NovelToon NovelToon

Kidung Cinta Alona

Bab 1

❤️❤️❤️

"Sayang, tolong ambilkan obat itu" rintih Mirna sambil menunjuk ke arah meja kecil disamping tempat tidurnya.

Dalam keseharian Mirna, ia terpaksa harus menjalani segala aktivitas hidupnya diatas tempat tidur. Sejak vonis dokter hari itu, Mirna tak pernah kunjung membaik kondisinya.

"Baik Bu" seru Alona yang baru saja selesai mengikat rambut panjang miliknya.

Alona Wilhelmina adalah seorang wanita yang berusia 22 tahun, sejak usaha sang ayah mengalami kerugian ia tak lagi melanjutkan kuliahnya yang hanya tinggal menghitung bulan.

Dengan hati yang lapang, Alona lebih memilih untuk merawat sang ibu dan bekerja seadanya untuk mencukupi keseharian hidup mereka berdua.

Semenjak kebangkrutan yang dialami oleh sang ayah kini Alona hanya berdua saja dengan sang ibu. Karena ayahnya, sudah 2 bulan lebih lamanya meninggal karena mengalami serangan jantung akut.

Hampir disetiap harinya, Alona menghadapi orang-orang yang bertubuh lebih besar dan gempal dari dirinya untuk menagih hutang piutang yang telah ditinggalkan sang ayah.

"JANGAN BERKELIT LAGI KAU!" Bentak seorang penagih hutang.

Alona yang hendak pergi untuk berangkat kerja, terpaksa mengurungkan niatnya itu dan berhadapan dengan dua orang lelaki yang sudah tak sabar ingin mendapatkan uang mereka.

"Duduklah" pinta Alona.

"ARGGGHH... sudahlah. Cepat ambilkan uang itu, atau jika tidak akan aku luluh lantahkan rumah mu ini" teriak dan makian seorang laki-laki lainnya.

"Aku tidak punya uang" tutur Alona dengan tegas.

Sambil menarik nafas dalam-dalam, dia memberikan kalimat tegas dan kemudian membukakan dompet miliknya dihadapan mereka.

"Lihatlah, satu rupiah pun aku tak memilikinya" imbuhnya dengan ekspresi datar.

"Aku tak mau tahu dengan semua alasanmu, ayahmu yang berhutang maka lunasi semua hutangnya dengan cepat!" sekali lagi makian pria bertubuh besar itu menggelegar di daun telinganya.

"Jujur, aku tak punya uang satu rupiah pun hari ini. Dan aku hanya memiliki satu hal yang paling berharga didalam diriku"

"Apa, cepat berikan pada kami" lanjut laki-laki tersebut seolah tak sabar ingin mendapatkan haknya.

"Aku hanya punya sebuah nyawa hari ini, jika bisa apa boleh aku tukar nyawaku ini dengan seluruh hutang ayahku?. Jika memang bisa ambilah" jelas Alona dengan tatap mata yang tajam seolah ingin meyakinkan keduanya.

Perkataan Alona sontak saja membuat keduanya bungkam dan tak mengeluarkan kata kasar sedikitpun dari ujung mulutnya.

"Dia sudah gila, kita pergi saja dulu hari ini. Demi Tuhan, kita hanya butuh uang bukan nyawa perempuan ini" imbuh seorang laki-laki yang sedari tadi sibuk berjaga didepan pintu.

Klonthang ...

Keduanya lantas pergi seketika itu juga, Karena merasa kesal salah seorang dari mereka mengayunkan tangannya untuk menyambar sebuah vas bunga kecil kesayangan ibunya.

Vas itu pecah berkeping-keping tak berbentuk di atas lantai. Bagi Alona hal seperti itu sudah menjadi makanannya setiap hari. Tak ada hari yang tak menegangkan bagi dirinya setiap saat.

*

*

*

"Alona ..." pekik Mirna dari dalam kamar.

Alona yang sedari tadi lemas terduduk disebuah sofa, sontak memiliki kekuatan seutuhnya kembali dan menghampiri sang ibu.

"Ada Bu, kenapa ini?" teriak Alona panik.

Ia begitu bingung karena melihat ibunya sudah sulit bernafas diatas tempat tidur. Dengan sekuat tenaga, Alona pun mencoba menggendong sang ibu keluar dari dalam kamar dan membawanya keluar untuk menuju rumah sakit.

