Sore hari di SMA Mentari
Seorang cowok berbalut seragam sekolah sedang menyandarkan tubuhnya ke tembok di ujung koridor. Dia terlihat sangat rapih mengenakan tas kulit berwarna hitam yang dipadukan dengan sepatu Converse berwarna hitam juga. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Matanya menatap lurus ke depan. Ekspresinya sangat datar.
Padahal, bel pulang sekolah sudah lama berbunyi. Kurang lebih tiga atau empat jam yang lalu. Sekolah sudah sepi. Tidak ada kebisingan seperti tadi siang. Tidak ada pasangan-pasangan yang sedang dimabuk asmara. Yang ada hanya Andra, cowok berotak encer yang menyandar menunggu seseorang.
Lima menit berlalu, cowok itu kini mengeluarkan rokok dari kantongnya. Ia dengan ekspresi datarnya menyulut benda itu. Menghisapnya, lalu mengepulkan asapnya ke udara. Matanya kini menatap ke langit. Tersenyum sinis pada langit yang indah di sore itu.
"Oi!" seorang cowok berseragam sama setengah berteriak menyapa Andra. Dia berjalan menuju pria yang sedang merokok itu.
"Lelet banget!" sambut Andra dengan sedikit kekesalan.
"Yaelah, man! Maklum dikit kek, jangan sensitif gitu," cowok itu mengedipkan sebelah matanya sambil tangannya main menarik rokok dari mulut Andra. Segera ia menghisap bekas cowo itu.
Andra hanya terdiam. Dia sudah biasa menghadapi Reno, temannya sejak kecil.
"Idih, gitu doang marah!" Reno sengaja memancing Andra bicara.
"Uda ah! Males gue debat sama elo!" Andra berjalan meninggalkan temannya.
"Andra! Man! Kok gitu sih sama ayangnya!" cowok yang ditinggalkan itu segera membuang sisa rokoknya lalu berlari menyamai langkah Andra.
"Kon tol!" ujarnya menanggapi.
"Kok gitu sih, gue cium baru tau rasa!"
"Anjing! Elo makin hari makin ngelunjak! Males gue ngeladenin!"
"Andra ganteng kok gitu! Gue becanda, man!" Cowok itu langsung merangkul sohibnya.
"Taik kuda!" hampir tiap hari keduanya seperti itu. Mereka terkenal sebagai dua sahabat yang sangat lengket. Di mana ada Andra di situ ada Reno. Meskipun pada kenyataannya kedua manusia itu memiliki sifat yang sangat bertolak belakang. Tapi persahabatan mereka sudah terjalin sejak kecil.
Keduanya berjalan menuju parkiran. Ada dua mobil bermerek yang terparkir di sana. Mobil itu milik Andra Michael, si cowo yang mendekati sempurna. Dan satu lagi milik Reno Hardiansyah, si beda tipis sama Andra. Mereka berdua adalah anak muda yang berasal dari keluarga konglomerat.
"Kebut-kebutan, yuk!" ajak Reno.
"Ngga mau!" balas Andra.
"Dihhh, jangan nolak, cobain dulu beb!"
Andra menatap Reno dengan ekspresi datarnya. "Dibilangin ngga mau!"
Reno sudah biasa mendapatkan tatapan seperti itu. Dia juga hapal banget sama sifat Andra. Sekalinya dia bilang tidak dengan ekspresi datar itu artinya TIDAK.
"Dih, dah menjelang delapan belas tahun nggak pernah rasain gimana enaknya jadi berandal! Hidup elo putih banget!" Reno tersenyum kecut karena tolakan dari sahabatnya.
"Cape anjir!" balas Andra membuka pintu mobilnya. "Lagian, gue ngga tertarik dengan dunia kalian!"
Reno tersenyum tipis. "Gini amat punya teman yang perfect." gumamnya meluncur masuk ke dalam mobil.
Tiga puluh menit berkendara, akhirnya Andra sampai di bangunan tinggi dengan gerbang yang terbuka. Ia menembus gerbang, diikuti oleh Reno dari belakang. Mereka menuju garasi yang luas.
Andra keluar dari mobil. Menyempatkan diri untuk merapikan dasi dan jas sekolahnya. Kemudian disusul oleh Reno yang sama sekali tidak peduli dengan penampilannya. Rambut berantakan, dasi kusut, plus ikat pinggang yang terbuka. Ia berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Andra.
"Masuk, Man! Papa di dalam!"
Andra mengangguk. Tapi ia berpura-pura mengikat tali sepatunya yang sebenarnya tidak terlepas. Hanya sebagai kode agar Reno masuk duluan.
Melihat sohibnya sibuk, Reno masuk mendahului. Ia emang anak yang kurang sabaran.
"Sore, Dad," Reno menyapa papanya yang sedang menikmati segelas kopi di sofa ruang utama.
"Hmmm," sahut pria setengah baya itu dengan penuh senyuman.
"Sore, Om Seno... " Andra ikut menyapa setelah berselang satu menit. Ia ikut bergabung di sofa, layaknya yang Reno lakukan.
