Luteria, negeri yang sangat makmur selama berabad-abad. Wilayah Luteria sangat luas dan bermacam-macam mahluk tinggal di sana. Elf yang anggun dengan kemampuan sihir yang tinggi. Centaurus yang mempu melihat masa depan dengan membaca bintang. Kurcaci, penghasil barang-barang mewah dan kuat. Naga yang sangat menyeramkan dan berbahaya. Semua hidup bersama di Luteria dengan damai. Bahkan raksasa besar pun tak pernah mengacaukan kedamaian tersebut. Segala prestasi yang dicapai Luteria itu merupakan keberhasialan Raja Sion yang secara turun-temurun memerintah dengan sangat bijaksana. Dialah manusia pertama yang mampu menyatukan semua bangsa untuk hidup bersama di wilayah Luteria.
Dan kini, Raja Peter, keturunan Raja Sion, memegang tampuk pemerintahan, menggantikan ayahnya, Raja Beldia. Bersama Ratu Sybilina, Raja Peter memiliki seorang putri bernama Arael. Putri mahkota tersebut diramalkan oleh para centaurus, akan mendapat banyak kesulitan dalam perjalanannya menjadi pemimpin sejati. Tapi, Peter tak pernah benar-benar menghiraukan peringatan para centaurus tersebut. Hingga suatu saat, enam tahun sejak kelahiran putri Arael dan adanya ramalan mengenai dirinya, terjadi suatu peristiwa menggemparkan sepanjang sejarah Luteria dan mengubah segala hal baik di tempat itu.
Saat itu seluruh istana sedang merayakan pesta ulang tahun Arael di aula kerajaan yang megah. Elf, centaurus, driad, bahkan kurcaci kecil turut bersenang-senang di sana. Raja dan Ratu sungguh gembira menyaksiakan pertumbuhan putrinya. Semua makhluk dimabukkan oleh kegembiraan yang berlebih. Karena suasana damai yang terlalu lama, tidak ada satupun yang curiga akan terjadi malapetaka hari itu.
Tiba-tiba dan tanpa diduga ratusan orge menyerang istana. Kepanikan menyebar di antara semua orang di tempat itu. Sihir dilancarkan di mana-mana. Pedang berdesing nyaring, dan panah-panah berhamburan di udara. Teman atau lawan sudah tak bisa lagi dibedakan, kecuali orge yang bentuknya paling mencolok. Sayangnya, tanpa persiapan apa pun, istana dapat dikuasai dengan mudah. Meski begitu, Peter tetap memainkan pedangnya dengan lihai sambil melindungi istri dan anaknya. Sybilina memeluk Arael sambil terus melancarkan sihir kepada setiap orc atau penyihir lain yang mencoba menyerangnya. Casandra, peri pelindung Arael, turut menjaganya dengan melancarkan mantra-mantra mematikan. Elf dan driad bertarung dengan anggun, tapi mulai terdesak oleh kekuatan orge yang luar biasa. Centaurus berderap dengan busur di depan dada mereka. Menerjang semua lawannya dengan gagah. Tapi kekuatan orge, tentu saja, empat kali lipat tenaga manusia biasa dan dua kali lipat tenaga elf ataupun centaurus.
Tiba-tiba, Charles, salah seorang pejabat kerajaan dan merupakan salah satu orang kepercayaan raja, menghunus pedangnya dan mengarahkan ke punggung Peter, yang langsung menghindar hingga tersungkur di lantai.
“Masamu sudah lewat, Peter.” bisiknya licik, dengan mata berkilat-kilat penuh kemenangan. Ujung pedangnya kini mencapai tenggorokan Peter, yang kaget luar biasa melihat pemandangan tersebut.
“Charles?” tanyanya bingung. Tapi kemudian ia mampu menguasai diri.
“Ah, seharusnya sudah bisa kutebak. Tapi mataku buta oleh kepercayaanku padamu.” kata Peter pelan, tersenyum pahit.
“Huh! Seperti semua moyangmu yang terlalu percaya. Ketahuilah, kepercayaan hanya akan menghancurkanmu.” Charles terdiam “Dan sekaranglah kehancuranmu,” lanjutnya sambil menyeringai jahat dan semakin menekan ujung pedangnya di leher Peter.
