... "Cinta itu seperti bunga yang bisa mekar saat tersiram air hujan, namun cinta juga bisa layu jika cinta itu dilandasi oleh suatu penghianatan."...
Seorang gadis cantik berambut panjang yang tergerai indah tengah menuliskan sesuatu di atas kertas putih. Di setiap goresan tinta pena yang ia gunakan seperti sebuah tarian yang berirama, bibir mungilnya tersungging dan menghasilkan senyuman yang merekah penuh kebahagiaan. Saat aktivitasnya terjeda, satu tangannya menopang dagu sementara tangan yang lainnya memainkan pena dengan mengetuk-ngetuknya di daun meja disertai dengan sepasang mata yang menatap kearah jendela kaca yang terdapat rinai hujan yang baru saja turun membasahi bumi.
Sekali lagi ia tersenyum, matanya berkilat senang setiap kali bayang-bayang terindahnya muncul bagaikan cuplikan film romantis yang sedang diputar di dalam kepalanya.
Gadis itu bernama Melody Anastasya, sore tadi ia baru saja ditembak oleh seorang pria yang sangat mahir bermain basket. Pria itu bernama Eric, dia adalah salah satu tetangga yang sangat baik hati dan juga tampan dan sekaligus pria idaman Melody. Semenjak ia dan keluarganya pertama kali pindah ke Perumahan Ubud Indah ini sejak enam bulan yang lalu, keluarga Eric lah orang pertama menyambut baik kehadirannya sebagai tetangga baru di lingkungan perumahan itu.
Kedekatan Eric dan Melody semakin terjalin baik dengan diawali momen ketika Melody diam-diam menonton Eric yang sedang bermain basket di halaman rumahnya, kemahiran Eric dalam memainkan bola basket membuat Melody kagum, postur tubuhnya yang tinggi tegap, berwajah tampan, hidung bangir dan senyuman yang begitu memikat, sudah dapat ditebak bahwa Eric pasti adalah seorang idola kaum hawa.
Saat itu, Melody mengintip Eric di sela-sela tumbuhan hias sampai akhirnya persembunyiannya diketahui oleh Eric karena tanpa sengaja bola basket miliknya menimpuk kepala Melody dengan keras.
"Aw!" Melody meringis kesakitan sambil mengusap-ngusap kepalanya yang tertimpa bola orange itu.
"Siapa di sana?" Eric berteriak penasaran setelah mendengar suara dibalik tumbuhan hias, sementara Melody pun langsung membungkam mulutnya agar ia tak mengeluarkan suara.
Tanpa sadar setelah Melody menundukan kepalanya sambil berjongkok untuk bersembunyi, terlihatlah sepasang sepatu sport muncul di depan mataya, sepasang mata Melody membulat kaget dan pandangannya langsung bergerak naik diikuti kepalanya yang terangkat. Sosok pria tampan itu menatap Melody dengan kening alis yang menyatu di tengah saat pandangan mereka bertemu.
"Hai," sapanya seraya tersenyum heran karena keberadaan Melody yang bersembunyi di balik tumbuhan hias miliknya.
Melody terlihat gugup saat itu juga, jantungnya terasa berhenti berdetak karena ketampanan Eric yang benar-benar membuatnya terpukau. Tenggorokan Melody tercekat seakan ia akan mengucapkan sesuatu namun urung dan ia memilih untuk senyuman kikuk, jujur ia bingung harus mengatakan apa. Jika ia berterus terang pasti sangat begitu memalukan dan akhirnya Melody pun memutuskan untuk bangkit dari posisinya sambil bergerak salah tingkah dengan memelintir jari-jemarinya seraya menggigit bibir bawahnya gugup.
"Oh, hai. Eric." Melody mengeluarkan suaranya dengan canggung, sambil menahan degup di dadanya yang berpacu dengan begitu dahsyat.
"Kamu sedang apa berada di belakang tumbuhan hias milikku? Kamu sedang mengintip seseorang?" tanya Eric beralasan seraya mengulum senyum. Ia berupaya untuk tidak menertawakan tingkah Melody yang terlihat begitu sangat menggemaskan menurutnya.
"Ah, A-aku ... umm … Aku hanya sedang mencari angin segar, hari ini aku merasa suntuk dan akhirnya aku memutuskan untuk jalan-jalan keluar." cengir Melody gugup ketika ia mencoba berbohong.