"Dari mana kalian? Kenapa baru pulang?" tanya pria itu lembut.
"Biasa Pa, habis main basket di sekolah." Reno menjawab papanya.
"Main basket?" Seno memincingkan matanya. "Andra ikut?"
"Ikut. Kami one by one." jawab Reno.
Seketika pandangan pria itu terlempar pada Andra yang duduk di depannya. "Andra, Om sudah memperingatkanmu untuk jangan berkegiatan berat! Tolonglah nak! Kalo kamu terus begini, Om bakal memberitahu semuanya pada Papa kamu!" ancam pria itu.
Mendengar ancaman itu, Andra langsung ciut. "Jangan Om, Andra janji nggak bakalan main basket lagi," katanya menatap Reno. Ia ingin mencekik pria itu karena sudah bermulut ember. Padahal tadi ia sudah memperingatkan dengan penuh permohonan. Ah, tapi dasar Reno si pelupa!
Reno menunduk, tidak berani menerima tatapan tajam dari Andra. Ia juga baru menyadarinya.
Dasar mulut sialan! Batinnya. Andra pasti bakal ngambek.
Seno menghelai nafas panjang. Sebenarnya dia memaklumi kelakuan Andra. Anak muda itu memang seharusnya menikmati masa SMA nya. Tapi di lain sisi dia juga tidak bisa membiarkannya karena Andra sedang berada dalam proses pengobatan.
"Yaudah, kamu datang ingin melakukan pemeriksaan, kan?" tanya pria itu dengan penuh kelembutan.
"Iya, Om." jawab Andra singkat.
"Ikuti saya, kita cek up di ruangan yang baru!" Seno---Papa Reno, beranjak dari duduknya. Berjalan menuju ruangan di dekat tangga.
Andra tak langsung mengikuti. Sempat-sempatnya menoyor kepala cowok ganteng di dekatnya.
"Babi memang! Elo ember banget!"
"Maaf, Andra sayang, gue lupa kalo elo dilarang... " dia mengatupkan kedua tangannya di depan dada demi meminta pengampunan.
"Elle! Bilang aja elo sengaja!" memukul kepala Reno sekali lagi sebelum akhirnya masuk ke ruangan yang dimasuki oleh Om Seno.
***
"Bagaimana ini bisa terjadi?" Seno menatap laporan di tangannya. "Kenapa bertambah parah?" dia cukup terkejut dengan hasil laporan kesehatan Andra.
Seno, dokter spesialis onkologi yang merelakan diri untuk mengurus Andra secara diam-diam permintaan Reno, anak semata wayangnya.
"Ini mustahil!" gumamnya tidak percaya. Ia sudah melakukan usaha semampunya dan hasilnya sangat mengecewakan. Penyakit Andra naik ke stadium dua.
"Sudahlah, Om, mungkin saya tidak ditakdirkan berumur panjang." ujar Andra meninggalkan ruangan dengan santainya.
"Tapi Om merasa gagal kalo begini!"
"Ya memang Anda gagal!" sahut Andra dari balik pintu. "Aku pamit, Om...." serunya setengah berteriak sambil berjalan menuju ruang utama.
"Oi, gue cabut yeh!" Andra terus berjalan sambil menatap Reno yang rebahan santai di atas sofa dengan hape di depan wajahnya.
Reno menoleh. Dia langsung melemparkan hapenya ke atas meja. "Dah selesai? Gimana hasilnya?" tanyanya antusias.
"Memuaskan. Gue senang!" jawab Andra terhenti.
"Wihhh! Keren banget, beb... pasti udah menuju penyembuhan, ya?" terlihat jelas bahwa Reno sangat menginginkan kesembuhan untuk Andra.
"Tambah parah bego! Udahlah! Gue mau cabut!" Andra kembali melanjutkan langkahnya tanpa peduli dengan wajah Reno yang berubah pias.
***
"Kok pulang malam lagi? Ada acara apa, sayang?" Leoni, Mama Andra menyambut kedatangan putra sulungnya.
"Nggak ada acara. Andra singgah di rumah Reno, Ma!"
"Oh." Mama tersenyum. Dia sangat cantik. Terlihat masih muda. Anak sulungnya sudah kelas tiga SMA tapi tak sedikit pun keriput menghiasi wajahnya.
"Btw, tadi ada yang menghubungi Mama, katanya mau nawarin iklan sama pemotretan. Kamu mau nggak?" wanita berambut panjang itu tersenyum penuh arti pada anaknya.
"Ngga!" balas Andra malas.
"Sayang banget! Cobain dulu sayang. Engga cape kok,"
Andra terus berjalan tanpa mempedulikan wanita cantik yang menempelinya.
"Ini udah kesekian kalinya kamu lewatin kesempatan emas. Jarang banget loh ada tawaran menggiurkan seperti ini, biasanya orang lain memohon mohon agar dipilih, harusnya kamu sadari itu, sayang. " Leoni terus bicara sambil mengikuti langkah putranya dari belakang.
