NovelToon NovelToon

Sendu Di Langit Jingga

Apakah Itu Sebuah Pertanda?

Suara lonceng yang dipukul oleh penjaga sekolah terdengar begitu nyaring dan sejurus kemudian anak-anak berseragam pramuka mulai berhamburan berebut keluar dari kelas mereka. Suasana gaduh tersebut selalu terjadi di awal pekan, sebab besok adalah hari libur yang mana membuat mereka tidak sabar ingin segera pulang untuk mempersiapkan diri menikmati hari libur.

Tapi ada beberapa murid yang masih santai di dalam kelas sambil berbincang. "Hey guys. Nanti siang jadi?" Tanya Siti sambil menyapu lantai, sebab hari ini jadwal piket dirinya.

"Jadi dong. Oi Jingga.! Jadi kan kita ke tempat itu?" timpal Tuti yang berseru padaku dan membuat langkah ini terhenti saat hendak bersiap meninggalkan kelas.

"Jadilah, masa enggak? Hei Nurul jangan lupa nanti sekalian bawa punyaku juga ya!" sahutku pada Nurul yang tengah membersihkan papan tulis dan ia hanya menjawab dengan anggukan semata, akupun berpamitan pada Nurul dan Siti yang sedang melakukan tugas mereka.

"Jangan lupa, kita kumpul di ujung jalan kampung ya?!" seru Tuti dan aku hanya mengacungkan jempol tanda setuju. Setelah itu aku kembali melangkahkan kaki dengan agak terburu-buru supaya bisa lebih cepat sampai ke rumah, karena perutku mulai terasa keroncongan.

____

"Jinggaaa..! Sebelum pergi main, cuci piring dulu sana!" teriak ibu dari arah belakang rumah yang memanggil namaku dengan suara yang cukup keras.

"Iyaa Bu..! Tenang aja nanti Jingga cuci kok, tapi sekarang ada hal penting yang harus Jingga kerjakan dulu" aku hanya berseru menimpali. Setelah berganti pakaian dan meletakkan tas secara sembarang, akupun buru-buru keluar dengan setengah berlari membuat rumah panggung kami berderit.

"Kak ikut," rengek Mentari sambil menarik belakang bajuku. Ia adalah adik bungsuku yang berumur tujuh tahun dan saat ini tengah bermain rumah-rumahan dari kayu buatan Kak Surya.

"Anak kecil diam saja di rumah," timpalku menatap galak. Namun dalam hati aku tidak bisa menahan tawa, karena melihat ekspresi Mentari yang cemberut dengan pipi menggembung. Setelah memakai sandal, aku langsung berlarian meninggalkan rumah tanpa mempedulikan omelan ibu dan Mentari yang mengumpat kesal padaku.

"Huh... Dasar anak itu, kebiasaan banget sih suka menunda-nunda pekerjaan. Ini semua gara-gara ayah yang selalu memanjakannya" gerutu ibu tapi tangannya tetap lincah menyusun ranting pohon yang sudah kering untuk dijadikan kayu bakar.

Sementara aku terus berlarian di jalanan yang membelah kampung dan sesampainya di ujung jalan yang menuju area pesawahan, ternyata tiga temanku tengah menunggu. Meski terik matahari siang itu cukup menyengat, tidak menyurutkan niat kami untuk pergi menyusuri pemetangan sawah yang baru saja kembali dibajak.

"Jinggaaa.!" seru ketiganya secara serempak.

"Kalian lama banget sih! Apalagi kau Jingga," gerutu Tuti sebab dia yang pertama kali datang.

"Kau saja yang datangnya kecepatan Tut, mentang-mentang rumah kau yang paling dekat dari sini" timpal Siti. Sementara Nurul yang berada di sampingnya hanya mengangguk membenarkan perkataan sohibnya dan Tuti yang hanya bisa berdecak kesal hendak kembali menimpali perkataan Siti tersebut.

"Sudah-sudah. Jangan mulai berdebat hal gak penting, lebih baik kita langsung berangkat" tegurku pada keduanya. Sebab bila sudah beradu argumen, mereka tidak akan ada yang mau mengalah.