"Ah, benarkah?" Eric bertanya ragu dengan kedua matanya yang menyipit curiga menatap Melody.
"Iya, tentu saja," Melody mengangguk seraya tersenyum kikuk.
"Lalu bagaimana kepalamu, tidak apa-apa 'kan?" tanya Eric sedikit khawatir.
Melody langsung terkejut mendengar pertanyaan Eric hingga membuatnya semakin bertambah kikuk dalam menjawab.
"Haha ... memangnya kenapa kepalaku, Eric? Kepalaku baik-baik saja," kilah Melody langsung, dengan bernada santai sambil tertawa tak jelas.
"Tadi aku tidak sengaja melempar bola kearah tumbuhan hias ini dan aku mendengar ada seseorang yang meringis lalu aku melihatmu di sini. Sepertinya bolaku mengenai kepalamu," ujar Eric yang membuat Melody langsung menelan ludahnya perlahan.
"Haha, bola? Bola yang mana, ya?" lagi-lagi Melody berkilah sambil tertawa, sementara Eric semakin tak kuasa menahan tawa sampai akhirnya tawanya pun langsung pecah seketika.
"Itu bolanya." tunjuk Eric dengan dagunya yang mengarah pada bola basket yang tergeletak di belakang Melody. Seketika saja pipi Melody langsung memanas hingga menjalar dan terasa seperti membakar wajahnya.
"Ah, hehe." akhirnya hanya cengiran malu yang meluncur dari bibir Melody saat ini, karena dengan mudahnya Eric berhasil membongkar kebohongannya.
Eric menatap Melody seraya geleng-geleng kepala disela tawanya yang tersisa, sementara Melody hanya bisa menggaruk tengkuknya yang sama sekali tak gatal itu.
"Main basket bareng, yuk?" ajaknya yang membuat Melody terperangah kecil.
"Ah, aku sama sekali tidak bisa bermain basket. Jadi lebih baik aku menonton saja," tolak Melody lembut.
"Jangan katakan tidak bisa sebelum mencoba. Nanti aku bantu kamu, kamu tenang saja." setelah berucap demikian seketika saja Eric pun langsung menarik pergelangan tangan Melody setelah ia mengambil bola basket itu yang semula tergeletak di belakang Melody.
"Eh," kejut Melody seraya berusaha mengimbangi langkah Eric yang terus menarik tangannya.
Setelah sampai di lapangan halaman rumah Eric, tiba-tiba saja ia pun langsung melemparkan bola basket itu pada Melody dan dengan sigap Melody pun langsung menangkapnya.
"Eh,"
"One on One," tantang Eric dengan alis terangkat seraya tersenyum miring dengan mata berkilat jahil.
"Serius aku sama sekali tidak bisa bermain basket." geleng Melody ragu dengan tantangan yang diberikan Eric padanya.
"Tidak masalah, ini bukan pertandingan resmi. Anggap saja aku sedang membantumu untuk belajar bermain basket denganku. Daripada sembunyi-sembunyi di tumbuhan hias, lebih baik kamu praktek langsung denganku," ujar Eric seraya mengembangkan senyuman yang membuat ketampanannya semakin bertambah berkali-kali lipat.
Melody tampak berpikir sejenak seraya memandangi bola basket di tangannya, hingga detik berikutnya senyumannya pun langsung terkembang lebar.
"Oke." sahut Melody akhirnya.
Eric mengedikkan dagu ke arah bola yang berada di dalam genggaman Melody sebagai tanda kode agar Melody segera memulai permainan.
Dengan gesit Melody pun mencoba mendribble bola basket menuju ring, sementara Eric membiarkannya begitu saja hingga pada akhirnya Melody pun langsung melakukan shooting, sesaat bola itu melayang Eric terlihat meloncat pelan hingga tanpa bersusah payah bola itu pun kini beralih berada tepat di genggaman tangannya.
Melody menghela nafas panjang melihatnya, sementara Eric tidak langsung men-shooting bola itu, akan tetapi ia malah memainkan bola itu hingga berputar di atas jari telunjuknya dengan penuh percaya diri, satu alisnya terangkat menantang yang disertai senyuman miring tersungging. Sungguh Melody langsung dibuat terpaku saat ia melihat sosok Eric yang begitu cool-nya memainkan bola basket itu.