"Mama maksa?" Andra berhenti, membalik badan demi menatap wanita yang hanya sebahunya.
"Enggak, sayang... cuman, dear wasted aja gitu.. "
"Kalo gitu Mama aja yang pemotretan. Andra nggak mau!" ucapnya meninggalkan mamanya.
"Andra sayang... kamu marah? Mama minta maaf, Mama hanya mencoba membuka pemikiran kamu tentang dunia hiburan... " Leoni mengikuti langkah Andra dengan sorot matanya. Menyaksikan cowok itu menaiki anak tangga.
"Males!" sahut Andra tanpa menoleh.
Leoni hanya bisa menggelengkan kepala karena sikap anaknya yang cuek tingkat dewa.
Pagi hari....
Seorang cewek bertubuh pendek, berwajah kecil, bermata bening, tersenyum sepanjang jalan menuju sekolah. Gadis itu berambut pendek, berponi persis kayak Dora. Terus cara jalannya juga lucu, kayak anak-anak gitu. Ia terlihat sangat ceria hingga lupa menyapa pak Dino, penjaga sekolah.
"Pagi, Neng Bening... " nah loh, jadi si Bapak yang menyapa.
"Eh, pagi juga, Pakkk!!" gadis itu mundur tiga langkah, menatap Pak Dino, tersenyum lalu setengah membungkuk.
"Neng Bening kalo lagi senyum bisa nambah umur deh, manis bener,"
"Hahahaha, Pak Dino mau goda aku ya?"
"Hahahha, iya, Neng, " Pria setengah abad itu ikutan tertawa.
"Awas jatuh cinta Pak!"
"Hahahha,"
"Kalo gitu Bening pergi ya, Pak, Bening masih ada tugas nih,"
"Wokke, Neng. Semangat!"
Bening tak lagi menyahut, ia hanya meninggalkan seulas senyuman pertanda akhir percakapan mereka hari ini.
Sampai di kelas...
"Pagi Shana," Bening tersenyum pada seorang gadis glamor yang sedang joget-joget di depan hape. Yang di sapa tersenyum aneh.
"Pagi Aca, "
"Pagi David.... "
"Pagi semuaaaa, calon dokter numpang lewat dong!"
Begitulah cerianya seorang Bening Armalia, siswi kelas XII ipa-9 yang bercita-cita menjadi seorang dokter sejak dia masih kecil.
"Heh! Elo bisa diam nggan sih! Gue tuh lagi pusing!" Rara, cewek yang agak-agak eksentrik menatap Bening tajam. Kayaknya dia lagi badmood hingga mendengar suara sedikit saja langsung naik pitam.
Bening menatap gadis yang duduk tepat di sampingnya. Kebetulan kursi mereka bersebelahan.
"Kamu sakit, Ra?" tanya Bening antusias.
Rara tidak menjawab. Malah merebahkan kepalanya di atas meja sambil memejamkan mata.
"Ra? Kamu mabuk-mabukan lagi, ya?"
"Duh! Udah dibilangin diam masih aja ribut! Elo mau mati!" Rara tiba-tiba membuka matanya, tatapannya persis kayak nenek lampir. Serem banget. Soalnya dia satu-satunya cewek yang berani make eye shadow hitam tebal ke sekolah.
"Eh, i-iya, maaf, Ra," Bening langsung memalingkan wajahnya. Takut banget kalo Rara udah bilang gitu, soalnya dia manusia yang berani mewujudkan perkataannya jika jiwa setannya terganggu. HAM tidak berlaku bagi seorang Rara Anethia.
"Eh, Richard, kamu kok pake baju basket? Ada pertandingan apa?" kini Bening memilih bicara pada Ricard yang baru saja datang.
"Pertandingan loncat gedung," jawab Richard, manusia yang agak-agak cakep tapi nggak cakep-cakep amat.
"Woah, pertandingan apaan tuh? Baru dengar,"
Richard tersenyum aneh. Ia menghela nafas sambil menundukkan pantatnya di atas kursi. "Emang benar ya, otak lo ternyata ada di dengkul!"
"Hah? Maksudnya?" Bening tidak mengerti.
"Elo itu bodoh! Itu intinya!"
"Wahh! Kamu ngejek ternyata! Heh! Kamu pikir kamu udah pintar? Nilai matematikamu aja kursi terbalik!" Bening balas mengejek.
"Kursi terbalik masih mending daripada make helm di dengkul!" Richard tidak mau kalah.
"Kalian berdua bisa diam nggak sih!" Rara menegakkan tubuhnya, matanya menatap Bening dan Richard bersamaan. "Otak kalian itu sebelas duabelas! Sama-sama o'on!" dia pusing mendengar perbincangan keduanya sedari tadi.
Richard yang berada di belakang Bening menyeringai. Ini baru adil, ada penengah. Dia langsung aja memanfaatkan keadaan ini untuk promosi. "Eh, hari ini gua ikut pertandingan basket melawan XII IPA 1, gua satu-satunya cowok yang ikut dari kelas ini. Gua disuruh bergabung sama anak kelas sebelah. Dukung gua ya," Ricard menatap Bening dan Rara bergantian.
