NovelToon NovelToon

Balada Pembantu Jadi Nyonya (Yakin, Bahagia?)

awal mula

Innalilahi wa inna illahirojiun ...

Telah berpulang ke Rahmatullah, saudara Rusdi bin Tahmim ....

Air mataku tak dapatku bendung lagi, lelaki yang kucintai dan menjadi imamku selama 19 tahun ini, telah terbujur kaku tak bernyawa.

Ku genggam tangannya sejak nafasnya masih di tenggorokan, ku bimbing dia melafadzkan kalimat syahadat sebelum akhirnya imamku ini menutup mata.

"Bang Rusdi, aku ikhlas melepasmu. Aku ikhlas, bang." Lirihku sembari mencium tangannya.

Anak-anakku menangis sembari memeluk tubuh ayahnya. Seperti pinta ayahnya, kedua anakku itu menangis dalam diam.

Sekedar memeluk tanpa meraung dan histeris.

"Yayan, Ilham! Kalian anak laki-laki, jika ayah sudah waktunya 'pulang' berjanjilah untuk tidak menangis melebihi ibu kalian." Pinta suamiku pada anak-anaknya disaat itu.

Maka disinilah kami, aku yang menangis sembari mencium tangannya dan kedua anakku yang menangis tanpa suara memeluk tubuh imam kami yang telah tak bernyawa.

Sakit yang berkepanjangan membuat aku menjual semua yang kami punya. Sawah bahkan perabot rumah tangga sudah ludes kujual.

Bang Rusdi yang tadinya perantau diluar pulau,membuatku bisa membagi uang dan membeli beberapa petak sawah. Tapi setelah dirinya kembali dalam keadaan sakit, mau tak mau aku harus menjual semua itu sedikit demi sedikit. Hingga kini, tak tersisa apapun. Hanya rumah peninggalan orangtuaku yang masih tersisa.

Tak terasa kini sudah 40 hari kepergian bang Rusdi.

Yayan dan Ilham sudah tak bersekolah, karena tunggakan yang tak dapatku lunasi.

Memang kedua anakku itu tak berkata apapun, tapi surat yang diantar teman sekelasnya membuat hatiku miris.

"Yan, ini ada surat tunggakan dari sekolah. Apa gara-gara ini, Yayan sama Ilham ga mau sekolah lagi?" Tanyaku sembari menunjukkan surat itu pada sulungku, Yayan.

Yayan tertunduk, kini dapatku lihat bulir bening menetes. Anakku menangis.

"Yayan ga mau membebani ibu. Yayan mau kerja aja!" Jawab anakku itu sembari menatapku.

"Ga, Yayan dan Ilham harus tetap sekolah! Biar ibu, yang bekerja. Yayan anak baik, menurutlah pada ibu, ya." ucapku pada sang buah hati.

Waktu itu aku memeluknya erat, begitupun dirinya. Semenjak itulah, aku bertekad bangkit dari keterpurukan.

Ya, aku pergi ke rumah Bu Sani, penyalur tenaga kerja baik dalam maupun luar negeri.

Hanya ini yang bisaku lakukan, menjadi asisten rumah tangga atau kata kasarnya pembantu.

"Assalamualaikum,"

"Wa'alaikumsalam, masuk!" sahut seseorang di dalam.

Perlahan aku masuk sembari berdiri di muka pintu, menunggu yang mpunya rumah keluar.

Tak lama wanita bertubuh gempal itu keluar dan menemuiku, senyumnya begitu manis karena memang dia sahabatku dari kecil.

Sebenarnya selama ini, Bu Sani yang banyak membantuku. Tadinya hanya ingin memberi uang percuma, namun kutolak. Alhasil sawah kujual padanya, hanya perabot saja pada tetangga lain.

"Tumben pagi-pagi udah kemari, ada apa Ganis?" tanya Bu Sani sembari mempersilahkan aku duduk di sofanya yang empuk.

Aku tersenyum getir, kuhirup udara sebanyak-banyaknya mencoba kuat menyampaikan maksudku padanya.

"Ini, aku .....," lidahku begitu kelu mengutarakannya.

"Ada apa sih, kamu butuh duit? Berapa?" timpal sahabatku itu.

"Eh, bukan! Aku ingin bekerja ke kota, jadi pembantu. Tolong aku, ya!" mohonku padanya, aku tak ingin berpangku tangan.

"Kamu udah yakin? Nanti kalau kerja jadi pembantu kan ga mungkin bisa sering-sering pulang, terus kamu udah mantap tinglkan Yayan sama Ilham di kampung?" tanya Bu Sani, dirinya ingin memastikan aku telah mantap hati ataukah tidak.

