Kalau kamu ingin bertemu dengan nya ngapain gak pulang?"
"Memang Diizinin?"
"Kamu bukan anak kecil lagi An, masak gak boleh, sih!"
"Tapi kuliah ku lagi banyak tugas, Bu."
"Kalau gitu ya sabar, itu namanya ujian cinta, Itu mah belum seberapa."
"Apakah akan lebih berat lagi?"
"Dalam menjalin hubungan pasti ada aral rintangan An, kalau gak gitu kekuatan cinta akan lemah."
"Aku ngerti maksud Ibu."
"Ya sudah, tapi jangan kayak tadi, kamu kemana sampai tidak masuk kuliah?"
"Kok Ibu tahu?"
"Tadi Shela datang mencari mu, kayaknya gadis itu suka sama kamu!"
"masak sih Bu?"
"Masak kamu nggak ngeh sih An , jadi cowok kok gak peka amat, pokoknya jangan sampai kamu menyakiti perasaan nya."
"Iya, Bu!"
"Ya sudah, minta petunjuk sama Allah, jangan kayak orang gak punya Tuhan, kalau punya masalah dipecahkan, jangan dibawa perasaan, kayak anak cewek aja."
"Iya, Bu."
Ibu Andri pun keluar dari kamar anak laki laki nya, sambil tersenyum, dan menggeleng -geleng kan kepala. Bu Wisnu mengetahui hubungan mereka sejak mereka masih di kampung. Bu Wisnu dan suaminya tidak melarang mereka pacaran, karena memang mereka tahu kalau Hana gadis yang baik, supel dalam bergaul, hormat pada yang lebih tua, orang nya pun gak neko-neko. Tampil apa adanya.
Tapi Bu Wisnu tak menyangka kalau anak laki laki nya sampai frustasi, maklum sudah hampir satu tahun bahkan lebih mereka tidak saling berkabar, padahal sebelumnya mereka saling bercanda, walau hanya lewat hp. Semua itu terjadi bukan tanpa sebab, Andri tidak bisa menghubungi Hana karena ponsel nya terjatuh di jalan waktu berangkat ke kampus, Andri yang menyadari ponselnya jatuh tapi sudah sekitar lima meter, dan ketika Andri akan mengambil nya tiba tiba ada sebuah mobil melaju kencang, dan tanpa ampun ponselnya tergilas dan hancur berkeping, bahkan parah nya kartu nya hilang musnah entah kemana. Apakah pertanda mereka akan terpisah untuk selamanya?, Hanya Tuhan yang tahu.
Menjelang malam, tepatnya sebelum isya Defta datang berkunjung ke rumah Hana, ia hanya ingin minta maaf atas kejadian sore saat ia dan ayah nya datang. Tapi entah mengapa detak jantung nya tidak dapat diajak kompromi. Bergemuruh tidak menentu, tapi walau begitu ia merasa harus bertemu dengan Hana, sebab kalau tidak maka akan menjadi unek-unek dalam hati nya.
"Assalamualaikum."
terdengar suara perempuan menjawab dari dalam. Deg!, "apakah itu suara Hana?" batinnya. Pintu pun terbuka, tersembul wajah cantik dari balik pintu, mempersilahkan tamunya untuk masuk.
"Mau bertemu siapa, Mas?"
"Mau bertemu dek Hana dan ngobrol sebentar apakah adek bisa?" jawab Defta, terasa dingin tangannya, entah grogi atau gimana.
"Ooo, bisa Mas, silahkan duduk! " dan Defta pun duduk sedang Hana duduk bersebrangan dengannya.
"Ada apa ya, Mas?" seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
"Anu ... aku mau minta maaf atas kata -kata ayahku kemaren, karena kami , kamu tidak jadi berangkat."
"Anggap saja tidak terjadi apa-apa, aku sudah memaafkan mas dan ayah Mas sebelumnya."
"Jadi, kapan Adek berangkat?"