"Ogah! Tadi kamu udah bilang aku bodoh! Jadi aku nggak mau!" Bening tersenyum puas. Akhirnya ada juga cara buat ngebalas si Richard.
"Tadi gua becanda, Cayang... Elo pintar kok, pintar banget malah. Saking pinternya sampe bisa ngelewatin IQ-nya Albert Einstein." Richard mengerjap ngerjapkan matanya, berharap Bening berubah pikiran jadi mau membantunya. "Plisss Bening cantik, gue tuh butuh banget suara elo, soalnya suara elo kalo berteriak persis kayak singa kejepit pintu, mantap banget,"
Bening yang merasa dipuji langsung tersenyum ceria. "Oke, aku bakal neriakin nama kamu, tapi katakan dulu Bening si cantik, calon dokter terbaik!"
"BENING SI CANTIK, CALON DOKTER TERBAIK!" tanpa ragu ia berteriak hingga seisi kelas menoleh padanya. Hanya sesaat, setelah itu mereka kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing.
"Oke, deal! Nanti aku bakal duduk di barisan paling depan." Semudah itu menaklukkan Bening.
Richard tersenyum. Kalo bukan karena suara Bening melengking, dia juga nggak bakal mau teriak kayak tadi.
"Elo juga Ra!" menatap Rara yang menguap.
"Nggak mau!" sahutnya.
"Yah, suara lo juga bagus. Serak serak basah tapi power nya bagus. Terus elo juga ditakuti di sekolah ini, entar kalo elo dukung gue, pemain yang lain juga bakal takut sama gua! Bantuin gua, ya! Pliss!" Richard mengatupkan kedua tangannya di depan dada demi meminta dukungan.
"Kalo elo mau gue ngedukung, bayar!" Rara tersenyum aneh.
"Berapa?"
"Lima teguk!"
"Okay! Kalo gue berhasil ngalahin Andra dkk, gue bakal traktir elo minum sepuasnya! Sebanyak yang elo bisa!"
"Oke. Kita sepakat." cewe eksentrik itu tertarik dengan tawaran Richard. "Gue bakal neriakin: RICHARD, KETEK ELO BAU!"
"Hahahahha," Bening tertawa renyah. Ternyata Rara hanya bercanda sedari tadi.
"Anjing! Mending nggak usah! Bisa-bisa fans cewek gua pada kabur! Elo yang serius dong!"
"Hmmm, kalah atau menang, sepuluh sloki! Gimana?"
Richard mempertimbangkan sejenak. "Oke. Gua setuju!"
Bening yang melihat keduanya hanya bisa geleng-geleng kepala. Gimana bisa cewek se-eksentrik Rara ditaklukkan dengan sogokan miras. Benar-benar aneh.
Hampir dia menanyakan sesuatu, tapi tidak jadi karena bel sudah berbunyi. Mau tidak mau mereka harus berbaris dari pada di kejar-kejar Bapak Ibu guru yang piket hari ini.
***
"Bening, nonton basket, yuk... seleb XII IPA 1 tanding ngelawan Jason dkk. Lumayan liat wajah Andra dkk," Nia, sahabat plus teman sekelas
Bening mengajaknya menonton bareng.
"Hmmm, ayo! Aku juga pengen liatin, udah janji juga sama Richard," Bening tersenyum, berdiri dari duduknya.
"Wih, tumben banget kamu mau, biasanya paling males nontonin pertandingan! Ada angin apa nih?" Nia memandang Bening tidak percaya. Biasanya tuh kalo ngajakin gadis berambut pendek itu meski sujud tiga hari tiga malam, soalnya ngajak dia itu susah.
Sebenarnya bukan karena apa-apa Bening demikian, ia hanya tidak suka keramaian dan keributan.
"Gara-gara Richard sebenarnya!" ujarnya jujur. "Lagian sebenarnya aku penasaran juga,"
"Yaudah, ayuk! Pertandingannya sudah mulai sedari tadi!" sepertinya Nia nggak sabar lagi. Ia sampai mendesak Bening yang sibuk membereskan buku-buku yang berserak di atas mejanya.
Sampai di lapangan basket, mereka bingung mau duduk dimana. Soalnya pertandingan kali ini ramai banget, sampai-sampai anak sekolah sebelah ikut menyaksikan pertandingan. Belum lagi para guru-guru yang mungkin bosan bersarang di kantor. Sebagian dari mereka malah ikut bersorak-sorak seperti halnya yang dilakukan para siswa.
"Duh, kamu sih!" Nia mulai mengomel. "Masa kita harus berdiri seperti ini!"
Bening tidak peduli dengan omelan Nia. Dia malah sibuk menatap para siswa yang duduk menyaksikan pertandingan. Lima puluh persen dari mereka menyemangati nama Andra, tiga puluh persen Reno, selebihnya pemain lain. Bening sampai ingin ikut bersorak gara-gara ketularan dari yang lain.