“Silakan bunuh aku, Charles, dan pembalasan akan terjadi pada keturunanmu. Karena hukum alam ini terus berputar. Kau sama saja menghancurkan keturunanmu,” Peter memandang Charles dengan tatapan dingin. Matanya terarah lurus ke mata Charles, tanpa sedikit pun ada ketakutan.
“Dan... kepercayaanmu pada mitos-mitos kuno jugalah yang menghancurkanmu.” kata Charles hati-hati. “Kini, hadapilah kematianmu.” lanjutnya dengan seriangai mengerikan.
Charles mengayunkan pedangnya dan memenggal kepala Peter hingga terlepas dari badannya semudah mematahkan ranting. Sybilina berteriak ngeri memeluk Arael. Charles mendatanginya dan tanpa ampun menusukkan pedangnya ke punggung Sybilina. Dia pun terkulai lemas, lalu jatuh terpuruk meninggalkan Arael yang menatap Charles dengan tatapan polos. Charles balas menatapnya dan kemudian terdiam sejenak. Tiba-tiba tawanya pecah seakan membelah dinding dan langit-langit aula istana tersebut.
“Anak yang menarik. Ia bahkan tidak menangis melihat orangtuanya dibantai.” Ia lalu menimang pedangnya. “Biar kukurung anak ini di penjara bawah tanah. Akan kulihat sampai mana dia bertahan tanpa merasa tersiksa.” lanjutnya lalu memanggil salah satu pelayan orge-nya untuk membawa Arael ke penjara bawah tanah.
Melihat Raja dan Ratunya sudah gugur, pasukan istana pun terpecah belah. Semua berusaha melarikan diri dan sedikit yang tetap berjuang. Di antara itu adalah elf dan centaurus yang setia. Tapi mereka tetap mati di tangan orge yang kejam. Casandra, ibu peri Arael, mengubah dirinya sediri menjadi kucing lalu berlari menjauhi medan perang. Ia berusaha mencari Arael, entah hidup atau mati. Tapi karena tidak menemukan apa pun yang menyerupai Arael, dia melenggang pergi dengan duka yang tak tertahan. Ramalan itu benar. Dan sekarang kejatuhan Luteria sudah di depan mata. Dia tahu, semua makhluk tahu, Luteria tak akan menjadi seindah dulu.
***
Arael berjalan terseret-seret mengikuti orge yang mencengkeram lengannya dengan kasar. Setelah sampai di penjara bawah tanah, orge tersebut mendorong Arael kecil dengan keras hingga lututnya sakit menahan berat tubuh yang ditimpakan tiba-tiba. Orge itu kemudian berjalan memunggungi Arael lalu menutup pintu dan mengunci Arael sendirian di dalam. Masih tanpa emosi, Arael membenahi cara duduknya, lalu meringkuk di pojok ruangan yang tak ada isinya itu. Bau lumut menyebar di mana-mana, dan sepanjang mata memandang hanya terlihat batu, tanpa ada perabot lain. Ruangan persegi itu mungkin hanya selebar dua meter dan semua bagiannya terbuat dari batu. Sebuah jendela kecil bertengger di salah satu dinding yang tingginya hampir dua meter itu. Kecoa berjalan kesana-kemari di ujung ruangan yang lain. Arael memandangnya dengan tatapan tajam. Tatapan seorang anak berusia 6 tahun yang orang tuanya baru saja dibunuh di depan matanya.
Tiba-tiba terdengar bunyi klik dari arah pintu, dan pintu itupun menjeblak terbuka. Mata Arael mengikuti arah datangnya suara. Tertangkap olehnya sosok Charles yang tersenyum puas memandangnya. Dibelakangnya tampak orge bermuka jelek yang tadi menyeretnya ke tempat itu. Orge itu juga menyeringai memamerkan gigi-giginya yang kuning dan mencuat kesana-kemari tidak rata. Dari tubuh orge itu mengoarkan bau busuk seperti kaus kaki dan telur busuk. Tapi bagi Arael kecil, ia tidak tahu bau itu berasal dari tubuh orge atau tubuh Charles.