"mungkin besok pagi, kalau tidak ada halangan."
Hening, keduanya saling membisu, Hana merasa salah tingkah sedang Defta semakin merasa kalau jantung nya kian berdetak kencang, tapi tiada waktu lagi bisa ngomong berdua dengan Hana, atau bahkan ini adalah pertama dan terakhir untuk nya.
"Han, apakah aku boleh bertanya?"
"Bertanya apa Mas, katakan saja!"
"A_apakah Dek Hana sudah punya pacar?"
"Aku hanya berharap, dek Hana mempertimbangkan, aku cuma ...."
"Apa Mas, maksudnya gimana?"
"Aku cuma mau bilang kalau aku sangat mencintaimu dek, tanpa ada paksaan atau tuntutan bahwa kita harus menikah, aku nggak mau kamu salah faham, masalah menikah itu adalah keinginan Bapakku!"
"Mas, aku ...."
"Dek, jangan kamu berubah karena mengetahui aku mencintaimu, cintaku padamu murni, kalau berbalas ya aku akan sangat bersyukur, tapi kalau Dek Hana tidak punya perasaan padaku, ya nggak apa-apa kok."
"Aku akan mencoba untuk mengerti."
"Maaf kan aku Mas!"
"Kalau tidak bisa menerima ku sebagai kekasih, maukah kau menjadikanku saudara atau sahabat mu?"
Hana terharu mendengar penuturan Defta, matanya berkaca-kaca.
"Jangan segan atau sungkan kalau kau butuh bantuan ku, aku akan berusaha ada untukmu."
"Iya, Mas."
"Besok pagi aku pun akan ke kota, aku ada urusan di sana, apakah kita bisa berangkat bersama?, maksudnya biar ku tunggu di stasiun dan mencari kan tiket, agar kau tak terlalu tergesa-gesa dari rumah."
"Tapi Mas ...."
"Sudah kubilang jangan sungkan, atau kau malu berteman dengan ku?" bujuk Defta sudah mulai mengalir kata-kata nya.
"Atau aku harus memaksa?"
"Ya, baiklah!"
"Nah gitu dong!, kan seru, kita bisa sambil tersenyum di mobil nantinya."
"Kok gitu, mas curang!"
"Kau harus dicurangi baru mau, he_he."
"Jam berapa berangkat nya, Mas?"
"Jam delapan kira-kira."
"Oke, baiklah!"
"Sekarang aku pulang dulu, sampai bertemu besok!"
Sepeninggal Defta, Hana menemui kedua orangtuanya di ruang tengah, sedang Reiga Wahyudi adik Hana asyik belajar di kamar nya.
"Nampak nya ada yang akur Bu!" goda pak Herman pada putri kesayangannya." Bu Fatma cuma tersenyum.
"Ayah ada-ada saja, memang siapa yang bertengkar?"
"Apa kamu tidak suka sama nak Defta, Han?" tanya ayah nya lagi. Sementara ibu nya menatap pak Herman sambil menggeleng, seakan memberi isyarat untuk tidak menanyakan hal itu, namun tampaknya pak Herman tidak mau peduli.
"Han, sudah setahun lebih kan gak ada kabar dari Andri, apa gak sebaiknya kamu mencoba melupakan nya?"
Hana hanya menunduk, tidak terima dengan perkataan ayahnya karena ia sama sekali tidak ingin melupakan Andri , orang yang sangat di cintai nya.
"Han, nak Defta anak yang baik, sudah bekerja serta sangat dewasa sikapnya."
"Apakah maksud Ayah aku tak diizinkan untuk kuliah, dan Ayah setuju untuk menikahkan kami?" jawab Hana sambil menatap Ayahnya.
"Bukan nak, bukan begitu maksud Ayah, dia pasti mengerti kalau kau mau kuliah dulu, dia anak yang bijaksana, nggak seperti kedua orang tuanya." Sanggah pak Herman.