Tak ada kendaraan lain yang ia punya melainkan motor kesayangan miliknya. Alona dengan cepat menaikkan tubuh ibunya diatas motor yang sudah ia design untuk sang ibu yang sulit jika harus duduk diatas motor. motornya memiliki penyangga yang cukup kuat untuk menopang tubuh sang ibu, karena Mirna tak cukup tenaga untuk berpegangan pada dirinya.

Alona lantas mengikat tangan sang ibu dengan seutas kain memanjang agar bisa melingkar sempurna ke arah perutnya. Tak ada cara lain lagi saat itu, yang terbesit dalam benaknya.

30 menit kemudian

Keduanya telah sampai disebuah rumah sakit, dan ibunya kini telah terbaring di atas sebuah tempat tidur untuk menunggu penanganan dari dokter.

"Bertahanlah demi Alona Bu"

"Aku mohon bertahanlah" seru Alona dengan mata berkaca-kaca.

Suster yang sudah berjaga disana, terpaksa menarik tubuh Alona untuk keluar dari ruangan tersebut. Agar dokter bisa memeriksanya dengan baik.

"Ibu, apakah keluarga pasien" sapa seorang perawat yang menghampiri dirinya sambil membawa sebuah map berwarna orange.

"Yah, saya putrinya sus"

"Mari ikut saya Bu, ada administrasi yang harus segera ibu selesaikan saat ini juga" ajak suster dengan ramah.

Alona sadar, ia sama sekali tak memiliki uang satu sen pun dalam dompetnya saat ini. Tapi, dengan kegigihan hati yang begitu kuat dirinya berjalan begitu saja untuk menuju ke tempat administrasi saat itu.

"Ibu Mirna?" seorang petugas dikasir menyapanya.

"Yah, saya anaknya Alona" terangnya.

"Baik Bu, untuk saat ini tolong selesaikan pembayaran ini terlebih dahulu. Karena jika tidak, ibu Mirna tidak akan dapatkan perawatan dengan maksimal nantinya" terang seorang petugas sambil menyodorkan secarik kertas putih yang berisikan nominal uang yang harus segera ia bayarkan.

"15 juta?"

"Apa aku tidak salah melihat ini?" gumam Alona.

Saat itu, Alona memutar kedua bola matanya untuk menatap sang petugas dengan tatapan yang lembut dan hangat.

"Waktu pembayaran paling lambat, kapan ya sus?" nada Alona bergetar.

"Secepatnya lebih baik Bu, karena keadaan Bu Mirna sudah sangat rawan sekali" ujarnya.

Tak ada jawaban yang pasti untuk dirinya saat itu, yang ia tahu saat ini ibunya sangat butuh obat-obatan didalam sana. Alona pun menuju sebuah bangku didepan kamar sang ibu disana, ia sejenak memejamkan kedua bola matanya disana untuk berpikir lebih keras apa yang harus ia lakukan.

Trang ...

Kunci motor miliknya tiba-tiba terjatuh dari genggaman tangan Alona. Saat itu, seketika dirinya tersadar bahwa benda itu akan dapat menolong ibunya didalam sana.

"Aku tahu, kamu tidak akan pernah mengecewakan ku blue" Alona berdialog dengan dirinya sendiri.

Blue adalah panggilan motor kesayangan Alona sejak pertama kali motor itu menjadi miliknya. Motor itu, adalah motor yang ia beli dengan uang tabungan miliknya selama 6 tahun lamanya. Sebagai anak tunggal, Alona tidak pernah sama sekali manja ataupun merengek dalam meminta suatu hal kepada ke dua orang tuanya. Dirinya sudah terbiasa mandiri sejak kecil tanpa tuntutan dari kedua orang tuanya.

Setibanya diparkiran motor, Alona mencoba berdialog kepada blue untuk kali terakhir. Dirinya menitihkan air mata sambil terus mengusap motor klasik kesayangannya itu, karena Alona dengan berat hati harus mengingkari janjinya pada blue kali ini.

Flashback Alona

Kau tahu, kali ini aku akan memanggilmu dengan sebutan blue. Dan aku berjanji kita tidak akan berpisah sampai kapanpun.

