Di taman kota terlihat sepasang keluarga yang tengah asik bersantai, tampak raut wajah bahagia dari keluarga itu. Hari itu Dimas dan Anita menikmati waktu libur mereka dengan Ibu dan anak yang sangat mereka sayangi.
"Sayang Ayah kesana dulu yah, Kamu mau titip apa sama ayah?" Dimas menatap wajah imut Kiara.
"Kiara mau ice krim Yah!" suara kekanakan Kiara itu sangat gemes di pendengaran mereka.
"Kamu Ayah tinggal sama Nenek ya, Ingat! jangan nakal," Peringat Dimas, dia tahu anak semata wayangnya itu sangat nakal.
Dimas dan Anita meninggalkan Sofia dan Kiara di kursi taman, mereka pergi ke tempat jualan yang ada di taman itu.
Sedangkan disisi lain seorang anak kecil yang seumuran dengan Kiara tengah bermain masak-masak dengan wanita berumur sekitaran 30an. Anira dan Frita sedang asik bermain.
"Bunda haus!" Anira tiba-tiba merasa kehausan, dia meminta minum kepada ibunya dengan isyarat tangan.
"Tunggu sini ya, bunda beliin minuman. Ingat! jangan kemana-mana." Peringat Frita kepada Anira.
"Aku sayang bunda," Ucap Anira yang kemudian mendaratkan ciuman di dahi Frita.
"Bunda juga sayang banget sama kamu," Frita memeluk Anira, dia sangat menyayangi anak satu-satunya itu.
Sofia dan Kiara juga tak kalah bahagia, mereka menikmati waktu libur itu dengan bermain ayunan yang ada di taman. Sofia sangat senang bisa menghabiskan waktu libur dengan cucu kesayangannya.
"Lebih kencang nek!" Kiara sangat senang bermain ayunan itu.
"Nanti kamu jatuh Princess, Nenek nggak mau kamu terluka." Sofia memandang sang cucu dengan mata memerah. Entah kenapa dia merasakan ada sesuatu yang akan terjadi.
Tak berselang lama Kiara terjatuh dari ayunan, lututnya berdarah. Sofia segera mendudukkan Kiara di rumput kecil yang ada di dekat ayunan.
"Nenek mau ngambil tas dulu ya, Kamu nggak boleh kemana-mana!" Sofia memperingati Kiara yang memang terkenal nakal itu.
Sofia segera mengambil tas yang tak jauh dari Ayunan, kemudian dia kembali pergi ke tempat Kiara tadi. Sofia mengambil beberapa obat luka untuk mengobati lutut Kiara. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat Kiara yang sudah berdiri di tengah jalan.
Sofia segera berlari ke arah Kiara yang sedang melambaikan tangan ke arah depan. Frita juga melakukan hal yang sama, dia merasa cemas melihat Kiara yang berdiri ditengah jalan.
Truk besar berjalan Kearah Kiara. Hal itu membuat mata Kiara berbinar, dia takjub dengan Truk yang sedang berjalan ke arahnya itu. Kiara melambaikan tangan ke depan.
Bruk!
Bruk!
Sofia dan Frita tak sengaja tertabrak oleh Truk itu, beberapa dari tubuh mereka hancur karena benda keras itu. Orang-orang berkerumun di tempat kecelakaan itu.
Anira yang melihat kecelakaan di depan matanya hanya bisa menangis, dia tidak menyangka ibunya yang sangat disayangi itu meninggal dengan cara yang tragis. Anira tahu kecelakaan itu terjadi karena mereka menolong Kiara.
"Bunda!" Anira tak bisa membayangkan hidup tanpa ibunya. Anira sekarang tak mempunyai siapa-siapa.
"Bunda! Jangan tinggalin aku bunda! INI SEMUA KARENA DIA!" Anira terus berlari ke arah ibunya. Dipeluknya tubuh yang sudah setengah hancur itu.
