Sepasang mata lentik tampak mengerjap beberapa kali, netranya memindai tempat yang kini di tempati. Sebuah kamar megah disertai beberapa perabotan mewah menyapa indranya untuk pertama kali.
"Di mana ini?"
Dia berusaha untuk bangun tapi tubuhnya terasa sulit saat digerakkan.
''Kenapa aku diikat seperti ini?"
''Siapa yang melakukannya?"
Bermaksud berteriak tetapi gagal, suaranya hanya tertahan di rongga mulut.
"Hemmmm...."
"Hemmmm...."
Dialah Fania Larissa, wanita berusia 22 tahun yang menjadi korban penculikan salah sasaran. Dia sendiri tidak tahu bagaimana bisa berada di tempat ini. Ingatan terakhirnya, dia tengah menjalankan pekerjaan sebagai petugas Wedding Organizer di pernikahan putri Bramasta Haydar pengusaha kaya ternama di negeri ini. Waktu itu dia berusaha menyelamatkan diri dari kubangan asap tebal, kemudian ada seorang misterius yang menghampirinya yang mengaku sebagai anak buah pemilik acara, lalu dia tidak ingat apapun setelahnya.
Wanita itu terus berteriak diiringi gerakan intens dari tubuhnya yang berusaha melepas ikatan pada tangan dan kakinya. Posisinya yang berbaring sangat tidak menguntungkan bagi usahanya.
''Sialan! Kenapa ikatannya kencang sekali," umpatnya dalam hati.
Dia terus menggerakkan tangan hingga membekas kemerahan pada pergelangan tangan tersebut.
''Ya Tuhan ... aku di mana ini? Siapa yang melakukan ini padaku?"
Air matanya mengalir begitu saja tanpa bisa dicegah.
Suara deritan pintu mengalihkan perhatian gadis itu, kemudian disusul suara derap langkah kaki yang berasal dari sepatu mahal. Seorang pria berjas rapi tengah menyeringai ke arahnya.
''Hallo, Nona Manis. Kita bertemu lagi."
Dialah Angelo Nikki Hayden, pria berusia 40 tahun yang diselimuti dendam masa lalu atas kematian kedua orang tuanya puluhan tahun silam. Dia sangat berambisi untuk membalaskan dendamnya pada sosok Bramasta Haydar melalui putrinya.
''Siapa dia?"
Suara berat yang begitu lembut menusuk mampu membuat Fania bertanya-tanya dalam hati.
Angelo masih mengira jika wanita yang terbaring di ranjangnya adalah seseorang yang tengah diincar, karena wajahnya tidak terlihat jelas akibat helaian rambut yang menutupi.
Fania terus berteriak di balik perekat yang melekat pada mulutnya sebagai isyarat minta dilepaskan.
"Kau ingin benda itu lepas dari mulutmu?" tanya Angelo.
Fania mengangguk cepat.
"Baiklah, aku juga tidak sabar mendengar desahanmu, Nona Manis," bisiknya dengan nada sensual.
''Apa maksudnya?" Fania berbisik dalam hati.
"Panas, kenapa tubuhku merasa aneh?"
''Panas...."
''Apa pendingin ruangannya mati?"
Wanita itu mulai menggeliat gelisah akibat perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar pada tubuhnya.
"Aakkh!" teriaknya kesakitan ketika perekat itu ditarik dengan kasar.
''Tolong, aku ... Panas," rintih wanita itu sangat mirip dengan suara *******.
Angelo memejamkan mata menikmati alunan merdu yang keluar dari mulutnya.
''Aku tidak sabar menghabiskan malam denganmu, Non--" Ucapannya terhenti ketika tangannya berhasil menyibak helaian rambut itu.
Matanya terbelalak sempurna ketika perempuan yang ada di hadapannya bukanlah target incarannya.
''Siapa kau?!"
''Mestinya, aku yang bertanya seperti itu," jawab Fani dengan lemah.