Sejenak aku terbayang wajah kedua anakku, wajah tampan yang begitu mirip almarhum suamiku.

"Aku merindukanmu, Bang ...," batinku.

Mataku mengembun bila mengingat dirinya.

Aku mengangguk pelan menanggapi pertanyaan Sani perihal kesiapan dan kemantapan hatiku.

Tak terasa airmataku menetes membasahi pipi.

"Aku siap, semua itu kulakukan untuk masa depan anak-anakku. Aku siap, San." jawabku.

"Baiklah, kebetulan ada keluarga kaya yang mencari pembantu. Oh, bukan! sebenarnya menjadi suster untuk anak berkebutuhan khusus. Aku rasa kau bisa, karena kau orangnya telaten dan penyayang. Ini list gajinya, lima sampai tujuh juta." imbuh sahabatku itu.

Kuraih brosur ditangannya dan ku baca bahkan ku telaah kata perkatanya. Hingga aku yakin dan mengangguk menyetujui pilihan Bu Sani.

"Baiklah, Aku memilih pekerjaan ini. Kapan aku bisa berangkatnya?" Tanyaku sembari menyerahkan brosur itu kembali pada Bu Sani.

"Sebentar, aku menelepon dulu ya." Ucap Bu Sani sembari meninggalkan aku sendiri.

Tak lama dirinya kembali dan meminta ijin padaku untuk mengambil gambarku, aku mengangguk.

"Sudah, ini balasan dari keluarga itu. Mereka menyetujuinya. Dan ini uang saku untukmu, tiga juta. Ini fee dari keluarga Atmaja, yang akan memperkerjakanmu." tukas Bu Sani sembari memperlihatkan layar hpnya padaku, memang disitu tertera percakapan antaranya dan keluarga Atmaja, katanya.

Aku gegas meraih uang fee itu dan memasukkannya ke sakuku.

"Terima kasih Ya Allah, setidaknya uang ini bisa mengobati lara anakku untuk tetap sekolah." batinku memanjatkan doa pada Yang Kuasa.

"Ini, uang saku dari yayasan. Jangan ditolak ya, ini bukan uang aku lho. Ini uang saku sesuai prosedur." Kata Bu Sani sembari menyodorkan uang sejuta padaku.

Aku terdiam, kini airmataku lolos begitu saja. Hatiku benar-benar bersyukur masih banyak yang peduli padaku, seorang janda miskin.

Bu Sani yang melihat aku menangis, memelukku erat. Seolah hendak menguatkan aku agar kuat menjalani hidup.

"Yang sabar, Rengganis! aku tahu dirimu, Allah memberi cobaan seperti ini berarti kau mampu melewatinya. Tenang saja, selama kau tak ada. Aku akan menjaga anakmu dan mengurus mereka layaknya anak sendiri." Ucap Bu Sani sembari memelukku erat.

"Terima kasih," ucapku lirih.

Berangkat membawa asa.

Setelah dari rumah Bu Sani, aku mengajak kedua anakku ke pasar. mulanya mereka bingung, tapi kuyakinkan pada mereka bahwa aku mendapat rejeki tak terduga.

"Kita mau ngapain, bu?" tanya Ilham, anak bungsuku yang berumur delapan tahun.

Ku genggam erat tangan kedua buah hatiku dan Bang Rusdi. Yayan hanya terdiam tak berkata sepatah katapun.

"Kita mau belanja keperluan sekolah kalian dan makan enak. Sesekali makan daging atau bakso juga enak, kan! Daun ubi dipinggir rumah udh botak dipetik mulu sama ibu." ujarku mengajak keduanya bercanda.

"Ye ...., Ilham mau makan daging!" Ilham kegirangan sembari melompat-lompat, aku hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah bungsuku itu.

"Ibu ga buat aneh-aneh, kan?" celetuk Yayan, remaja enam belas tahun itu dapat membaca ketidak wajaran dari sikapku.

kupaksa tersenyum, meski getir. Meskipun diri ini tak melakukan perbuatan tercela, tapi meninggalkan mereka berdua membuatku susah bernafas karena sesak sekali dada ini.

"Ga kok, ini uang halal. Ibu ga mungkin memberi makan kalian uang haram. InsyaAllah halal," sahutku.

Hari itu kami makan bakso bersama, kubiarkan anakku memesan sampai masing-masing dua mangkuk dan membungkusnya lagi untuk makan nanti malam di rumah.

"Ini enak, bu! Ilham suka sekali," celoteh bungsuku itu.

