"Hallo semua, mohon maaf sudah lama tidak muncul, di novel sebelumnya saya belum berhasil menamatkan novel itu, karena harus revisi ulang bagian yang penting🙏🙏 Jangan lupa vote dan like iya besti."
...----------------...
Di pagi hari yang cerah, terlihat fajar berwarna oranye melintasi cakrawala. Seorang wanita tengah duduk di pinggir jendela menatap hiruk pikuk perkotaan, tiba-tiba matanya terbelalak lebar saat melihat mobil mewah berbentuk Benz tengah parkir di depan kafe.
"Wao …, gila mobil siapa itu?" gumam wanita itu takjub menatap mobil yang terparkir di samping jalan trotoar.
Pemilik mobil tersebut keluar dengan beberapa asisten di depannya, terlihat seorang pria bertubuh kekar dengan kacamata hitam yang melingkar di matanya.
Sedangkan pemilik kafe yang berada di dalam bergegas keluar, dengan sigap pemilik itu langsung membukukan badan sebagai tanda hormat pada pria tersebut, ia kembali membuka kacamatanya, membuat sesi kafe semakin terpesona akan elok wajahnya.
Aku pun takjub betapa tampanya pria tersebut, membuat hatiku berdegup kencang saat mata kami bertautan, menandakan girangnya diriku saat dia membalas tatapanku.
Usai mata kami bertautan dia pun pergi melewatiku dan beranjak menaiki lift, membuat hatiku sedikit kecewa, padahal aku tak mengenalnya.
Kekecewaan ku mereda saat bunyi handphone berdering di dalam tasku, aku pun bergegas memasukan tanganku lalu mengangkat telpon tersebut.
"Halo, Nat!" sapa ku.
"Ruhi …, kamu dimana sekarang? Bapak mu sakit!" ucapnya panik.
"Bapakku kenapa, Nat?" ulangku terkejut. Aku pun bergegas keluar dari kafe dengan wajah panik, sambil mengengam erat tas milikku.
Sesampainya di rumah aku melihat Nathan dan ibu sedang duduk menatap tubuh lemas bapak. Ibu yang melihat ku berdiri di depan pintu rumah langsung meleburkan tubuhnya padaku.
"Ruhi …!" ucap ibu memanggil dengan suara isak tangis, aku pun membalas pelukan itu sembari melayangkan beberapa pertanyaan padanya.
"Bu …, bapak kenapa?" tanyaku penasaran.
"Bapak kamu terkena gagal ginjal!" sela Nathan yang sedari tadi berdiri di belakang ibu.
Mendengar hal itu, tentu saja membuat tubuhku gemetar karena terkejut, di situasi seperti ini bapak malah sakit, dengan kondisi keuangan yang tak cukup.
"Ya Tuhan, bagaimana bisa aku membayar pengobatan penyakit gagal ginjal, sedangkan aku sendiri masih serabutan mencari uang untuk makan!" batinku saat menatap kembali ibu yang masih menangis.
"Aku sudah membawa bapak mu ke rumah sakit, untuk saat ini aku yang akan membayarnya," ucap Nathan meredakan kekhawatiran ku.
Aku hanya bisa mengungkapkan rasa terimakasih ku dengan senyum di bibir yang terlihat manis namun pahit di dalam.
Nathan adalah pria yang bijaksana, dia sejak dulu selalu membantuku yang membuat hatiku sedikit tak enak hati meskipun kami memiliki ikatan persahabatan.
Aku kerap kali bertanya apakah kebaikan itu ada maksud yang tersirat atau kah murni karena kasihan? aku kadang tak mengerti sifat baiknya dia padaku, namun ku tepis karena saat ini aku mulai menyukainya meskipun kami hanya sebatas sahabat.
Nathan pun berpamitan kepada ibuku untuk pulang, karena matahari sudah mulai meninggi yang menandakan hari semakin siang.