Dia mati-matian berusaha menahan gelombang gair*h yang melanda dirinya.
''Panas, tolong ... Panas.''
''Di mana nona manisku?" Pria itu mengeram kesal dengan mata memerah.
''Tolong, panas ... aku butuh sesuatu."
Fania tidak fokus lagi dengan pertanyaan pria di depannya. Badannya terus menggeliat seperti cacing kepanasan yang terlihat sangat erotis di mata Angelo.
''S***! Kenapa dia sangat menggoda?" Angelo resah sendiri melihat pergerakan wanita itu.
Karena tidak ingin tergoda, dia memilih pergi meninggalkan wanita itu. Namun, langkahnya harus terhenti ketika mendengar bunyi keras benda jatuh yang membuat pria itu segera berbalik.
Matanya terbelalak ketika mendapati wanita itu tergolek tak berdaya di sisi tempat tidur dengan posisi tengkurap. Angelo segera menghampiri untuk melepas ikatan tangannya, lalu membalikkan tubuh wanita itu.
''Aku salah target. Maaf telah menjadikanmu seperti ini," ucapnya penuh rasa bersalah.
Seburuk-buruknya ia. Dia masih memiliki hati nurani. Dia hanya akan berbuat jahat pada orang-orang yang bermasalah dengannya.
''Panas, aku mohon bantu aku...."
"Panas...."
Tangan yang terbebas membuat Fania tanpa sadar membuka kancing kebayanya hingga memperlihatkan tubuh bagian depannya.
Bohong jika Ello tidak tertarik. Dia pria normal, melihat gerakannya di atas tempat tidur saja, sudah membangkitkan sesuatu yang lain dalam dirinya. Apalagi, ini ... Kucing mana yang akan menolak jika disuguhi ikan asin.
Tarikan tangan lembut pada lehernya berhasil menarik paksa kesadarannya. Belum sempat menghindar, bibirnya sudah dibungkam oleh bibir wanita itu.
Ello hanya pasrah mengikuti nalurinya untuk menghindar pun percuma. Kepalang tanggung, dia layani saja keinginan wanita itu. Toh, dia juga yang menyebabkan wanita itu seperti sekarang ini.
''Aku harap kau tidak menyesal, Nona," lirihnya dengan suara serak.
...----------------...
Fania mengerjap beberapa kali karena sinar terang menyeruak dari celah tirai yang menimpa wajahnya. Entah kenapa tubuhnya terasa sangat lelah dan lemas. Berniat bangun tapi ada benda berat menimpa perutnya.
''Apa ini?"
Dia mencoba meraba benda itu, matanya terbelalak ketika mengetahui jika itu sebuah tangan. Dia segera berbalik, di dapatinya seorang pria tengah tertidur lelap di sisinya dengan kondisi tak tertutup sehelai benangpun, hanya selimut tebal yang membungkus tubuh mereka.
''Aarrrgggg ... Siapa kamu?! Apa yang telah kau lakukan? Kamu jahat!" teriaknya lantang sembari memukul dada pria itu bertubi-tubi.
Angelo yang merasa terganggu terpaksa membuka mata meski masih terasa berat.
''Bisa tidak, kau tidak mengganggu? Aku lelah karena melayanimu sampai pagi," gerutunya dengan kesal, kemudian berbalik membelakangi.
"Apa katamu?!" tanya Fania dengan mata melotot sempurna.
"Dasar pria kurang****! Kau kira aku perempuan apa, hah!" Dia kembali memukuli punggung kekar itu bertubi-tubi.
Air mata mengalir deras ketika mendapati kenyataan bahwa dia sudah tidak suci lagi. Sesuatu yang ia jaga mati-matian telah direnggut oleh pria tak dikenal. Kekesalannya semakin bertambah ketika pria itu mengacuhkannya. Tak ingin terlalu kecewa, Fania berniat bangun dengan menarik paksa selimut yang digunakan untuk menutupi tubuh mereka. Hatinya semakin teriris kala mendapati noda merah pada sprei putih itu.
