TAHUN 985 HITUNGAN KERAJAAN AKAIAKUMA
(Empat Tahun Sebelum Kelahiran De luce Arnold)
Tangan yang besar dan terasa kasar tapi, saat mengusap wajah terasa halus siapa lagi kalau bukan sosok ayah. Pelukan hangatnya tiada duanya selain pelukan seorang ibu.
"BKAKK!!!"
Darah menyembur dari mulut pria berusia 39 tahun ketika punggungnya ditikam oleh pedang mana berwarna merah yang menembus dadanya setelah memeluk putranya yang merupakan malaikat dengan rambut biru langit dan warna irisnya yang senada dengan rambutnya dan ia memiliki telinga yang runcing karena gen dari ibunya, yang merupakan campuran Iblis dengan Elf.
"Lari...." Sosok ayahnya yng merupakan keturunan campuran dari siluman dan malaikat itu, mendorong anak laki- lakinya yang berusia 8 tahun untuk segera meninggalkan tempat itu. Prajurit iblis yang menikam sosok ayah bocah itu menebaskan pedangnya ke leher pria itu di depan putranya.
"SPLASH! CRAT! CRAT!"
Darah menyembur di wajah bocah berusia 8 tahun itu. Irisnya bergetar. Dia mengepalkan tangannya lalu lari dari ayahnya yang dipenggal oleh dua prajurit iblis di sana.
Dia berlari dan terus berlari. Jauh dari rumahnya, meninggalkan saudara laki- laki dan perempuannya untuk bersembunyi karena dia menjadi sasaran para prajurit iblis yang membantai semua orang yang tidak memiliki wujud seperti iblis atas perintah Raja ke-9 Akaiakuma.
Bocah itu dihantui oleh kematian ayahnya tepat di depannya. Ia membasuh badan dan bajunya yang penuh darah sambil menangis di depan sebuah danau bernama danau harapan yang berada di tengah hutan terlarang.
"Ayah...."
Ia kehilangan sosok yang paling ia cintai dalam hidupnya. Di malam hari, bocah itu kembali ke rumahnya secara diam- diam dari Prajurit Iblis yang masih berkeliaran dengan obor di tangan kirinya.
Ia masuk ke dalam rumah melalui jendela belakang. Anak itu, tidak bisa menggunakan sihirnya. Dia tidak tahu cara menggunakan mana dengan benar. Karena dia tidak memiliki aura mana, sehingga Prajurit Iblis tidak akan menyadari keberadaannnya.
"BRUKK! CLONTANG!!!"
Anak itu terpeleset sebelum menginjakkan kakinya di lantai dan tanpa sengaja meraih ketel di sebelahnya untuk pegangan sampai dia jatuh di sana dan kepalanya terjantuk ketel itu.
Anak itu, meringkuk merasakan sakit di kepalanya yang jatuh lebih dulu di lantai kayu.
"TAP! TAP! TAP!"
Langkah kaki terdengar mendekati bocah itu. Dia mendongak ketika dia melihat sepasang kaki di depan matanya.
Dia adalah kakak laki- laki anak itu yang merupakan putra pertama dari pria malaikat iblis yang dibunuh oleh Prajurit Iblis.
"Ibu! Ambareesh kembali!!"
Dia berteriak sambil berlari ke arah dia muncul. Anak laki- laki yang masuk melalui jendela itu segera duduk dan mengusap kepalanya yang sakit.
Anak tersebut bermarga Belial dengan nama Ambareesh.
Langkah kaki terdengar lagi. Kali ini, suaranya lebih besar dan lebih cepat. Sosok wanita berusia 35 tahun muncul setelah dipanggil oleh seorang anak laki- laki yang memiliki wujud 100% iblis meski berdarah campuran.
"PLAK!"
Ibu menampar pipi Ambareesh. Tubuh Ambareesh bergetar saat dia menatap lantai bergelombang saat matanya mulai berair.
"APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN?! AKU SELALU MELARANGMU KELUAR KARENA DILUAR TAK AMAN UNTUKMU! KAU TIDAK MEMILIKI TANDUK AMBAREESH! KARENA KAU JUGA! AYAHMU TERBUNUH! BAGAIMANA DENGAN NASIB BELLA SEKARANG?! DIA MASIH BERUSIA 2 TAHUN! DIA AKAN TUMBUH TAMPA SEORANG AYAH! APA YANG AKAN DIKATAKAN OLEH ORANG-ORANG DISEKITARNYA?!”