"Ouh iya apa kalian membawa ayakan punyaku juga?" sambungku dan bertanya pada salah satu dari mereka.

"Nih, sudah aku bawakan," ucap Nurul sambil mengacungkan benda yang kumaksud. Nurul adalah anak yang paling pendiam diantara kami semua, tapi dalam hal belajar dia sangat pintar dan menjadi rivalku dalam perebutan juara kelas di sekolah. Tapi ke kompakan kami berempat sangatlah kuat bahkan sudah cukup terkenal di kalangan teman-teman sekolah maupun warga kampung kami.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, kami mulai berjalan beriringan dengan menenteng ayakan (saringan) yang terbuat dari bambu. Hari ini, rencananya selain hendak memungut melinjo dan buah dukuh yang mulai matang di hutan dekat kaki gunung gede. kami pun berencana menangguk ikan di sungai, sebab bila dapat banyak lumayan bisa di jual ke bu Romlah yang suka menjajakan nasi ke pasar kecamatan.

Mulanya usulan untuk menangkap ikan adalah rencananya Tuti, yang berbincang bersama ketika waktu jam istirahat dan kami bertiga menyetujui usulan darinya itu. Sebab lumayan bila hasil dijual bisa buat jajan.

"Ngomong-ngomong kita mau menangguk ikannya di sungai mana?" Tanya Siti yang berjalan paling belakang.

"Di sungai yang dekat dengan sawah Mang Udin. Soalnya kemarin aku baru saja dari sana dan ada banyak sekali udang serta ikan gabus bahkan ada yang lebih besar lagi," jawab Tuti penuh keyakinan, padahal dia sendiri hanya mendengar kabar tersebut dari obrolan para pemancing yang kebetulan lewat di depan rumahnya.

"Eh, bukankah sawahnya Mang Udin sangat jauh dari tempat kita biasa mengambil buah ya?" timpalku sedikit terkejut. Karena kukira akan menangguk ikannya di sungai tempat biasa kami memungut melinjo.

"Gak begitu jauh kok, lokasinya berada di tempat biasa kita bermain dan tinggal belok saja ke utara. Lagian kalian tau sendiri kalau kemarin di sungai itu udah ada yang menjaring dan kemungkinan ikannya udah hampir habis,"ucap Tuti meyakinkan kami.

Kami terus berjalan dan sesekali bertegur sapa dengan para petani yang tengah mencangkul dan terkadang kami semua saling melempar gurauan hingga tidak terasa sudah sampai di lokasi tujuan. Sebelum turun ke sungai kami membuka bekal makanan yang dibawa dari rumah, meski ala kadarnya tapi sangat nikmat bila disantap secara berjamaah, apalagi dengan pemandangan alam yang masih tergolong asri ini.

Setelah selesai makan, kami berempat langsung turun ke sungai. Hingga membuat keasikan menangguk ikan, sebab tangkapan kali ini cukup banyak dan semakin puas ketika salah satu dari kami mendapatkan seekor ikan gabus yang cukup besar. Kami hampir lupa waktu, andai tidak ada suara gemuruh dari arah hutan yang terdengar begitu menakutkan.

Selang beberapa detik kemudian gerombolan burung-burung terbang seolah bergegas ingin pergi dari hutan, disusul suara sekawanan monyet saling bersahutan dan melompat dari dahan ke dahan.

Kejadian tersebut membuat kami terlonjak kaget dan dalam beberapa saat hanya bisa saling tatap tanpa mengeluarkan sepatah katapun, ekspresi ketakutan terlihat jelas terpancar dari wajah kami, bahkan Siti yang tangannya gemetar tidak sadar ayakan yang dia pegang sudah terlepas dan telah hanyut terbawa aliran sungai.

"Tenang tetap tenang, jangan panik dan jangan berteriak. Lebih baik kita naik dulu," ucapku pelan dan berusaha menenangkan ketiga temanku agar tidak terlalu panik. Untungnya mereka menuruti perkataanku dan langsung beranjak dari sungai secara perlahan dengan tetap mengedarkan pandangan ke segala arah.

"Itu tadi burung sama binatang kenapa ya? Serem banget deh, apa jangan-jangan pertanda bakal ada-" tanya Nurul, setelah mereka cukup jauh dari hutan dan merasa sudah aman.

