Sahara baru saja selesai beberes, dari wajahnya terlihat bahwa gadis itu sedang lelah. Ara membuka apron yang menutup bagian depan tubuhnya, menggantungkan kain berwarna merah itu ke tempatnya kemudian masuk kedalam ruangan bernuansa abu-abu.
Gemericik air terdengar setelah kran yang ada dihadapannya ia buka sempurna.
"Ara!"
"Hm"
Ara cepat-cepat keluar, menyambar handuk pinknya dan pergi ke asal suara.
"Apa masih ada yang harus dikerjakan, Appa?" tantanya menatap wajah paruh baya di depannya
"Ada yang mencari mu. Ini sudah ke tiga kalinya dia disini"
Ara menyandarkan tubuhnya di dinding dapur itu, menghela nafas panjang dan memandang laki-laki yang ia panggil dengan sebutan appa tersebut.
Sahara adalaha gadis 25 tahun berwajah khas wanita korea walau kulitnya agak eksotis seperti kulit ibunya.
Ya ... Sahara berdarah blasteran Korea Indonesia, Ibunya berasal dari Bali dan ayahnya dari Busan. Setelah melalui kisah yang panjang disinilah Ara kini. Hidup dan tinggal bersama dengan sang ayah yang dulu ia benci.
\=\=\=\=
"Aku sudah bilang, aku tidak mau." ucap Ara menatap kemanik mata lawan bicaranya
"Tolong aku, Ra. Aku tau hanya kamu yang bisa. Ini juga menguntungkan untuk kamu. Kamu nggak perlu memikirkan biaya untuk pulang ke Indonesia. Kamu akan dapat fasilitas gratis, Ra!
Kamu bisa ketemu sama mertua kamu!" jelas wanita berperut agak buncit itu
"Hm ... Kau pintar! Kenapa harus menggunakan kata mertua sih!" senyum Ara kecut.
"Please, Ara! Bukan kah menolong orang yang kesusahan adalah hal yang diajarkan dalam kepercayaan mu?" tatap wanita itu lagi
"Aku benar-benar membutuhkan pertolonganmu, Ara. Aku tidak akan bisa menyelamatkan bayi ini jika aku tetap dalam pekerjaanku. Ayolah ...." wanita itu mulai merengek
"Kenapa harus aku?"
"Karena hanya kau yang tidak akan jatuh cinta melihat dia menatapmu. Kau bukan tipikal gadis yang meleleh dan meminta dinikahi begitu melihat senyum kucingnya itu!"
"Hah!" Sahara menyembunyikan wajahnya di lipatan tangan yang menjejak ke meja tempat mereka duduk berhadapan
"Ra ... Kau murid terbaik ditempat kita kursus selain aku. Pasti cocok dengan mereka sepertu aku. Tolong lah, Ra."
"Haha ... Selain kau ya." Ara mengangkat wajahnya
"Tentu saja." jawab perempuan itu sombong namun seringai manis menutupi kesombongannya
Perempuan itu menggenggam kedua tangan Ara,
"Aku sangat ingin anak ini lahir kali ini, Ra. Kami sudah menikah selama 4 tahun. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama hanya untuk kepuasan dan mimpiku lagi, Ra." cairan bening menetes membuat Ara merasakan ketulusan Jeny.
"Oke!" satu kata yang membuat senyuman cerah yang membuat airmata Jeny semakin deras
"Maeu gamsahabnida, Chagia."
"Sarange!"
Jeny memeluk Sahara dan mengeluarkan kata-kata yang dianggap lebay oleh Ara.
"Ah ... Diam kau! Lebay!" Ara melepas pelukan itu
Jeny hanya tertawa puas.
"Pulang sana! Kasian suamimu. Dia sudah menghabiskan dua cangkir kopi. Aku tidak mau Appa rugi sampai tiga cangkir!"
"Hahaha ... Baiklah ... Baiklah. Aku pulang. Jangan lupa lusa kau datang ke studio. Ku tunggu jam 3 sore, aku akan mengenalkan kau pada pangeran ku. Siapkan hatimu yang sekuat baja itu ya."
"Hm" jawab Ara malas
"Jangan jatuh cinta ...." bisik Jeny ditelinga Sahara yang tertutup jilbab.
.
.
.
.
.
Hai hai readers, karya receh kembali hadir menemani hari-hari kalian. Selamat datang di karya tereceh setelah yang receh lainnya tamat 😁
Jangan lupa, like dan komen karena menulis bahkan yang sereceh ini itu gak gampang. Apresiasi dong, pake jempol misalnya 🤭
"
"Jangan bilang nggak jadi ya, Ra." ucap wanita yang sedari tadi tidak bisa duduk tenang. Dia terus saja berjalan didepan pintu penumpang.
Jeny terus mencoba menelpon namun sepertinya seseorang diseberang sana tidak kunjung mengangkat panggilannya, beberapa menit berselang barulah panggilan itu terjawab.