Teriakan itu mematahkan hati seorang anak laki- laki berusia 8 tahun. Ayah Ambareesh tidak mati karena dia. Itu semua karena kecelakaan yang tidak terduga dan itu juga karena Ayah Ambareesh sudah menjadi incaran Para Prajurit Iblis.
"MASUK KE KAMARMU DAN JANGAN PERNAH KELUAR! BAHKAN! UNTUK MAKAN!"
Jantung Ambareesh seakan berhenti. "Aku ingin mati saja. Seharusnya aku tetap di sana dan membiarkan mereka membunuhku juga. Alih- alih berada di sini, aku selalu didiskriminasi"
Mayat orang yang dibunuh oleh Tentara Iblis tidak akan dikubur. Tubuh mereka akan dibuang dan dibakar bersama untuk sebuah pertunjukan sehingga bangsa non- iblis akan tunduk pada kekuasaan mutlak dan perintah dari Raja ke-9 Akaiakuma.
Ambareesh mengambil gulungan kertas dan tinta. Dia mulai mencoret- coret gulungan itu. Dia menggambar gunung, lautan, perahu di tengah laut, dan ikan.
"Aku suka ikan. Aku berharap hari ini ibu akan membawakan ikan seperti masakan ayah"
Ambareesh menyeka air matanya dan beberapa kali ia menangis tersedu- sedu. Ambareesh tertidur dalam posisi tengkurap dan masih memegang pena tintanya.
Ibu Ambareesh mengintip dia yang sedang tidur. Dia memasuki kamar Ambareesh bersama seorang Iblis laki-laki bertopeng besi.
"Jadi dia putra keduamu?"
"Ya"
"Kalau begitu bersiaplah. Aku akan membawanya besok"
...----------------●●●----------------...
Keesokan harinya, Ambareesh bangun dengan mata bengkak. Perutnya mulai keroncongan karena sudah dua hari berada di hutan dan tidak punya apa- apa untuk dimakan selain minum Air danau.
"TOCK! TOCK!"
Suara ketukan pintu terdengar beberapa kali dari pintu kamarnya. Telinga elf Ambareesh berdenyut. Langkah kaki dan suara napas itu terdengar asing. Dia segera membuka pintunya.
Pria bertopeng tadi malam berdiri di depan Ambareesh. Ia melihat jubah pria itu yang merupakan seragam Prajurit yang menikam dan memenggal kepala ayahnya.
Jantung Ambareesh berdetak dengan kencang. Tubuhnya bergetar. Dia perlahan mundur beberapa langkah.
"Aku pamanmu, Belial Zen"
Dia menyapa Ambareesh sambil memberikan sepiring makanan dengan Lauk daging dan apel di tangannya.
"Belial Zen?" Ambareesh mengulangi ucapan Zen.
"Ya. Aku datang ke sini untuk membawamu pergi dari wilayah ini ke tempat yang aman untuk menghindari pemerintahan Raja ke-9 Akaiakuma"
Zen langsung memberikan sepiring makanan itu ke Ambareesh dan dia duduk sambil melihat sekelilingnya.
Kamar Ambareesh dipenuhi dengan gambar laut dan ikan. Di sana juga, terdapat gambar yang sedang memegang pedang dan menunjuk pada dua Iblis.
"Kau suka gambar?"
"Tidak" Jawab Ambareesh sambil duduk di kursi bacanya dan menyantap makanannya.
"Apa lagi yang kau suka selain menggambar?"
"Ayah" Jawabnya dengan singkat tanpa melihat Zen.
"Anak yang tertutup" Batin Zen sambil tiduran di atas kasur kecil Ambareesh.
Ambareesh menyelesaikan makannya. Dia berterima kasih kepada Zen yang telah membawakan makanannya.
Zen duduk dan menyuruh Ambareesh untuk mendekat. "Kemarilah, paman ingin tau dengan ceritamu" Zen menarik tangan kurus Ambareesh.