"Entahlah, mungkin mereka pada mau demo kali ya?" timpalku memotong perkataan Nurul dan malah menjawab pertanyaan dengan pertanyaan lainnya dengan nada sedikit bergurau, karena aku tau Nurul itu suka sekali menghubungkan suatu kejadian dengan hal-hal mistis.

"Kau sih Tut, malah ngajak ke tempat seram kayak tadi, jadinya ayakanku hanyut entah kemana? Bisa-bisa aku dimarahi oleh ibuku. Apalagi ayakan itu cuma satu-satunya yang ada di rumahku" gerutu Siti yang masih tidak terima ayakannya telah hilang sewaktu kejadian barusan.

"Oi... Kau nih malah nyalahin orang lain, kau sendiri yang memegangnya, lagian bukankah tadi sewaktu menangguk ikan kau sendiri yang paling bersemangat? Malah paling berisik diantara kita semua. Mungkin para penghuni hutan terganggu dengan suara cemprengmu itu," timpal Tuti yang tidak terima karena disalahkan.

"Sudah-sudah jangan bertengkar, kau bawa saja ayakanku ini" ujarku menengahi.

Akhirnya kami pun bisa bernafas lega saat sudah berada di lokasi yang tidak jauh dari ujung jalan kampung, kemudian satu persatu kami berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing tanpa menceritakan kejadian tersebut pada orang lain.

"Jinggaaaaa..!" Teriakan Ibu menyambut kedatanganku, sebab semua pakaianku terlihat cukup kotor dan lagi aku telah melalaikan tugas mencuci piring yang dititahkan siang tadi. Hingga akhirnya mau tak mau aku harus mendengarkan ceramah kultum dari ibu Megaku tercinta.

***

Senin siang suasana desa terasa begitu nyaman, meski cuaca begitu terik tapi udara begitu terasa sejuk bahkan terkesan dingin. Aku dan Tuti yang tengah asik sambil duduk santai di tugu kecil pembatas sungai yang mengalir diantara pesawahan dan jalanan trotoar.

"Udah dua hari ini cuacanya bagus ya Tut," ucapku sambil mengunyah singkong rebus yang dibawa Tuti dari rumahnya.

"Iya sih adem banget, tapi kamu ngerasa gak tadi malam ada lini(gempa bumi)?" Timpal Tuti yang kembali mencomot singkong rebus yang ditaburi parutan kelapa dengan dipadukan gula dan sedikit garam.

"Enggak, aku kan tidur jadi gak tau ada gempa atau tidak." jawabku.

"Aku juga sebenarnya sama nggak ngerasa, cuma diberitahu sama ibuku" ucap Tuti sambil nyengir dan diri ini hanya menggelengkan kepala.

"Si Nurul sama si Siti cengceremet kok belum pada nongol ya? Eh aku bawakan air minum dulu deh! Kau tunggu di sini dan jangan pulang dulu," lanjutnya. Kemudian bergegas melangkah ke rumahnya.

Aku hanya menatap kosong langkah temanku sesaat sebelum tubuhnya hilang di balik pintu tapi beberapa saat kemudian dia kembali keluar dan menoleh ke arahku lantas menatap sambil tersenyum. Sementara diriku yang ditatapnya sama sekali tidak menyadari hal tersebut, sebab otakku tengah memikirkan kejadian malam kemarin yang mana membuat hatiku masih dongkol dengan si Mentari karena peristiwa tersebut.

Kejadian menyebalkan itu bermula ketika aku hendak meminjam ponsel milik Kak Surya, namun Adikku itupun malah ikut-ikutan ingin meminjamnya. Hingga akhirnya kami berdua saling rebutan ponsel yang berujung benda canggih milik Kak Surya tersebut rusak karena terjatuh dan tertimpa teko air yang sengaja Mentari lempar ke arahku. Semua itu membuat ibu marah pada kami berdua, karena tidak ada yang mau mengalah.

"Hmm... Serasa dunia ini mau hancur saja gara-gara si Mentari, awas saja aku gak bakal menegurnya selama satu minggu," gerutuku pelan.

