NovelToon NovelToon

Secangkir Tetesan Air Mata Diana

Rindu pelukan hangat suami

Hari Jumat jam empat soreh, matahari sudah bersembunyi dibalik langit gelap seiring udara sangat dingin. Langit juga menurunkan derasnya hujan seolah menutupi isak tangisku, air mataku pecah tidak terbendung lagi. Sekuat mungkin aku segera meluapkan emosi yang terpendam selama ini. Sesaknya sakit hati sampai merusak semua kesehatan dan mental ku.

Pikiran ku kacau aku mati rasa, tanpa ekspresi seakan raga ku bak patung reflek menerima semua perlakuan tidak enak. Organ ku seperti terbiasa menolak hawa nafsu, aku terlalu terbebani dengan aturan dari mertua. Ditambah pekerjaan kantor, kegiatan rumah tangga, suami dengan penuh tanggung jawab, dan lagi tetangga julid menjadi kompor.

Kemudian tidak terasa sudah berjam-jam guyuran hujan membasahi ku, sepertinya hujan betah sekali mendukung kesedihanku.

Akal sehatku sedang tidak baik-baik saja bikin aku frustasi. Masalahku mentok karena hal sepele tapi beruntun terus-menerus.

“Sayang aku mohon bersabarlah, Abang juga lagi berusaha cari uang buat tambahan hutang keluarga Abang,” susul suamiku Dhani Evans, usianya 30 Tahun beda tiga tahun dariku. Dia mencoba terus agar aku tenang, di mata ku dia sosok yang aku kagumi. Aku  mencintai dirinya dengan ridho Allah, aku mencintai sepenuhnya karena pilihan hatiku tapi entah kenapa aku belum bisa sepenuhnya mencintai keluarganya terutama mama mertua.

“Aku cinta sama kamu, Abang sayang sama kamu. Jangan kasih Abang pilihan terus, harus milih kamu atau Mama. Kalian tanggung jawab Abang sampai akhir hayat,” kata Dhani lirih dan akupun pilu mendengarnya.

“Bertahanlah sebentar lagi demi Anjas anak kita,” seru Dhani.

Perasaan cinta dan sayangnya meluluhkan hatiku, tubuhku seolah pasrah menerima pelukan dari pundak suamiku yang hangat. Serentak sinyal kasih dari Dhani menjernihkan pikiranku. Alhasil hatiku terasa amat nyaman membalas rasa cintanya.  Kami saling merangkul erat ditengah dinginnya guyuran hujan menjadi kehangatan yang tenang di hati, aku rindu pelukan hangatnya.

Aku Diana Fariza sedari kecil berusaha sendiri mencapai keinginanku tapi entah kali ini aku susah sekali bertahan agar keluarga kecilku bahagia dan nyaman. Aku terusik bahkan menerima rasa gelisah di usia ku memasuki 27 Tahun dan aku sudah memiliki satu anak bernama Anjas.

Aku memiliki dua adik bernama Gio dan Puteri, aku dan Gio beda dua tahun. Mereka juga berusaha hidup mandiri karena kami dibesarkan oleh seorang Ibu yang kuat dan tangguh, kemahirannya menjahit baju turun padaku. Ibuku bernama Lita Daniar, dia juga tangguh memiliki tabungan yang cukup untuk menghidupkan kami sekeluarga.

Aku bekerja di gedung pernikahan bagian staff paket pernikahan. Syukurnya hasil gajiku bisa untuk biaya kuliah aku dan Gio, selesai kuliah dia juga sudah diterima bekerja di perusahaan asing bergerak di bidang minyak bumi dan gas sedangkan Puteri menjadi pramugari sembari kuliah. Di masa tua Ibu sekarang, dia sudah berhenti menjahit. Kesehariannya menjalankan ibadah kemudian memasak dan ikut pengajian di masjid terdekat.

Dhani Perdana suamiku bekerja di perusahaan jasa bidang telekomunikasi, dia sangat pekerja keras, rajin dan pintar.

Lalu sebelum memutuskan menikah dengan Dhani, kami sepakat untuk mengambil perumahan agar hidup sendiri tanpa membebani keluarga.