Tangan Eric memberikan kode agar Melody mendekat ke arahnya, maka dengan semangat Melody pun berinisiatif ingin merebut bola itu dari tangan Eric.
Melody mendekat dengan berlari kecil dan Eric pun langsung melakukan shoot dengan cepat, maka dengan sempurnanya bola itu pun langsung masuk ke dalam ring dengan begitu mulus. Sementata Melody hanya bisa melongo dan Eric malah tertawa dengan matanya yang ikut menyipit sekan matanya pun seperti sedang ikut tertawa, sementara tangannya menyugar rambut yang terdapat peluh hingga membuat pesonanya semakin memancar dengan sedemikian kerennya.
Melody tersenyum kagum lalu ia pun memberikan sebuah apresiasi dengan bertepuk tangan seraya bersorak heboh dan memuji Eric.
Prok … Prok … Prok
"Horeee .. Kamu keren!" seru Melody dengan binar mata berkilat kagum saat ia menatap Eric.
"Tadi hanya contoh, sekarang aku akan mengajarimu." kata Eric, lalu ia pun membawa bola basket yang menggelinding itu, kemudian berjalan ke arah Melody dan ia pun langsung berdiri tepat di belakang tubuh Melody.
Melody menelan ludah pelan ketika ia merasakan tangan Eric melingkar dari belakang seraya menyerahkan bola basket itu untuk digenggam olehnya. Dari jarak sedekat ini, Melody bisa merasakan deru nafas Eric yang menyentuh hangat ke telinganya hingga menimbulkan sensasi aneh yang menjalar keseluruh tubuhnya. Namun Melody mencoba untuk fokus agar ia tak terpengaruh dengan situasi yang membuatnya canggung setengah mati dan ia pun mencoba untuk tetap tenang.
"Aku akan mengajarimu untuk melakukan teknik shooting. Pertama, memfokuskan pandangan mata ke target ring basket, usahakan badan dalam keadaan rileks, lalu rentangkan kaki, punggung, dan bahu. Lakukan tembakan dengan melontarkan tangan ke atas, lalu melenturkan jari-jari ke depan," bisik Eric memberi arahan.
Alih-alih fokus, Melody malah tak bisa berpikir sekarang karena posisi Eric yang sungguh sangat begitu mempengaruhinya.
"A-aku tidak bisa." Melody menggigit bibir bawahnya ragu.
"Kamu belum mencobanya, sekarang cobalah." kata Eric mencoba meyakinkan keraguan Melody saat ini.
Melody mengangguk kecil dan mencoba memantapkan diri untuk melakukan apa yang diperintahkan Eric, dan ia pun mencoba untuk merileks-kan badan sesuai arahan. Hingga akhirnya Melody pun melakukan free throw, sampai akhirnya bola itu pun dengan mulusnya masuk kedalam ring dengan sempurna. Refleks Melody pun langsung bersorak heboh dan loncat-loncat karena terlalu senang, lalu ia pun langsung berhambur memeluk Eric dengan penuh rasa bangga.
"Aku bisa! Yeye ... yee … horeee ..." jerit Melody dengan girang yang posisinya masih memeluk Eric.
"Selamat, ya." puji Eric yang membuat Melody langsung tersadar dari apa yang ia lakukan pada Eric, dan dengan cepat ia pun langsung melepaskan pelukan itu seraya tersenyum malu ke arah Eric.
"Maaf," cicit Melody menatap Eric dengan binar mata malu setengah mati.
"It's okay, tidak masalah." Eric mengedikan bahu singkat seraya tersenyum lebar, sementara debaran jantung Melody malah semakin menggila hanya karena melihat reaksi Eric yang membuatnya malah semakin meleleh.
... "Cinta itu banyak bentuknya dan cinta bisa membuat siapapun yang merasakannya melayang, sakit, ataupun patah."...
Setelah mengingat momen itu, Melody pun langsung tersipu. Momen yang begitu romantis dengan hal yang menurutnya terbilang cukup sederhana dan juga unik, mengingat Eric setidaknya ia bisa melupakan segala masalah yang ada dalam hidupnya saat ini.
Seketika saja senyuman Melody langsung tenggelam dengan begitu mudah ketika kesedihannya kembali melanda. Lima bulan belakangan ini, Melody harus bisa berlapang dada menerima segala keadaan ketika hidupnya berubah 180 derajat.