''Ini semua gara-gara kau!" makinya dalam hati.
Berbagai umpatan keluar begitu saja dari mulutnya. Dia benar-benar merasa seperti wanita yang haus belaian.
''Sebaiknya, aku segera pergi sebelum aku diterkam pria sialan ini lagi," batinnya.
Baru saja hendak melangkah tapi harus terhenti lagi ketika merasakan perih luar biasa pada inti tubuhnya. Dengan tertatih dan berpegang pada setiap benda yang ditemui, Fania menuju kamar mandi yang juga berada di kamar itu. Tak lupa dia juga memungut bajunya yang teronggok mengenaskan di lantai.
Dengan berpegangan apapun yang bisa digapai, dia berusaha keras untuk sampai ke kamar mandi secepat mungkin. Jarak pintu yang beberapa meter saja serasa seperti puluhan kilometer akibat rasa sakit yang mendera.
Dia memekik kencang ketika tubuhnya tiba-tiba melayang dalam gendongan seseorang. Karena takut terjatuh, tangannya refleks mengalung pada leher pria itu.
Fania memilih memalingkan wajah ketika pria itu menatap intens kearahnya. Dia akan selalu mengingat-ingat jika wajah ini akan masuk ke dalam daftar hitam pria idamannya.
''Kalau tidak bisa, minta bantuan. Gak usah sok kuat," ujarnya santai.
''Kamu!" sahut Fania tidak terima.
''Apa?"
Fania mengatupkan mulutnya rapat-rapat demi menahan kekesalan dalam dadanya.
''Mandilah! Jika sudah panggil aku lagi," kata Ello dengan mendudukkan tubuh wanita itu di atas closed.
''Modus. Kau sengaja 'kan biar bisa pegang-pegang tubuhku lagi. Dasar pria hidung belang," balasnya dengan ketus.
Angelo hanya bisa menahan dongkol saat mendengar julukan yang disematkan padanya. Seandainya, yang ada dihadapannya ini seorang pria mungkin dia sudah menghajar habis-habisan.
''Mandilah!"
Angelo memilih keluar daripada meladeni kekesalan wanita itu.
Fania melempar apapun yang berada dalam jangkauannya hingga mengenai pintu yang tertutup sebagai pelampiasan amarah. Dia tidak peduli jika pria itu akan marah, bahkan mengamuk karena ulahnya.
Yang jelas, saat ini dia benar-benar kesal, dia benci dengan tubuhnya, dia benci hidupnya. Seandainya dia mempunyai kuku runcing dan tajam. Ingin rasanya, dia mencabik-cabik tubuh kekar itu hingga tak berbetuk, lalu melemparkan ke laut untuk dijadikan santapan para hiu di sana.
''Pria baj*****!''
Tiada kata lain keluar dari mulut Fania kecuali umpatan, cacian dan makian.
''Bagaimana jika aku hamil?"
''Bu, aku pulang," panggil Fania lirih diiringi suara ketukan lemah.
Tatapan mata tampak kosong ke depan. Tangannya mendekap erat jas pria yang membalut tubuhnya. Dia terpaksa mengambil benda itu karena baju yang dipakai sudah tak berbentuk lagi.
Fania mengulangi ketukannya hingga tak berapa lama terdengar suara kunci pintu diputar.
''Astaga, Fania! Kamu kenapa, Nak?'' Asih tak bisa menutupi keterkejutannya melihat penampilan putrinya yang sangat memperihatinkan.
Wajah pucat dengan rambut diikat asal, juga jas kebesaran yang melekat pada tubuhnya. Mata memerah dengan air mata yang tak berhenti berderai.
''Jas milik siapa yang kamu pakai? Di mana bajumu?"
''Ceritakan pada ibu, apa yang terjadi?" tanya Asih lagi. Tangannya terulur menangkup wajah putrinya.