"Duh, capek juga berdiri seperti ini! Mana aku laper banget lagi!" Nia bersungut-sungut di antara menggelegarnya suara teriakan.
Tiba-tiba Bening melihat Rara duduk di barisan paling depan. Sepertinya gadis itu sengaja menyisakan dua tempat duduk. Buktinya samping kanan dan kirinya kosong. Atau jangan-jangan orang lain takut duduk di sampingnya? Soalnya diakan cewek nyentrik.
"Ikuti aku!" Bening menarik tangan Nia yang bersungut-sungut dari tadi. Segera ia mendekati Rara.
"Ra? Kami boleh duduk di sini, nggak?"
Gadis gotik itu menganggukkan kepalanya. "Aku sengaja nyisain untuk elo, soalnya elo udah janji bakal duduk di barisan paling depan!" Rara menatap bening tajam. Dia menunjukkan wajah kesalnya.
"Oh, tanks Rara cantip. Lopyu,"
"Hmmm,"
Mereka mulai fokus pada pertandingan.
Bening menatap para pemain yang berlari memperebutkan bola. Mereka semua terlihat keren ketika berkeringat. Ternyata seru juga nontonin pertandingan basket, pikirnya. Kenapa nggak dari dulu ia hobi? Ternyata keributan menghilang bersamaan dengan masuknya bola ke dalam ring.
"Yeeeee!!!! Andra!! Aku padamu!!"
"Andraaa! Lopyu!!"
"Andra!!"
"ANDRAAAAA"
Semakin banyak orang yang meneriaki nama itu setelah dia mendapatkan tree poin dengan mudahnya.
Kening milik Bening berkerut. "Andra yang mana sih?" tanyanya pada Nia yang duduk di samping Rara.
Rara menatap Bening. Ia menggantikan Nia menjawab. "Elo serius nggak tau Andra? Perasaan dia sudah terkenal sejak bocil . Masa iya elo nggak tau dia!"
"Aku tau. Aku juga pernah melihatnya beberapa kali. Tapi... kalo udah main gini, aku susah bedainnya. Soalnya mereka semua terlihat mirip," kata Bening santuy.
"Mirip? Mata kamu rusak kali! Jelas jelas si Cecep beda jauh sama si Alvin! Tuh, keritingnya si Ucup beda jauh sama rambut berantakannya si Reno! Apalagi si Farel yang pendek jauh banget dengan Andra yang tinggi. Gimana bisa kamu bilang mereka sama?" agaknya Nia kesal pada Bening yang mengatakan mereka mirip.
Bening tersenyum kecil. "Hehehhe, ternyata kalo semakin diperhatikan memang beda sih! Jadi Andra yang mana nih?"
"Tuh, yang pake handband putih!" Rara menujuk cowok yang menguasai bola. "Cool!"
Bening memperhatikannya dengan seksama. Dia harus mengakui bahwa cowok itu memang keren. Gaya rambutnya, bentuk tubuhnya, sampai proporsi wajahnya benar-benar idaman banget. Belum lagi cara cowok itu pivot plus menembak bola, wuihhh, semua mata bakal meleleh.
"Keren juga," komentarnya singkat.
"What? Keren juga? Kamu pasti udah gila!" Nia frustasi menanggapi perkataan sohibnya.
"Kenapa?" Bening mengerutkan keningnya.
"Kamu santai banget bilang dia keren! Seolah-olah hanya sebatas keren! Harusnya kamu histeris mengucapkannya!" mata Nia mengkilat saking kesalnya menanggapi Bening.
"Ngapain ributin itu! Mending kita semangati Richard seperti janji kita tadi!" Bening mengangguk setuju. Mereka kembali fokus ke pertandingan.
Andra mengoper bola pada Gio. Kemudian Gio mengoper pada Rival. Lalu berlanjut lagi pada Reno, dan Andra berlari kedekat ring, memberikan kode agar bola dioper ke dia. Dan rencananya berhasil. Dia mampu memberikan tiga poin secara halus pada tim-nya.
Seketika sorakan kembali membahana.
Pertandingan berlanjut lagi. Tim XII IPA 1 ungguli delapan poin. Dengan penguasanya masih Andra dan Reno. Mereka sohib yang kompak hingga menciptakan suasana permainan yang baik. Harus diakui mereka memang pemain yang berbakat.
Tiba-tiba saat di lapangan, perhatian Andra teralih pada cewek berambut pendek yang menurutnya gesrek. Tanpa diberitahu pun, dia tau gadis itu bodoh. Tapi dia menggemaskan juga, wajahnya imut gitu tambah imut saat berteriak-teriak menyemangati seseorang diantara mereka.
"Andra! Elo kenapa! Bolanya direbut tuh!" Reno berteriak dari tempatnya berdiri.
"Eh, iya, gue galfok!" sahutnya. Ia kembali serius bermain. Tapi ia kembali galfok saat melihat cewek itu menggulung kertas dan menjadikannya toa simpel. Suaranya nyaring meneriaki Richard.