"Sebentar masih nurun-in koper ini." cebik Ara dari telpon, tas jinjing mungilnya sampai jatuh dari bahunya karena dia benar-benar buru-buru dan repot.
"Saya bantu antar ke dalam saja, bagaimana?"
"Alhamdulillah ... Dari tadi kek!" gumam Sahara pada sopir taksi yang ia tumpangi
"Excusme!" ucap Sopir taksi itu dan kembali menawarkan diri
"Oh ... Boleh-boleh, Pak. Terimakasih." ucap Ara sopan dan sedikit membungkukkan badannya
Beberapa langkah kedepan mata coklatnya menangkap sosok teman yang ia kenal beberapa tahun lalu saat pertama kali menginjakkan kaki ke negri gingseng itu.
Jeny melambaikan tangannya, Ara dan sopir taksi tadi pun segera menuju kesana.
Sahara memberikan beberapa lembar uang, membayar ongkos taksi dan juga memberikan sedikit uang lebih dari tarif untuk menghargai jasa sopir itu.
"Ayo cepat. Nanti kita ketinggalan kereta." Jeny kini menarik tangan Ara seperti anak kecil
"Iya ... Iya! Jangan lari. Nanti kau terjatuh." Ara mengimbangi langkah Jeny
\=\=\=\=\=
Ruangan yang bertuliskan Genius lab itu sunyi, hanya ada sesorang didalamnya. Laki-laki itu fokus menatap layar laptopnya dengan headset besar menutup telinganya. Wajahnya serius bahkan kelopak matanya jarang berkedip.
Sesekali laki-laki itu terdengar bersenandung.
Beberapa saat berselang, kebisuan ruangan itu buyar ketika suara teriakan keluar dari mulut laki-laki itu.
"Uwaaaaaaa!!!" ucapnya sambil mengangkat kedua tangannya keatas dan menyatukan jemarinya bersilang.
Lalu mematahkan lehernya ke kiri dan ke kanan seperti sedang pendinginan saat sedang senam.
"Finish!" ucapnya menyungging senyum, lalu bangun dan keluar dari ruangan tersebut.
Didepan itu seorang laki-laki berkacamata baru saja sampai di hadapannya.
"Apa kau sudah makan siang?" tanya laki-laki berkulit putih tersebut kepada asistennya
"Belum. Kau mau makan apa biar aku pesankan." jawab sang asisten
"Pesankan aku halal food saja" ucapnya singkat
"Halal Food lagi?" alis asisten nya mengerut,
"Hm ... Kalau kau tidak suka, kau pesan saja yang lain. Aku sedang suka makanan seperti itu beberapa hari ini." jawab nya
"Ooh ... Aku capek sekali"
"Hm ... Nanti setelah makanannya sampai tolong bangunkan aku ya, aku mau tidur sebentar."
"Baiklah." sang asisten pun sibuk dengan ponselnya,
"Astaga aku lupa. Apakah nanti setelah makan malam kau ada acara lain?" tanya sang asisten yang bernama Bumi itu
"Hm ... Apa kau lupa mengatur jadwal ku?"
"Bukan begitu, maksudku. Aku lupa kalau stylishmu sudah menemukan penggantinya. Mereka akan segera sampai kesini satu jam lagi, mungkin ...."
"Ya sudah kalau mereka sampai suruh segera kesini. Ah ... kau pergi lah. Aku tidak bisa tidur karena mendengar nafas mu!" jawab laki-laki yang sudah menutup matanya sedari tadi
"Oke ... Oke. Aku pergi, Ye Jun!" ucap Bumi
"Hm ... Hati-hati berkendara, Hyung." jawabnya yang masih tetap pada posisinya dan juga tetap menutup mata
\=\=\=\=
Dua wanita berjalan tidak ber-iringan, Sahara yang berjalan dibelakang dengan menggeret satu koper dan dua tas mini yang melekat ditubuhnya terlihat seperti seorang asisten yang kewalahan mengekori majikannya.
Bukan Jeny namanya kalau berjalan tidak secepat itu.
"Heh, ibu hamil! Hati-hati dengan jalanmu. Pelan sedikit lah, aku capek!" pekik Ara
Jeny melihat kebelakang sambil tertawa,
"Haha ... pakaian yang kau pakai itu terlalu berat. Makanya kau jauh tertinggal seperti ini."
"Ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan pakaian ku. Pakaianmu yang kurang bahan makanya kau berjalan cepat karena malu dilihat orang!" jawab Ara membalas
"Hey ... Kau ini!" Jeny menghadiahi Ara dengan tinjuan di bahunya.
"Hm ... Awas saja kau. Aku bisa berubah pikiran kapan saja." ancam Ara
"Oh ... Tidak! Tidak! Aku hanya bercanda." Jeny merangkul tubuh Ara dan keduanya kembali tertawa
"Sebenarnya aku sudah ingin menanyakaj hal ini sejak lama, tapi baru ini kita ada kesempatan berdua lagi setelah semalam." wajah Jeny berubah serius
"Mau tanya apa?" tatap Ara
"Apa kau tidak merasa pakaian ini menjadi penghalang aktifitasmu?