Ambareesh menahan tangannya sendiri. "Kenapa paman mau membantuku?"
"Karena kamu adalah keponakanku dan kita hampir sama" jawab Zen.
"Aku dan paman jelas berbeda" kata Ambareesh.
Zen melepas pengait topeng yang ada di belakang kepalanya. Topengnya terlepas dan dia memperlihatkan warna kedua irisnya yang berwarna biru es.
"Lihat, bukankah paman tidak sempurna?" Tanya Zen sambil mengulurkan tangan kanannya kepada Ambareesh.
"Paman juga, baru mendapatkan tanduk ini pada usia 19 tahun"
Ambareesh melebarkan matanya karena terkejut. "Apa? Bagaimana?"
"Ayahku atau kakekmu adalah keturunan dari ras Blue Elf dan nenekmu dari ras Iblis. Perkawinan silang itu digunakan untuk menghasilkan keturunan kuat secara baik secara fisik maupun dari segi kekuatan. Dari pernikahan itu juga, tidak jarang untuk penerus mereka rusak atau wanita dalam kondisi hamil karena perkawinan silang mati"
Zen memasang kembali topengnya dan meraih tangan Ambareesh. Dia mendudukkannya di paha kanannya.
"Kita termasuk orang yang beruntung. Oleh karena itu, selagi kita masih hidup, kita harus dapat membantu non- Iblis agar tidak disiksa oleh pemerintahan absolut ini"
Hati kecil Ambareesh sedikit terbuka pada ucapan Zen.
"Oleh karena itu, bisakah Ambareesh bercerita kepada paman apa yang terjadi lusa yang lalu?"
"Kita termasuk orang yang beruntung. Oleh karena itu, selagi kita masih hidup, kita harus dapat membantu non- Iblis agar tidak disiksa oleh pemerintahan absolut ini"
Hati kecil Ambareesh sedikit terbuka pada ucapan Zen.
"Oleh karena itu, bisakah Ambareesh bercerita kepada paman apa yang terjadi lusa yang lalu?"
...----------------●●●----------------...
DUA HARI YANG LALU...
Suara gemerisik minyak saat memasak ikan mulai terdengar di telinga Elf Ambareesh. Bau ikan yang sudah dibumbui bumbu membuat perut Ambareesh semakin keroncongan.
Ambareesh duduk di kursi makan menunggu masakan ayahnya sambil menggambar. Dan ayahnya duduk di depan Ambareesh sambil menunggu ikan matang.
"Lagi gambar apa itu?"
"Gambar ayah!" Jawab Ambareesh dengan antusias sambil memperlihatkan gigi- gigi kecilnya yang rapi.
"Wah! Ayah memegang pedang? Lalu siapa mereka?"
Ayah Ambareesh menunjuk ke dua gambar hitam di atas gulungan kertas.
"Mereka adalah Prajurit Raja Iblis. Jadi, ayah melawan mereka lagi!" Ambareesh menjawab sambil mengayunkan kakinya di bawah meja makan.
"Hoho! Kalau begitu pemenangnya pasti ayah kan!?"
"Ha'a! Ayah menang! Ayah mengeluarkan pedang sihirnya untuk melindungiku, Wosh! Mereka menyerah dan memohon belas kasihan Ayah!" Ambaresh sangat bersemangat.
Ayah Ambareesh tiba- tiba kehilangan senyumnya. Dia membelai rambut biru langit Ambareesh.
"Jadi, ayah melindungi Ambareesh?" Ambaresh mengangguk.
"Bukankah putraku ingin belajar sihir?"
"Tidak" Ambareesh menggelengkan kepalanya.
"Mengapa?"
“Nanti ibu akan memarahi ayah. Cukup Kak Ken saja yang menjadi anak harapan ibu. Aku ingin menjadi anak ayah selamanya" Ambareesh mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
"Tapi, bagaimana bila ayah tidak bisa melindungimu lagi? Kamu harus belajar sihir dan menjadi orang yang hebat. Orang yang membebaskan Bangsa non-Iblis dari kuasa Akaiakuma" Lirih Ayah Ambareesh dengan gaya berbisik.
"Kalau begitu, kenapa Ayah menikahi Ibu yang berbangsa Iblis?"