"Tuh cewek ngeselin banget!" pekik Andra dalam hati. Dia terus memperhatikan gadis itu hingga dia tidak sadar bola melayang ke arahnya.
"Plokk!"
Seketika penglihatannya kabur. Dia pingsan.
"ANDRA!!!! "
Andra membuka matanya. Ia menyadari bahwa saat ini dia sedang berada di ruang UKS. Perlahan dia menggerakkan tubuhnya, berusaha bangkit dari tempat tidur.
"Aduh!" ia memegang kepalanya yang agak pening.
"Andra..." panggil dua cewek petugas UKS. Salah seorang langsung mengambilkan segelas air minum.
"Minum dulu, Andra," Ria, salah satu siswa yang bertugas di ruang UKS menyodorkan segelas minuman.
"Nggak! Gue harus pergi!" balasnya. Dia menyadari bahwa pertandingan masih berlangsung.
"Tapi kamu harus minum Andra! Biar seger, "
"Nggak mau!" balasnya sekali lagi dan segera ia pergi meninggalkan kedua cewek itu.
Saat berjalan dia tidak sengaja menjumpai Reno di koridor. "Eh, man!" Kayaknya Reno menang sengaja hendak ke UKS tadinya. Dia terlihat bahagia melihat Andra baik-baik saja. "elo gapapa kan?"
Andra tidak menjawab, malah menanyakan hal yang lain. "Bagaimana pertandingannya?"
"Udah selesai. Kita tetap menang kok. Tapi hanya ungguli dua poin doang. Mereka berhasil ngejar ketertinggalan setelah elo keluar." Reno memberitahu.
Terlihat dengan jelas bahwa Andra tidak senang mendengar berita itu. "Anjirrrrr!" cowok itu menatap Reno kesal.
"Ya, maaf, An! Gue aja berubah jadi goblok gara-gara elo keluar! Gua khawatir sepanjang permainan. Yang lain juga pasti demikian." Reno menatap Andra.
"Udalah! Udah lewat juga!" Andra melanjutkan langkahnya. "Mending temenin gue ke kantin!" merangkul bahu Reno yang ketinggalan selangkah di belakang.
"Gas!" sahutnya disertai senyuman.
Keduanya berjalan menuju kantin luar yang terpisah agak jauh dari lokasi sekolah. Seperti biasa, mereka menjadi pelanggan terakhir di kantin itu. Dan mereka selalu memesan menu yang sama seperti sebelumnya.
"Elo pingsan gara-gara pusing ya, An?" Reno menatap Andra yang duduk menikmati semangkuk bakso. Ia tidak selera makan hingga soto babatnya tidak tersentuh sedikit pun.
"Nggak!" jawab Andra. "Gue tadi liat cewek aneh, eh guenya nggak nyadar kalo bola dioper ke gue. "
"Woah, sejak kapan elo tertarik sama cewek?"
"Ya masa gue tertarik sama cowo!" Andra menjawab tanpa melirik Reno sedikitpun.
"Hahaha. Maksudnya elo biasanya ga peduli. Ko tiba-tiba galfok gitu,"
"Karena dia keliatan menyebalkan!" jawab Andra.
"Hehehe. Btw ceweknya gimana? Cantik, nggak?" serius, Reno merasa senang karena Andra sedikit mau terbuka. Makanya dia harus memancing cowo itu agar terus bicara.
"Nggak tau, tuh! Gue liatnya sekilas. Tapi gue yakin, dia pasti anak kelas sepuluh. Soalnya dia kecil banget, terus ngga pernah keliatan sebelumnya."
Reno tersenyum kecil. Ia sangat bersemangat mendengarkan perkataan Andra. Rasanya baru kali ini Andra ngomong sebanyak itu.
Reno menatap ke sekeliling, tidak ada orang selain mereka dan ibu kantin yang sibuk mencuci piring kotor. Pria itu menghelai nafas. Sekarang dia sibuk memainkan soto babatnya dengan sendok. Tak sedikitpun soto itu tersentuh mulutnya.
"An," memanggil Andra yang sibuk dengan kuah baksonya.
"Hmm?" tanpa menatap Reno.
"Gue yakin, elo pingsan bukan karena kepukul bola doang, kan?" Reno menatap wajah temannya.
"Terus?"
"Pasti berhubungan sama penyakit elo. Iya, kan?"
"Tidak. Pure gara-gara bola." jawab Andra.
"Nggak mungkin, An! Dulu elo manusia yang tahan banting. Gue ingat, elo pernah jatuh dari pohon yang ketinggiannya empat meter, kepala elo berdarah waktu itu tapi elo baik-baik aja kok, malah elo ketawa hari itu. Dan tadi, elo hanya kepukul bola, itupun secara tapi elo tumbang, An!" Reno menatap sohibnya yang tetap asik menikmati baksonya. "Kata Papa, penyakit elo membuat sistem kekebalan tubuh berkurang drastis. Pasti gara-gara itu elo jadi mudah ambruk."
Andra menggeleng kepala. Diteguknya teh yang disediakan bibi Lola, langganan mereka.