"Sudahlah Yah, jangan di terus kan!" tukas Ibunya.
"Oh ya, tapi ngomong-ngomong tadi, kayak nya kamu mau berangkat bareng, ya?" tanya Ibunya.
"Iya ibu, nggak enak mau nolak."
"Awas lo, nanti lama kelamaan jatuh juga!" celetuk adiknya yang baru keluar dari kamar.
"Apaan sih ga, masak jatuh?"
"Jatuh cinta maksud ku, Kak!" Hana mendekati adiknya lalu mencubit nya. Rega meringis kesakitan.
"Ulangi sekali lagi, aku hajar kamu!"
"Jatuh cinta ... sama mas Defta ...."
"Rega!" Hana menjerit memanggil adiknya. Kemudian masuk ke kamar dan menelungkup kan wajah nya di atas bantal. Rega mengikuti kakaknya.
"Kak, maafkan Rega Kak, Rega nggak bermaksud menyakiti hati Kakak." Rega terus menerus mengguncang bahu kakaknya.
"Rega tahu, Kakak selalu menangis bila teringat akan kak Andri, tapi Kak, Rega ingin melihat Kakak jadi Kakak yang dulu, yang periang penuh canda, bukan Kakak yang sekarang, yang mudah tersinggung dan perasa, Kakak sekarang adalah orang yang sensitif." Tutur Rega.
Hana bangkit, memegang tangan Rega.
"Maaf kan kakak, kakak tak menyadari akan hal itu, kakak berjanji akan memperbaiki semuanya, maaf kan kakak atas segalanya." Rega menghapus air mata yang mengalir di pipi kakak nya.
Rega saat ini sudah duduk kelas dua SMA, mereka kakak adik yang saling melengkapi.
"Kak, untuk apa mengharapkan sesuatu yang tidak pasti, sudah setahun lebih dia tak memberi kabar, apakah tidak mungkin kalau dia sudah lupa akan hubungan kalian?"
"Tapi ga ...."
"kak sayangi lah diri kakak, jangan siksa diri kakak seperti ini!" sambung nya.
"Benar kata Rega Han, mencintai sesuatu akan membuat kita bahagia , untuk apa mencintai, tapi kamu menderita seperti ini." Sahut ibunya yang masuk menyusul Rega.
"Sudahlah, besok kamu akan berangkat, lebih baik kamu tidur sekarang!" Rega dan ibunya kemudian keluar.
Berselang cukup lama Hana tak kunjung bisa tidur, ia sangat gelisah, ia membolak-balik kan badan nya namun gagal juga untuk mengistirahatkan mata nya. Baru ketika hampir subuh, Hana bisa tertidur. Setelah shalat subuh Hana membantu memasak di dapur. Membuat sarapan pagi. Itu adalah kebiasaan nya sejak dulu sebelum berangkat ke sekolah.
Setelah mereka sekeluarga selesai sarapan Hana diantar ayah dan ibunya ke stasiun, sedangkan Rega tidak ikut mengantar karena ia harus sekolah hari ini.
Sesampainya di stasiun Hana melihat Defta dari kejauhan.
"Itu mas Defta, Bu!" tunjuk Hana. Mereka pun menghampiri Defta dan bersiap untuk berangkat karena tiket sudah dipesan oleh Defta.
Hana dan Defta masuk dalam bus angkutan umum dengan duduk bersebelahan dengan Defta.
"Maaf ya dek, nggak bermaksud mengambil kesempatan dalam kesempitan!"
"Maksudnya apa ya, Mas?"
"Nanti, adek gak nyaman duduk disebelah ku." Hana diam.
"Bener, tadi agennya Yang ngasih nomor bangku ini."
"gak apa-apa, Mas!"
mereka berdua saling membisu satu sama lainnya. Hanya kadang Defta yang mencoba mencairkan suasana. Mungkin aku butuh kesabaran ekstra untuk menaklukkan hati gadis ini. Batinnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!