“Wah, wah... putri kecil kita tampaknya merasa sangat nyaman duduk di tempat ini. Selamat menikmati kenyamanan ini, Putri. Kuharap kau betah di sini, karena kau tidak akan pernah melihat matahari setelah ini. Bahkan dalam mimpi pun tidak.” ejek Charles dengan seringai jahatnya.
Charles mulai tertawa-tawa dan berbalik pergi meninggalkan Arael. Orge jelek tadi menyeringai sekilas, lalu menutup pintu dan menguncinya kembali. Kepergian orge tadi meninggalkan bau busuk luar biasa di ruangangan sempit dan pengap itu. Arael menatap mereka, masih dengan pandangan yang sama. Tdak ada yang tahu apa yang dipikirkan anak sekecil itu setelah melihat pembantaian besar-besaran di depan matanya.
Hampir sepuluh tahun suasana di Luteria berubah total. Tak ada lagi senyuman apalagi kedamaian. Charles sangat membatasi hak-hak dan cara hidup makhluk-makhluk sihir seperti elf, driad, naga, kurcaci dan lain sebagainya. Charles ternyata menaganggap mereka semua berbahaya dan mengancam kedudukannya sebagai raja. Karena itu, ia mengeluarkan peraturan yang sangat kejam: memburu makhluk-makhluk sihir. Satu-satunya bangsa sihir yang bekerja sama dengannya adalah orge. Entah apa yang dijanjikan Charles pada orge hingga mereka bersedia menjadi anak buahnya. Keadaan kacau balau. Kejahatan, perbudakan, bahkan pembunuhan terjadi di mana-mana. Hanya pejabat-pejabat besar, termasuk Charles yang sangat menikmati hidupnya.
Sedangkan para makhluk sihir yang lain hidup dalam pelarian. Mereka bersembunyi jauh di wilayah yang sekiranya tidak terjangkau oleh Charles dan segala hulubalangnya. Dengan perlindungan ketat, mereka menghindari manusia, terlebih penyihir. Kemudian muncul sebuah ramalan yang pernah memberi harapan kepada mereka. Isi ramalan tersebut begini :
Charles, raja tamak yang mengalahkan Peter sang pemberani, akan termakan oleh kutukan yang dibuatnya sendiri. Ia telah membunuh Peter yang bijaksana, dan ia serta keturunannya akan dihabisi oleh keturunan Sion, penguasa pertama tanah ini..
Keturunan Sion yang mereka ketahui adalah Arael. Tidak ada bangsawan lain yang merupakan keturunan Sion kecuali Peter. Tapi mereka tetap berharap ada keturunan lain, entah darimana, yang akan menghancurkan Charles. Sebab Arael, yang mereka ketahui dengan jelas merupakan keturunan Sion, sudah menghilang selama 10 tahun. Dan mustahil bagi Charles untuk tidak membunuhnya sejak berusia 6 tahun, terlebih setelah ada ramalan tersebut.
Tapi mereka salah. Ramalan centaurus tersebut mungkin benar. Karena dengan kesombongannya, saat mendengar kabar mengenai ramalan tersebut, Charles hanya tertawa penuh ejekan.
“Coba saja kita lihat, apa yang bisa dilakukan anak tak berdaya dalam kurungan itu. Kalau memang ada keturunan Sion yang lain, aku tidak akan pernah takut menghadapinya. Siapa yang bisa menandingi kekuatan sihirku yang mahasakti ini?” timpalnya sombong dan membiarkan Arael tetap hidup.
Di dalam sel yang gelap dan sempit, seorang gadis meringkuk memeluk lututnya di pojok ruangan. Kulitnya dingin dan pucat. Badannya kurus dengan tulang yang menonjol diseluruh tubuhnya, semakin menampakkan kekurusannya. Gadis itu berambut hitam, ikal dan panjang, namun tak terawat, sehingga menjadi sangat kusut. Bibirnya pecah-pecah, dan pipinya tirus tak berdaging. Dengan baju compang camping yang dikenakannya, ia tampak seperti gelandangan yang sudah berbulan-bulan tidak makan. Kecantikannya pudar karena kondisinya yang memprihatinkan tersebut. Tidak ada tanda-tanda kehidupan pada gadis itu. Ia tampak seperti tengkorak berbalut kulit. Hanya matanya yang menampakkan dirinya masih hidup. Matanya yang hitam dan jernih menatap tajam dalam kegelapan. Sesekali ia memutar matanya untuk mencari pemandangan yang lebih menarik. Tapi seperti yang sudah disadarinya sejak awal, tidak ada apa pun di tempat itu kecuali dinding, lantai dan atap dari batu. Kadang ia dikunjungi oleh kecoak atau tikus yang masuk dari celah retakan dinding batu yang sempit. Tapi Arael, gadis itu, tak lagi punya emosi untuk menyenangkan dirinya sendiri dengan apa pun.