Tak lupa kubelikan seragam sekolah yang baru, sepatu dan tas. Juga beberapa lusin buku tulis, saat kami melewati toko perabot. Yayan terpaku di depan toko sambil menyeka airmatanya.

Aku tahu anakku kenapa, dirinya teringat akan almarhum ayahnya. Dulu setiap kami berkeliling pasar, anak-anak selalu membeli celengan plastik di toko ini. Ayahnya ingin mereka jadi anak yang rajin menabung. Tak sampai enam bulan, mereka selalu membeli tabungan baru karena tabungan lama sudah penuh.

Gegas kuhampiri anak sulungku, kudekap dirinya.

"Yayan ga apa-apa kok, bu! Yayan hanya teringat bapak." celos anak sulungku itu, suaranya bergetar.

"Sudah, nak! Ikhlaskan bapakmu, perbanyaklah berdoa untuk bapak, ya!" Imbuhku mencoba menguatkan sulungku ini.

Yayan mengangguk dan kami kembali pulang ke rumah.

Malamnya, aku memanggil kedua anakku untuk duduk di teras. Aku ingin memandang langit bersama mereka, kebetulan malam ini malam purnama. Bulan begitu indah dan terlihat bulan sempurna, dimana bintang terhampar memenuhi langit.

"Ada apa, bu?" tanya Yayan sembari duduk disampingku.

"Iya, ibu ini aneh! Katanya suruh kita sekolah, tapi kok jam segini malah ngajak duduk di teras." Celoteh sang bungsu, Ilham.

"Sini, duduk dipangku ibu." Ujarku.

Sontak saja Ilham naik kepangkuanku, akupun merangkulnya manja.

"Ini, uang buat bayar sekolah Yayan. Lunasi, ya. Jadi Yayan bisa sekolah dengan tenang, mulai sekarang ga akan ada kata terlambat untuk bayaran." Kataku lembut sembari menyerahkan sejumlah uang di amplop putih pada anak sulungku.

"Kenapa ga ibu aja besok ke sekolah?" tanya Yayan, matanya menatap tajam padaku. Seolah merasakan ada sesuatu.

Aku hanya tersenyum dan kemudian berkata," Ibu ga bisa, nak!"

"Kenapa?" tanyanya lagi.

"Mulai besok ibu akan bekerja, jadi ga bisa terus ada di rumah bersama kalian." Jawabku mencoba anak-anakku ini mengerti.

"Bekerja? Bekerja dimana, bu?" Yayan tak henti-hentinya bertanya.

"Yan, Yayan udah besar. Tentunya paham akan kondisi kita yang sungguh prihatin ini. Ibu ga bisa terus menerus berdiam diri. Ibu harus bekerja, itu juga demi masa depan kita. Dan ibu mohon, Yayan dan Ilham menjadi anak yang mandiri dan pintar. Sekolah yang sungguh-sungguh, ingat apa perkataan bapak. Almarhum ingin kalian menjadi orang sukses, jadi kali ini ibu akan ke Jakarta, bekerja. Setiap bulan akan mengirim uang dan nanti kalian harus manut ya ke Bu Sani, dia berjanji akan menjaga kalian." Jelasku panjang lebar.

Yayan dan Ilham terdiam, kini keduanya memelukku erat.

"Yayan sudah menduga ibu akan pergi jauh, makanya bawa kami makan enak! Padahal ibu ga usah kemana-mana, biar Yayan yang cari kerja." Ucap Yayan sembari menangis dalam pelukanku, suaranya bergetar menahan isak tangisnya.

Sedang Ilham meraung dalam pelukanku.

"Ilham ga pengen makan enak kalau tahu ibu pergi, Ilham milih makan daun singkong aja ga apa-apa. Ilham ga sekolah juga ga apa-apa kok, bu!" ujar bungsuku dalam sesegukannya.

"Tak apa, nak! Doakan ibu, dan jadilah anak-anak yang mandiri. Ingat, jangan bolos sekolah! Bila ada sesuatu, sampaikan pada Bu Sani." pesanku malam itu.

Kami menangis sembari berpelukan. Tantangan hidup yang begitu besar membuatku harus berani melangkah.

Meninggalkan anak yang menjadi hartaku dan menginjakkan kaki di kota besar yang begitu asing bagiku.

Keberangkatanku pagi itu diantar Bu Sani dan kedua anakku. Yayan dan Ilham, mata mereka memerah tanda banyak menangis melepas kepergianku. Kutitipkan sejumlah uang pada Bu Sani agar Yayan dan Ilham dapat mengatur uang jajan dan resiko perhari. Jadi seharinya Bu Sani akan memberi uang lima puluh ribu pada Yayan, diluar uang jajan sekolah mereka.