Awalnya sikap Mama Dhani sangat baik padaku. Waktu bulan madu di bogor, dia menyambut ku dengan hangat tapi sejak adik laki-lakinya membuat masalah besar jadi sikap Mama mertua perlahan berubah. Dia seperti anak kecil, emosinya kacau, egois dan dia mengusik semua orang.

Aku sebagai menantu dan pendatang dalam keluarga mencoba memahami masalah keluarga Dhani, mencoba mengalah atas tindakan usiknya.

Adik laki-laki Dhani bernama Yodi, dia terlilit hutang banyak karena bermain saham. Rumah keluarga Dhani di Bogor terpaksa dikontrakkan dan mereka menumpang di rumahku.

Lama-kelamaan drama rumah tanggaku kian memanas, rumahku tidak lagi senyaman dulu. Rumahku bukan lagi istanaku hanya tersisa kenangan manis disaat masa-masa pengantin baru dulu.

Kesabaranku benar-benar diuji. Kesehatan mental, hati dan pikiranku berontak tidak bisa bertahan lagi mengahadapi perilaku sadis Mama mertua berkuasa.

“Sudah main hujan-hujanan nya,” sindir Mama mertua ku menjelit sengit, bibirnya juga condong ke depan berkata padaku dan Dhani.

Mama mertua bernama Sari Agustina, dia sebaya dengan Ibuku umurnya 55 Tahun.

“Ma, cukup kasih kami ruang untuk sendiri,” balas Dhani kesal.

“Mama cuman bicara bukan menganggu kalian,” kata Mama mertua kembali mendongakkan wajahnya.

Hari itu aku memutuskan untuk istirahat, seharian dikamar menikmati helaan nafas panjangku dan tidak terasa air mataku menetes sembari menghirup secangkir teh hangat aroma wangi bunga. lalu Anjas diurus dan bermain bersama Dhani.

Aku memulihkan tenaga, pikiran dan mental ku dari semua drama dari Mama mertua. Aku haus akan pembelaan Dhani tapi dia tetap menjaga perasaan Mamanya. Aku juga memilih kabur setelah hampir emosi ku terbakar. Akal pikiran ku seperti terputus menghadapi Mama mertua, merasakan melewati ujian berat dalam rumah tangga ingin sekali aku kembali masa kecil. Hidup dalam pelukan Ibu seorang yang senantiasa memberi rasa kasih sayang kepada semua anaknya.

Ibu juga selalu ada untuk anak-anaknya, mendengar keluh kesah anaknya tapi jika hidup anaknya sedikit menyimpan ocehannya selalu membuat kangen.

Berhubung aku sudah menikah Cinta dan pelukan Dhani adalah obat dari penyakit dilema ku.

Pelukannya adalah hal terindah dan ternyaman untuk waktu yang lama.

Aku memilih diam karena aku cinta

Sekitar Jam setengah lima subuh, biasa nya aku dan Dhani bangun dari tidur bersiap untuk melaksanakan Sholat. Selepas itu aku bergerak cepat dibantu bik Idah asisten rumah tangga, dia menolongku memasak sarapan sekaligus bekal dan makan siang untuk keluarga.

“Hari ini kamu masak sayur lodeh, sambal telur jangan lupa goreng ikan asin jangan terlalu kering nanti Papa kamu susah makannya,” ketus Mama mertua sedang memasati ku yang sedang memasak.

“Soal kemarin waktu syukuran di rumah Ibu yuni, Mama sewot sama kamu didepan Ibu-ibu itu Mama dengar semua dari Ibu Laras. Dia sendiri lihat dengan kedua matanya kalau kamu membeli empat daster dua hari yang lalu dari Wina,” omongan Mama mertua mencoba mengajakku bicara.

“Dia melihat empat daster loh Diana tapi satupun kamu gak beri Ibu daster itu. Kamu milih berat sebelah ya, empat daster itu kamu beri ke Ibu kamu kan,” Oceh Mama mertua. Padahal aku baru melahirkan satu anak kecil Anjas anakku tapi kenapa aku merasa seperti mengurus banyak anak kecil di rumahku sendiri. Banyak mengurus anak kecil lelah fisik tidak masalah tapi ini ditambah lelah batin.