Ayah Ambareesh langsung terdiam.
"Ahahahahaha!" Dia langsung terbahak-bahak.
"Itu karena Ayah mencintai Ibumu tanpa melihat perbedaan kami. Ibu mu, menerima ayah apa adanya. Kau harus begitu Ambareesh. Mencari seorang wanita yang mau hidup susah denganmu dan bisa menerimamu apa adanya" Ucap Ayahnya Ambareesh.
Ambareesh memanyunkan bibirnya. "Ayah. Ikannya kapan matang? Aku lapar"
"EHEEHH!! IYA! MAAF AYAH LUPA!!!" Ayah Ambareesh langsung berdiri dan membalik ikan itu.
Sepiring makanan dibawa oleh sang Ayah sambil menuntuk putranya menuju kamarnya.
"Hari ini, Ibu sedang keluar ke rumah Nenek. Ibumu akan menginap disana bersama Kakakmu dan Bella selama beberapa hari. Apa Ambareesh akan baik-baik saja disini?"
"Apa Ayah ikut Ibu?"
"Tentu tidak. Ayah ada perkerjaan dan akan pulang sore. Ayah sudah menyiapkan lauk untuk makan siangmu. Nanti, bisa kamu ambil sendiri ya di dapur"
Ambareesh mengangguk sambil melahap makanannya. Ia mengayunkan kakinya beberapa kali karena menikmatinya.
Ayah Ambareesh mengenakan jubah panjang untuk keluar dari rumah. Dia lupa mengecek pintu belakang yang masih terbuka.
Seekor kucing kecil berwarna putih dengan mata biru dan merah masuk ke dalam rumah Ambareesh. Kucing itu, mengendus aroma ikan kemudian melompat ke meja makan.
"KLONTANG!!!!!" Suara barang jatuh, terdengar hingga ke lantai dua.
Ambareesh berhenti sejenak. "Ayah? Belum berangkat?!" Tanyanya.
Tak ada jawaban.
Ia turun sambil bersembunyi. Ia khawatir ada Iblis yang masuk ke dalam rumahnya.
"TAP!"
Ambareesh melihat seekor kucing kecil yang turun dari meja makan sambil membawa ikan atau lauknya nanti siang.
"Eh? Ikanku!"
Ambareesh segera turun dari tangga tanpa pikir panjang. Anak kucing itu, berlari keluar rumah membawa ikan Ambareesh.
Ambareesh yang belum pernah melihat dunia luar, menatap kucing yang berhenti 5 m di depannya sebelum keluar dari rumahnya.
"Aku tidak bisa keluar. Di luar ada Iblis. Tapi, bagaimana dengan ikan masakan Ayah? Ayah bisa sedih bila aku... Uh...!" Ambareesh segera melangkah perlahan ke arah kucing itu.
Kucing itu, seolah memancing Ambareesh. Kucing itu, mulai berlari begitu mereka dekat dan berhenti lagi ketika mereka berada pada jarak yang aman.
Ambareesh melihat ke belakang. Rumahnya terlihat kecil dan jauh dengan jarak 5 meter dari tempatnya berdiri. Dia menutup matanya dan menghela napas dengan panjang.
"Ayo kucing kecil... kucing...kucing..." Dia menjentikkan jarinya ke arah anak kucing itu sambil berjalan perlahan.
Anak kucing itu mundur kebelakang dalam keadaan mengigit ikan Ambareesh dan memasuki semak yang berjarak 15 meter dari rumah Ambareesh.
"HUH! AYOLAH! SRUK! BRUK! DEGH!"
Ambareesh sangat kesal. Ia segera masuk ke dalam semak tersebut dan betapa terkejutnya dia saat melihat sosok yang tak sengaja ia tabrak.
Sosok berzirah besi melihat ke arah punggungnya yang ditabrak oleh Ambareesh saat dia makan.
"Siapa?"
Mata merah menyala, membuat sekujur tubuh Ambareesh bergidik.
GREEET!!!
Rambut Ambareesh langsung ditarik oleh Prajurit Iblis itu.
Disisi lain, Ayah Ambareesh mulai melakukan penyusupan ke dalam Istana Akaiakuma yang ia ketuai untuk pemberontakan yang akan dilakukan oleh kelompoknya yang bertentangan dengan pemerintahan Raja Akaiakuma ke-9.
