NovelToon NovelToon

Darah Di Tanah Leluhur

Bab 1 lembar Pertama

Sesakit-sakitnya perasaan Dinda mendapat pengkhianatan yang menjadi tetesan darah hitam tidak berhenti mengalir di sepanjang zaman antara hidup dan mati.

...💀💀💀...

Lembar buku hitam usang halaman pertama tulisan aksara tuan putri Diajeng Mangkubuana.

Kesetiaan hanya di miliki oleh manusia yang berhati tulus. Mencintai sang surya hingga rela terbakar di dalam sinarnya yang terik. Cinta ini berubah benci terkena panas api matahari.

Menyadari sosok lelaki yang di puja bukan lah peran matahari atau bintang hati yang bisa menemani hingga menua. Kini aku berubah menjadi setengah sosok lain demi menjaga tanah leluhur dan membalaskan dendam atas menagih janji yang tidak di tepati.

Era masa yang di lewati, ujung lembaran terdapat bekas darah milik sang putri Mahkota.

......................

Gelap wajahnya jika terkena pancaran sinar rembulan. Dia mengubah diri menjadi setengah sosok makhluk tak kasat mata.

Dahulu kala putri Diajeng memiliki hati selembut salju, seindah muara gumpalan sutra tidak bisa menandingi kebaikan seperti parasnya yang ayu nan baik hati. Semua berubah setelah dia menerima pengkhianatan dari orang yang paling dia cintai.

Kerajaan beserta seluruh rakyatnya itu pernah aman dan makmur. Tidak ada sedikitpun kekacauan, kesulitan atau hal buruk lainnya. Pada mulanya, perang Badar mewajibkan membawa ribuan pasukan untuk melawan musuh. Raja meminta para pria ikut berperan di mulai umur enam belas tahun ke atas. Di suatu malam yang dingin, pintu-pintu rumah rakyat di ketuk untuk membawa mereka pergi. Mempersiapkan peralatan perang, baju zirah dan membaca taktik perang yang di arahkan dari panglima.

Dari atas kamar kebesaran di kerajaan Kartarahwa. Dayang pendamping putri Diajeng mengetuk pintu sembari memberitahu kedatangan raja di taman alun-alun cempaka putih. Dia tersenyum berlari mempercepat langkah menuruni anak tangga sambil mengangkat gaunnya.

“Adinda tunggu lah pinangan ku setelah memenangkan peperangan ini. “

“Cepatlah kembali Kakanda. Rembulan di langit Kartarahwa tidak akan bersinar terang tanpa sosok bintang di hati dinda.”

Langit tiba-tiba menurunkan hujan yang sangat deras. Putri Diajeng merasa tidak mau melepaskan pelukan Raja Tumenggung. Kepergiannya di hari itu di lepas dengan kecupan di dahi Diajeng yang membuat dia semakin berat untuk berpisah.

Putri pewaris tahta terakhir itu memberikan hewan Garuda kesayangannya yang bisa membawa terbang menembus awan di langit. Raja Tumenggung menaiki Garuda penuh rasa percaya diri karena sosok Garuda hewan terkuat dari seluruh jagat raya.

Garuda khusus di wariskan untuk Diajeng sebagai penjaga wilayah Kartarahwa. Hewan siluman warisan leluhur itu berpindah ke Raja Tumenggung untuk membantu memenangkan perang Badar. Rasa cinta putri Diajeng yang berlebihan memberikan salah satu warisan leluhur tanpa berpikir sebab akibat ke depannya.

“Garuda, kau adalah hewan penurut yang mengikuti segala perintah ku. Ikutlah bersama raja Tumenggung dan bantulah dia. Aku akan menunggu mu disini, tidak ada hewan kesayangan lain selain mu.”

Hewan itu mendengar, memahami apa yang di katakan sang putri. Dia menuruti perkataannya dan mengikuti semua perintah sang raja. Sebelum berperang, para musuh ketakutan melihat kehadiran hewan terkuat dari seluruh muka bumi. Cakarnya yang berpijak ke tanah menimbulkan getaran gempa di sekitarnya. Kepakan sayap mengibas angin membanting sapuan benda di sekitar.