Sedangkan Dimas dan Anita merasa heran dengan bapak penjual yang tiba-tiba pergi ketika mereka sedang membeli dagangannya.
"Pak kenapa pergi?" Dimas merasa ada yang terjadi, namun segera ditepis.
"Itu pak! Anu... Ada dua orang tertabrak Truk!" Pak penjual itu meninggalkan Dimas dan Anita.
Orang-orang yang sedang menikmati keindahan taman itu langsung segera pergi ke tempat kejadian, mereka ingin tahu siapa korban dari kecelakaan itu.
Dimas dan Anita langsung menyusul pedagang yang sudah menjauh itu, mereka juga penasaran dengan kecelakaan itu.
"Mas! kok perasaan aku mendadak nggak enak gini? Aku takut mas," Anita tak bisa menyembunyikan rasa khawatir pada dirinya itu.
"Jangan berpikir yang belum terjadi," Dimas mencoba menenangkan sang istri walau dirinya juga gelisah.
Kiara yang melihat kecelakaan itu secara live tak bisa menyembunyikan perasaan takut sekaligus sedih, dia sekarang sedang duduk dengan posisi kaki yang dipeluk. Gadis itu menyembunyikan kepala, dia berharap hal itu hanya mimpi belaka.
Dimas dan Anita segera menghampiri Korban kecelakaan. Dia tampak Syok dengan apa yang dikenakan oleh korban itu.
Deg!
"Tak mungkin itu mami kan? Ya tuhan semoga saja hanya pakaian yang sama, tapi bukan orang yang sama." Batin Dimas.
"MAMI!" Anita tak kuasa menahan dirinya, sekarang kakinya seakan tak mampu menahan tubuhnya.
Wajah yang sudah hancur membuat mereka tak bisa mengenali wajah korban dengan jelas, hanya bisa mengenalinya dengan pakaian dan aksesoris yang dipakai sang korban.
Dimas melihat kalung berlian yang dibeli untuk sang ibu tercinta dipakai oleh korban kecelakaan, padahal kalung itu hanya ada satu di dunia.
Dimas menjatuhkan tubuhnya dipinggir korban yang ternyata ibunya itu, air matanya mengalir karena tak sanggup di tahan oleh kelopak mata.
"MAMI! BANGUN! JANGAN TINGGALIN AKU!" Dimas berteriak-teriak sambil menggoyangkan tubuh sang mami.
"Hiks... mami!" Anita tak sanggup bersuara banyak, bibirnya seakan kelu.
"Hiks...Hiks... Bunda jangan tinggalin aku! Gadis itu yang buat Bunda meninggal! Aku nggak bakal lepasin dia!" Anira tak sanggup melihat wajah hancur sang bunda. Kalau saja tidak menyelamatkan gadis kecil itu bundanya tak akan meninggal.
Anira mendekati anak kecil yang sedang tertunduk dengan bahu yang bergetar itu, amarahnya sudah mencapai ubun-ubun.
Buk!
Buk!
"Pembunuh! Kau pembunuh!" Anira tak henti-hentinya memukul kepala Kiara dengan Batu yang diambil di jalanan itu.
Buk!
Dimas dan Anita menoleh ke sumber suara itu, mereka terkejut karena melihat anak semata wayangnya terbaring dengan wajah yang penuh darah.
Melihat Kiara yang sudah terbaring lemah tidak membuat gadis kecil itu kasian, dia malah memukul kaki dan tangan Kiara menggunakan batu yang ada ditangannya.
Para warga segera memisahkan Kiara dan Anira, mereka tak tega melihat anak sekecil itu yang terbaring lemah di jalanan.
"Apa yang kamu lakukan! jangan coba-coba mencelakainya!" Dimas memperingati Anira yang di tahan oleh warga itu.
"Dia pembunuh! kalau bukan karena dia Bunda dan nenek itu tak akan meninggal! Aku harus membunuhnya!" Anira mencoba memberontak, namun gadis kecil itu tak bisa melawan orang-orang dewasa itu.