Dia bersembunyi sebelum memberi aba-aba yang lain untuk masuk dan menyerang Prajurit Iblis yang melintas.
Sepintas, dia teringat dengan rumah dan Ambareesh. "Sialan! Apa pintu rumah sudah ku kunci? Aku harus segera menyelesaikan ini semua" Ayah Ambareesh mulai memberi aba-aba untuk maju dan mereka mulai menyerang Prajurit Iblis di dalam sana.
"DRAP! DRAP!"
Ambareesh berlari menjauh dari tiga Prajurit Iblis yang dia temui itu. Dia terus berlari dan bersembunyi di jalan yang tak pernah dia lewati.
"WOSH! SYUUUT!" Iblis itu berteleport di depan Ambareesh. Tubuh Ambareesh reflek menunduk kemudian merangkak melewati sela kaki Prajurit itu dengan gesit.
Ambareesh kembali berlari hingga memasuki kawasan yang ramai orang.
DEGH! DEGH!!!
Sekeliling Ambareesh penuh dengan Bangsa Iblis. Mata mereka tertuju pada Ambareesh. Sekujur tubuh Ambareesh bergetar. Namun, mereka bodoh amat dengan keberadaan Ambareesh. Mereka kembali menjalani rutinitas mereka.
Ambareesh merangkak dibalik dagangan Iblis lainnya untuk bersembunyi dari Prajurit Iblis. Kemudian, Ambareesh berhasil meloloskan diri dari mereka karena dirinya yang tak bisa mengeluarkan aura miliknya.
Ia bersyukur atas kecacatannya itu.
Misi ayah Ambareesh gagal. Sebanyak 39 orang dari 101 orang yang andil dalam pemberontakan itu, terbunuh sia-sia oleh di tangan seorang pemuda berbangsa Manusia yang baru diangkat sebagai penasehat Raja De luce ke-9. Dia adalah Ha nashi.
"TRANKKKKK!!!! BRAKKKK!!!"
Pedang Ha nashi dan Ayah Ambareesh saling beradu. Keduanya melesat bersamaan akibat gelombang mereka yang sama kuat dan saling bertabrakan.
"Padahal kau adalah pemuda yang paling ku andalkan di kelompok ini, Ha nashi. Kau dengan tega menghianati saudara-saudaramu hanya untuk menjilat kaki Iblis itu!"
Ayah Ambareesh menguatkan kuda-kudanya dan menarik pedang mana birunya setinggi bahu kirinya.
"Saya sudah berjuang dengan Anda sejak usia saya mengijak 15 tahun. Anda sudah membimbing saya hingga sejauh ini. Sayangnya, kepribadian kita saling bertolakan Tuan. Anda adalah pembunuh yang lebih dingin dari Iblis"
"Bukan hanya itu saja, saya ingin menyelamatkan Ibu saya yang sedang sakit. Dan ini, satu-satunya jalan untuk saya" Lanjut Ha nashi sambil menurunkan pedang mana yang ia pegang.
Ayah Ambareesh melapisi pedang mananya dengan mananya kembali. "Ha nashi, kau akan menyesali hal ini. Seumur hidupmu, kau tidak akan bisa terbebas dari tangan Akaiakuma. WOSH! TRANKKKK!!!" Keduanya bertarung dengan hebat.
Namun, Ha nashi harus berakhir kalah ditangan ayah Ambareesh. Ayah Ambareesh lebih berpengalaman dari bocah yang merupakan muridnya sendiri.
Ayah Ambareesh mengacungkan pedang mananya pada leher Ha nashi. Mata Ha nashi terbelalak. "Tatapanmu, membuatku tertawa" Ucap Ayah Ambareesh menunjukkan senyum seringainya.
"GREP!" Ayah Ambareesh mencekik leher Ha nashi.
"Kau akan menyesal karena sudah membunuh 39 nyawa saudaramu sendiri. Nikmatilah penyesalan yang tak'kan kau lupakan ini. BUGH!!!"