Tanpa sengaja netranya melihat tanda merah keunguan pada leher juga area tubuh bagian depan yang tak bisa tertutupi oleh pakaian yang dipakai Fania. Dia segera menyibak kain tebal itu. Keterkejutan Asih semakin bertambah saat tanda itu memenuhi bagian sensitif tubuh putrinya.
''Apa yang terjadi, Fania? Siapa yang melakukan ini? Katakan pada ibu."
Namun, Fania tetap bungkam. Hanya air mata yang menjadi jawaban.
''Jawab, Fania," teriak Asih karena tak kunjung mendapat respon dari putrinya, bahkan tangannya pun mengguncang kuat tubuh mungil itu.
Sadar akan posisi mereka, wanita paruh baya itu segera mengajak putrinya masuk sebelum ada tetangga yang melihat. Dia segera mendudukkan tubuh putrinya di sofa ruang tamu.
''Sekarang katakan pada ibu, apa yang terjadi, Nak? Jawablah! Jangan diam saja, kalau begini terus bagaimana ibu akan tau."
Tak patah arang, Asih terus mendesak putrinya untuk mengaku.
''A-aku diperkosa, Bu.''
Jawaban singkat yang mampu memporak-porandakan jiwa seorang ibu. Asih mematung di tempat berusaha mencerna baik-baik pengakuan putrinya.
''Siapa yang melakukannya, Fan?" Asih tak bisa lagi membendung air matanya.
''Aku gak tau, aku gak kenal. Semua terjadi secara tiba-tiba, bahkan aku tidak ingat apa-apa." Wanita itu terisak dalam berusaha menahan getir yang dirasakan.
Asih langsung mendekap tubuh putrinya, bukan hal mudah bagi seorang gadis kehilangan mahkotanya. Sesuatu yang seharusnya dipersembahkan untuk sang suami kelak, justru harus terenggut pria tidak dikenal.
''Bagaimana mungkin melakukan hubungan terlarang tanpa mengenal? Hanya wanita murahan yang mau melakukannya." Suara bariton seorang pria paruh baya mengalihkan perhatian sepasang ibu dan anak itu. Asih menatap tidak percaya pada suaminya.
''Atau jangan-jangan memang ini pekerjaanmu, Fania," tuduh Efendi sang ayah tanpa perasaan.
Fania menggeleng kuat. "Tidak, Pak. Aku benar-benar bekerja sebagai petugas WO milik Nona Siska."
''Halah, alasan! Kau berpura-pura menangis telah kehilangan kesucianmu untuk menutupi kedokmu saja, 'kan, Fan? Ngaku kamu!"
Fania hanya bisa menggelengkan kuat menyangkal semua tuduhan itu. Lidahnya terasa kelu untuk sekedar menjelaskan semuanya.
''Sudah, Pak. Hentikan tuduhanmu! Kau sebagai ayah tidak ada rasa iba sedikitpun pada putrinya. Seharusnya, kita berterima kasih karena Fania mau mengambil alih tugas bapak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," papar Asih membela putrinya.
Efendi adalah seorang pengangguran sejak beberapa bulan lalu. Dulunya, dia bekerja sebagai buruh pabrik. Namun, karena tempatnya bekerja mengalami penurunan omset drastis, mereka melakukan pemecatan besar-besaran. Ayah Fania termasuk salah satunya.
Semenjak saat itu, Fania bekerja serabutan demi membantu perekonomian keluarga. Dia juga melupakan mimpinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Hingga pada akhirnya, salah seorang teman menawarkan pekerjaan sebagai petugas Wedding Organizer yang sedang membutuhkan karyawan dalam waktu dekat.
Nasib baik berpihak padanya, meskipun hanya tamatan sekolah menengah atas. Fania diterima bekerja dengan syarat jujur, rajin dan pekerjaan keras. Siap bekerja dalam tekanan.