*

*

*

...Hai, ini adalah karya othor yang kesekian. othor hanya ingin berbagi cerita pada kalian semua, jadi tolong tunggu kelanjutannya yah 🌲...

Bab 2

Tepat pukul tiga sore, laju motor Alona terhenti didepan gerai penjualan motor bekas. Setibanya didepan ruko tersebut, langkah kaki Alona sedikit ragu dan bimbang ketika ingin memasukinya.

"Ada yang bisa aku bantu nak?" tanya seorang pemilik gerai tersebut dengan halus.

Pria setengah tua berparas arab tersebut sempat menepuk pundak Alona untuk menyadarkan lamunannya.

"Akh, iya paman"

"Aku kemari ingin menjual motor miliku itu" serunya dengan lemas sembari menunjuk blue dari dalam gerai.

Dari kejauhan, pria tersebut telah mengamati dengan baik motor klasik milik Alona dengan begitu jeli dan baik.

"Kau minta berapa nak?" tanyanya sembari berjalan lebih dekat untuk menghampiri motor yang begitu cantik penampilannya.

"Bayarlah sepantasnya paman" terang Alona masih dengan nada menahan sedih.

"Dia begitu cantik, apa kau yakin akan menjualnya. Jika kau mau menunggunya beberapa tahun lagi, aku yakin pasti si cantik ini akan laku dengan harga tinggi" terang pemilik gerai tersebut memberikan wejangan pada Alona.

"Tidak paman!"

"Aku harus melepasnya secepat mungkin"

"Aku tidak punya lagi waktu selama itu denganya lagi, aku butuh uang untuk biaya berobat ibuku" jelas Alona.

Tangannya gemetar ketika harus menyerahkan kunci beserta surat-surat lainnya milik blue pada pria tersebut.

"Tunggu, tapi aku hanya bisa membelinya dengan harga ini saja" terangnya sambil memberikan secarik kertas berisikan nominal penawaran pembeliannya pada Alona.

"Aku setuju paman" imbuhnya tegas.

Dalam secarik kertas tersebut, tertulis angka 20 juta saja untuk nominal yang diberikan si blue. Sungguh, itu adalah penawaran paling rendah sepengetahuan Alona.

Karena tak ada pilihan lainnya, Alona mau tidak mau dan suka tidak suka mengambil tawaran itu dengan berat hati. Ketika transaksi selesai, Alona yang segera keluar dari gerai motor itu mengusap kasar kedua pipinya yang sekali lagi berderai air mata dengan lengan tangannya.

"Bu, tunggu Alona. Aku datang membawa uang ini untukmu. Bertahanlah" terangnya sambil berjalan secepat mungkin menuju rumah sakit.

*

*

*

"Sus, saya ingin melunasi biaya ibu saya. Tolong segera proses dan berikan penanganan sebaik mungkin untuknya" pinta Alona yang baru saja tiba dengan nafas sengal.

Ketika dirinya mendapati permintaannya diproses dengan sebaik mungkin, wajahnya yang semula menegang kini mulai mengendur perlahan dengan baik.

"Berikut nota pembayarannya ya Bu, kami akan segera tangani pasien secepat mungkin" tutur seorang suster.

Tanpa berkata panjang lebar, Alona hanya membalas ucapan itu dengan anggukan yang pasti. Lima menit kemudian, ponsel miliknya pun berdering berulang kali dalam tas rajut kecil miliknya.

☎️ "Lagi-lagi dirimu tidak masuk hari ini Alona!" teriak Ci Mei pemilik toko roti terbesar dikota.

Alona bekerja paruh waktu disana selama ini sebagai kasir.

☎️ "Tolong maafkan aku ci, ibuku hari ini tengah kritis" terang Alona.

☎️ "Apa tidak ada alasan lain, sehingga aku dengan mudah mempercayai dirimu hah?!" sentaknya.

☎️ "Aku mohon percayalah, aku tidak pernah membohongi dirimu ci" tutur Alona mencoba memberi penjelasan.

☎️ "CUKUP!, dengarkan aku baik-baik Alona. Hari ini aku akan memecatmu dengan tidak baik, dan ingatlah besuk dirimu masih bisa mengambil sisa upahmu ditoko" terang ci Mei dengan kasar.