“Ma, daster yang Diana beli kemarin itu warnanya soft bukan warna cerah pasti Mama kurang suka jadi Diana beri ke Ibu dulu. Kata Wina satu Minggu lagi daster warnah cerah masuk nanti Diana beliin buat Mama,” Terangku mencoba sabar.

“Alasan kamu ngarang tapi bisa kan kamu tawarin Mama dulu suka atau gak belakangan,” balas Mama mertua sinis.

“Aku gak bohong Ma, Diana sudah tahu jawabannya lagian Mama pasti gak suka jadi Diana langsung aja beri Ibu dulu,” terangku mencoba lagi meredakan suaraku.

“Lain kali kalau kamu berniat beli barang seperti itu mending diluar aja jangan disekitaran perumahan kita. Malu-maluin keluarga kita aja, mau dikemanakan muka Mama jadi bahan omongan tetangga. Masa punya mantu berat sebelah gak ingat mertua padahal serumah,” oceh Mama mertua.

“Aku sudah langganan beli daster Wina sekalian nolong usaha dia juga, lagian Ma kala Mama kurang setuju tindakan aku bisa kayak gini bicara berdua. Jangan seperti kemarin acara Syukuran Mama dengan Ibu-ibu yang lain sindir Diana, didepan umum itu Ma. Diana jadi panas dengarnya. Mama itu mertua aku harusnya jadi benteng perlindungan aku kenapa malah nyerang balik aku,” jelas ku panjang lebar.

“Congor kamu lama-lama makin panjang ya, diajak ngomong baik-baik malah nyolot, jadi kamu yang banyak bicara bukan Mama,” bentak Mama mertua kesal.

“Diana kemarin gak bisa terima sindiran Mama sama Ibu-ibu lain juga. Diana bela-belain izin pulang kerja duluan

terus Mama paksa Diana buat datang syukuran dirumah Ibu yuni tapi tujuannya untuk disudutkan,” oceh ku muak.

“Sayang ambil jam tangan aku dong,” Teriak Dhani tiba-tiba dari kamar.

“Iya sebentar,” sahutku lekas buru-buru masuk kamar supaya cepat menghilang dan menghindar dari Mama mertua.

“Diana,” teriak Mama mertua terdengar sangat kesal padaku.

Kemudian bik Idah yang melanjutkan memasak makanan, Dhani tidak bosannya selalu menghiburku dan membuatku melupakan masalah. Dia dan Anjas, mereka adalah peredam emosi ku disaat marah.

Setengah sembilan pagi sampai ditempat kerja, suasana nyaman dan hangat justru ku dapati dikantor. Semua sesama pegawai saling menyambut dan tepat dimeja duduk kesayangan ku, aku melepaskan penat karena begitu berantakan pikiran ku.

Seperti biasa, sebelum fokus kerja aku sempatkan membuat secangkir teh aroma bunga herbal jika dikala kabut terlintas ocehan Mama mertua dan tetangga usik minum teh adalah solusi terbaik untuk pikiran ku. Sekalian aku video call Anjas hanya sekedar becanda tawa.

Selagi aku bekerja Anjas bersama pengasuhnya, ada Mama mertua juga dirumah jadi aku tidak terlalu cemas. Sebelum Mama mertua pindah ke rumah ku, Ibu lah yang sering mengawasi Anjas.

Aku memandangi keluarga kecil ku ketika Anjas bayi, betapa hangat dipandang dan betapa damai senyuman terasa saat itu.

“Keluarga idaman ku,” gumam ku terenyuh sampai aku meneteskan air mata bahagia aku bersamaan langsung aku menyeruput secangkir teh tadi.

Sepulang kerja jam delapan malam aku mendapat kabar pengasuh harian Anjas diberhentikan oleh Mama mertua, perasaan geram kembali kurasa.

“Bik, alasannya kenapa?” tanyaku.

“Anjas gak sengaja pipis diatas piring makanan Ibu Sari,” terang bik Idah.

"Kok bisa?" tanyaku heran.