Dulu ayahnya adalah seorang Direktur Utama di salah satu perusahaan besar di kota Jakarta. Namun segalanya berubah ketika ayahnya jatuh bangkrut setelah ayahnya kalah tender dalam salah satu proyek besar. Dan karena hal itu tentu banyak kerugian besar yang harus ditanggung ayahnya. Ayahnya tidak bisa lagi memberi upah pada setiap karyawan di perusahaannya dan manajemen keuangan pun kini berubah berantakan.
Sementara kini ibunya hanya bisa membantu memulihkan kondisi keuangan keluarga dengan cara membuka usaha kecil-kecilan sebagai pemilik catering hajatan, sementara sang ayah kini menjadi salah satu karyawan di perusahaan besar dengan gaji yang tidak seberapa. Belum lagi beban keluarga masih terasa pelik, apalagi setelah mengetahui sebuah fakta yang sangat begitu menohok bahwa Adelia sang kakak perempuannya telah divonis dokter mengidap penyakit kanker lidah. Mengetahui hal tersebut tentu saja menjadi duka yang teramat menyedihkan, bagaimana sosok Adelia yang begitu ceria kini harus tenggelam setelah ia mengetahui kondisinya sekarang.
Tok ... tok ... tok ... tok ...
Suara pintu kamar Melody di ketuk dalam tempo cepat dan terkesan terburu-buru, dan tak seperti biasanya. Melody yang masih larut dalam lamunannya seketika saja langsung terkesiap dan ia pun segera bangkit dari kursi untuk membuka pintu kamarnya.
Ceklek …
Baru saja pintu dibuka sang Ibu tiba-tiba saja langsung berhambur memeluk tubuh Melody dengan kuat seraya menangis dan menjerit-jerit histeris. Mendengar dan melihat hal itu tentu saja membuat Melody langsung panik.
"Melody, Melody." sebut Ibunya yang terlihat panik bercampur isak tangis histeris.
"Ibu kenapa dan ada apa, Bu?" tanya Melody seraya melepas pelukan ibunya dengan menatapnya dengan tatapan khawatir dan bercampur panik.
Sang Ibu malah menggeleng kuat seraya menangis tiada henti, sementara Melody masih kebingungan dengan apa yang terjadi. Alih-alih menjawab pertanyaannya, sang Ibu malah sesegukan.
"Please, Bu sebenarnya ada apa?" tanya Melody tak sabaran karena ia sama sekali tak menemukan jawaban apa pun dari ibunya.
"Kakakmu, kakakmu." ucap sang Ibu disela isak tangisnya yang semakin merebak.
"Iya, Kak Adel kenapa?" tanya Melody mencoba untuk tenang.
"Adel, Adel ... meninggal," jawab sang ibu akhirnya, lalu ia pun langsung menangis histeris lagi dan berhambur memeluk Melody dengan begitu kuat.
Melody tertegun, jujur ia masih belum bisa mencerna apa yang baru saja ia dengar. Sampai akhirnya ia mengerti apa yang baru saja dikatakan ibunya. Melody tak bisa berkata apapun karena mendadak lidahnya terasa kelu dan tenggorokannya seperti tercekat, seakan ia sangat begitu kaget dan bercampur sedih yang kini berbaur menjadi satu. Melody mematung dan hanya air matanya lah yang dapat mendeskripsikan bagaimana kondisi hatinya sekarang setelah ia mengetahui bahwa kakaknya sudah tiada.
"A-apa?" akhirnya hanya kata itu lah yang bisa keluar dari bibir Melody dan itu pun sambil bergetar karena ia mencoba menahan isakan."I-ini pasti bohong 'kan, Bu?" lanjutnya seraya menggeleng samar. Ia belum bisa menerima apa yang telah terjadi pada kakaknya.
"Ibu sama sekali tidak sedang membohongimu, Nak." bisik Ibunya disela isak tangisnya yang semakin dalam.
"A ... Kakak!" akhirnya Melody berteriak histeris sambil menangis dengan begitu menyayat hati, sementara sang Ibu masih memeluk putrinya dengan air mata yang semakin mengalir deras tanpa henti. "Ini tidak mungkin terjadi, tidak mungkin!" jerit Melody hingga tubuhnya luruh ke lantai, begitupun dengan Ibunya. "Kak Adel, Kak Adel." sebut Melody lemah disela isakan yang lolos dari bibirnya dengan suara yang mulai parau.