Sehari dua kali, akan ada penjaga yang menyodorkan makanan dan minuman untuknya. Tapi tidak setiap kali ia menjamahnya. Hanya bila perutnya benar-benar lapar, baru dia mau makan. Charles sudah tidak pernah mengunjunginya lagi. Kali terakhir Charles datang kurang lebih dua tahun yang lalu. Dan Charles tidak pernah datang lagi. Tapi toh Arael tidak tahu berapa lama ia berada di sana. Siang dan malam baginya sama saja. Ia juga tidak pernah menunggu ataupun memimpikan kebebasan. Hanya nalurinya untuk bertahan hidup, yang mampu membuatnya tetap berada di tempat itu.
Tanpa merasakan kebahagiaan ataupun kesedihan, Arael tetap memberi kesempatan pada dirinya untuk mencecap kehidupan, meski dia sendiri tidak tahu untuk apa dia hidup. Ia hanya merasa ia harus hidup, entah apa pun tujuannya. Tapi Arael sudah membuang jauh-jauh perasaannya. Ia tidak mau merasakan sedih atau bosan tinggal di sana. Karena baginya ruangan itu sudah menjadi bagian tubuhnya yang tak terpisahkan, terlebih setelah ia tinggal di tempat itu selama bertahun-tahun.
Ia tidak pernah bicara. Tapi meski begitu, ia tidak melupakan bagaimana cara bicara. Arael gadis yang cerdas. Ia tidak pernah melupakan apa yang sudah dia pelajari saat masih kecil, sebelum ia diasingkan di tempat itu. Sering ia mendengar para penjaga berbicara di luar ruangannya. Dan ia mencermatinya, sehingga ia tetap mampu berbahasa manusia. Kadang pula ia membayangkan taman kerajaan yang penuh burung berkiacauan dan unicorn yang sedang minum di danaunya. Elf yang cantik memainkan seruling dan ia menari bersama ibu serta ayahnya. Ia rindu saat itu, dan takut bila ia melupakan kenangan indah tersebut. Tapi nyatanya ia tidak pernah lupa. Karena saat-saat itulah salah satu dari sedikit kenangan yang dia miliki.
Sudah hampir lima hari berlalu sejak Arael berusia 16 tahun, masa dewasa seorang gadis. Tapi Arael sendiri tentu tidak menyadarinya. Ia sedang memandang seekor tikus yang merayap masuk melalui retakan dinding batu. Ia lantas menyadari bahwa di belakang tikus itu seekor kucing menyusulnya. Kucing itu hitam pekat dengan mata kuning yang bulat. Arael, yang tidak pernah melihat kucing berkeliaran di dalam selnya, cukup heran melihat si kucing melenggang dengan angkuh dan berhenti di depannya.
Si kucing itu duduk dan menatapnya dengan pandangan yang sulit ditebak. Arael balas memandangnya, bingung. Tiba-tiba muncul asap aneh di sekeliling kucing itu lalu terdengar bunyi ctar pelan. Asap semakin tebal dan lebar. Arael membelalak melihat pemandangan asing itu. Genggamannya menguat mencengkeram lututnya. Tapi dia tetap diam tak bersuara. Setelah beberapa saat, asap mulai menghilang dan tampak gerakan tangan manusia menghalau asap itu. Arael mengendurkan cengkramannya sambil memandang dengan tertarik.