"Kalo memang demikian, emangnya kenapa?" Andra mulai menatap Reno.
"Berarti, penyakit elo makin parah, An..."
"Bagus dong!"
"Bagus apanya sih! Elo tega ninggalin gue?" mata Reno mendadak basah. "Sohib gue hanya elo An, kalo elo pergi, terus yang nemani gue siapa?"
"Lebay banget sih!" cibir Andra.
"Gue nggak mau kehilangan elo, An! Terserah elo mau nyebut gue lebay, alay, homoan, gila, gue nggak peduli! Intinya gue ingin elo tetap hidup!" Reno berusaha menahan tangis. "Kenapa sih elo berusaha ngerusak diri lo sendiri?"
Cowo itu membersihkan mulutnya dengan tissue.
"Gue maunya mati, Ren! Gue udah bosan hidup di dunia ini! Makanya sebenarnya gue senang waktu dinyatain mengidap penyakit leukimia oleh Om Seno. Karena saat itu gue nyadar, akhirnya Tuhan ngabulin permintaan gue,"
"Elo bego, An! Hidup elo itu sempurna! Keluarga lengkap, bakat oke. Lu punya segalanya. Terus kenapa elo masih menganggap hidup ini membosankan?"
"Elo nggak ngerti!"
"Elo yang nggak ngerti! Di luar sana ada banyak orang yang pengen punya hidup kayak elo, tapi lihat apa yang elo lakuin, mensia-siakannya! Sadar, An!"
Cowo yang dipanggil Andra itu tersenyum kecil.
"Pada akhirnya elo akan nyadar kalo semua akan mati pada waktunya. Dan gue salah satu orang yang beruntung karena tau kapan ajal gue. Jadi kedepannya gue bisa mempertimbangkan apa saja yang harus gue lakukan... " Andra menatap Reno. "Jika akhirnya gue pergi, ingatlah, gue pergi cuma dari dunia ini, bukan dari hati semua orang."
***
Hari sudah sore, sekolah pun sudah sepi. Andra dan Reno memilih meninggalkan kantin. Mereka sepakat untuk pulang.
"An, elo mau langsung balik apa mampir ke rumah gue dulu?"
"Balik aja,"
"Mau gue anterin ga?"
"Gua masih punya tubuh ko," jawab Andra.
"Iya deh,"
Keduanya kembali melanjutkan langkah sambil Reno mengocehkan hal hal yang tidak perlu. Andra hanya terdiam menatap langkahnya sambil mendengarkan ocehan temannya. Mereka sampai tidak sadar kalo seorang cewek juga berjalan di depan.
"Bruk!" kepala gadis itu membentur dada Andra.
"Aduh!" Dia mengusap keningnya. "Maaf, aku nggak liat," ucap gadis itu lirih.
Andra menatap gadis itu. Dia baru menyadari sesuatu. Wah, dia kan cewek gesrek tadi, pikirnya.
"Mata elo ditaruh dimana sih?" bukan Reno yang ditabrak tapi cowok itu yang sewot.
"Eh," cewek itu ketakutan saat mendengar suara besar milik Reno.
"Elo udah berani nabrak Andra Michael! Elo mau cari mati?"
"Ma-maafkan aku... " suaranya pelan banget. Terlihat jelas dia sedang ketakutan saat ini.
Reno menahan tawanya melihat wajah gadis itu. Sumpah, menurutnya itu lucu banget.
"Minta maaf yang benar!" paksa Reno dengan suara yang hampir tergelak.
Minta maaf yang benar? Maksudnya gimana? Apa aku harus minta maaf sambil traktir mereka makan? Atau aku harus berlutut, jungkir balik, kayang atau gimana? Bening membatin sambil mengusap keningnya.
"Ayo!" desak Reno.
"Maafkan saya, Tuan. Tapi saya tidak punya uang untuk menraktir kalian makan, tapi saya janji, suatu saat nanti saya bakal traktir kalian kalo sudah punya uang... " dengan polosnya Bening menyimpulkan bahwa itulah yang diinginkan Reno.
"Elo kok bodoh banget sih! Kami nggak minta ditraktir! Just apologize properly!" protes Reno.
"Udah, Ren! Elo nggak usah maksa," Andra menepuk bahu cowok yang berdiri sejajar dengannya. "Dia jadi tremor."
"Tapi.. "
Andra berusaha menatap mata Cewek itu. Cewek itu pendek banget, saking pendeknya Andra harus rela setengah jongkok. Belum lagi Bening menunduk, membuat Andra semakin susah mendapatkan objek asli yang dia inginkan.
"Elo kelas berapa?" tanya Andra.
"Hmmm, kelas dua belas." jawabnya bergetar.
"Ha? Benaran? Kok kita nggak pernah liat lo sebelumnya? Apa elo murid pindahan?" Andra menghujani Bening dengan pertanyaan.
"Enggak."
"Andra! Elo ngapain baikin dia? Jelas-jelas dia udah bersalah sama elo,"
"Diam, Ren!" cowok itu mengalihkan pandangannya ke Reno, mengedipkan sebelah matanya.