Tiba-tiba saja guncangan yang begitu dahsyat bahkan dibarengi dengan suara gemuruh dari dalam tanah dan itu membuyarkan lamunanku, bahkan aku kaget karena tubuh kecilku terjengkal. Karena tugu yang kududuki tiba-tiba roboh dan beruntungnya tidak sampai menimpa tubuh ini.

Beberapa saat kemudian suara jerit tangis terdengar dari orang-orang yang masih selamat, tapi mereka pun tidak luput dari luka akibat terkena material bangunan yang terlempar ke mana-mana akibat rumah ambruk ketika guncangan besar terjadi. Aku berusaha bangun secara perlahan karena punggung ini pun terasa sakit akibat terjatuh dan berdebam menghantam sungai kecil yang ada di belakang tugu dan membuat pakaianku selain basah kuyup juga kotor akibat lumpur.

"Astagfirullah..! Innalillahi..!" seruku dengan suara histeris melihat hampir semua bangunan sekitar yang nyaris rata dengan tanah, termasuk rumah Tuti.

Gempa dahsyat telah menimpa kampung kami, yang mana membuat hampir semua warga panik ketakutan dan berusaha memanggil sanak-saudara untuk memastikan keselamatan mereka.

Disaster, Ketika Semua Hancur

Tangis histeris nan pilu yang begitu menyayat hati dibarengi rintih kesakitan terdengar di mana-mana, termasuk ibu Tati yang menangis sejadi-jadinya sambil mengais-ngais puing bangunan bermaksud berusaha mengeluarkan tubuh anak semata wayangnya yang masih terjebak di dalam reruntuhan rumah. Dia terus memanggil nama Tuti dan berharap mendapat jawaban dari putri tercintanya itu.

Aku masih terpaku bagai dipaku oleh waktu dimana untuk beberapa sekon hanya mampu berdiri mematung, melihat pemandangan sekitar yang membuatku gemetar ketakutan membayangkan bagaimana nasib temanku dan tidak terasa air mataku pun ikut meleleh.

Beberapa menit kemudian ibu Tati pingsan setelah kelelahan karena menangisi putrinya yang masih tertimpa reruntuhan rumah, selain itu dirinya pun banyak mengeluarkan darah dari pelipis mata akibat terkena pecahan batu bata saat kejadian berlangsung.

"Neng Jingga! Neng baik-baik saja kan? Neng sadar Neng!" Seru seorang bapak-bapak mencoba menyadarkanku yang masih berdiri menatap kosong ke arah rumah sahabatku itu.

"Enggak apa-apa kok mang, tapi bagaimana keadaan Tuti mang? Apa dia bakal selamat?" tanyaku terbata-bata sambil menunjuk ke arah kerumunan orang-orang dengan tangan gemetar.

"Entahlah, tapi lebih baik Neng Jingga pulang dulu saja takut Pak Dirga sama Bu Mega nyariin," ucap bapak tersebut. Seketika aku langsung terhenyak dan teringat akan nasib anggota keluargaku juga.

Akupun bergegas meninggalkan tempat tersebut, setelah melihat sebentar ke Ibu Tati yang tengah pingsan di dekat rumahnya, yang mana tubuhnya sedang digotong oleh beberapa warga dan aku hanya bisa berdoa dalam hati semoga temanku itu dapat diselamatkan.

Sepanjang jalan aku terus berlarian sambil menatap kesana-kemari. Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan semua bangunan nyaris ambruk dan rata dengan tanah karena bencana gempa bumi ini.

"Ibu, Bapak, Kak Surya, Mentari..." Teriakku sesaat setelah memasuki halaman rumah dan untungnya rumah panggungku itu masih baik-baik saja, hanya ada beberapa genteng saja yang berjatuhan.

Aku terus berlari mencari ke setiap sudut rumah dengan memanggil nama mereka, saat diriku mulai letih suara pun hampir habis yang akhirnya terduduk lesu. Baru beberapa detik kemudian aku teringat biasanya adikku jam segini masih berada di sekolah agama yang mana selalu ditunggui oleh ibu, sementara Ayah dan Kak Surya sedang bekerja di kampung sebelah.