Di depannya berdiri seorang wanita yang memakai terusan ungu muda dengan rok pendek yang menggembung seperi balon. Dipunggungnya ada sepasang sayap yang berkilau keunguan. Rambutnya yang kecoklatan digelung rapi di belakang kepalanya. Sedang bola matanya yang hijau memandang Arael dengan kawatir. Wanita tersebut bertubuh langsing dan cukup muda. Kulitnya putih bersih dan terawat. Ia lalu berjongkok di depan Arael dan mengulurkan tangannya, menjangkau wajah Arael. Matanya berkaca-kaca dan tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya. Wanita itu tertunduk dan mulai menangis.
Arael memandangnya diam. Dia membiarkan wanita itu menyentuhnya dan menangis di depannya. Pikirannya sedang berputar. Arael merasa pernah melihat wanita itu di suatu tempat. Ia terus memacu otaknya dan mengingat kembali memori masa lalunya. Alisnya berkerut dan matanya menyipit.
“Casandra...?” bisik Arael pelan.
Wanita itu mendongak kaget. Isakannya semakin keras dan air matanya mengalir lebih deras. Satu tangannya yang lain menjangkau Arael seakan hendak memeluknya. Tapi ia tidak melakukannya. Matanya hanya menyapu seluruh tubuh Arael dari atas sampai bawah.
“Arael, anakku...” desah wanita itu. Dan kesunyian menghinggapi mereka selama beberapa saat. Akhirnya wanita itu sanggup mengatasi kesedihannya, dan memandang Arael dengan lebih tegar.
“Ya, Arael, anakku. Kau benar, aku Casandra, peri penjagamu. Tak pernah terbayangkan olehku kau masih mengingat namaku. Ah, bahkan aku sudah menjadi sedemikian jahat, hingga mengira kau sudah mati,” kata Casandra kemudian.
“Kenapa kau tahu aku ada di sini?” tanya Arael.
“Yah, sudah sepuluh tahun berlalu sejak peristiwa mengerikan itu. Terakhir kali aku melihatmu, saat kau dipeluk ibumu lalu berlari menyelamatkan diri. Tapi kemudian, ketika aku mencarimu lagi, kau sudah tidak ada. Aku hanya menemukan ... ,” kata Casandra, terputus oleh isakan pelannya. “... jasad orang tuamu yang sangat ... tragis,” lanjutnya setelah berhasil menguasai diri.
“Lalu, lima hari yang lalu, tepat ulang tahunmu yang ke enam belas, seandainya kau masih hidup, pikirku. Aku yang selama ini mengira kau sudah mati, tidak pernah mencoba mencarimu dengan kemampuan sihirku. Tapi, lima hari yang lalu, aku merasakan isyarat keberadaanmu. Kau tahu? Kau sudah mencapai masa dewasamu kini dan membuat ikatan di antara kita menguat. Aku sebagai peri penjagamu bisa saling bertelepati setelah kau mencapai kedewasaanmu.
“Maka aku tersentak bangun, lalu mencoba melihat ke dalam air di baskomku. Dengan kemampuan sihirku, aku menelusuri keberadaanmu, dan akhirnya ... ,” Casandra menarik napas panjang. “...aku menemukanmu di sini. Oh, Arael, seandainya aku melakukannya lebih cepat ...” lanjutnya dan mulai menangis lagi, menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Arael diam memandangnya.
“Maafkan aku ... semua ini gara-gara aku. Keadaanmu tidak akan menjadi semenyedihkan ini bila aku datang lebih cepat. Semua ini karena kebodohanku. Untunglah kau masih hidup. Bagaimana jika kau sudah terlanjur mati karena aku tidak segera menyelamatkanmu,” kata Casandra mulai histeris.
“Aku juga tidak tahu apa yang menahanku untuk memilih kematian. Aku hanya merasa aku harus hidup, entah untuk apa,” timpal Arael.
Cassabela tersentak diam. Mendadak tangisannya berhenti dan matanya membulat. Akhirnya sedikit senyum merekah dari bibirnya.
“Ramalan itu ... ,” bisik Casandra.
Arael memandangnya tajam, mendengarkan. Casandra balas memandangnya.
“Aku harus mengeluarkanmu dari sini, Nak,” ucap Casandra sungguh-sungguh.