"Bu, Nathan pamit iya, kalau ada apa-apa telpon saja," ucapnya sembari tersenyum.
"Iya Nak, terima kasih sudah menolong kami!" ucap ibu membalas senyum Nathan.
******
Di sore hari, saat senja yang berwarna jingga mulai tenggelam, sebuah kepanikan yang tak usai mulai menampakan dirinya, suara teriakan ibu bergema memanggil namaku, yang tengah melipat baju di dalam kamar.
Aku pun berlari menuju suara tersebut, dengan napas terengah-engah melihat ibu menangis pilu menatap bapak yang tengah meringis sakit.
"Ruhi …, panggil dokter?!" bentaknya sambil menangis.
Dengan panik aku kembali menuju kamar mengambil handphone yang masih berada di atas nakas. Aku langsung menghubungi nomer darurat. Perasaan takut dan gemetar mulai terasa, hancur jelas ku rasa.
"Aku harap bapak ku baik-baik saja!" gumamku sambil berdoa dengan handphone yang masih kugenggam erat.
Beberpa jam kemudian mobil Ambulans datang ke rumah, tanpa persiapan apapun aku dan ibu bergegas menaiki Ambulans. Sesampainya di sana ibu tak hentinya menangis sembari mengengam tangan bapak.
"Pak …, sadar, jangan tinggalkan ibu!" ucapnya menangis menatap bapak.
"Ibu, bapak pasti baik-baik saja!" ucapku menenangkannya sambil menahan air mata yang hampir jatuh.
Beliau kembali meleburkan tubuhnya memeluk ku erat dengan isak tangis yang berderai. Jujur saat ini hatiku tak karuan menatap ibu yang menangis pilu saat melihat bapak yang memasuki ruang UGD.
Beberapa jam usai pemeriksaan, dokter itu keluar dengan raut wajah mengkhawatirkan, dengan masker di tangannya dokter itu mengangkat wajahnya sembari menghela napas, perlahan-lah mulut yang tadi terdiam kembali mengeluarkan kata.
"Buk, pak Herman harus segera di operasi!" ucap dokter itu menatap kami.
"Apa! operasi!!" ucap ku kaget, dengan mata melebar. Sedangkan ibu hanya menangis dengan tubuh lemas.
Usai menjelaskan semuanya pada kami, dokter pun pergi meningalkan tempat itu. Saat ini aku merasa terpuruk dengan keadaan dimana bapak sakit, tentu membuat pikiran ku goyah untuk melanjutkan kuliah yang saat ini ku impikan.
"Ibu tunggu di sini, Aruhi akan belikan makan," ucapku lirih meminta beliau duduk.
Bersambung.....
Di tengah keramaian Ibu Kota, aku berjalan bagaikan semut yang mencari makan, lelah letih tentu membuat hati kecil ku sempat mengeluh, namun ku tepis karena percaya ada takdir baik yang menunggu.
Lamunan yang terus-terus mengusik pikiran ku menjadi buyar saat menatap kembali handphone miliku, suatu kebetulan yang tak pasti mengantarkan ku pada sebuah takdir.
Di hotel tempat ku bekerja, sedang melakukan pembersihan hotel untuk hari ini, pelayan yang bekerja di sana sudah pulang, jadwal kerjaku akhirnya di majukan, karena tamu penting akan mampir di hotel kami.
Aku pun mengirim pesan pada ibu, meminta agar beliau tak lagi menangis, usai mengirim pesan tersebut aku pun bergegas menuju hotel.
Jam menunjukan 10:34 malam, aku masih terus membersihkan kamar hotel yang akan di tempati tamu yang katanya seorang miliyader, aku sering bertanya-tanya seorang miliyader akan menginap di hotel mewah dengan 50 jt permalam.
"Itu sudah cukup membayar operasi bapak," gumam ku sembari mengosok WC.