Kabar duka itu seperti layaknya petir disiang bolong dan Melody sama sekali tak bisa berpikir jernih sekarang karena ia tak kuasa menahan tangis yang begitu dahsyat membuat dadanya terasa sangat begitu sesak. Ia meronta-ronta layaknya bayi yang sedang kesakitan. Kakak satu-satunya yang dimiliki Melody kini telah menyerah dengan penyakit yang selama ini telah menggerogotinya.
Bendera kuning kini sudah tersemat di depan rumah, sementara pelayat datang silih berganti setelah Melody dan keluarganya baru saja pulang dari pemakaman.
Setelah masuk ke dalam rumah dengan matanya yang bengkak, Melody pun duduk di salah satu kursi dengan tatapan kosongnya sementara air matanya masih saja berlinang. Tiba-tiba Eric datang lalu duduk disamping Melody, bahkan ia pun sama sekali tak menyadari kehadiran pacarnya itu. Eric merangkul bahu Melody dengan lembut setidaknya sentuhan kecil itu bisa menenangkan suasana hati Melody saat ini yang sedang terpuruk.
"Aku tahu ini sulit bagimu," desis Eric seraya mengusap-ngusap bahu Melody dengan konstan.
Mendengar suara Eric tentu saja membuat hati Melody semakin bersedih dan ia membutuhkan sebuah sandaran namun ia tak berani untuk bersandar dibahu Eric.
Melody menatap wajah Eric dengan seksama sambil berlinangan air mata, bibirnya bergetar seperti ingin membicarakan sesuatu. Namun sulit untuk diucapkan, rasanya lidahnya amat kelu. Pada akhirnya Melody tak bisa mengontrol dirinya hingga ia pun langsung berhambur memeluk Eric dengan begitu kuat sambil menangis sesegukan di pelukannya.
"Sayang, hei. Kamu tidak boleh seperti ini, kamu harus bisa mengendalikan dirimu. Kakakmu pasti akan bersedih jika kamu ikut bersedih seperti ini," bisik Eric mencoba menghibur Melody seraya membalas pelukan itu.
"Aku tidak sanggup jika harus menerima kenyataan pahit seperti ini, lebih baik aku ikut kakakku saja." Melody berkata sambil sesegukan dan juga semakin bersimbah oleh air mata.
Setelah mendengar apa yang baru saja di lontarkan oleh Melody seketika saja Eric pun langsung melepas pelukannya dengan lembut, lalu ia menatap mata Melody lamat-lamat. Ia mencoba untuk menelisik hati Melody yang terlihat begitu terluka.
"Jangan bicara sembarangan, Melody. Apa kamu tahu kenapa Tuhan mengambil kakakmu? Semua itu karena Tuhan sayang pada kakakmu. Tuhan tidak ingin kakakmu tersiksa dengan penyakitnya, Tuhan lebih sayang pada kakakmu, jadi seharusnya kamu doakan dia agar dia bahagia di atas sana." ujar Eric mencoba untuk menenangkan Melody yang kini terlihat sudah kehilangan arah.
"T-tapi kenapa harus secepat ini, kenapa Tuhan memberikan penyakit seberat itu pada Kak Adel, kenapa?" lirih Melody di sela isakan tangisnya.
"Melody, semua orang yang hidup di muka bumi ini memiliki ujian yang berbeda, nikmat kita di dunia ini dibagi-bagi. Semua orang tidak memiliki kehidupan yang sempurna, pasti ada saja lika-liku kehidupan dan kita harus berlapang dada untuk menerimanya." kata Eric seraya menangkup kedua pipi Melody dan membiarkan air mata itu jatuh mengenai tangannya. Lalu pada detik itu, Eric pun menghapus air mata Melody yang baru saja berlinang kembali, lalu ia pun merekahkan senyuman ke arahnya.
"Eric," panggil Melody dengan suara paraunya.
"Hm?" sahut Eric lembut.
Melody terdiam sesaat, seraya menggenggam tangan Eric yang masih berada di pipinya. "Aku minta maaf." ucap Melody akhirnya dengan sangat berat hati harus berkata.