Wanita Cina tersebut tak dapat lagi membendung kekecewaannya pada Alona kali ini, karena baginya Alona sudah terlampau sering tidak masuk kerja karena alasan yang sama dan berulang kali. Tak jarang, dalam satu bulan Alona bisa mengambil libur sebanyak 10 kali hanya untuk menjaga sang ibu.

"Tuhan, cobaan apalagi ini" pekik Alona sambil menggenggam ponsel miliknya.

Ia berusaha tetap tenang dan tegar dalam kondisi saat ini. Tak ada pilihan yang lebih baik lagi selain menguatkan dirinya terlebih dahulu sekarang ini.

" Bu Alona, apa bisa ikut saya sebentar saja keruangan?" ajak seorang dokter dihadapannya.

"Baik dok" sahutnya.

Setibanya diruangan, Alona menarik sebuah bangku utnuk ia duduki saat itu.

"Bu, kami sudah melakukan sebaik mungkin untuk ibu anda. Tapi yang harus anda ketahui saat ini adalah, pasien tengah dalam kondisi koma"

Mengetahui hal itu, Alona hanya bisa menarik nafasnya dengan panjang dan tubuhnya lemas seketika.

"Apa harapan itu masih ada dok?" tanya Alona yang nada bicaranya mulai lemah.

"Kita serahkan semua pada Tuhan Bu, kami selaku dokter sudah mengupayakan sebaik mungkin"

"Tapi ada satu hal yang harus ibu ketahui juga, saat ini ditubuh ibu Mirna sudah terpasang banyak sekali alat bantu untuk beliau kenakan. Dan jika salah satu diantara alat itu terlepas dari tubuhnya, maka mohon maaf nyawa ibu anda tidak akan pernah tertolong kembali" jelas dokter ifandy.

Bagaikan petir yang menggelegar, ucapan demi ucapan dokter itu membuat Alona sangat tak percaya lagi pada dirinya sendiri saat ini.

Cukup lama termenung, kini Alona mencoba mengatur semua pikirannya yang tadinya berantakan.

"Apa biayanya akan sangat mahal dok?" tanyanya pilu.

"Tentu saja Bu, dalam satu hari saja dengan semua alat bantu itu. Paling tidak ibu Alona harus merogoh uang belasan juta rupiah belum termasuk biaya kamar inap" terang dokter ifandy sekali lagi.

Sekali lagi, hal itu membuatnya semakin frustasi saat ini. Baginya hari ini begitu sulit untuk bernafas, rasanya tak ada kesempatan baginya untuk sedikit saja menghirup udara segar pada setiap rongga dadanya.

"Baik terimakasih dok untuk semua penjelasannya, tolong berikan apa yang terbaik untuk ibu saya" ucapnya.

Dengan demikian, Alona telah menyetujui semua perkataan yang telah disampaikan kepada dirinya. Masih dengan wajah yang lemas, Alona berjalan sepanjang koridor dengan melamun dan tatapan kosong.

Ketika dirinya tengah berdiri tepat dihadapan kamar ibunya, ia tak lagi banyak berkata. Tangannya perlahan mengusap cela kaca kecil didaun pintu kamar tersebut.

Mata nanarnya, memandang sang ibu dari kejauhan. Kali ini keduanya dipisahkan antara pintu dan ruangan, karena selama perawatan intensif Mirna tak dapat lagi dijenguk oleh Alona.

"Bu, Alona berjanji akan berusaha sekuat mungkin untuk ibu"

"Kuatlah didalam sana, dan tolong percayakan semua pada Alona kali ini" terangnya sembari menatap semua alat yang telah terpasang dan mengelilingi tubuh sang ibu didalam.

Harapan besar itu tak lagi ada dalam benaknya, tapi Alona hanya memiliki satu keyakinan kecil yang selalu ia pegang teguh hingga sampai saat ini.

"Kekuatan ini akan selalu ada dalam hati Alona Bu, sampai kapanpun" dialog Alona pada dirinya sendiri.

Sepanjang waktu Alona berjaga didepan kamar sang ibu dengan sabar, tak sedetikpun Alona meninggalkan ibunya disana.

"Bu, aku ingin menjadi besar supaya aku bisa menjaga ibu nantinya" suara anak kecil yang terdengar dari lorong yang memiliki sinar lampu remang.