Aku pun kembali bangkit untuk bergegas berlari ketempat di mana adikku bersekolah, dan entah mengapa bayangan perselisihan antara diriku dan Mentari malam kemarin seolah muncul kembali dalam benak ini.

Kejadian tersebut bermula ketika selepas makan malam, aku menghampiri Kak Surya yang tengah asik memegang ponsel yang sepertinya baru dia beli. Sementara Mentari sedang bermanja ria di samping ibu yang tengah merajut tas bermotif bunga, dimana produksi tersebut setiap minggunya akan di kumpulkan ke Pak Sobari salah satu ketua Rt di kampung kami dan selanjutnya akan disetorkan ke pabrik garmen di kota ini. Pekerjaan tersebut sangat membantu para ibu-ibu rumah tangga sebagai penghasilan tambahan untuk kebutuhan sehari-hari.

"Wah... Kak Surya punya ponsel baru ya?" seruku turut senang sambil menghampirinya.

"Enggak baru juga kok Dek, ini mah ponsel second dan tadi belinya dari teman sesama pekerja yang lagi kepepet butuh uang untuk pengobatan anaknya," ungkap Kak Surya.

"Kak Surya, Jingga boleh pinjam?" tanyaku ragu-ragu.

"Boleh kok, tapi awas jangan sampai rusak" jawab Kak Surya tersenyum sambil mengacak-ngacak rambutku, kemudian dia pergi ke belakang rumah untuk mengambil wudhu dan melaksanakan sembahyang sholat isya.

Mentari yang sejak tadi mendengarkan obrolan kami dan hanya menatap dari kejauhan dengan raut muka penasaran, namun setelah Kak Surya pergi tiba-tiba dia menghampiriku. "Kak Jingga gantian dong! Mentari pengen liat film kartun di ponselnya Kak Surya," seru Mentari yang entah sejak kapan berada di dekatku, aku yang lagi asik main permainan mario bross tentu saja kaget.

"Tunggu sebentar lagi," timpalku tanpa menoleh dan terus fokus menekan layar sentuh ponsel tersebut, namun bukan Mentari kalau keinginannya tidak langsung segera dituruti dan karena sebal dia berusaha merebutnya dari tanganku, tapi aku yang tengah asik dan tidak ingin diganggu langsung mengangkat tangan tinggi-tinggi.

"Heh.... Kalian berdua jangan berisik sudah malam, Jingga gantian saja dulu napa?" seru Ibu memperingati kami tapi tangan dan matanya tetap fokus mengerjakan pekerjaannya.

"Oi... Bentar lagi napa bocil," seruku mulai sebal sambil menjauhkannya menggunakan tangan kiri, sementara tangan kananku masih mengacungkan ponsel. Mungkin karena rasa sabarnya sudah habis, Mentari yang emosi tiba-tiba menginjak jempol kakiku dengan keras.

Hal tersebut membuatku kesakitan sekaligus kesal, kemudian secara reflek mendorongnya dengan cukup keras sampai tubuh adikku itu tanpa sengaja terantuk ke mejanya Kak Surya. Sambil menangis Mentari meraih teko kecil dan langsung melemparkan ke arahku, meski aku masih sempat menghindar tapi sialnya lemparan tersebut terkena tangan kanan yang tengah memegang ponsel milik Kak Surya tersebut.

"Jinggaa..! Mentarii..! Kalian ini gak bisa pada diam apa?! Ribut mulu kerjaannya..!! seru ibu membentak kami berdua dan itu membuat Ayah yang tengah merokok di teras rumah dan langsung melihat ke dalam, begitu pun Kak Surya bahkan dirinya kaget melihat ponsel yang baru dibeli sudah berada di lantai kayu dengan keadaan basah kuyup akibat terkena air.

"Yang satu tidak sabaran satunya lagi gak mau ngalah, mau jadi apa kalian dengan saudara sendiri aja pada berantem mulu," bentak ibu pada kami berdua, kami pun hanya bisa terdiam seribu bahasa ketika ibu mulai memarahi kami berdua.

"Sudah-sudah jangan ribut lagi, toh handphonenya juga udah mati sekarang mah," ucap Kak Surya memperlihatkan layar ponsel yang terlihat agak retak dengan keadaan basah karena terkena teko air.