"Maaf? Maaf untuk apa?" tanya Eric seraya mengangkat satu alisnya tebalnya.
"Maaf karena mungkin aku akan mengecewakanmu." ucap Melody yang malah semakin banjir oleh air mata.
Kening alis Eric seketika langsung bertaut bingung, ia sama sekali tak mengerti dengan apa yang baru saja Melody katakan. Sampai akhirnya Eric malah tertawa kecil karena menganggap bahwa Melody pasti sedang bergurau.
"Kamu ini bicara apa, sih?" Eric hanya bisa geleng-geleng kepala seraya tersenyum, sementara Melody malah semakin terisak.
"Eric kenapa semua ini harus terjadi, aku tak ingin berpisah denganmu. Kamu pria yang sangat baik dan tampan, takkan ada seorang pria manapun yang bisa menggantikan posisimu di dalam hidupku." kata Melody seraya sesegukan, hingga membuat Eric semakin kebingungan.
Eric mencoba memahami semuanya dari tatapan Melody ketika ia sedang menatapnya, namun sepertinya tak ada tanda kebohongan dari setiap ucapannya. Dan hal itu telah membuat perasaan Eric kali ini mulai merasa tak tenang.
"Maksudmu apa, Melody?" tanya Eric serupa lirihan seraya menggenggam kuat kedua tangan Melody seakan ia tak ingin kehilangan Melody sedikitpun.
Tangisan Melody semakin pecah saat itu juga seakan ia tak sanggup untuk berkata jujur pada Eric, tangisannya terdengar menyayat hati karena semuanya terasa sangat begitu sulit dan akhirnya Melody hanya bisa memeluk Eric sekali lagi namun kali ini pelukan itu sangat begitu kuat dan erat, seakan mengisyaratkan bahwa mereka akan berpisah.
... "Hati terasa sangat begitu sakit jika kita dipaksa untuk berpisah dengan orang yang sangat begitu kita cintai, dan hati akan semakin terasa tersiksa jika kita dipaksa untuk menikah dengan orang yang sama sekali tidak kita cintai."...
Menjelang malam tangisan Melody tak kunjung berhenti, dadanya terasa sangat begitu sesak. Masalah hidupnya kini kian bertambah, belum usai dengan kepergian sang kakak kini ia juga harus menerima kenyataan pahit dalam perjalanan asmaranya. Eric marah besar, kecewa dan langsung pergi begitu saja meninggalkannya siang tadi tanpa sebuah senyuman dan tanpa sebuah kata. Yang terlihat darinya sebelum Eric pergi adalah rahang mengeras, giginya bergemeletuk dan sepasang matanya yang terlihat tajam tapi terdapat kesedihan di dalamnya. Semua itu tak terlepas dari kejujuran yang telah Melody katakan padanya.
Melody berbaring di tempat tidur dengan kedua mata menatap langit-langit kamar, sementara kedua bola matanya berselimut lapisan bening yang kini mengalir semakin deras dengan tubuh yang meronta-ronta karena merasakan dada yang sangat begitu sesak dan perih. Ulu atinya seperti disayat oleh sebilah pedang yang membuatnya terasa sangat sakit dan ngilu.
Dulu hidupnya terasa sangat mudah, namun entah mengapa semuanya berubah dengan sekejap mata. Melody tak bisa melakukan apapun, sekalipun untuk brontak dan membantah pun ia tak bisa. Memikirkan banyak hal di kepalanya membuatnya sama sekali tak kunjung merasa tenang dan rasanya ia ingin lari dari kenyataan yang ada.
Melody beringsut dan duduk di tepi ranjang lalu tangannya pun menggapai frame photo yang tergeletak di atas meja nakas samping tempat tidurnya. Dan tampak terlihat jelas bagaimana potret Adelia yang terlihat cantik kala ia masih sehat, Melody memeluk photo itu erat. Lagi, air mata yang menggantung itu pun kembali menetes. Setelah kepergian sang kakak hingga sampai detik ini pun Melody sama sekali belum bisa merelakan, ia berharap bahwa semuanya hanyalah mimpi buruk tapi semakin ia menepisnya ia malah semakin frustasi.
Tiba-tiba suara pintu kamarnya terdengar sedang dibuka, Melody sama sekali tak ingin melihat siapa yang datang ke kamarnya. Sampai akhirnya ia pun merasakan gerakan di samping tempat tidurnya yang diduduki seseorang.