"Waktu Ibu Sari nyari remote tv terus dia taruh piring diatas meja ruang tv, Anjas abis ganti pampers Buk. Jadi dia iseng ngambil piring Ibu sari terus dia pipis deh diatas piring itu," terang Bik Idah.

"Pengasuhnya kemana?" tanyaku.

"Pengasuhnya ke kamar Anjas mau ambil Pampers mungkin Anjas nya lepas Buk lari keluar kamar," terang Bik Idah lagi.

"Aduh ada-ada saja. Bisa gak sih sehari aja tenang," gumamku ngeluh.

Sentimental ku makin menyulut, aku mendatangi Mama mertua untuk bicara serius dengannya.

“Ma, Diana izin mau ngomong sama Mama,” ujarku gondok.

“Ngomong aja, mulut kamu kan gak ketempelan masih bisa bicara,” jawab Mama mertua.

“Mama gak bisa seenaknya mutusin semua urusan dirumah ini apalagi menyangkut Anjas dan Dhani itu bukan kuasa Mama lagi. Jika urusan dapur rumah ini aku bisa toleransi,” sewot ku murkah.

Mama mertua tidak merespon dan bersikap acuh padaku bahkan tidak menghiraukan ucapan ku.

“Ma, mama tahu kan aku repot kerja sudah kelima kalinya Mama bikin pengasuh Anjas berhenti. Aku hari biasa pulang jam lima soreh kalau weekend kadang pulang jam 12 malam. Aku mohon pengertian Mama,” tegas ku.

“Makanya berhenti kerja, wanita keseringan diluar rumah gak baik pamali suka kurang ajar,” cibir mama mertua melotot padaku.

“Ma,” bengis ku histeris.

“Kak Diana bisa pelan ngomong sama Mama jangan bentak Mama,” ucap Yodi datang memberi peringatan padaku.

“Diana sebaiknya kamu cari pengasuh lagi. Kamu sebaiknya mandi jangan berdebat karena sebentar lagi Dhani pulang,” kata Papa.

“Kamu sengaja lupa ingatan kalau Dhani anaknya Mama dan Anjas cucu Mama, kamu gak bisa larang mama karena Mama punya hak sama seperti kamu. Wanita selalu benar,” jelas Mama mertua berkata pedas padaku.

“Mama juga lupa ingatan, beli dua unit perumahan ini lebih banyak pakai uang aku dari uang Dhani. Kami beli tanpa kredit sertifikat tanah ini juga atas nama aku Diana bukan Dhani,” balasku sengit dan mendelik.

“Lancang kamu."

Mama mertua sontak berdiri tegap garang padaku dan mengangkat tangan kanannya kearah wajahku lantas aku dengan sigap menangkis tamparannya, aku melotot balik tepat dikedua matanya.

“Aku lebih berhak atas rumah ini, bukan Mama atau siapapun termasuk Dhani anak Mama,” balasanku tak kalah pedas menyulut pada Mama mertua.

“Jadi kamu mau usir Mama iya, kamu bilang ini rumah kamu bukan rumah Dhani,” kata Mama mertua bikin aku tambah naik darah.

“Aku gak bermaksud usir Mama, harusnya Mama sadar diri. Orang menumpang cara numpang bukan malah jadi tuan dan ratu,” sewot ku ngerocos.

“Kamu benar-benar menantu durhaka, kamu tega usir Mama mertua kamu demi belain pengasuh Anjas. Tega kamu,” pekik Mama mertua dengan keras sampai Dhani yang saat itu sudah pulang bekerja tampak terkejut dan seketika melihatku dengan tatapan marah.

“Masuk kamar kamu,” perintah Dhani dengan nada seram. Firasatku Dhani pasti marah besar karena aku berdebat dengan Mamanya sampai Mama mertua menangis.

Akupun masuk ke dalam kamar, Dhani mengikuti ku dari belakang kami berdua bicara berdua.