Peri muda itu lalu bangkit berdiri lantas mondar-mandir di dalam ruangan penjara Arael. Arael menatap Casandra yang terus bergerak sambil berpikir. Tidak pernah terbayangkan dalam benaknya kalau dia bisa keluar dari tempat ini. Baginya, hidup dimana saja sama sekali tidak ada bedanya. Dia toh sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Arael sudah begitu terbiasa dengan kesendirian dan penderitaannya di dalam penjara.
“Nak, aku bisa mengubahmu menjadi bentuk lain. Akan tetapi sihir itu punya batasan waktu. Hanya lima belas menit. Karena itu, aku harus mengubahmu menjadi hewan yang bisa berlari cepat agar bisa memanjat keluar dari ruang bawah tanah ini,” ujar Casandra sambil menunduk ke arah Arael.
Arael hanya mengangguk pelan, setuju akan apa pun rencana Casandra terhadap dirinya.
“Kalau begitu bersiaplah, Anakku,” kata Casandra sambil mengambil ancang-ancang. Kedua sayap peri itu lantas mengepak-kepak cepat. Debu-debu kecil berkilauan keluar dari setiap kepakan sayap Casandra. Peri itu lantas mencabut sebuah tongkat sihir dari balik lengan gaunnya.
“Mutatio!” seru Casandra sembari mengayunkan tongkat sihirnya ke arah Arael.
Bunyi plop pelan terdengar, diikuti munculnya asap kuning pekat yang menghilang perlahan setelah beberapa saat. Setelah asap kuning itu tersibak, muncullah seekor kucing putih kurus yang tampak kumal. Kucing itu duduk dengan tatapan kosong.
“Astaga, Anakku. Bahkan saat menjadi seekor kucing pun kau tampak begitu menyedihkan Arael,” desah Cassabela kembali berkaca-kaca.
Sayangnya ia tak punya banyak waktu untuk bersedih. Waktunya untuk mengeluarkan Arael sangat terbatas. Maka, dengan gerakan yang sama, Casandra pun turut mengubah dirinya menjadi seekor kucing hitam.
“Ayo ikuti aku, Nak,” ucap Casandra dalam wujud kucingnya.
Arael bangkit berdiri. Bulu-bulu kumalnya tampak lusuh sebagai kucing, dan saking kurusnya, tulang-tulangnya tampak menonjol memprihatinkan. Meski begitu, wujud kucing Arael tidak kesulitan mengikuti Casandra menelusup di antara celah-celah kecil penjara bawah tanah tersebut.
Debu, kotoran dan bau bacin terus mengiringi perjalanan mereka selama berjalan memasuki gorong-gorong. Dinding batu kastel itu tampaknya sudah tidak terawat lagi. Banyak lumut dan kecoak juga tikus yang memenuhi tempat itu. Arael berlari gesit melewati hewan-hewan kecil tersebut sambil sesekali menahan napas karena aroma busuk yang sangat kuat.
Sejauh pelarian mereka, tidak ada penjaga ataupun orge yang menghalangi. Bahkan setelah mereka berhasil memanjat melalui tangga rahasia, tidak ada satu pun orang maupun orge yang terlihat. Waktu mereka tinggal lima menit lagi. Kini perjalanan berbahaya selanjutnya adalah melewati lorong utama kastel untuk bisa keluar.
Casandra memperlambat langkahnya. Ia mengintai sejenak suasana di lorong utama sambil mengendap-endap pelan. Dua orge penjaga tampak mondar-mandir di depan gerbang keluar. Padahal tadi saat Casandra datang kesana, tidak ada siapa pun di lorong itu. Casandra mencoba mencari akal untuk mengelabuhi orge penjaga tersebut. Jika mereka berlari sebagai kucing, mungkin para orge itu bisa-bisa menangkap mereka untuk dimakan. Kaum orge terkenal sebagai ras pemakan segalanya, termasuk kucing
“Arael, aku akan memancing para orge itu menjauhi gerbang. Kau larilah keluar saat perhatian para orge itu teralih,” ucap Casandra kemudian.
“Lalu kau bagaimana?” tanya Arael.
“Jangan pikirkan aku. Kau harus selamat Arael. Ingat kata-kataku, kau tidak boleh mati. Tolong pergilah sejauh dan secepat mungkin. Sejauh apa pun kita terpisah, aku akan selalu bisa menemukanmu, Arael. Percayalah,” kata Casandra meyakinkan.