Dimas mencoba untuk tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh Anira, namun logikanya seakan menentang. Gadis kecil berumur 5 tahun itu tak akan mungkin berbohong.
"Apakah yang dikatakan anak itu benar?" Dimas melemparkan pertanyaan pada kerumunan orang itu, siapa tahu ada dari mereka yang menyaksikan kecelakaan itu.
"Tadi anak itu mendekati Truk, kemudian dua orang mencoba menyelamatkan dirinya, namun mereka malah tertabrak Truk." jawab Salah satu dari kerumunan orang itu.
Dimas mendudukkan Kiara yang sedang lemah itu, kini emosi sudah menguasai dirinya. Bahkan ditengah anaknya sekarat dia malah mengutamakan emosinya itu.
"Apakah nenek meninggal karena menolong mu?" Tanya Dimas.
Kiara mengangguk lemah, matanya sembab karena dari tadi terus menangis. Bahkan dia juga tak perduli dengan kondisinya sekarang.
Bugh!
Dimas meninju wajah Kiara dengan sekuat tenaga, hal itu membuat Kiara tak sadarkan diri. Anak yang berusia 5 tahun itu tak bisa menahan serangan secara bertubi-tubi itu.
Para warga segera menjauhkan Dimas dari Kiara, sedangkan yang lainnya membawa Kiara Ke rumah sakit, mereka takut anak kecil itu tak bisa bertahan lebih lama lagi.
"Kenapa kalian menghentikan ku?" Dimas menatap tajam ke arah orang-orang yang menahannya tadi.
"Kau bisa saja kami laporkan atas tindakan kekerasan terhadap anak-anak! Kau akan dipenjara karena melanggar undang-undang pasal 54, Tuan." ucap salah satu dari mereka.
Dimas mempersiapkan Pemakaman Sang Mami tercinta itu dengan sangat mewah. Dia juga mengundang anak yatim untuk turut mendoakan sang mami tercinta.
Sedangkan di rumah sakit, Kiara tengah terbaring dengan berbagai macam alat menempel di tubuhnya. Gangguan mental dan beberapa luka ditubuhnya membuat dirinya harus berada cukup lama di ruang ICU ini.
Arwan, Pria paruh baya itu menatap sendu ke arah sang cucu yang saat ini tengah terbaring lemah di dalam ruang ICU. Dia sudah tahu kejadian yang menimpa sang istri.
"Maafkan Kakek, Kakek akan pergi meninggalkanmu dengan waktu yang cukup lama. Kiara tak perlu takut, tak ada yang akan macam-macam sama kamu." Arwan tak sanggup meninggalkan sang cucu yang tengah menghadapi goncangan hidup itu.
Arwan tak tega meninggalkan Kiara, Namun dia juga tak bisa membawa Kiara bersamanya, karena akan sangat susah melupakan sang istri jika Kiara berada di dekatnya. Dia tak mampu mengingat kebersamaan dirinya bersama sang istri dan cucu tunggalnya itu.
"Kamu harus kuat nak, kamu cucuku yang paling terbaik." Arwan menghapus air mata yang mengalir di sudut matanya.
***
Sementara di pemakaman, Dimas menatap pusara sang mami yang baru saja pergi itu, dia tak menyangka kebahagiaannya harus punah dalam waktu satu hari.
Ditatapnya pusara itu dengan mata berkaca-kaca, tangannya mengusap pusara dengan lembut. Dimas sangat-sangat terpukul karena kehilangan ibunya, lebih baik dia kehilangan Kiara dari pada kehilangan ibu yang melahirkannya.
Dimas seorang ayah yang tidak punya hati, dia tidak merasa kasian kepada darah dagingnya yang saat ini di rawat di rumah sakit. Dia tidak memikirkan perasaan Kiara yang juga ikut sedih, bahkan nyaris trauma dengan kecelakaan tersebut.