Barisan perang paring depan. Di atas badan Garuda, sang raja Tumenggung mengangkat pedang ke atas langit.

“Serang….!”

“Hidup dan mati untuk tanah Kartarahwa!”

Peperangan terbesar menghancurkan tubuh musuh berkeping-keping. Darah tumpah banjir hingga mengalir ke sungai. Airnya berubah menjadi warga darah, begitu pula air di rumah para rakyat yang juga berubah berwarna darah.

“Air yang mengalir berubah menjadi darah merah menyala!”

“Arghhh, pertanda apa ini?” keluhan para rakyat yang tidak ikut berperang.

Sebagian rakyat berpikir itu adalah darah para pejuang yang telah gugur di medan pegang demi mempertahankan negeri mereka. Namun hal itu adalah suatu petaka untuk sebuah negeri.

......................

Mimpi putri Diajeng Mangkubuana

Berdiri diantar siang dan malam, kulit putih sang putri di penuhi urat-urat tebal kemerahan menjalar di setiap anggota tubuhnya. Dia mengamati keanehan di tubuhnya. Sinar terik dari arah depan menyilaukan mata hingga dia memalingkan wajah.

“Diajeng, aku datang di dalam panggilan mu.”

Suara misterius sosok mengerikan mendekatinya. Uluran tangannya enggan dia sambut. Sang putri berlari menyeret gaun panjangnya melewati genangan darah. Di depan sana ada sebuah jembatan menghubungkan perbatasan dari satu tempat ke tempat lainnya. Tapi di sisi kanan dan kiri di penuhi lautan manusia yang terbakar di dalam nyala api yang membara.

“Diajeng, raih tangan ku untuk melewati tempat itu. Suatu masa kau terpaksa akan memanggil ku.”

Sosok itu terbang dengan suara retakan tulang. Sang putri perlahan menuju ke jembatan, dia berpegang erat merasakan hawa yang sangat panas dari bawah. Gaun panjang menggantung terbakar, sang putri ketakutan tidak seimbang hingga dia terjatuh ke bawah.

“Di ajeng cepat raih tanganku. Kau tidak memiliki pilihan lain demi mempertahankan wilayah tanah leluhur mu.”

Seharusnya dia sudah terjatuh hingga mencapai tiga meter dari atas jembatan tapi tangan panjang makhluk itu berhasil menyelamatkannya. Senyum menyeringai penuh kemenangan karena setelah hari ini dia terus-menerus mencari cara lebih dekat hingga berusaha merasuki tubuh sang putri.

“Arghhhh!”

“Tolong!”

Teriakan sang putri di malam yang larut membangunkan para dayang dan pengawal mengetuk pintu kamar kebesarannya. Karena jeritan sang putri belum berhenti, pengawal pendampingnya mendobrak pintu melihat sang putri sedang bermimpi buruk. Matanya masih tertutup tapi tubuhnya menggeliat dan menjerit sangat keras.

“Tuan putri bangun!” panggil sang panglima.

“Tuan putri bangun dan sadar lah” dayang pendampingnya mengusap pelan kedua telapak tangannya.

Dia membuka mata melihat ke sekeliling. Merasakan mimpinya nyata karena panas api benar-benar menghanguskan setengah gaunnya. Di menarik selimutnya, gaunnya tampak setengah hangus terbakar. Dia segera beranjak melihat keanehan tersebut.

“Celaka lah orang yang sudah melakukan hal ini pada sang putri!” ucap sang dayang.

“Ini pasti perbuatan penyusup yang masuk! Aku harus mengejarnya!”

“Jangan panglima. Gaun ku terbakar karena mimpi ku tadi. Kalian boleh kembali istirahat.”

“Maaf tuan putri, bagaimana kami tertidur setelah melihat gaun putri terbakar. Kami akan lebih memperketat penjagaan di depan ruangan kebesaran.”

Sang panglima perang menambah dua pasukan khusus untuk menjaga dari jarak jauh. Sosok panglima bekas panglima pendamping raja yang di tugaskan menjaga keselamatan sang putri ketika menghembuskan nafas terakhirnya.

“Apakah kau mendengar kabar dari utama? Sang putri bermimpi buruk hingga mimpi terjadi di alam nyata.”