Sontak saja, suara itu membuat Alona sedikit mengingat sewaktu dirinya kecil bersama kedua orang tuanya.

Bersambung ❤️

Bab 3

"Sungguh ini berat bagiku ayah, tapi kau pernah menggenggam tangan kecilku sewaktu dulu dan berkata padaku. Alona ayah adalah gadis yang kuat ya nak" Dialog Alona pada dirinya sendiri sembari menahan getir dihatinya sekali lagi.

Memang tak kan ada lagi sosok pelindung bagi dirinya, tapi setidaknya masih ada sosok untuk membuatnya bertahan agar lebih kuat lagi di hari esok.

Jam bergulir begitu cepat, dan tak terasa pagi pun telah tiba. Alona yang sepanjang waktu duduk dan tertidur di bangku tunggu itu kini terbangun untuk melihat kondisi sang ibu dari balik kaca kamar.

*

*

*

"Pagi Bu Alona" sapa seorang suster di pagi hari dari balik punggungnya.

"Yah, pagi sus" sahutnya lembut.

Terlihat seorang suster dan beberapa perawat lainnya tengah masuk kedalam ruangan sang ibu, untuk mengecek seluruh alat dan monitor yang berada didalam ruangan itu.

Masih dengan tatapan yang setia, Alona memandangi dari balik kaca setiap kerja para perawat yang berada didalam sana.

"Permisi" seorang memanggilnya dengan lembut dari belakang.

"Ah, iya" sahut Alona sedikit terkejut dan berjingkit.

"Maaf Bu, jika saya mengagetkan ibu. Apa bisa ikut saya ke kasir sebentar?" ajaknya.

"Apa ini masalah uang lagi, apa yang harus aku berikan padanya kali ini" gumam Alona dengan pilu dalam hatinya.

Tapi langkah kakinya tetap berjalan dan mengikuti perintah seorang perawat tersebut. Benar saja, setibanya disana Alona pun sudah diberikan secarik kertas untuk biaya sang ibu hari ini.

"Berikut adalah rincian biaya ibu Mirna hari ini ya Bu, tolong segera diselesaikan hari ini juga. terimakasih" terang seorang petugas padanya.

Bukan angka main-main yang tertera pada selembar kertas tersebut, cukup membuatnya tercengang saat itu. Bagaimana tidak, jumlah uang tersebut masih belum Alona miliki saat ini. Bahkan sampai detik ini, Alona masih bertahan untuk tidak mengisi perutnya demi mengumpulkan uang.

Dengan wajah yang sedikit murung ia perlahan berjalan meninggalkan tempat tersebut.

BRAKK

Tabrakan yang tak terelakkan di depan meja kasir, tas beserta isi didalamnya berserakan keluar sebagian. Alona yang terkejut segera memungut semua barang miliknya yang berhamburan dilantai.

"Maaf, maafkan saya" tutur Alona sembari menundukkan kepala dan menutup matanya dengan erat sebagai tanda penyesalan dirinya.

Seorang wanita dengan tubuh lebih besar darinya dan memiliki rambut berwarna pirang dihadapannya seketika mengulurkan tangannya, untuk memberikan secarik kertas milik Alona yang terjatuh.

"Ini punyamu?" tanya wanita itu.

"Ah iya, ini punya saya" sahutnya.

"Siapa yang sakit?"

"Ibu" jawaban Alona kali ini bergetar.

Beberapa detik kemudian, sang wanita tersebut mulai menatap Alona dari ujung rambut hingga kakinya perlahan.

"Kau sanggup membayar itu?" pertanyaan wanita itu sedikit membuat Alona gugup.

"Entahlah" jawab Alona.

"Aku bisa membantumu jika kau mau, dan aku rasa sangat muda bagimu untuk mendapatkan uang itu dalam waktu yang cepat" imbuhnya memberikan penawaran.

Kata demi kata yang ditawarkan pada Alona saat itu, bagaikan udara segar baginya. Karena dirinya memang tengah membutuhkan sebuah jalan keluar untuk jalan yang sudah buntu baginya saat ini.

"Hubungi aku jika kau berminat" sambungnya dengan memberi sebuah kartu nama yang berisikan namanya dan nomor telepon miliknya.