Dia menghantam dengan keras wajah Ha nashi hingga dia tidak sadarkan diri. Ayah Ambareesh memerintahkan bawahannya untuk menghancurkan wajah 39 anggotanya yang mati dan membawa barang berharga 39 orang itu untuk diserahkan kepada keluarga mereka sebelum mereka mundur.
"TUAN RAVEL! PUTRA ANDA! AMBAREESH!"
Mata ayah Ambareesh terbelalak saat salah satu anggotanya menyebutkan nama Ambareesh. "DIA..."
"Tidak mungkin! Kalian! Segera selesaikan secepat mungkin!"
"TUAN! ANDA SELAMATKAN DULU PUTRA ANDA! KAMI AKAN SECEPATNYA MENYELESAIKAN INI!" Tegas beberapa dari mereka.
"Tidak bisa. Kita datang bersama, oleh karena itu kita harus pergi bersama. Misi adalah nomor satu. Ini untuk keselamatan orang banyak. Paham?" Ravel (Ayah Ambareesh) mengepalkan kedua tangannya dengan erat dan dia memberikan tatapan serius kepada semua anggotanya yang masih ada.
"PAHAM! KAPTEN!!!!" Tegas mereka sambil mengangkat pedang mereka setinggi-tingginya.
Ravel menahan kecemasannya dan dia langsung pergi menuju Ambareesh setelah bawahannya berteleport menuju persembunyian mereka untuk membersihkan jejak.
Sayang bagi Ravel, Dia harus melihat Putranya yang akan ditikam oleh Prajurit Iblis.
"AMBAREESH!"
Dia berlari dengn kencang. Kemudian, WOSH! Jelb!!!
Dia menukar tempat Ambareesh dengan dirinya yang berjarak kurang dari 2 Meter dari Dia berada.
"Hempph"
Tusukan itu tidak terlalu dalam. Namun, Ravel tetap merasa sakit saat pedang itu menusuk punggung kirinya.
Ambareesh membuka matanya dengan lebar saat ayahnya muncul dihadapannya dan sudah dalam kondisi tertusuk.
Iblis disana, menyadari ciri tubuh Ravel yang nampak seperti buronan kelas S.
"SIALAN! DIA INI! KETUA PEMBERONTAK RAJA! HAHA! KITA BISA KAYA DENGAN MEMBAWA KEPALANYA!!!" Dua Iblis itu, kegirangan.
Ambareesh berlari ke arah Tiga Prajurit Iblis yang girang. Dia menendang kaki Prajurit Iblis itu dan memukul zirahnya tanpa tenaga.
Tiga Iblis itu, tertawa melihat aksi Ambareesh.
"AKU AKAN MEMBUNUH KALIAN!!!- KUKH!"
Ambareesh berteriak dan tersedak ludahnya sediri. Mereka semakin keras menertawakan Ambareesh.
"TEP! SYUUUT!!!"
Ravel Menapakkan kedua telapak tangannya di tanah. Kemudian, dia memusatkan berat tubuhnya pada kedua telapak tangannya dan melesatkan memutar tubuhnya di udara, lalu "DAGH!!!!" Ravel menghentakkan kakinya saat di udara ke arah salah satu Iblis disana. Ia menjepit leher Iblis yang menusuknya itu.
"BRUK!" Ravel membanting tubuh Prajurit Iblis itu.
Ambareesh takjub melihat aksi ayahnya.
"Ambareesh, tutup matamu" Ucap Ravel.
Ambareesh menurut. Dia langsung menutup matanya dengan kedua tangannya.
Ravel mencengkram wajah Iblis itu dan "BAMMM!!! PREACHHHH!!!!!" Kepala Iblis itu meledak.
Ravel mengangkat wajahnya yang penuh darah menatap dua Iblis yang berdiri diantara Ravel. "Haaa... Dia! Memang Malaikat Berdarah Dingin!!" Mereka berdua melarikan diri dari sana.
Julukan itu, melekat pada Ravel semenjak dirinya berusia 17 tahun.
Ravel berdiri kemudian dia mengangkat Ambareesh dan membawanya pergi berteleport menuju persembunyian kelompoknya.
"Ambareesh, buka matamu. Apa Putra Ayah ini baik-baik saja?"