“Ya, sepertinya sang putri harus segera menemui ketua peramal Ming untuk menanyakan arti mimpinya.” Bisikan para dayang di sela perkerjaan mereka.

Bab 2

Pada awal sebelum dekade terluka.

Masih menyemai rona jingga di pipi kemerahan terhias sendu di wajah sang putri diajeng Mangkubuana. Perpisahan itu masih membekas, dia mendoakan keselamatan sang raja yang bertahta di hatinya. Dalam penantian pada hari awal, sang putri menyemai serpihan serbuk bunga harapan di depan lautan lepas.

Kapal itu sudah tidak terlihat lagi. Tapi pandangan nun jauh disana mengantarkan kepergian ke lautan lepas. Garuda mengikuti dari atas, penjagaan ketat pada raja Tumenggung berawal sejak saat itu.Hewan pintar memiliki naluri tajam mengepakkan sayap berbalik menuju sang putri. Dia menundukkan kepala yang sangat besar tepat di tangan sang putri yang menahan gerakan mengusap kepalanya.

“Jika aku menyentuh dan memeluk mu maka kau akan tau aku setengah hati melepas mu wahai sahabat sejati ku” gumam diajeng.

“Pergilah wahai sahabat ku. Jadilah pemenang di pertempuran besar dan bawa kembali raja pada ku” ucapnya.

Dia terbang mengitari tampak seolah tidak mau lepas dari peran majikan yang sangat dia sayangi. Mengerti sifat Garuda yang harus mendapatkan pelukan terakhir darinya, dia perlahan mengusap kepala Garuda dan memeluk bagian paruhnya sangat erat.

“Wahai sahabat ku, aku sangat menyayangi mu. Aku akan menunggu kepulangan mu, cepat ikuti sang raja sebelum engkau kehilangan jejaknya.”

Sejak hari itu, sang putri tidak menerima kabar dari mereka.

Lautan biru sepi sesekali hanya terdengar deru ombak menghempas terumbu karang. Setiap senja, dia di temani pengawal pendamping Suga dia menatap sejauh mata memandang berharap kabar dari sang raja.

“Ratu, saya siap di kirim berlayar melewati lautan lepas menuju ke Wanua Ubun” ucap Suga menghadapnya.

“Suga engkau adalah pendampingku yang paling setia. Apa jadinya istana ini jika kau pergi? Aku tau para punggawa terutama pak poh aden diam-diam membangun sekte membentuk sekutu untuk melengserkan ku.”

Di dalam harapan sang putri Diajeng menerka ingatan raja Tumenggung agar mengingatnya atau mengirimkan kabar melalu surat di udara. Seribu burung merpati sudah di utus di terbangkan ke kerajaan Kartarahwa namun tidak ada balasan sama sekali.

“Apa aku harus mengatakan yang sejujurnya bahwa raja Tumenggung sudah memenangkan pertempuran?” gumam Suga.

......................

Pertempuran besar di medan peran memecah darah tulang belulang para musuh. Bagaimana tidak di katakan ini adalah sebuah kemenangan tanpa setitik kekalahan? Mereka menggunakan kekuatan terbesar, hewan terkuat pemilik tanah leluhur Mangkubuana.

Cukup dengan sekali hentakan cakaran kaki saja para musuh sudah tumbang mengeluarkan muntahan darah. Tanah musuh di banjiri lautan darah, kaki, tulang belulang, senjata yang berserakan dan teriakan rintihan kesakitan. Raja Tumenggung berhasil meratakan para pasukan dan mengambil alih tanah kekuasaannya.

Pritigendis Putri mahkota Wanua Ubun menatap penuh kebencian pada raja Tumenggung. Sang raja memaksa dia agar mau menikah dengannya, sebagai perampasan upeti yang di berikan.

“Demi tanah kebesaran ku ini yang bersimbah darah, lebih baik aku mati dari pada menikah dengan mu. Aku tidak sudi walau sekalipun tubuh ku ini harus di korbankan!”

“Putri gendis, coba kau timbang lagi perkataan mu itu. Terimalah pinangan ku ini atau kepala ratu Wanua Ubun menjadi taruhannya!” ancam sang raja.