"Ibu minta maaf." suaranya terdengar penuh sesal lalu satu tangannya pun terulur mengusap puncak rambut Melody dengan lembut.
Mendengar ibunya berbicara demikian, Melody hanya bisa memejamkan mata seiring butiran air mata itu kembali menetes membasahi pelupuk pipinya.
"Seharusnya Ibu dan Ayah tidak perlu menyetujuinya, tapi Ibu dan juga Ayah tidak punya pilihan lain karena semua itu keinginan kakakmu." sang Ibu mengelus bahu Melody dengan penuh kasih sayang disertai dengan suara isakan yang terdengar di telinga Melody saat ini.
Melody tak punya alasan kuat untuk menyalahkan kedua orang tuanya ataupun menyalahkan sang kakak, karena mungkin ia hanya bisa menganggap semua yang terjadi padanya hanyalah takdir. Melody duduk menyamping lalu menatap ibunya dengan tatapan sendu sebelum akhirnya ia berhambur memeluk sang Ibu seraya menangis sesegukan.
"Tapi aku tidak mencintainya, Bu." protes Melody di sela isakan.
"Cinta akan berjalan seiring berjalannya waktu, percayalah." ucap sang Ibu lirih seraya mencium puncak rambut putrinya.
Sementara Melody masih saja sesegukan. "Aku tidak percaya kalau aku akan menikah dengan calon kakak iparku, Bu. Rasanya sangat begitu aneh dan aku sama sekali tidak bisa melakukannya." lirih Melody seraya menahan rasa sesak yang semakin melingkupi ruang kalbunya saat ini.
"Lakukanlah karena semua ini permintaan terakhir kakakmu," ujar sang Ibu seraya membelai rambut panjang milik Melody dengan tangisan tertahan.
Melody melepaskan pelukan itu, lalu dengan cepat ia pun menghapus air matanya dengan punggung tangannya, tapi air mata itu malah semakin mengucur deras dan tak mau berhenti sedikitpun.
Lalu detik berikutnya Melody hanya bisa diam dan ia tidak mengatakan apapun lagi. Dan kini netra nya sama sekali tak teralihkan dari frame dengan potret sosok Adelia yang kini masih ada di genggaman tangannya.
"Nak, kamu harus tetap menikah dengan Mas Aldi untuk menggantikan kakakmu. Persiapkan dirimu, Nak." pinta sang Ibu yang membuat himpitan itu semakin mendesak Melody semakin pekat dalam pilu yang tak kunjung berhenti dan malah semakin menghampirinya dengan begitu bertubi-tubi.
Akan tetapi bukan pernikahan seperti ini yang Melody inginkan, dulu dalam bayangannya ia hanya ingin menikah dengan Eric sang pujaan hati, dalam pelaminan yang megah dan kebahagiaan yang sempurna, karena mimpi indah itu adalah idamannya. Namun kenyataan kali ini telah berhasil menenggelamkan semua mimpi-mimpinya dalam sekejap, bagaikan ia terjatuh dengan begitu keras dalam ketinggian yang terasa sangat begitu menyakitkan.
Dengan berat hati, ia harus menerima permintaan terakhir dari kakaknya meskipun sebenarnya ia ingin menolak, namun setelah berulang kali ia membaca surat wasiat yang ditulis tangan oleh kakaknya secara langsung, tentu hal itu membuat hati Melody tak tega dan dilema. Meskipun semuanya terasa sangat begitu sulit karena bayang-bayang Eric yang selalu mendominasi dan seringkali menghantui pikirannya.
Sang Ibu bangkit dari posisi sebelumnya, tangannya terulur lalu mengusap kembali puncak rambut Melody dengan seulas senyuman sendu sebelum akhirnya ia pergi dari kamar Melody tanpa kata lagi. Mungkin ibunya juga merasakan tekanan yang dirasakan Melody saat ini, namun semuanya tak ada pilihan lain.
Melody langsung menutup wajah dengan kedua tangannya, ia menangis histeris. Dan tiba-tiba saja isi dari wasiat itu terasa menggema di kedua telinga Melody saat ini, seolah-olah menjadi pengingat bahwa pernikahan itu harus tetap terjadi.