Anita mengusap punggung suaminya, dia memeluk Dimas agar bisa lebih tenang sedikit. Anita juga merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan oleh suaminya. Dia juga sangat kehilangan sosok ibu mertua yang sudah dianggap ibu kandung sendiri.
"Aku menyesal punya anak sepertimu!" batin Dimas.
Dari kejauhan, Arwan melihat pusara istri tercintanya. Dia merasa kehilangan seseorang yang sangat berharga dalam hidupnya. Namun, dia tidak membenci Kiara. Arwan Arkana tidak pernah menyalahkan cucunya yang masih berumur 5 tahun tersebut.
"Mas! Aku mau mengangkat anak yang kemarin, Kamu setuju?" Anita merasa kasian kepada Anira yang sekarang menjadi yatim piatu.
"Iya, Aku juga kasian kepadanya Ta, Kalau bukan karena anak laknat itu ibunya sekarang masih di sampingnya." Dimas menghela nafas dengan berat,"Kalau aku tahu ini akan terjadi, aku pasti sudah membuangnya di kolong jembatan!"
"Kita harus memberikan pelajaran kepada anak nakal itu! Aku akan memberikan siksaan yang nantinya akan membuatnya ingin mengakhiri hidupnya." Anita tersenyum miring.
"Apa yang kalian katakan! jangan sesekali menyentuh cucuku, atau kalian akan saya keluarkan dari keluarga Arkana! Pewaris sah Arkana hanya Kiara seorang, Bukan kalian! atau pun orang lain." Ucap Arwan Arkana
"Papi salah dengar, bukan itu maksud kamu." Dimas mencoba untuk menyangkal.
"Kalau Kiara sudah sembuh, Papi akan pergi ke Islandia, Ingat! kalau Kiara kenapa-kenapa kalian akan ku tendang dari keluarga ini!" Arwan mengancam sang anak beserta mantunya.
Arwan sebenarnya sangat takut meninggalkan cucu yang sangat disayangi itu, akan tetapi dia tidak sanggup berada di sisi cucunya. Arwan sudah menyuruh seseorang untuk menjaga Kiara, dia pasti akan menjaga Kiara dengan baik.
Dimas dan Anita Kini sudah berada di sebuah mobil Ferarri, mereka menuju rumah Anira, gadis kecil yang telah membuat Kiara masuk Rumah sakit itu.
"Mas! Ancaman papi tidak main-main, kita harus bagaimana?" Anita tak mau jika keluar dari keluarga terbesar itu.
"Kita akan menyakiti mental dan fisik Kiara, tapi jangan sampai anak itu terluka parah." Dimas mencoba membayangkan ancaman dari ayahnya itu," Aku tak mau jadi gelandangan!"
10 Menit kemudian, mobil mereka sampai disebuah rumah yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil.
Mereka memencet bel beberapa kali.
"Ada orang nggak ya?" Anita memperhatikan jendela rumah itu.
Krek!
Pintu rumah terbuka, gadis kecil itu terlihat begitu menyedihkan. Darah mengalir dari wajah polosnya, tak lupa banyak memar di badan anak itu.
Anita dan Dimas Sangat panik melihat kondisi Anira yang sangat memprihatinkan itu, mereka segera membawa anak itu ke Rumah Sakit yang sama dengan Kiara.
"Kamu kenapa nak?" Tanya Dimas dengan suara lembut.
"Aku gak mau hidup lagi! Aku sekarang tinggal sendiri di dunia. Aku ingin menyusul ibu aku." Anira menjawab pertanyaan itu dengan nada lirih.
Anita memeluk tubuh Anira, dia mengusap punggung anak itu dengan lembut," Kamu sekarang punya Ayah sama bunda, Kamu nggak sendiri, kamu juga bisa anggap kami sebagai orang tuamu."
"Apa boleh?" Anira menatap Anita dengan mata yang berkaca-kaca.
"Boleh, sangat boleh." jawab Dimas dan Anita secara bersamaan.