"Sudah toh Bu jangan marah nanti asam lambungmu kumat, lebih baik kau bereskan saja kerjaanmu dan beristirahatlah duluan," ucap Ayah menenangkan ibu kami.

"Apa masih bisa diperbaiki Sur?" Tanya Ayah menghampiri Kak Surya.

"Kayaknya bisa, mudah-mudahan cuma ngeblank doang" jawabnya, meski begitu terlihat gurat sedih dan kecewa terpancar di wajah kakakku itu.

"Kalau begitu pake saja uang ayah-"

"Gak usah pak, uang Surya juga masih ada kok."

"JINGGA KENANGA dan BUNGA MENTARI. Kalian berdua bisa ikut ke teras menemani bapak duduk santai sambil ngabisin teh bersama" tegas Ayah kami dengan tatapan tenang. Namun bagi kami berdua itu cukup mengerikan, sebab tidak biasa kalau nama kami dipanggil dengan nama lengkap dan bila hal tersebut sudah terucap oleh beliau, berarti kami harus benar-benar menurutinya.

Kami berdua mengikuti dari belakang dengan wajah tertunduk, karena apabila nama kami dipanggil dengan lengkap itu berarti ayah akan berbicara serius. Dan benar saja hampir dua jam kami berdua diberi wejangan oleh beliau, tapi mungkin karena kami berdua masih kecil sehingga nasehat ayah Dirgantara hanya didengar ketika di teras saja dan kami berdua tetap saling memendam kesal hingga sekarang.

Dan sejak malam itu Aku dan adikku tidak pernah bertegur sapa, bahkan biasanya Mentari dan aku tidur di kamar yang sama, sekarang dirinya ingin tidur di kamar ayah dan ibu.

Kembali ke masa sekarang dimana aku tengah berlari dan sesampai di sekolahnya Mentari, Aku begitu terkejut karena bangunan tempat adikku menimba ilmu sudah rata dengan tanah sama seperti di tempat lain dan jerit tangis pun terdengar dimana-mana.

"Neng Jingga, yang sabar ya Neng," seru penjaga sekolah ketika melihatku datang dengan wajah lelah, efek dari berlarian sejak dari rumahnya Tuti.

"Pak Satpam, ibu sama adikku di mana?" tanyaku pelan.

"Yang sabar ya Neng, mudah-mudahan bu Mega sama Mentari baik-baik saja-" jawabnya ragu.

"Pak satpam, dimana ibu sama Mentari?" tanyaku kembali sambil memegang tangan penjaga sekolah tersebut.

"Bu Mega sama Mentari, mereka tertimpa bangunan sekolah dan masih belum bisa diselamatkan, kita harus menunggu bantuan dari Basarnas untuk menyingkirkan puing-puingnya" jawabnya pelan.

Aku yang mendengar jawaban tersebut, seketika langsung terkulai lemas seolah seluruh tulang-tulang telah dilolosi dari badanku, dada ini pun bergemuruh bersamaan dengan rasa sesak yang begitu amat sangat dan akhirnya tangisku pun pecah.

Kenyataan Yang Menyayat

Suasana mulai gelap ketika aku membuka mata, entah kenapa aku tiba-tiba terbaring di atas matras, kemudian mencoba mengedarkan pandangan untuk melihat sekitar dan ternyata aku berada di tenda darurat bersama dengan warga yang selamat, sebagian besar orang-orang sedang dalam perawatan dan itu terlihat dari perban yang menempel di beberapa anggota tubuh mereka, bahkan ada yang tengah di infus dan masih belum sadarkan diri.

"Alhamdulillah... Kau sudah sadar dek," ucap seorang yang memakai rompi bertuliskan relawan dari sebuah lembaga organisasi tertentu.

"Ini di mana?" tanyaku kemudian.

"Kamu sedang di dalam tenda dekat lapangan gedung sekolah, tadi kata pak satpam dirimu jatuh pingsan di dekat reruntuhan dan kami membawamu ke tenda darurat ini" ucapnya menjelaskan apa yang terjadi pada diriku.

Ngomong-ngomong siapa nama adek ini?" sambungnya yang kali ini menanyakan namaku.