“Ananda, jangan dengarkan pria jahat itu. Biarkan ibunda mati dari pada melihatnya merebut tanah ini dan anak ku”

Sang ratu merampas pedang dari tangan pengawal yang berada di sampingnya. Dia mengayunkan pedang ke perutnya di halangi sang putri. Pedang berlumuran darah tangan sang putri terkena pedang akibat menahan kuat agar perut sang ratu tidak tertusuk. Raja Tumenggung mengambil pedang itu lalu membuangnya. Dia menarik kasar tangan sang putri yang tampak akan mengambil pedang lain milik para pengawal.

“Bukan kah serang pendamping sang raja tidak boleh memiliki cacat tubuh di tangannya?” bisik salah satu dayang istana.

Luka di tangan sang putri di obati oleh para tabib pilihan yang di utus ke istana. Sang raja memerintahkan agar luka itu segera sembuh bahkan samar sampai tidak menimbulkan bekas. Sang putri terkadang membuang obat atau mengusir para tabib.

“Jangan engkau menyiksa diri, putri ku yang malang” ucap ibu sang ratu.

Tanah Wanua Ubun sudah di ambil alih oleh sang raja Tumenggung. Pernikahan yang tidak di harapkan, keterpaksaan dirinya menerima sang raja mengingat ancaman akan menyiksa sang ratu jika pernikahan itu tidak terjadi.

Prang__

Sang putri Gendis, tidak tahan membayangkan dirinya akan menjadi pendamping sosok musuh yang merampas wilayahnya. Sang dayang perias sudah mendandaninya selama berjam-jam kini di rusak dalam sekejap. Mereka kembali meriasnya, dia yang ingin memberontak terurung mengingat keselamatan nyawa sang ibunda. Baju selayar merah bernuansa manik emas di pinggiran lekukan bagian depan dan belakang. Hiasan kepala mewah berpadu pada aksesoris di tubuhnya. Wajah cemberut di tekuk ketidaksukaannya tampak penuh keterpaksaan selama menjalani sesi acara pernikahan.

Tirai merah membentang lebar melambai tertiup angin. Barisan sisa para prajurit Wanua ubun, tamu-tamu penting para bangsawan dan setengah prajurit raja Tumenggung banyak berdatangan dari negeri seberang serta seluruh para prajurit dari negeri Timur yang menyatu di kerajaan Buana.

Perpindahan secara keseluruhan bertahap memakan waktu selama tujuh hari. Surat undangan di sebar dari jalur darat dan udara hingga keseluruh pesolok negeri.

Pengawal Suga sekuat tenaga dan upaya menyembunyikan surat undangan dari kerajaan Wanua Ubun. Dari kejauhan putri Diajeng tetap penuh harap penantian menunggu kabar dari sang raja.

Ibarat sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya tercium juga. Mendengar kabar angin dari sang dayang istana. Berita pernikahan Raja Tumenggung dan putri Gendis, dia tidak mempercayai sampai dia mengutus pengawal Suga untuk mencari kebenarannya. Pengawal yang sangat dia percaya itu terlihat seperti menyembunyikan sesuatu.

“Suga, katakan pada ku semua hal yang kau sembunyikan. Aku sangat mengenal mu dan membaca setiap kebenaran atau kebohongan pada dirimu”

“Maafkan hamba wahai putri mahkota, undangan pernikahan ini sudah sampai di tangan saja beberapa hari yang lalu” ucap sang pengawal menunduk ketakutan.

“Lancang sekali kau menyembunyikan hal sebesar ini dari sang putri!” bentak dayang pendamping Kumetra.

“Tidak Kumetra, belum tentu berita ini benar adanya. Suga, aku memerintahkan mu dalam jangka waktu satu hingga tiga hari untuk mencari tahu kebenaran dari surat ini.”

Atas perintah dari sang putri , dia berangkat membawa simbol tanda pengenal dan simbol utusan dari sang putri. Gusar perasaannya jika kembali membawa kabar yang benar-benar sudah terjadi. Seolah sang putri tidak percaya bahwa raja Tumenggung telah berpaling mengkhianatinya. Berlayar menyebrang lautan hanya untuk menyaksikan pesta pernikahan yang di selenggarakan secara besar-besaran.