Mobil Ferarri kini sudah memasuki halaman rumah sakit, mereka segera membawa Anira ke dokter agar segera ditangani. Anira di gendong oleh Anita dengan sangat hati-hati agar dia tak merasakan sakit.
"Gimana Keadaannya dok?" Tanya Dimas ketika melihat dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD.
"Anak anda baik-baik saja, untung kalian cepat membawa dia ke rumah sakit, kalau tidak dia akan mengalami pendarahan hebat." Dokter itu memberikan penjelasan kepada Anita dan Dimas
Dimas dan Anita memasuki ruang UGD, mereka segera mendekati ranjang rumah sakit, dan mengelus lembut kepala anak itu. Mereka sangat sedih melihat Anira yang terlihat sedih.
"Kamu mau makan apa sayang? Nanti Ayah belikan." Dimas mencoba memecah keheningan diantara mereka.
Tak disangka hal itu membuat Anira senang,"Aku ingin Ice krim Yah!"
"Nggak boleh sayang, Kamu masih sakit, yang lain aja." Anita mencoba memberikan pengertian.
Anira mengerutkan bibir," Kalau gitu nggak usah,"
Dimas mencubit hidup anak itu," Nanti klo kamu udah sembuh ayah belikan kamu Ice krim."
"Ayah!" Anira kesal dengan Dimas yang menggodanya itu.
mereka terlihat seperti keluarga yang sangat bahagia, Dimas dan Anita seakan lupa dengan anak semata wayang mereka.
"Mas, ruangan Kiara itu yang teratai putih itu bukan?" Anita bertanya kepada suaminya yang sedang menyuapi Anira dengan Ayam Geprek.
"Iya, kamu mau menjenguk anak itu?" Dimas melontarkan pertanyaan kepada sang istri.
"Nanti aja, toh dia udah dijaga sama Papi." Anita memang tak mau menjenguk Kiara.
Pembicaraan mereka membuat Anira tersenyum tipis, dia merencanakan sesuatu untuk Kiara.
Tepat pada jam 11 malam, Anira keluar dari ruang UGD, dia menuju ruang ICU yang kini ditempati oleh Kiara. Dia masih memiliki dendam kepada Kiara.
Krek!
Dibukanya pintu ruangan itu, dia melihat Kiara tengah terbaring dengan berbagai macam alat medis di tubuhnya. Namun hal itu tidak membuat emosinya merendam.
Anira mencubit tangan Kiara menggunakan kukunya yang panjang itu, hal tersebut membuat Kiara membuka matanya.
"Kenapa? kau takut?" Anira tersenyum senang melihat ketakutan di wajah Kiara.
Kiara hanya menggelengkan kepala agar Anira menghentikan aksinya. Namun bukannya berhenti, Anira malah semakin menjadi-jadi. Anira melepas Nebulizer yang ada di mulut Kiara.
"Selamat tinggal pembunuh," Anira tersenyum senang melihat Kiara yang menderita.
"Jangan sakiti cucuku!" Suara dingin itu menggema di ruangan.
Arwan mendorong Anira dengan kekuatan penuh, sehingga anak itu terpental keras menabrak dinding ruangan. Ia tak perduli dengan kondisi Anira yang sekarang telah pingsan dengan darah yang mengalir dari wajahnya.
"Dokter!" Arwan memanggil dokter agar segera menangani cucunya.
Dimas terlihat marah besar ketika mengetahui Anira pingsan karena ulah ayahnya sendiri.
"Kenapa Papi melakukan hal itu?" Dimas sudah tersulut Emosi.
"Dia hampir membunuh anakmu bangsat!" Arwan juga tak kalah emosi.
"Biarkan dia terbunuh, aku tak sanggup melihat pembunuh dari ibu yang aku cintai!" Dimas sudah sangat membenci sang anak.
"Apa kau Gila! Mami meninggal karena sudah takdir! jangan sangkut pautkan dengan Kiara!" Arwan semakin kesal kepada anaknya yang menyalahkan sang cucu yang tidak salah apa-apa.
Brak!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!