"Mami Neli?" Eja Alona dengan senyum bahagia di pipinya.

"Yah panggil saja dengan mami, itu cukup bagiku" imbuhnya sembari meninggalkan dirinya.

"Baik, terimakasih. Secepatnya aku akan menghubungi mu mam!" teriak Alona dengan wajah gembira.

Waktu itu, pukul 10 pagi Alona teringat akan perkataan ci Mei yang memintanya untuk datang ke tempat kerja hari ini.

Byurr

Suara basuhan air yang telah terjatuh dari wajah cantiknya dikamar mandi. Gemiricik air yang berjatuhan dari keran air tersebut, membuat Alona memiliki wajah segar dipagi hari ini.

Dengan langkah kaki yang penuh percaya diri, masih mengenakan baju yang sama Alona memutuskan untuk berjalan kaki ke tempat dirinya dulu bekerja. Perjalanan yang cukup jauh harus ia tempuh, tapi sekali lagi ia memang harus berhemat untuk sang ibu bagaimanapun caranya.

Setelah cukup lama berjalan, kurang lebih 1 jam lamanya ia baru tiba didepan toko roti milik ci Mei.

"Masih punya nyali kau datang kemari" sapa seorang rekan kerjanya.

Namanya Hesti, dia begitu membenci Alona selama ini. Karena Hesti tak ingin, ia kalah pamor dari paras cantik Alona.

Mendapati hal itu, Alona hanya tersenyum tipis pada rekan kerjanya itu. Setelah gerai tersebut dibuka, seperti biasa ci Mei pun datang menghampiri toko rotinya untuk memberikan uang modal bagi tokonya tersebut.

"Masuklah" ajak ci Mei pada Alona.

Rasa sedih sedikit menelisik pada relung jiwa Alona saat itu, betapa tidak karena ini adalah kali terakhir ia menatap setiap sudut tempat dimana ia mengumpulkan pundi-pundi rupiah selama ini. Tangannya terlihat memegangi setiap rak roti yang biasa ia bersihkan untuk menata para roti hangat yang siap dijual dipagi hari.

Melihat pemandangan itu, sebagai seorang bos ci Mei sebenarnya tak tega hati untuk memecat dirinya. Baginya Alona memang anak yang memiliki dedikasi tinggi ketika sedang bekerja, tapi mau bagaimana lagi sebagai seorang atasan ia tidak ingin jika karyawan yang lain sampai merasa iri atau tidak nyaman dengan kinerja buruk Alona belakangan ini.

"Ambil ini, aku sudah memberikan hak terakhirmu disini. Semoga kau bisa menemukan tempat baru yang lebih baik dari tempatku" Ucap ci Mei dengan memberikan amplop coklat.

"Terimakasih" sahut Alona dengan lembut.

Tak ada kata perpisahan yang terucap dari bibirnya kala itu, karena bagi Alona toko roti itu masih seperti rumahnya sendiri.

Krincing

Bunyi suara pintu toko roti tersebut jika dalam keadaan dibuka kembali. Suara itupun membuat Alona semakin rindu nantinya.

Ketika dirinya masih beberapa langkah meninggalkan toko ci Mei, tiba-tiba saja ia dihadang oleh dua orang preman yang sering datang menghampiri dirinya dirumah dengan sang ibu.

"Berikan uang itu padaku!" sentak seorang pria berkepala plontos.

"Pandai kali kau bersembunyi dari kami, rumahmu itu hampir kami robohkan tadi. Sekian menit aku gedor-gedor disana tak ada satupun yang membuka. Rupanya disini dirimu" terang preman satunya.

"Ibu dirumah sakit" terang Alona memberikan sebuah alasan.

"Nggak mau tau aku tentang ibumu, cepat berikan uang itu atau tidak aku akan ambil paksa" ucap preman itu dengan kasar.

Melihat dari kejauhan, ci Mei yang sedari tadi melihat pemandangan itu dari dalam toko rotinya merasa iba dan ingin menolong Alona saat itu juga.

"Berhentilah ci, jangan sampai ci Mei berurusan dengan para bandit itu. Biarkan saja Alona yang menghadapi mereka. Itu sudah menjadi konsekuensinya" cegah Hesti .

Bersambung ♥️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!