"Jingga, nama saya Jingga bu," jawabku pelan.

"Jingga ya? Nama yang indah dan kenalin nama Kakak Intan Nuraini tapi panggil aja Kak Intan jangan panggil ibu ya, soalnya saya belum terlalu tua banget kok dan belum nikah pula," ucapnya tersenyum ramah.

"Ibu dan adik saya di mana? Bagaimana keadaannya?" tanyaku yang teringat akan nasib ibu dan juga Mentari, namun perempuan yang sepertinya berumur sekitar 25 tahun tersebut tidak langsung menjawabnya.

"Doakan yang terbaik saja ya Dek Jingga, lebih baik Adek istirahat kembali lagian ini sudah larut malam," jawab kak Intan seperti tengah menyembunyikan sesuatu dariku.

Setelah Kak Intan beranjak pergi dari tempat tidurku, aku menatap kosong langit-langit tenda dan berdoa semoga Ibu dan juga Mentari dapat diselamatkan. Guncangan-guncangan dari gempa bumi susulan masih saja terjadi, bahkan terkadang hanya dalam jangka waktu satu jam sekali, meski hanya guncangan kecil tapi tetap saja itu membuat orang-orang tidak berani kembali ke rumah mereka, meski sebagian rumah mereka ada yang masih terlihat utuh dan hanya mengalami keretakan di beberapa bagian.

"Yaa Rabb... Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, selamatkanlah ibu serta adik hamba. Saya berjanji akan meminta maaf pada Mentari dan akan mendengar juga menuruti nasehat ibu hamba Yaa Rabb," pintaku pada Sang Penguasa Alam dan tanpa terasa air mataku kembali merembas di sela-sela sudut mataku.

Kata-kata bapak sewaktu mencoba mendamaikan aku dan Mentari pada malam itu, kembali melintas dalam benakku saat ini. "Kalian tau hubungan persaudaraan itu layaknya seperti jalan, adakalanya mulus dan adakala bergelombang, selain lurus terkadang menikung tajam disertai tanjakan dan juga turunan menukik, tapi jalan tersebut akan tetap terhubung meski jaraknya sudah terlampau jauh, kalian tau kenapa persaudaraan digambarkan seperti itu?" tanya Bapak menatap kami satu persatu dan kami hanya menggelengkan kepala, sebab tidak tau maksud perumpamaan tersebut.

"Mungkin sesama saudara pasti ada kalanya saling berselisih dan bertengkar dan mungkin ikatan kakak-adik terkadang terjalin erat juga kadang kala renggang, namun tidak akan pernah putus, karena hubungan darah dan rasa kasih sayang antar saudara itu kuat nan indah bagai permata."

"Bapak tidak akan memaksa kalian kembali berbaikan secepatnya, karena itu percuma kalau hati kalian masih memendam kesal, sebab saling memaafkan harus timbul dari lubuk hati kalian masing-masing dengan menyadari kesalahan diri sendiri dan berlapang dada menerima kesalahan orang lain. Tapi bapak hanya bisa mengingatkan supaya kalian harus secepatnya saling memaafkan, agar tidak ada sesal dalam hati kalian nantinya. Nah karena malam semakin larut dan udara malam tidak baik untuk kesehatan lebih baik kalian berdua masuk dan segeralah tidur," lanjut bapak, kemudian menyuruh kami bergegas masuk.

Perkataan dari ayahku itu baru sekarang aku menyadarinya dan seketika kecemasanku bertambah, karena aku baru teringat tentang bagaimana keadaan Bapak dan juga Kak Surya yang belum aku lihat sepanjang hari. Apalagi mereka belum mencari kami hingga saat ini, apa mungkin mereka juga dalam masalah serius dan pikiran-pikiran buruk kembali menyelinap menambah sesak dada kecilku ini.

Malam pun berganti pagi, sungguh pagi yang sangat berbeda, karena tak ada teriakan dari ibu yang membangunkanku untuk segera beranjak dari dipan dengan menarik paksa selimut kumelku dan menyuruh segera menunaikan sembahyang shubuh, kemudian berebut dengan Mentari tentang siapa duluan masuk ke kamar mandi, hingga membuat ibu harus kembali mengomeli kami, namun pagi ini teriakan itu diganti dengan raungan sirine ambulance yang hilir mudik mengangkut korban yang harus di rawat di rumah sakit.