Ambareesh membuka matanya saat Ayahnya sudah mengizinkan. Ruangan yang bersih dan terang lebih bagus dari rumahnya membuat mulut Ambareesh mengaga.
Ia melihat wajah ayahnya yang penuh darah. Ambareesh memegang pipi Ayahnya. "Apa Ayah terluka?"
Ravel agak terkejut mendengar Ambareesh khawatir padanya.
"Hahaha! Tentu saja tidak! Ayah ini pahlawan pelindung Putra Ayah kan?!"
"Ayah, aku ingin seperti Ayah. Bisa sihir!" Tegas Ambareesh sambil diturunkan dari gendongannya.
"Hem! Hem! Hem! Tidak semudah itu" Ravel mengelengkan kepalanya.
"Kenapa?!"
Ravel berjongkok di depan Ambareesh. "Yang pertama, kamu harus memiliki keinginan kuat untuk belajar sihir. Yang kedua, kamu bertarung hanya untuk melindungi orang yang perlu dilindungi, yang ketiga jangan percaya dengan bukti. Bukti itu, bisa dibuat-buat. Ambareesh harus melihat semua dengan pandangan yang luas. Baik dari segi orang pertama, kedua, ataupun ketiga. Karena, setiap pandangan orang itu berbeda. Mereka memiliki alasan sendiri untuk melakukan hal yang menurut kita salah. Yang keempat-"
"Aku tidak mau belajar sihir" Ambareesh langsung menyela.
"Ha? Kenapa!?"
"Banyak aturan" Ucap Ambareesh sambil membuang pandangannya.
Ravel terkekeh ringan.
"Aturan sangat diperlukan untuk melindungi satu sama lain. Jadi Ayah harap-"
"TUAN RAVEL!!! HA NASHI MENUNJUKKAN TEMPAT INI! SEKUMPULAN PRAJURIT IBLIS BERBONDONG MENUJU KEMARI!!!"
Seorang anggota Ravel berbagsa Malaikat berlari ke arah Ravel dan berteriak padanya. Malaikat itu, terdiam saat melihat Ambareesh sedang menatapnya.
Malaikat itu, terbelalak. "TUAN! MAAFKAN SAYA!" Ia langsung tengkurap di samping Ravel.
"Ayah, paman itu kenapa?" Ambareesh menunjuk Manusia itu.
"Dia Paman Gyels. Tunggu disini ya, jangan kemana-mana" Ravel menepuk punggung Malaikat itu untuk berdiri.
"Paman Gel?" Lirih Ambareesh.
Ravel dan Gyels berdiri sedikit jauh dari posisi Ambareesh.
"Cepat mana antara kedatangan Iblis dengan mengosongkan tempat ini?"
"Lebih cepat Bangsa Iblis 15 menit Tuan"
Ravel melirik ke arah Ambareesh.
"Kalau begitu, suruh yang lain untuk pergi dari tempat ini"
"Tuan! Apa Anda akan bergerak sendiri?!"
"Tidak. Aku hanya akan membakar tempat ini. Untuk harta yang kita dapat, aku percayakan padamu untuk membagikannya ke yang lain. Utamakan untuk keluarga saudara kita yang gugur" Perintah Ravel.
Gyels membungkuk kemudian dia membalik tubuhnya untuk berjalan keluar. Senyuman licik terpampang di wajahnya karena dia adalah penghianat yang sebenarnya.
"JLEB!!!! KHOOOOOKK" Pedang mana biru menusuk tengkuknya hingga menembus leher. Gyels melihat ke arah belakangnya, tepat pada mata Ravel yang berwarna kuning keemasan.
"Bodoh. BRUKKK!" Ucap Ravel sebelum tubuh Gyels terjatuh.
"Ayah! Apa dia paman jahat?"
"Iya, dia Malaikat yang berhati Iblis. Jadi, yang keempat, Ambareesh harus bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang tidak" Mata Ravel kembali membiru saat melihat Ambareesh.
"Bagaimana cara membedakannya?" Tanya Ambareesh.
"Bau dia lebih busuk"
"Aromanya, berbeda dengan Ha nashi. Dia murid yang bodoh karena membohongiku" Batin Ravel sambil menuntun Ambareesh keluar dari tempat itu.