''Tidak usah berterima kasih untuk hasil kerja haram. Mestinya kau bersyukur karena mengetahui dari mana asal muasal uang yang didapat anak ini," kata Efendi sembari menunjuk wajah putrinya.
Sungguh hati Fania bagai mendapatkan remasan tak kasat mata mendengar semua itu. Dia segera menggenggam tangan ibunya ketika hendak melayangkan protes pada sang ayah.
''Biarkan bapak berpendapat sesuka hati, Bu. Ibu tidak perlu buang-buang tenaga untuk meladeninya. Yang penting uang yang kudapat selama ini hasil dari kerja halal bukan seperti yang bapak tuduhkan."
...----------------...
Seorang pria tersenyum sendiri saat mengingat malam panjang yang telah ia lalui bersama seorang wanita. Ada rasa puas tersendiri dalam hatinya. Anehnya, dia ingin mengulang lagi malam itu. Namun sayang, dia tidak mengenal sama sekali wanita yang bersamanya. Tidak ada jejak yang ditinggalkan meski sekedar alamat ataupun nomor telepon.
''Aneh, biasanya aku merasa bosan jika tidur dengan satu wanita. Tapi kali ini--'' Angelo tak bisa lagi melanjutkan gumamannya, justru senyum merekah setiap kali mengingat malam itu.
Bukan sekali dua kali, Angelo menghabiskan malam bersama para wanita. Dia sering melakukannya dengan para wanita bayaran. Dia adalah pemain ulung. Biasanya dia akan bosan hanya dengan satu wanita. Tidak ada satu malam pun yang ia lewatkan untuk tidak menjelajah surga dunia.
''Siapa kau? Di mana tempat tinggalmu? Apa kita akan bertemu lagi?''
''Semoga saja 'iya'. Aku sangat menantikan hari itu tiba. 'Kan kujadikan kau milikku seutuhnya karena aku yang telah merebut harta berharga milikmu."
''Sepertinya aku harus mencarimu."
Pria itu terus bermonolog diiringi hisapan cerutu di tangannya. Dia bahkan memejamkan mata kala suara merdu bibir mungil itu kembali terngiang di telinganya.
''Suaramu sangat indah, Nona Manis."
Sayang seribu sayang, khayalan indahnya harus berakhir saat salah seorang anak buahnya datang membawa informasi penting.
''Permisi, Bos. Ada kabar penting sekaligus gawat."
Angelo segera membuka mata, lalu menatap tajam pria berbaju hitam itu.
''Ada apa?" tanyanya dengan nada dingin.
Pria gempal itu segera mendekat, kemudian membisikkan sesuatu yang berhasil memantik amarah dalam diri Angelo.
''Kurang ajar! Berani-beraninya dia mencari masalah denganku," geramnya dengan mengepalkan tangan kuat hingga urat-uratnya terlihat sangat jelas.
''Apa yang harus kita lakukan, Bos?"
''Adakan rapat mendadak! Kita atur strategi untuk membalas keparat itu."
Satu bulan berlalu....
Fania berusaha bangkit dari keterpurukannya akibat kejadian nahas malam itu. Dia berusaha menyibukkan diri dengan menerima banyak pekerjaan yang ditawarkan sang atasan. Tidak jarang pula, dia harus pulang larut ketika ada acara pernikahan yang dilaksanakan pada malam hari.
Mengenai kekhawatirannya, Fania masih harap-harap cemas. Semoga yang ditakutkan tidaklah terjadi, mengingat periode bulanannya belum juga tiba hingga akhir bulan. Wanita itu tetap optimis, jika mereka hanya melakukan satu malam, sedangkan banyak pasangan lain yang sudah melakukannya berkali-kali tidak kunjung terwujud.
''Fan, kamu sakit ya? Wajahmu pucat begitu," tanya Rena—rekannya ketika mereka selesai melakukan rapat untuk acara beberapa hari lagi.