Ternyata benar rindu itu terkadang timbul dari hal-hal yang membuat kita sebal, namun ketika semuanya sudah tak ada lagi, hal sepele seperti bercanda, pertengkaran kecil, maupun mendengarkan ocehan ibu ketika kami kena omel karena tidak mendengarkannya, itu semua menjadi hal yang ingin aku dengar kembali dan kurindukan tentunya. Bukan suara sirine yang menyayat hati seperti pagi ini.

"Dek Jingga, keadaan adek sudah baikan kah?" tanya Kak Intan membuyarkan lamunanku, lalu aku mengusap air mata dan hanya mengangguk kecil sebagai jawabannya.

"Kalau begitu, alangkah baiknya sarapan dulu di dekat tenda besar sebelah sana tapi mohon maaf harus mengantri dengan pengungsi lainnya," lanjut Kak Intan lalu memegang tangan dan membawaku keluar tenda kemudian menunjuk ke arah di mana para warga yang sedang mengantri sarapan pagi.

"Kamu bisa mengambilnya sendirikan?" tanya Kak Intan memastikan dan hanya anggukan dariku sebagai jawabannya.

Aku pun melangkah mengikuti barisan yang cukup panjang ini untuk mendapatkan jatah makanan gratis tersebut. Sebab sarapan itu penting agar diri ini lebih kuat menghadapi kenyataan karena aku harus bertahan, sebab sudah mah tertimpa musibah tak mau makan pula, apa kabar gizi buruk?

Selepas makan, aku terus memperhatikan ekskavator yang mulai mengeruk puing-puing bangunan dengan dikomandai oleh beberapa orang di depannya agar lebih hati-hati, supaya tidak sampai mengenai para korban di dalamnya dan semakin siang kendaraan-kendaraan bantuan mulai berdatangan baik untuk kebutuhan logistik maupun kesehatan, membuat jalanan di kampungku yang hanya lebar kurang dari dua meter itu hampir macet total.

Aku yang terus berdiri memperhatikan proses pengangkatan puing-puing bangung tersebut, tak peduli meski para relawan menyuruhku supaya menunggu di tenda saja dan aku sama sekali tak mengindahkan perkataan mereka, bahkan ketika salah satu dari mereka memaksaku, aku menatapnya galak dibarengi linangan air mata dan berkata aku ingin menunggu ibu serta adikku diselamatkan, dan pada akhirnya mereka pun mengalah.

Diantara bisingnya kendaraan dan alat berat yang mulai bekerja, samar-samar terdengar namaku dipanggil dari kejauhan dan saat aku menoleh, ternyata itu adalah Kak Surya yang melangkah secara tertatih-tatih dengan dibantu sebuah tongkat untuknya berjalan.

"Kak Surya..." Teriakku sambil berlari dan mencoba mengalahkan bisingnya suara kendaraan.

"Jingga, kau baik-baik saja kan dek?" Tanya Kak Surya mengusap rambutku, ketika aku menghambur peluk padanya.

"Jingga baik-baik saja Kak, tapi ibu sama Mentari," ucapku terbata-bata dan tangisku pun mulai pecah kembali sambil menunjuk ke arah bangunan sekolah yang telah ambruk.

"Kita harus tetap kuat Dek," gumamnya dengan memeluk dan berusaha menenangkan diri ini yang kembali menangis tersedu.

Ketika selepas siang akhirnya tubuh ibuku dan Mentari telah ditemukan dalam keadaan sudah meningal dunia, dengan posisi ibuku memeluk tubuh Mentari, mungkin beliau waktu itu berusaha melindunginya agar tidak tertimpa bangunan secara langsung.

Aku bisa merasakan rasa sedih dari Kak Surya meski dirinya tak menangis, sebab dia pun pasti terguncang hatinya dan merasakan kesedihan yang sama apalagi dirinya sudah tau betul nyawa ayahku juga tidak terselamatkan, karena nasibnya tidak jauh berbeda dengan ibu dan Mentari yang tertimpa bangunan gedung proyek di tempatnya bekerja.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!