Arael mengangguk paham. Setelah sejenak menatap Arael, Casandra pun akhirnya berlari keluar dari persembunyian dan meninggalkan Arael dengan berat hati. Ia sebenarnya tidak yakin tentang keselamatan dirinya, namun ia tidak menyesal. Sudah tugasnya untuk mengorbankan diri demi menyelamatkan Arael. Satu-satunya hal yang membuatnya sedih karena ia harus berpisah lagi dengan sang putri.
Dari kejauhan, Arael melihat Casandra mengeong pelan di hadapan para orge. Sontak kedua makhluk mengerikan itu segera terpancing untuk mengejar Casandra. Peri itu berlari ke arah yang berlawanan dengan pintu keluar. Dalam wujud kucingnya, Casandra berlari dengan cukup cepat. Arael segera mendapat kesempatan untuk melarikan diri. Maka, beberapa menit sebelum berubah, Arael pun segera melaksanakan perintah Casandra untuk melarikan diri.
Sudah lama sekali rasanya Arael tidak melihat matahari. Cahaya terang segera membuat Arael menyipit kesilauan. Meski begitu ia tidak boleh berhenti. Ia harus segera melewati halaman istana dan masuk ke hutan di depan sana. Maka dengan segenap kekuatan, Arael pun terus memaksa diri untuk berlari.
Saat sudah hampir mencapai tepi hutan, mendadak tubuh Arael terasa aneh. Rasanya seperti ditarik dari segala Arah. Napasnya sesak dan berat. Arael jatuh bergulung karena tidak sanggup menahan sensasi ganjil yang dia rasakan. Beruntung tepi hutan sudah tidak terlalu jauh lagi.
Dengan sisa-sia tenaganya, Arael terus berusaha menyeret tubuh kecilnya memasuki hutan. Beberapa saat bergulat, akhirnya Arael pun berhasil mencapai hutan. Setidaknya kalau dia berubah sekarang, tubuhnya sudah lebih tersembunyi dari pantauan para penjaga istana dan orge-orge jahat. Dan benar saja, beberapa saat setelahnya, suara plop ringan terdengar. Asap putih kembali muncul dan melingkupi tubuh Arael. Dari balik asap tersebut, tubuh Arael pun kembali menjadi manusia. Arael sudah bebas.
***
Arael terus berjalan menyusuri hutan. Ia tidak pernah berada di luar kastel selama ini. Hutan itu terasa begitu asing dan sedikit menakutkan. Pepohonan lebat tumbuh rapat. Tidak ada tanda-tanda makhluk hidup di sana. Sesekali Arael mendengar suara derak menyeramkan, seperti ranting yang patah karena terinjak atau terlindas sesuatu yang besar. Meski begitu Arael terus berjalan.
Ia sudah sepenuhnya sendirian. Hari sudah hampir gelap dan Arael tidak tahu kemana ia harus pergi. Tidak seperti janjinya, Casandra sama sekali tidak muncul kembali. Akhirnya, karena kelelahan, Arael pun memilih untuk merebah di bawah pohon besar yang berdahan rendah. Kakinya terasa perih karena sedari tadi ia tidak berjalan mengenakan alas kaki apa pun.
Luka-luka gores yang mengeluarkan darah tampak memenuhi kedua kakinya. Arael berkali-kali menginjak duri dan batu-batu runcing yang tajam sepanjang perjalanannya. Di samping itu, perutnya kini juga mulai lapar. Arael baru makan pagi tadi. Sekarang sudah menjelang gelap, dan Arael sudah berlari sangat jauh. Tenaganya seperti dikuras habis hingga Arael menjadi benar-benar lemas hingga nyaris pingsan.
Di ambang batas antara sadar dan tidak, mendadak Arael menyadari kedatangan sesosok makhluk yang menyerupai manusia. Arael tidak bisa melihat dengan jelas karena kesadarannya berangsur menghilang. Satu-satunya hal yang dia ingat adalah bahwa sosok itu jelas tampak menyeringai sambil mendekati dirinya. Arael sudah tidak punya kekuatan untuk melawan. Setidaknya Arael yakin bahwa sosok itu bukanlah orge yang jahat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!