''Gak tau, nih. Badanku lemes banget, mungkin kebanyakan lembur," jawab Fania lesu sembari memegang tengkuk belakangnya dengan menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri.
Sesekali, gadis itu tampak menguap matanya pun terasa sangat berat untuk terbuka. Dia benar-benar ingin memejamkan mata saat itu juga.
''Melihat wajah pucatmu, aku jadi keinget kakak iparku pas hamil muda. Bawaannya pengen molor mulu kagak peduli itu pagi, siang, atau malam," celetuk Emma wanita yang berada tepat di sampingnya.
''Eh, Emma, ngaco lu! Ya kali si Fania hamidun, kawin aja belum." Rena kembali menimpali.
''Ya, siapa tau aja udah nyicil duluan sama si Riko," sahut Emma tanpa dosa.
''Kagak mungkinlah ... Dia ‘kan lagi merantau ke luar kota. Gak mungkin juga ‘kan Fania selingkuh. Loe tau sendiri gimana bucinnya ini anak ke dia."
Fania tidak fokus lagi dengan celotehan para rekannya. Wajahnya seketika menegang yang ada dalam pikirannya hanya ketakutan yang semakin membelenggu alam bawah sadarnya.
Dia segera menyangkal keras dugaan itu. Dia tetap optimis jika rasa lesu yang dirasakan selama beberapa hari terakhir bukan karena itu, melainkan karena pekerjaan.
''Ya, ‘kan, Fan?" Senggolan keras pada bahunya seakan menarik paksa kesadaran gadis itu.
''Eh, i-iya ... Ga-gak mungkinlah gue se-selingkuh," jawab Fania berusaha menutupi kegugupannya.
''Gu-gue ke- keluar dulu, ya ... Ada janji sama klien.'' Fania beralasan, sungguh dia merasa tidak nyaman dengan pembahasan itu.
Tanpa menunggu jawaban teman-temannya, dia segera beranjak meninggalkan tempat itu, bahkan mengabaikan tatapan aneh yang mengarah kepadanya.
...---------------...
Semakin dirasa rasa lemasnya semakin menjadi, sehingga membuat Fania mau tidak mau harus meminta izin kepada atasannya untuk pulang lebih awal. Nona Siska si pemilik WO pun mengizinkan. Mengingat beberapa hari terakhir, Fania memang bekerja ekstra.
"Assalamualaikum, Bu ... Fania pulang," ucap Fania lemah ketika memasuki rumah.
Terdengar suara berisik dari arah dapur. Sepertinya Asih masih memasak dan tidak menyadari kepulangannya. Fania memilih mendudukkan tubuhnya pada sofa ruang tamu, tangannya sibuk memijit pelipis yang dirasa semakin berputar.
''Ibu masak apa sih kok baunya kayak gini," gumam Fania sambil menahan mual ketika mencium bau ikan asin.
Karena tidak tahan baunya, Fania terburu-buru menuju kamar mandi untuk memuntahkan semua isi perutnya.
''Fan, kamu kenapa, Nak?" Asih yang terkejut melihat kedatangan putrinya segera menghampiri tanpa lupa mematikan api kompor.
Gadis itu tak menghiraukan ucapan ibunya. Dia masih sibuk mengeluarkan semua isi perutnya hingga mulutnya terasa pahit. Asih dengan telaten memijat tengkuk putrinya.
''Ibu masak apa, sih? Baunya nyengat banget sampe ke ruang tamu," protes Fania.
Asih mengerutkan kening, tidak biasanya Fania protes dengan masakannya. Apalagi ini sambal ikan asin kesukaannya.
"Ibu masak kesukaanmu, Fan. Makan dulu ya ... Mungkin kamu masuk angin. Setelah makan, nanti ibu kerokin."
''Aku gak selera, Bu. Mulutku terasa pahit, aku pengen yang asem-asem aja, mangga muda atau kedondong, kalau gak ada belimbing wuluh juga gak apa-apa," sahut Fania masih dengan nada lemahnya.