“Kamu tahu dia itu Mama aku Diana, aku sebisa mungkin netral tidak membela siapapun saat kamu berdebat sama Mama tapi aku sudah mohon bahkan ngemis sama kamu jangan bikin Mama aku nangis apapun alasannya. Kamu bisa kan ingat perintah aku, tanamkan dikepala kamu kata-kata aku,” Murkah Dhani. Dia menarik  kerah kemeja kerjaku ke atas, dia menekan tarikan tangannya ke leher ku membuatku sulit bernapas.

Dia juga tega melempar tubuhku dengan tenaga kuatnya ke atas ranjang tempat tidur.

“Peringatan terakhir kalau kamu sampai bikin Mama ku menangis lagi ataupun setetes saja air matanya keluar siap-siap kamu jadi janda berbekas dan jangan harap bertemu Anjas,” Ancam Dhani menekan kepalaku dengan telapak tangannya.

Malam itu Dhani memilih tidak pulang kerumah, aku juga terdiam menyendiri dikamar bersama Anjas.

Aku merenungi apa yang terjadi jika aku pun memilih berpisah, kebahagiaan Anjas jadi korban usianya belum genap dua tahun. Jika aku memilih bertahan batinku yang tersiksa tapi aku selalu ingat dengan perkataan Ibu selagi suamiku tidak selingkuh, tidak berjudi dan tidak melakukan kekerasan fisik yang fatal aku harus bertahan. Aku harus bertahan dan berjuang setidaknya demi malaikat kecilku Anjas jika pun aku di hadap kan pilihan untuk berpisah semoga ketika usia Anjas 12 Tahun.

***

Keesokkan harinya waktu subuh. Aku, Mama mertua, Papa mertua dan Yodi kami semua tidak saling bicara. Aku sibuk melakukan persiapan paketan make up pengantin dan mengurus dekor gedung. Masalah keluarga yang bikin aku pusing ku tumpahkan semua pada keahlian tanganku berseni. Anjas untuk sementara diasuh oleh bik Idah.

“Mama, Papa aku pamit pergi kerja dulu,” izinku pada orang tua Dhani.

“Iya nak hati-hati dijalan nyetirnya pelan-pelan saja,” jawab Papa Dhani.

Sepulangnya aku lembur kerja, Dhani ternyata sudah pulang kerumah. Akupun hendak sujud padanya tapi dia langsung menepis tangan ku.

“Assalamu’alaikum aku pulang,” kata ku masuk rumah dan mendekati Dhani.

Dhani menghindari ku, dia acuh buang muka. Melihat tingkah nya aku terus berusaha sabar lalu aku masuk kedalam kamar membersihkan diriku.

Setelah itu aku coba lagi mendekati Dhani bagaimanapun dia suamiku dan aku merasa harus meluruskan perselisihan diantara kami.

“Sayang kamu masih ngambek sama aku, Abang tadi malam tidur dimana?” tanyaku mendekati Dhani yang sedang bermain bersama Anjas diruang TV.

“Aku tidur dikontrakkan teman cowo yang belum menikah,” jawab Dhani.

“Terus makan apa tadi malam?” tanyaku lagi basa-basi.

“Makan nasi goreng gerobak, sudahlah aku capek jawab pertanyaan kamu. Please stop jangan ganggu aku dulu,” kata Dhani ketus.

“Kenapa Abang masih marah sama aku, tadi malam sudah berlalu. Abang harusnya berhenti marah-marah capek lihatnya,” omel ku.

“Kamu gak sadar kesalahan kamu apa dan kenapa aku kayak gini terus,” Oceh Dhani balik.

“Abang, sekali lagi aku bilang kejadian tadi malam jangan dibahas lagi. Aku pusing ingat-ingat itu terus,” pungkas ku kesal.

“Mudah banget kamu ngomong kayak gitu setelah bikin Mama aku nangis, gara-gara omongan kamu dia gak bisa tidur darah tingginya kumat.” amuk Dhani sampai bikin geger seisi rumah keluar kamar.

“Kamu harusnya mengalah walaupun Mama ngelakuin kesalahan fatal tapi dia tetap orang tua sudah berumur. Dia punya penyakit bawakan, kamu tega banget gak minta maaf dengan tulus. Pagi tadi kamu diamkan Mama kan  langsung pergi kerja tanpa minta maaf,” ribut Dhani makin menjadi.