Tiba-tiba suara pintu dengan keras terbuka, saat itu kamar di dalam hotel tak sempat aku nyalakan, yang menyala hanya kamar mandi yang saat ini aku bersihkan.
Aku sedikit terkejut, saat mengintip keluar, melihat seorang pria dengan tubuh terhuyung sedang mendekati kamar mandi.
"Maaf Pak, kamar mandinya belum siap!" ucap ku menurunkan pandangan.
Pria itu tak mengucapkan sepatah kata apapun, dia justru dengan cepat mendekat, aku mendorongnya kuat sampai tubuhnya terjatuh. Di sana aku sudah mulai panik, takut jelas ku rasa, gemetar tentu saja membuat tanganku berkeringat saking takutnya.
"Ya Tuhan, kenapa dengan pria ini? Apa iya salah masuk kamar?" ucapku bingung, menatap pria tersebut yang berusaha bangun.
Aku berlari menuju pintu keluar, dengan cepat tangan ku mengengam erat gagang pintu tersebut. Sekuat tenaga ku tarik dengan kuat tapi pintu itu tak bisa terbuka.
Sementara pria tersebut mulai mendekat dengan perlahan-lah, aku hanya terduduk menatapnya mendekatiku. Suara sreg dan berat. "Tolong aku, tubuhku tidak kuat!" ucap pria itu.
"A …, aku tidak tau apa yang terjadi, tapi tolong lepaskan saya!" ucapku menangis sembari melipat tanganku.
"Agh …, aku tidak akan menyakitimu, tapi tolong tubuh ku terasa panas!" ucapnya sembari mengerang sakit.
Saat aku menatap kembali pria itu, aku bisa mencium aroma menyengat dari tubuh pria tersebut, jelas penciuman ku tak salah.
"Berapa banyak pria ini minum?" batinku yang masih gemetar takut.
"Ta …, tapi saya ti …, tidak tau cara membantu kamu!" ucapku gemetar takut dengan suara gugup.
Pria itu langsung merahi tanganku dan menaruhnya di bagian dadanya, tentu saja membuat ku terkejut. Dada yang keras seperti batu bisa ku rasakan.
"Ap …, apa ini, apa pria ini mesum?" gumam ku bingung, dengan tangan yang masih memegang dada pria itu.
Aku pun menarik tanganku kembali dengan air keringat bercucuran. "Sa …, saya bukan perempuan seperti itu!" tegas ku sembari memejamkan mata.
Pria itu terdiam, menelusuri tatapanya pada diriku, sedangkan aku hanya terduduk sembari meringkuk di depan pintu keluar, dia yang terdiam kembali membuka suara.
"Malam ini saja, tolong bantu hilangkan panas di tubuh ku, kalau kamu berhasil aku akan memberikan kamu cek!" ucap pria itu sembari menahan panas di tubuhnya.
"Ta …, tapi aku tidak tau caranya?" tanya ku dengan bingung, menatap tubuhnya yang begitu berkeringat.
Ia lalu merebahkan tubuhku ke atas ranjang kemudian memelukku erat. Dengan lembut dia menyentuhku, aku bisa merasakan dada yang keras di tubuhnya, perlahan-lah jemarinya mulai menjelajahi satu persatu tubuhku, aku sempat menolak namun ia membungkam ku dengan kedua bibirnya.
BIbirnya perlahan-lah turun menelusuri leherku, malam itu aku tak bisa memberontak atau pun menangis, bohong jika aku tak menyukainya. Tapi malam pertama ku harus berakhir dengan pria yang tak aku kenali, hanya karena sebuah cek yang ia tawari padaku.
Sedikit demi sedikit rasa sakit yang menjajal tubuhku, tangan keras yang mengocok semua perut bagian bawahku, sesekali aku mengeluarkan suara erangan dan menatap pria yang tengah membungkuk di bawah kaki ku, aku sempat heran karena pria itu seperti kesulitan mencari sesuatu yang berada di bawah perutku.