''Ini masih pagi, Fania. Gak baik makan asem-asem begitu, nanti yang ada maag-mu kambuh." Asih berusaha menasehati putrinya.
Pasalnya Fania juga mempunyai riwayat penyakit maag kronis akibat kebiasaan buruknya yang sering telat makan.
''Bu, aku lagi pengen banget, carikan ya...," pinta Fania dengan wajah memelas.
Asih semakin merasa aneh dengan putrinya. Tidak biasanya Fania manja seperti itu. Fania bukan tipikal anak yang manja, bahkan saat sakit sekalipun. Akan tetapi kenapa kali ini bukan seperti Fania, banyak pertanyaan berkelebat dalam benak wanita paruh baya itu.
Hingga beberapa saat kemudian, matanya terbelalak ketika menyadari sesuatu.
''Kamu sudah tanggal merah bulan ini, Fan?" tanya Asih dengan nada mendesak.
Fania menggeleng lemah. ''Belum, Bu. Badanku sakit semua karena telat PMS. Biasanya juga rutin, Bu."
''Jangan-jangan...."
''Ibu gak usah mikir aneh-aneh. Gak mungkin, Bu. Aku cuma masuk angin karena kebanyakan lembur. Udah ah, mending ibu beliin yang aku minta." Fania menyela cepat perkataan ibunya karena tidak ingin membahas hal itu lagi.
Meskipun begitu, Asih segera menuruti keinginan putrinya. Dia juga berniat membeli sesuatu untuk memastikan jika dugaannya tidaklah salah.
...----------------...
Fania dengan lahap memakan mangga muda yang baru saja dibelikan sang ibu. Bukan hanya Asih, melainkan kedua adiknya merasa heran dengan tingkah sang kakak padahal tadi mereka sempat merasa betapa asamnya buah ranum tersebut.
''Kakak mirip orang kelaparan," celetuk Ferry adik sulungnya yang berusia 17 tahun.
''Ini enak, Fer. Sumpah!" sahut Fania antusias, bahkan tangannya kembali mengambil mangga kedua, kemudian memakannya tanpa dikupas terlebih dahulu.
''Kak Fania seperti orang gak pernah makan mangga," bisik Fena—saudara kembar Ferry.
Gadis itu bahkan bergidik ngeri melihat cara makan sang kakak.
''Diamlah, Fen. Jangan sampai Kak Fania dengar, bisa-bisa kamu gak dikasih uang jajan." Ferry menimpali dengan nada yang sama.
Seketika gadis itu menutup mulutnya rapat-rapat. Dia memilih melanjutkan kembali makan siangnya yang tertunda.
Dugaan Asih semakin kuat melihat tingkah putri sulungnya. Mual dan muntah yang dialami Fania bukan hanya masuk angin biasa, melainkan karena hal lain.
''Ferry, Fena ... Kalian masuk kamar! Ada yang ingin ibu bicarakan dengan kakakmu." Suara tegas Asih menginterupsi.
Tanpa menunggu perintah dua kali, sepasang kakak beradik tersebut segera menuruti perintah ibunya, meskipun mereka belum menyelesaikan makan siangnya.
''Fania, cepat pakai ini!" Asih menyodorkan empat buah alat tes dengan berbagai merek berbeda.
Fania yang merasa heran segera meraih salah satunya, kemudian membacanya dengan teliti.
''Untuk apa, Bu?"
''Tidak usah banyak tanya, cepat gunakan, Fania!" titah Asih dengan nada mendesak.
''Tapi, Bu. Aku hanya masuk angin. Tidak mungkin aku—"
Ucapan Fania terhenti ketika Asih mengangkat satu tangannya. Wanita itu justru menunjuk ke arah kamar mandi untuk meminta Fania segera melaksanakan apa yang dia minta.
Gadis itu menghela nafas pelan, melihat sikap ibunya yang tidak bisa dibantah. Dengan terpaksa dia menuruti keinginannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!