“Aku merasa gak melakukan kesalahan besar sama Mama kamu, aku hanya bicara apa adanya. Aku coba jelasin apa yang aku pikirkan,” jelas ku pada Dhani.

“Sekarang tepat pikiran kamu salah, kamu sama sekali gak hargai Mama aku. Kamu merasa hebat ungkit-ungkit beli rumah ini pakai uang kamu paling banyak, kamu merasa kepala keluarga gak mau diatur justru kamu yang harus ngatur semua orang gitu,” amukan Dhani kembali memuncak.

“Kamu kepala rumah tangga,” sahutku menanggapi Dhani.

“Kalau kamu anggap aku kepala keluarga harusnya kamu dengerin aku nurutin omongan aku,” bentak Dhani kembali.

“Sekarang aku mintak sama kamu dengerin aku, dirumah ini aku ratunya. Kamu memang kepala keluarga tapi aku yang memutuskan urusan dapur dan rumah ini. Kamu berusaha membangun istana harmonis dirumah ini tapi percuma justru kamu menciptakan perang mulut setiap hari dirumah ini,” terangku berkata dengan pilu sampai air mataku mengalir karena pedih yang kurasa melihat sikap Dhani.

“Kamu keterlaluan, kamu benar-benar tidak mau minta maaf sama Mama,” ujar Dhani mendelik.

“Aku gak mau minta maaf karena aku tidak salah. Mama kamu yang harusnya minta maaf sama aku,” jawabku singkat.

“Mana ada orang tua minta maaf sama anak, kesalahan fatal apapun dilakukan orang tua kita mudah seharusnya mengalah dan sujud sama mereka,” pekik Dhani amarahnya memuncak.

“Orang tua bijaksana dan rendah hati. Mereka bakal sadar melakukan kesalahan terhadap anaknya dan meminta maaf,” balasku sengit.

Mendadak tangan Mama mertua mendarat keras di wajah ku. Tamparan nya sangat terasa dan sakit sampai ke uluh hati. Bibir ku sampai bergetar berdarah karena tamparan Mama mertua sepertinya mengeluarkan tenaga ekstra.

“Kamu lihat, ini yang kamu maksud kesalahan fatal dan aku harusnya malah sujud minta maaf sama Mama kamu. Sakit jiwa kamu Dhani,” ucapku menangis kesal dihadapannya.

“Diana maafin aku sayang bibir kamu berdarah,” lirih Dhani membelai wajahku. Aku lekas melangkah masuk ke kamar membawa Anjas.

Terdengar dari kamar suara Dhani dengan lantang, dia sedang memarahi keluarga nya. Mereka habis-habisan berdebat, bertikai antara Dhani dan Yodi. Aku sengaja tidak keluar kamar karena aku tidak ingin ikut campur masalah keluarganya. Dhani memilih tidur diruang tv membiarkan aku sendiri menenangkan diri.

Setahun lalu sejak keluarga Dhani menumpang tinggal di rumahku, aku dan Dhani jarang bermesraan. Alasan nya karena kami lelah bekerja dan lelah batin, hasrat kami berkurang untuk bermanja-manja.

Mencoba mengalah dan berusaha menyatu dengan keadaan

Aku dan Dhani perlahan mulai berbaikan, Dhani dengan tulus meminta maaf padaku begitu juga denganku. Akhirnya akupun juga mengalah meminta maaf pada Mama mertua.

“Ma, aku benar-benar minta maaf atas ucapan kasar aku kemarin, “ ujarku pelan walaupun berat kulakan tapi semua ini demi Dhani dan Anjas.

“Ya ucapan maaf kamu Mama terima,”balasnya dingin.

Bagiku sudah cukup melihat pembelaan Dhani terhadapku didepan keluarganya, apalagi kaki Mama mertua terkena pecahan cangkir beling. Pedihnya Mama mertua pasti mencapai ubun-ubun kepala.

Suasana rumah kembali seperti semula, aku memasak makanan untuk keluarga. Kebiasaan Mama mertua mengawasi setiap detai aku memasak, aku juga sudah mulai menerima perilaku dan sikap acak Mama mertua.