Tepat pukul satu siang, aku sampai di terminal kota dan telah di jemput pihak yayasan yang merupakan kantor tempat Bu Sani bernaung.

Dua hari aku diberi pelatihan dan di hari ketiga, barulah aku diantar ke rumah megah layaknya istana. Halamannya luas dan penuh dengan bunga, pintunya besar layaknya gerbang.

"Silahkan masuk," sambut seorang wanita cantik berpakaian mewah yang telah berdiri di depan pintu seolah menyambut kedatanganku.

Aku menunduk dan tersenyum.

"Duduk dulu," Lanjut wanita itu begitu ramah mempersilahkan aku duduk di sofa empuk nan tinggi menjulang.

Tak lama, dari arah tangga yang berukuran indah. Turunlah seorang lelaki berumur dengan rambut putih berubah namun karisma pemimpin terlihat di wajahnya.

"Jadi anda suster untuk Dinda?" tanya pria itu memastikan, dirinya mencocokkan foto yang terkirim disebuah benda pipih yang dipegang wanita tadi dengan rupaku saat ini.

Semuanya ramah begitupun Non Olivia

"Jadi anda, yang akan menjadi suster untuk anak saya?" tanya tuan Atmaja, sang pemilik rumah.

Aku mengerjapkan mataku berulang kali, sebab tatapan mata orang-orang yang ada di depanku ini sungguh tajam dan menindas, seketika hatiku takut.

"I- iya, Tuan! Saya yang di foto itu, nama saya Rengganis." jawabku terbata-bata.

Seketika aku menunduk begitu menyadari tuan Atmaja memperhatikanku, entah mengapa aku begitu tak nyaman.

"Kau sudah tahu tugasmu, kan? Sekarang beristirahatlah, benahi barang dan kamarmu. Besok kau sudah bisa mulai bekerja." Jelas sang mpunya rumah.

Aku mengangguk dan segera berdiri begitu kulihat wanita cantik yang menyambutku tadi menghampiriku sembari menepuk bahuku, wanita cantik itu berkata," Mari sus, saya antar ke kamar suster."

"Saya permisi, tuan!" ucapku pamit sembari membungkuk tanda hormat pada tuan Atmaja yang kini duduk sembari menyulut rokok.

Tuan Atmaja hanya mengangguk menanggapi ucapanku.

Rumah itu begitu besar dan luas, terbukti aku harus memutar beberapa kali hingga sampai ke kamar khusus pembantu, setiap pembantu memiliki kamar masing-masing.

Dimana kamar itu begitu resik meskipun kosong tak berpenghuni, kasur springbed dan lemari kayu dengan full kaca. Belum lagi, kamarku ini rasanya begitu luas.

"Silahkan istirahat, Sus! Besok saya akan menjelaskan semua pekerjaan Sus Rengganis, semoga betah ya, oya! Saya hampir lupa, nama saya Olivia, calon istri tuan Atmaja." Wanita bernama Olivia itu begitu ramah memperkenalkan dirinya, aku bahkan tak menyangka dirinya baru 'calon', sebab wanita ini begitu cantik dan elegan.

"Iya, Non Olivia. Terima kasih sambutan hangatnya, insyaallah saya akan betah dan bisa bertanggung jawab dengan pekerjaan saya." Sahutku meyakinkan.

"Ya sudah, istirahatlah! Besok baru kita bincang serius tentang pekerjaan, ya!"

"Ya, Non!" sahutku.

Akhirnya aku beristirahat penuh hari ini, begitu nyenyak tidurku karena tidur di kasur empuk.

Menikmati kemewahan ini, membuatku teringat akan anakku. Seketika nafasku sesak, mataku berembun. Apa mereka sudah makan? Apa mereka baik-baik saja kutinggal?

Tak lama, adzan isya berkumandang. Gegas ku bangun dan berwudhu.

Ku hamparkan sajalah dan ku panjatkan doa sertaku sematkan nama kedua anakku, luruh airmata ini disaat menyebut nama mereka.

Buah hatiku yang terpaksa berjauhan dariku, karena kerasnya hidup.

"Nanti aku akan meminjam hape sama Non Oliv buat hubungi Bu Sani, mau nanya kabar Yayan sama Ilham, Ya Allah Gusti!" gumamku sambil menangis tergugu diatas sajadah.

Tak lama, terdengar ketukan di daun pintuku. Gegasku buka walau tak ada suara orang memanggilku.