Ravel memerintahkan untuk semua Anggotanya sebanyak 60 orang (dirinya tidak termasuk) untuk segera meninggalkan tempat ini.
Ravel mengengam tangan Ambareesh menggunakan tangan kirinya. Ambareesh melihat ayahnya yang biasa humoris padanya tiba-tiba menjadi orang yang serius.
Ravel mengangkatkan jari telunjuknya tepat di depan bibirnya. Mulutnya terus bergerak seolah dia sedang membaca matra.
"WUSSHHHH" Cahaya biru dan diikuti oleh angin terlihat di atas telunjuk Ravel. Lagi-lagi, Ambareesh takjub melihatnya.
Ia mencontoh gaya Ayahnya sambil comat-camit.
"DADELION BLUE. PATS!!!"
Cahaya biru yang diikuti oleh angin itu langusng menyatu dan menjadi bola yang padat di atas jari telunjuk Ravel.
"Woaaaaah"
Ravel melihat mata Putranya yang berbinar. "Hebat bukan?" Tanya Ravel dan Ambareesh mengangguk girang.
Bola mana sebesar bola tenis meja itu dilepaskan oleh Ravel dan bergerak perlahan mendekati rumah yang mereka gunakan sebagai tempat persembunyian.
Ravel mengangkat Ambareesh dan kembali mengendongnya. "Ayo pergi" Ucap Ravel.
"Eh??? Bagaimana?! Aku ingin melihat itu Ayah!" Ambareesh melihat kebelakang dan menunjuk bola mana itu.
Ravel mengusap kepala Ambareesh. "Kita lihat dari kejauhan saja ya, bola itu akan meledak saat menyentuh sesuatu.
Ucapan Ravel benar adanya. Bola mana itu "BAMMMM!!! PATTTTTSSSSS!" Meluluhlantakkan persembunyian mereka. Angin berhembus kencang dan diikuti dengan gempa karenanya. Debu-debu berterbangan dan beberapa pohon patah karena hempasan angin itu.
"JLEEEB!!!"
Entah darimana datang Iblis itu. Dengan tiba-tiba, pedang mana menembus dada Ravel yang baru saja menurunkan Ambareesh dari gendongannya kemudian memeluknya.
"BKAKK!!!"
Darah menyembur dari mulut Ravel ketika punggungnya ditikam oleh pedang mana berwarna merah yang menembus dadanya setelah Ambareesh memeluknya dan Dia dorong sebelum pedang mana itu, mengenai Ambareesh.
"Lari...." Ucap lirih Ravel sambil melepas tangannya dari tubuh Ambareesh.
"SPLASH! CRAT! CRAT!"
Darah menyembur di wajah Ambareesh saat kepala Ravel terpenggal.
Ambareesh mundur beberapa langkah kemudian, Ia berlari secepatnya.
...----------------●●●----------------...
Zen mendengar cerita Ambareesh hingga usai. Dia tau bila Ravel adalah ketua dari agensi gelap itu.
Zen mengusap tengkuk Ambareesh saat melihat mata Ambareesh yang berlinang. "Jadi, apa Ambareesh mau pergi bersama Paman? Paman akan mengenalkanmu kepada orang yang membantu Paman menumbuhkan tanduk ini" Tawar Zen.
Ambareesh melihat Zen. "Apa aku akan bisa sihir? Aku tidak bisa mengeluarkan manaku dengan benar Paman"
"Apa kamu tidak ingin melindungi Ibumu?"
"Sudah ada kak Ken. Untuk apa aku memikirkan Ibu? Ibu takkan khawatir bila Aku mati" Ucap Ambareesh.
Zen menutup mulut Ambareesh perlahan. "Kamu salah Ambareesh. Ibumu sangat mengkhawatirkanmu. Paman kemari karena dimintai tolong olehnya."
Ambareesh langsung teringat ucapan Ayahnya yang ketiga. Dia harus memiliki pandangan yang luas.
"Ambareesh, mau ya berlatih sihir dan menumbuhkan tanduk di desa terluar dan terjauh dari Pemerintahan Akaiakuma?" Tanya sekali lagi.
Ambareesh mengangguk. Ia tidak memiliki sedikit pun akan tempat yang akan menjadi bencana baginya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!