“Diana kalo blender bawang cabai itu diiris dulu biar benar-benar halus,” seru Mama mertua selalu lata melihat ku memakai blender.

“Iya Ma Diana tahu  ini mau Diana iris terus masukin dalam blender,” kataku sembari melakukan perintahnya.

“Kuah opor nya diaduk terus entar pecah. Kamu masaknya harus teliti makanan favorit Dhani sama Ayah nanti rasanya berubah,” seru Mama mertua.

Telingaku makin hari makin tebal setiap hari mendengar ocehannya, mau di ladenin pasti alurnya panjang malah jadi bumerang.

“Goreng ikan gabusnya buat Anjas jangan terlalu kering hilang vitaminnya,” sambung Mama mertua lagi.

“Iya Ma,” sahutku.

Selesai memasak aku pun segera menyiapkan keperluan Dhani dan pergi bekerja.

***

Malam hari sekitar jam delapan malam, ketika aku sedang membuat susu Anjas terlintas dipikiran ku. Tepat empat hari lagi diulang tahun Dhani, aku ingin merayakan bersama keluarganya dan juga melupakan semua kejadian pahit yang pernah terjadi. Sekaligus ingin menjalin hubungan baik dengan Mama mertua.

“Ma, rencananya aku mau ngadain syukuran kecil-kecilan ulang tahun Bang Dhani,” seruku setidaknya aku harus menghormatinya dan memberi tahu Mama mertua terlebih dahulu.

“Oh iya bagus itu nanti Mama bantuin persiapannya,” balas Mama mertua antusias.

Kemudian waktu subuh tiba, aku buru-buru pergi bekerja menuju gedung pernikahan karena ada acara akad pengantin jam tujuh pagi.

Aku sengaja tidak membuka jasa make up pengantin sendiri, aku lebih memilih bekerja digaji karena dari awal aku sudah lama bekerja sama dengan Tante Fira pemilik gedung pernikahan.

Di rumah setelah aku pergi bekerja, Mama Dhani kembali berkicau.

“Jam segini subuh-subuh sudah keluyuran keluar rumah, suruh istrimu berhenti kerja. Dia kan bisa buka usaha make up pengantin sendiri gak sita waktu untuk keluarga,” kata Mama mertua pada Dhani saat itu sedang sarapan nasi goreng.

“Hargai pilihan dia bertahan kerja sama bosnya sekarang. Dia tahu diri, bosnya yang tolong dia dari awal tidak punya apa-apa, tidak punya keahlian sampai mendukungnya segi materi sampai dia bisa beli rumah dan mobil sendiri,” kata Papa Dhani menyahuti omongan Mama Dhani.

“Biarkan Diana kerja Dhani daripada dirumah jadi bulan-bulanan Mama kamu. Mama suka usil kehidupan anak sendiri,” sambung Papa Dhani nyindir Mama Dhani.

“Jangan bicara Papa, Mama gak pernah ikut campur keuangan rumah ini terus mintak uang Dhani ataupun mintak uangnya Diana. Papa tahu kita ada uang pensiunan jadi jangan ngomong sembarangan,” Oceh Mama Dhani amarahnya memuncak.

“Kamu lebih baik banyak-banyak ibadah, sholat terus ngaji daripada kumpul ladenin Ibu-ibu lain saling umpat menantu. Umur sudah diujung tanduk banyak keriput. Bukannya ingat dosa malah koleksi dosa,” Oceh Papa Dhani juga.

“Papa,” pekik Mama Dhani histeris karena tidak terima perlakuan papa Dhani.

“Cukup berhenti ngomongin istri aku Ma, Dhani lagi berusaha mencari dana untuk melunasi hutang Yodi. Please jangan bikin keributan  gak sampai setahun lagi kalian harus balik ke bogor,” ujar Dhani sembari pergi bekerja.

"Istri pembangkang kayak gitu masih di belas," ceplos Mama Dhani sinis.

"Jaga mulut Mama. Ingat Ma dia istri aku ibu dari Anjas cucu Mama," jawab Dhani tegas.

Raut wajah Mamanya Dhani cemberut kesal karena melihat Dhani bicara kasar padanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!