Tiba-tiba benda lembut dan lembab masuk kedalam tubuhku, menggelitik dan mengocok kasar isi perut ku lagi, aku bahkan bisa merasakan panas di tubuhku, sejenak ku renggangkan seluruh tubuh ini, menikmati sentuhan kasar namun terasa nikmat.
Dengan sigap pria itu membuka satu persatu pakaiannya, meskipun aku tak dapat melihat wajah pria itu, namun bisa ku pastikan pria tersebut memiliki tubuh kekar dan indah, ku raba-raba perlahan hingga diriku merasakan garis halus di perutnya yang membentang bagikan roti sobek, yang hanya bisa ku lihat di manwah komik yang sering kubaca, pria itu lalu memasukan benda keras dan lembut di tubuhku, sedikit perih saat ia menghentakan pinggulnya kasar pada tubuhku, namun perlahan-lah rasa perih dan sakit itu hilang dengan rasa nikmat, hentakan kasar itu tak lagi sakit saat ia kembali mencium bibirku, sedikit ku rasakan demi sedikit air bercucuran dari keningnya, seolah-olah membuktikan bahwa pria itu sangatlah perkasa.
*****
Keesokan paginya aku terbangun menatap langit-langit kamar yang berbeda, membuatku terbelalak lebar, saat kembali mengingat momen tadi malam.
"Astaga! apa aku sudah melakukannya?" batinku menatap kembali tubuhku yang bertelanjang bulat.
Saat hendak menghela napas, aku melihat seorang pria berselimut putih sedang tengkurap dengan kepala menghadap samping ranjang, hingga aku tak dapat melihat wajah pria itu. Aku bergegas mengambil baju milikku, tanpa sengaja aku melihat cek senilai seratus juta di atas nakas, usai memakai baju, aku bergegas mengambil cek itu dan meningalkan pria tersebut.
Di luar gedung hotel, aku sedikit merasa kacau mengingat tadi malam, takut jelas ku rasa, sesaat lamunan ku hampir menguasaiku suara handphone berdering di dalam tas. Aku bergegas mengangkatnya.
"Aruhi …, ba …, bapak meninggal!" ucap ibu menangis pecah.
"Apa! ba …, bapak meninggal!" ucapku terkejut sembari menangis menggenggam erat handphone yang masih berada di telingaku.
Aku pun bergegas pergi menuju rumah sakit, kulihat ibu duduk menatap dinding, pikirannya terlihat kosong, ku leburkan tubuh memeluk erat beliau.
"Ruhi, tidak mungkin bapak pergi?'' ucapnya menatapku dengan mata berlinang.
Mendengar hal itu aku tak bisa berucap apapun, perlahan-lah diriku membuka kata, menanyakan tentang operasi yang bapak laksanakan. Namun yang ku dengar sebuah pernyataan pahit, aku gagal menyelamatkan bapak, karena tak sempat membayar uang muka. Hingga operasi tertunda, dan menyebabkan kematian pada bapak.
Bersambung...
Satu bulan kemudian setelah kematian bapak, dan terenggutnya kesucian ku, kami akhirnya pindah ke kota terpencil tempat nenek ku berada, di sana kami membuka toko bunga dengan uang yang masih tersisa di bank. Aku, bapak dan ibu seorang perantau, mereka berdua merantau sejak aku masih duduk di bangku SMP, sesekali mereka pulang ke kampung halaman hanya untuk bertemu dengan adik bapakku, tapi kami tak pernah sekali pun disambut baik oleh mereka.
Sejak kejadian itu bapak tak pernah pulang ke kampung, Sampai saat-saat terakhir pun beliau tak pernah menghubungi adiknya lagi. Seperti biasa aku menjalani rutinitas sehari-hari menjadi pemilik toko bunga, aku berhenti dari pekerjaan ku dulu. Karena kejadian itu, jujur aku sangat takut jika ibuku tau bahwa diriku ini sudah tidak perawan lagi, bahkan lebih parahnya lagi aku tidak tau pria itu, yang hanya ku tahu dia seorang milyader tamu hotel penting tempat ku bekerja.