"Okay," Reno mengacungkan jari jempolnya, artinya ia tau apa yang akan dilakukan Andra pada cewek itu.
"Jadi elo jurusan apa?"
"IPA. XII IPA 9 lebih tepatnya."
"Oh. Pantesan aja kita nggak pernah liat elo, soalnya kelas elo nggak terjangkau lagi ke kelas kita."
Bening mengangkat wajahnya. Ia memang tolol, tapi ia nggak suka dianggap remeh.
"Maksud kamu apa?" ia menatap Andra dengan penuh keberanian.
Andra berhasil memancingnya. Akhirnya ia bisa menatap mata gadis itu.
"Nggak, gue nggak bermaksud apa-apa." balas Andra menegakkan tubuhnya. "Jadi elo ngapain masih di sekolah? Harusnya udah pulang dong,"
"Terserah aku mau ngapain! Kenapa kamu penasaran?" Bening agak ketus gara-gara ia merasa direndahkan tadi.
"Okay, bener, emang bukan urusan dia, tapi elo nggak takut sendirian di tempat sepi bersama dua cowok kaya kita?" Reno membalas ucapan Bening. Sedangkan Andra mendekatkan wajahnya ke wajah Bening sambil tersenyum aneh.
"Nggak." balas Bening tanpa ragu.
"Gimana kalo kita ngapa-ngapain elo? Terus kita nyiksa lo, bunuh elo, masukin mayat elo ke dalam karung, terus kita kubur di tempat pengumpulan sampah di belakang? Apa masih tidak takut?" Reno semakin menakut-nakuti dan Andra mengubah senyumnya menjadi senyuman sinis.
Detak jantung Bening meningkat sepuluh kali lipat. Kalo sampai ia meladeni keduanya lebih lama lagi, ia yakin jantungnya akan meledak. Karena sesungguhnya ia takut dengan ancaman itu.
"Heh! Gini-gini aku nguasain sabuk hitam di karate loh! Jangan macam-macam sama aku!" Bening tetap berdiri tegak walau keringatnya hampir menyembul keluar. Dia terpaksa berbohong agar tidak diapa-apain. Sebetulnya ia tidak tau apa-apa tentang beladiri.
"Oh, benarkah? Berarti kita bisa gelud dong? Soalnya sabuk elo lebih tinggi dari kita berdua. Kami nggak belajar beladiri soalnya!" ucap Reno.
"A-apa?" Bening merasakan jantungnya telah jatuh ke perut. Dia hanya bercanda, sumpah demi apapun.
"Tapi gue takutnya tulang elo remuk sekali di bogem, iya nggak, An?" Reno tertawa aneh.
"Iya,"
Bening menelan ludahnya. Mimpi apa dia semalam hingga ketemu sama dua manusia ganteng yang menakutkan seperti mereka. Dia hanya gadis polos yang ingin menikmati pemandangan sore di sekolah itu, tidak lebih. Apa itu salah? Kenapa dia malah dihadapkan pada masalah sekeji ini?
"Jadi kita gelud dimana, nih?" Reno mengangkat wajah gadis itu dengan jari telunjuknya.
Bening gemetaran. Sekali lagi, ia hanya becanda.
"Sabuk hitam? Kita baku hantam dimana?" kini Andra yang bertanya.
"A... aku... Mmmm... "dia gagap saking takutnya.
Reno dan Andra saling bertatapan. Tiba-tiba kedua cowok itu tertawa kompak. Ternyata seasik ini menggangu cewek polos.
Reno tersadar akan sesuatu. Dia menyaksikan Andra tertawa lepas. What? Seorang Andra? Andra Michael, manusia paling datar bisa tertawa seperti itu? Keajaiban macam apa ini.
Tiba-tiba tawa Reno terhenti. Ia menatap Bening yang masih gemetaran. "Pergilah! Elo bisa pulang sekarang," cowok itu melangkah dua langkah ke kanan agar memberi jalan untuk Bening. "Gue udah memaafkan elo karena elo sudah menghibur Andra hari ini. Itu sudah lebih dari cukup untuk meminta maaf dengan benar."
Mendengar itu, Bening langsung berlari dari sela-sela mereka. Meninggalkan keduanya dengan dada yang masih mengombak. Dia berlari sekencang-kencangnya.
Gadis itu berhenti sejenak untuk mengambil nafas.
"Dasar freak! Masa gara-gara nabrak doang aku mau dibunuh! Lagipula bukan cuman aku yang salah, dia juga nggak pake matanya makanya kami tabrakan! Huh, nyebelin banget! Semoga dua orang itu mati kesendak!" Bening berlari sambil ngedumel. Ia kesal banget dengan kedua manusia itu.
"Dia unik," kata Andra ketika gadis itu menghilang.
"Yaps, I think so."
"Eh, kita lupa nanya namanya. But it's okay, dia masih warga sekolah ini. Mudah aja mencarinya,"
"Iya, elo benar, tapi kalo dia tidak berniat untuk pindah setelah kejadian ini. "
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!