Dan mataku terbelalak saat melihat wanita paruh baya tersenyum padaku dan membawa sebuah nampan berisi nasi dan lauk pauk.

"Neng, ini jatah makan! Dari tadi mbok tungguin kenapa ga keluar, takutnya neng segan jadi sama mbok di ambilin. Ini, makanlah!" Ujar wanita itu, sungguh ramah dan aku dengan rasa segan mengambil nampan itu.

"Terima kasih, mbok! Nanti saya antar piringnya ke dapur." Sahutku.

"Iya, neng. Silahkan makan," tukas mbok itu sembari undur diri.

Di dalam kamar, aku makan dengan lahapnya. dalam beberapa menit saja semua hidangan itu ludes tak bersisa. Ku antar semua piring ke dapur dan ku cuci, setelahnya aku jejerkan di tempat piring.

Karena keadaan yang sudah sepi, akupun kembali ke kamar dan tidur.

****

Pagi sekali pukul 04.00 WIB, aku sudah bangun dan bergegas mandi. Karena kamar mandi ada di kamar masing-masing memudahkan aku dalam beraktivitas, terlebih aku yang menggunakan hijab.

Pagi itu aku mandi dan sholat subuh, memulai hari dengan memohon kelancaran segalanya pada sang Khalik.

Aku memilih menggunakan atasan dan rok saja yang kubawa dari kampung meski lusuh.

Setidaknya menutupi auratku.

Pukul 05.10 WIB, lonceng dapur berbunyi. Tandanya sarapan bagi para pekerja di rumah ini.

Aku keluar setelah sempat mengintip ke kiri dan kanan di depan pintu, aku takut mereka tak suka kehadiranku. Namun aku salah, para pekerja disini yang dominan wanita baik muda maupun berumur sepertiku begitu hangat menyambutku.

Banyak yang bertanya asal dan kenapa tak keluar makan bersama mereka semalam.

Ternyata semua pekerja mempunyai tugas masing-masing, ada yang menjadi penjaga binatang. Bahkan kucing dan anjing memiliki pengurus sendiri, ada yang bertugas memasak untuk keluarga Atmaja, ada yang bertugas memasak untuk pekerja dan ada yang tugas membersihkan rumah.

"Mbak jadi susternya Dinda, ya! Yang sabar ya mbak, karena Dinda itu anaknya ngambekan serta suka itu, eek sama kencing sembarang. Kadang sengaja sebelum pake pampers dia malah eek di lantai, udah banyak yang mundur jadi susternya. Moga aja Mbak Rengganis betah, ya! Ingat Mbak, bayarannya gede!" Celetuk pembantu yang sarapan bersamaku, Oni namanya bekerja di bagian bersih-bersih rumah utama, yaitu rumah Tuan Atmaja.

Aku hanya mengangguk sembari mencoba tersenyum," InsyaAllah ...." Gumamku.

Tepat pukul 07.00 WIB, Non Oliv mengetuk kamarku dan betapa terperanjatnya dia mengetahui aku tak menggunakan baju suster yang dia berikan.

"Sus, pake bajunya. Nanti Dinda ga kenal, dia suka marah kalau yang dekat dia bukan pake seragam suster." Protes Non Oliv begitu melihatku mengenakan baju lusuh.

"Tapi Non, bukannya saya ga mau pake. Seragam itu begitu sempit untuk saya," keluhku sembari menunduk.

"Okh, kekecilan ya! Sebentar, " ucap Non Oliv, dirinya pergi entah kemana dan tak lama kemudian kembali membawa enam stel seragam suster.

"Ini, Sus! Seharusnya cukup ya, soalnya ini ukuran paling besar XXL. Dan Sus pakailah make up tipis, janga begitu pucat begitu. Saya yang wanita aja ga suka pucat gitu, ayo Sus cepetan!" Ungkap Non Oliv sembari melirik ke jam tangannya terus.

Gegas aku mengganti bajuku dan mengoleskan sedikit lipstik yang kupunya.

"Nah, begitu! Let's go," pekik wanita muda itu.

*****

Kini, aku berada di sebuah kamar seperti kamar bayi, dengan segala mainan berserakan di lantai, mainan hiasan bayi menggantung di atas tempat tidur berukuran King di kamar ini.

Pertama kali kumasuk ke dalam kamar ini, kurapikan kamar dan mainan yang berserakan. Dan beberapa sudut kamar menguar bau pesing dan bercak air, seolah baru saja seseorang kencing di tempat itu.

Gegasku ambil kain pel dan dalam sekejap kamar itu rapi dan wangi.

"Lalu, dimana Dinda?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!