Bab 3

Cita-cita yang melambung tinggi seolah di jatuhkan ke sejatuh-jatuhnya ke tanah. Banyak yang mengabarkan sang raja berpaling dari sang putri. Desas-desus kepergian hewan warisan leluhur di renggut membuat kekhawatiran pada rakyat. Biasanya kepakan sayap Garuda membentang mengibas di atas terbitnya sang surya.

Sudah sangat lama suara Garuda tidak menggelegar di udara. Tidak ada yang menjaga benteng istana sekuat hewan raksasa itu. Beberapa dari para pengawal setiap malam sering mendapati para penyusup memakai topeng bersenjata ninja yang sering memburu sesuatu masuk ke dalam istana.

“Tuan putri sudah di pastikan bahwa istana ini sedang di ambang batas kehancuran. Setiap malam para musuh selalu berusaha masuk mencari celah bahkan membunuh para pembesar” ucap sang penasehat istana.

“Menghadap putri mahkota, para pejabat negara meminta agar tuan putri segera di lantik menjadi ratu Mangkubuana menimbang para musuh yang mulai membangun sekte di dalam istana” kata perdana menteri Hakim.

“Mohon segera pertimbangkan dekrit kami tuan putri!” seru para pejabat menghadap sambil membungkukkan badan.

Belum genap seratus hari setelah kepergian raja dan ratu Mangkubuana. Bagaimana bisa dia naik tahta seolah dengan mengadakan perayaan sebagai ratu baru Mangkubuana?

Menimbang dan mengingat segala kerusuhan yang terjadi di istana, dia merasa serba salah akan memutuskan hal yang memberatkan hatinya. Sang putri menyudahi rapat pertemuan. Dia kembali ke ruang kebesaran menatap foto kedua orang tuanya. Rasa penyesalan timbul di dalam hati mengikhlaskan Garuda andil di dalam medan perang. Tuan putri diajeng menunggu di dalam harap cemas.

“Jika benar kakanda berpaling dari ku maka aku sendiri yang akan pergi kesana” gumam sang putri.

Di dalam alam bawah sadar, dia membuka mata melihat langit berwarna merah menyala. Ada api yang berjatuhan di tanah Buana. Para rakyat yang terbakar, bersembunyi hingga ketakutan. Istana luluh lantak, dari dalam tanah keluar akar yang menjalar menutupi seluruh kerajaan.

“Dimana negeri ku yang permai?” sang putri berdiri diantara puing-puing pilar yang berjatuhan terkena api.

“Putri__” suara Kumetra membangunkannya.

Dia menyeka wajahnya yang berkeringat.

Nafasnya memburu, sang putri berlari mendongak ke atas langit. Kemudian dia melihat sisi jajaran perumahan para rakyat. Sepi, senyap, hawa dingin di bawah sinar rembulan yang enggan menampakkan diri.

“Ada apa putri? Engkau sedari tadi menjerit sangat kencang. Para pengawal hampir mendobrak paksa pintu.”

“Aku bermimpi buruk. Langit Buana sedang di hujani api yang menyala.”

“Bencana! Gawat putri, kita harus segera memanggil peramal Ming”

Utusan istana tidak menemukan keberadaannya di ruang pertapaan. Sepeninggal raja dan ratu Buan. Jejaknya menghilang, semua benda-benda mistisnya dan keperluannya masih tersimpan rapi di dalam ruangan.

“Kemana perginya peramal Ming? Kenapa dia bisa menghilang?” tanya sang putri.

“Kami tidak tau putri, penjaga istana sedang berusaha memecahkan kasus ini. Setelah mengetahui peramal menghilang, sang penjaga istana langsung mengerahkan pasukan berpencar mencarinya” jawab pengawal inti.

Di balik semua misteri ini ada pak Poh yang menjadi dalang utama mencari celah merampas kedudukan kursi kebesaran. Penjaga istana menemukan jejak selendang milik peramal Ming yang tersangkut di salah satu pohon halaman belakang istana.

“Cepat ikuti jejak kaki sepatu ini” perintah sang penjaga istana.