Di pagi hari yang cerah, aku bergegas bangun membuka toko seperti biasa, ku pijakan kaki di tanah yang basah, menyambut mentari pagi sembari melihat-lihat bunga yang begitu indah, yang kemarin sore ku tata rapi di taman.
Tiba-tiba kepalaku terasa berat, aku seringkali mengalami mual seperti perut kembung, awalnya aku hanya menganggap penyakit itu biasa karena beberapa minggu ini aku jarang makan.
Tapi semakin hari tubuhku terasa sakit, kepalaku semakin berat, hingga semua yang ku lihat menjadi kabur, aku perlahan-lahan keluar dari toko, dan segera memanggil ibu yang tengah memasak di dapur, yang letaknya tak jauh dari toko.
Saat ku kembali meraih pintu keluar, justru aku terjatuh, kesadaran ku perlahan mulai menghilang, tapi bisa ku dengar suara teriakan dan langkah kaki cepat menghampiri ku.
"Ruhi… Ruhi!" panggil ibu teriak.
Aku langsung membuka mata, dan melihat sekeliling, aku terbangun di bangsal rumah sakit menatap kembali wajah yang penuh khawatir.
"Syukur lah, kamu sudah bangun, ibu sangat khawatir padamu Ruhi!" ucap ibuku menangis sembari memeluk ku erat.
Sejenak ku sadarkan kembali ingatanku yang masih berada di toko bunga, lalu bertanya dengan bingung pada ibu yang masih menangis.
"Buk, Ruhi kenapa?" tanya ku bingung.
"Tadi kamu pingsan di depan pintu toko," ungkapnya memegang tangan ku.
"Pingsan?" Sembari mengernyitkan dahi.
Suara pintu terbuka, seorang dokter datang dengan satu perawat di sampingnya.
"Mbak Aruhi?" ucap dokter itu sembari mendekati kami.
"Iya saya sendiri Dokr!"
"Kapan terakhir anda haid?" tanya dokter itu kembali.
Kembali ku ingat saat haid terakhirku membuat diriku semakin terkejut, karena terlalu sibuk mengurus toko aku bahkan lupa kapan terakhir aku haid.
Akukembali membuka suara, jantungku berdegup kencang saat kembali menatap dokter yang tengah berdiri.
"Sa …, saya tidak ingat Dok," ucap ku gugup.
"Dok anak saya sakit apa? Kenapa akhir-akhir ini dia sering mengalami pusing dan mual?" sergah ibu terbangun menatap dokter itu.
Kembali dokter itu menghela napas dan menjelaskan hasil medis tersebut. "Begini!dari hasil tes urine kamu dinyatakan positif hamil, gejalanya sama persis ketika kamu mengalami haid, mual muntah disebabkan karena Morning Sickness saat awal kehamilan, dan usia kandung Mbak sekarang baru memasuki 14 belas hari, sangat rentan mengalami kelelahan dan asam lambung. Jadi untuk saran saya Mbak harus istirahat total dan memperbanyak minum air putih dan makanan sehat."
Mendengar hal tersebut tentu saja aku terkejut, tak terkecuali ibu.
"Apa! anak saya hamil?!" ungkapnya kaget menatap dokter itu.
Tanpa basa basi usai menjelaskan hasil medis tersebut dokter itu pun pergi. Kembali ku tatap ibu yang sudah naik pitam karena sudah menahan emosi saat dokter itu menjelaskan hasil medis tersebut.
"Siapa ayah anak itu!" ucap ibu menghadap belakang sembari menahan emosi. Aku terdiam tak berkata, karena diriku tak tau ayah anak ini.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!