Jika aku jadi kamu, aku pasti akan bersyukur. Karena kamu memiliki raga yang kuat dan jiwa yang begitu tegar. Tidak seperti aku yang tampak lemah bagai mayat hidup sekarang. Dan apa kamu tahu, Melody? Aku sangat begitu menyayangimu, kamu adalah adik yang baik, dan juga patuh. Betapa aku sangat bangga padamu, jika saja aku tidak sakit seperti ini, aku bisa mewujudkan mimpiku untuk menikah dengan Mas Aldi. Rencana menikah itu akan dilakukan pada tahun ini, dan kami sudah saling berjanji untuk menikah. Ayah dan Ibu juga sudah tahu, dan kau juga sudah tahu 'kan rencana ini? Lalu apa kamu mau membantuku untuk mewujudkan mimpiku pada tahun ini, Melody? Ini adalah permintaan terakhirku, aku harap kamu bisa membantuku untuk mewujudkannya. Menikahlah dengan Mas Aldi, ini demi aku. Jika kamu membantuku, aku pasti sangat berbahagia nanti. Aku yakin kamu tak ingin melihatku bersedih 'kan? Jadi, aku ingin minta tolong padamu dan bantu aku, ya? Please! Menikahlah dengan Mas Aldi, aku mencintaimu ... sangat! Salam hangat dari kakakmu, Adelia.
Surat wasiat itu begitu terngiang-ngiang di telinga Melody bagaikan mantra yang hinggap di kedua telinganya dan tak mampu menghilang begitu saja. Bahkan, ia bisa merasakan bagaimana ekspresi Adelia jika ia berbicara langsung padanya tanpa menggunakan surat. Mungkin ekspresi memohon akan terpatri jelas di raut wajahnya dengan disertai seulas senyuman pahit yang terlihat dari bibir pucatnya. Adelia memohon untuk menggantikan posisinya untuk menikah dengan Aldi. Dan jika Melody setuju, apakah Aldi juga akan menyetujui hal itu?
Dan bahkan sekelebat memori tentang Eric muncul secara bersamaan dengan senyumannya manisnya yang terpatri di wajah tampannya, serta perlakuannya yang sangat begitu romantis yang telah berhasil menjadikannya bak ratu. Detik itu, tubuh Melody meluruh ke lantai, ia mengacak rambutnya frustasi, menjerit dan juga berteriak memanggil Eric dengan keras.
"Eric?!" teriak Melody memanggilnya kemudian ia pun menangis lagi seraya meramas helaian rambutnya dengan kasar. "Ini bukan mauku, aku mencintaimu." lirihnya sambil sesegukan.
Melody tertawa hambar bagaikan gadis yang sudah kehilangan kewarasan dan seketika saja inisiatif itu muncul, sampai akhirnya ia memutuskan untuk meraih ponselnya di atas meja nakas dan ia berniat untuk menelepon Eric saat ini juga.
Tuuut ...
Nada sambungan telepon terdengar tanda bahwa nomor itu aktif, namun telepon darinya tak kunjung diangkat juga, sampai akhirnya sambungan telepon itu langsung di tolak seakan Eric tak ingin bicara lagi dengannya. Melody mendesah pelan kemudian ia pun mencoba untuk menghubungi Eric kembali, namun kali ini nomor tujuannya berubah menjadi nomor yang sudah tak terdaftar lagi seolah nomor itu sudah non-aktif.
"Eric, please .. No!" rengek Melody seraya menghapus air matanya cepat dan ia pun sama sekali tak menyerah untuk mencoba untuk menghubungi Eric lagi, namun responnya tetap sama nomor yang dituju sudah tak terdaftar.
Karena tak dapat dihubungi, maka Melody memutuskan untuk meninggalkan pesan lewat SMS, dm instagram serta chat via whatsApp.
Melody :
✉️Eric segera kabari aku jika ada di tempat ya, aku tunggu. Kita harus bicara, aku mohon padamu, please!
Setelah mengirim pesan, rupanya pesan itu pun masih dalam status tertunda dan centang satu. Melody memejamkan mata dan berusaha untuk bersikap setenang mungkin, meskipun rasa khawatir itu benar-benar merayap di dalam dadanya saat ini.
"Semoga Eric baik-baik saja." doa Melody seraya menghela nafas gelisah diantara isak tangisnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!