Mereka berhenti di sebuah pohon yang sudah tumbang. Ada salah satu yang menjadi pusat perhatian tampak ada tumpukan patahan ranting basah seperti terkena siram air. Sang penjaga istana menepis patahan ranting ke sisi yang berlawanan, terlihat sebuah papan besar berwarna coklat yang di rantai dengan gembok berukuran besar.

Sang penjaga mengayunkan pedang membuka rantai yang melilit dan gemboknya. Papan terbuka ke atas dari bawah terlihat terowongan yang sangat gelap. Sang penjaga menghidupkan sebatang korek api, dia membuang ke dalamnya Nampak ada tangga yang menghubung ke bawah.

Mereka masuk ke dalam yang tertinggal tinggal dua penjaga yang di tugaskan berjaga dari kejauhan. Sang penjaga juga meminta mereka menutup papan itu serta merapikan kembali ke tempat semula.

“Bagaimana dengan rantai dan gembok yang sudah terbuka?” ucap salah satu pengawal.

“Kita tutupi saja dengan rantai yang terlepas setengahnya” ucap pengawal lainnya.

Di dalam ruangan bawah tanah yang sempit, terlihat sebuah obor yang menerangi di dalamnya. Sang penjaga istana bersama tiga orang pengawal mengikuti langkahnya dari belakang, sepanjang lorong sempit berserakan tulang tengkorak dan hewan-hewan kecil hitam yang merayap pada dinding tanah.

Sang penjaga istana yang siap menyodorkan pedang mengayun jika ada serangan mendadak, terdengar suara aneh dari balik sisi dinding lainnya. Di balik dinding itu ada dua orang pria bertubuh kerdil memegang belati di kedua tangannya. Mengetahui kehadiran sang penjaga, mereka langsung menyerang tenaga dalam mereka di luar perkiraan sehingga mereka berempat kewalahan menghindari serangan.

Sang penjaga berhasil membunuh salah satu pria tersebut. Kepalanya sudah terpisah dari tubuh tapi terlihat sepasang bola mata normal menatap sambil menunjukkan gigi taringnya yang lancip.

“Jangan-jangan mereka siluman!” teriak salah satu prajurit.

Tubuh tanpa kepala yang terpisah itu berdiri kembali menyerah para prajurit sedangkan pria yang satunya lagi sudah terbunuh dengan pedang yang masih tertancap di jantungnya. Kini mereka membaca titik kelemahan pada kedua pria kerdil itu. Sang penjaga melompat berlari ke sisi berbalik meraih dua pedang milik para prajurit. Dia menusuk jantung pria bertubuh kerdil. Tusukan sangat dalam hingga menembus tubuhnya.

Setelah keduanya terbunuh, mereka meneruskan langkah posisi berjaga. Di ujung lorong gelap di penuhi ular yang menggeliat di dekat seorang wanita yang di beri pembatas pintu dari bahan bambu.

“Sepertinya itu peramal Ming” ucap salah satu prajurit.

Mereka melihat pintu yang terhubung pada bagian langit-langit tanah menyatu pada rantai yang mengikat pada tubuh sang peramal. Salah satu prajurit menyentuh pembatas bambu itu, tiba-tiba sebuah jebakan serangan panah menembus tubuhnya di bagian kanan dan kiri. Seketika prajurit itu menghembuskan nafas terkahir dengan mata terbuka mengeluarkan darah.

“Hati-hati jangan sentuh apapun!” ucap sang penjaga.

Dia mengintip dari sela pintu pembatas, terlihat peramal Ming berdiri tegak dengan kedua tangan dan kaki yang di rantai. Keadaannya yang sangat memprihatinkan, sekujur tubuh memprihatinkan ada darah menetes dari sela kakinya.

Peramal Ming menunduk, rambut menutupi wajahnya. Di balik rambutnya dia merasakan kehadiran manusia sedang menatapnya.

“Siapa kalian?” ucapnya dengan nada bergetar.

“Kami adalah utusan istana Mangkubuana. Peramal, bertahan sampai aku menemukan cara melepaskan mu” kata sang penjaga.

“Akhirnya engkau datang juga wahai penjaga istana Trangga, aku sudah melihat kau akan menyelamat ku dari kematian yang tidak bisa aku hindari. Sebaiknya kau segera pergi dari sini.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!