Aku yang melihat saja merasakan kalau ini tuh susah!" Jeny memegang ujung jilbab Ara
"Aku sama sekali tidak merasakan semua ini menjadi penghalang aktifitasku. Bahkan sekarang rasanya aku tidak akan berani melangkah jika aku kembali berpakaian seperti dulu lagi." terang Ara
Jeny menghela nafas, "Ternyata jatuh cinta memang benar-benar merubah seseorang ya, Ra." ucap Jeny
"Ya ... kau benar. Karena cinta itulah akhirnya aku bisa menemukan cinta." jawab Ara pula
"Apa kau masih belum bisa melupakannya, Ra?"
"Aku ... Aku tidak akan bisa." mata Ara mulai berkaca-kaca
"Ah ... Sudah lah, Ayo ... Aku ingin segera bertemu dan berkenalan dengan pangeran kodokmu itu." Ara berhasil menguasai emosinya
"Ah ... Aku suka semangat mu. Ayo!" jawab Jeny menunjukkan barisan gigi putihnya
.
.
.
.
Komentar nya mana? 😊
Nama di layar ponsel itu terlihat jelas, ini sudah kali ke enam Jeny melihat ponsel Ara bergetar terus, ada panggilan suara disana.
Akhirnya setelah panggilan ke tujuh, Jeny membangunkan Ara yang tertidur dengan melipat tangan dimeja dan menyembunyikan kepalanya itu.
"Ra ... Ini sudah panggilan ke tujuh Appa mu." Jeny mencabut ponsel yang sedang di isi daya disebelah ia duduk.
Ara mengangkat kepalanya, meletakkan dagunya tepat diatas meja oshin bermaterial kayu tersebut.
"Biar saja lah." ucapnya malas
"Kasian, Ra. Mungkin pemilik restoran itu khawatir terhadap karyawan naturalisasinya." ucap Jeny dengan senyum di kulum
"Haha ... Naturalisasi ya, haha" Seketika kantuk Ara hilang karena tertawa, tubuhnya kini bersandar di sofa dan ia pun mengambil ponselnya
"Sini!" ucapnya lalu menggulir icon telepon hijau
"Appa ... Maaf, tadi Ara ketiduran." ucapnya
"Ara sudah sampai dengan selamat, Alhamdulillah ... Sekarang sudah di rumah Jeny yang akan menjadi rumah Ara, Appa." ucapnya lagi, Jeny memberikan cubitan halus dilengan temannya itu
"Aku berasa di peras ...." bisik Jeny
"Hm ... Jangan terlalu memikirkan Ara, Ara sudah biasa sendiri. Tidak perlu, Ara disini juga akan punya penghasilan, pokoknya Appa tenang saja." oceh gadis itu lagi di telepon.
Sepertinya orangtua diseberang sana sangat mengkhawatirkannya dan ingin mengirimkan sejumlah uang pada Ara takut anaknya kekurangan.
Setelah berapa lama, Sahara pun mengakhiri pembicaraan dengan orangtuanya itu, lalu kembali mengisi daya handphonenya yang belum terisi sempurna.
"Gitu amat sih sama ayah sendiri."
"Hm ... Apanya yang gitu amat? Apa ada yang salah?"
"Ya ... Aku merasa sepertinya kau sangat tidak sopan pada Appa mu, bahkan kau jauh lebih baik memperlakukan orang lain. Ra ... Apa kau masih belum bisa memaafkan nya?" Jeny memegang bahu Ara
Tatapan Ara berubah sendu, kepalanya ia sandarkan pada kursi untuk menatap langit-langit ruangan yang bisa dibilang cukup besar untuk ia tinggali sendirian.
"Entahlah ... Jen, Sejauh ini aku terus berusaha. Aku sadar, bahkan setelah aku datang ke sini, hanya Appa yang aku punya dan ia sangat banyak membantuku."
"So ...."
"Tapi kenapa dulu dia meninggalkan kami, Jen. Kalau dia sesayang ini padaku, seharusnya dia tetap menjengukku sesekali kan. Aku juga ingin seperti anak gadis lain yang tumbuh dan besar dengan cinta pertama seorang ayah ...."
"Kau sudah pernah menanyakan ini?"
Pertanyaan Jeny mendapat gelengan dari Sahara, Jeny justru tersenyum karena itu.
"I think, kalian hanya butuh bicara dari hati ke hati. Aku yakin Appa mu pasti punya alasannya."
"Hm ... Apa kau sudah siap mencatat hal penting yang harus kau ketahui tentang pangeranku?" Jeny merubah topik pembicaraan
"Ya ... Aku harus mencatat semuanya." Sahara membernarkan posisi duduknya, setelah mengambil buku berukuran kecil bersampul coklat dengan pena yang ada dibagian tengahnya.
"Dia itu nggak suka kalau segala macam yang ada didalam sini, di pakaikan ke orang lain!" Jeny memeluk tas berukuran tidak terlalu besar, lalu memberikannya kepada Ara
Ara membuka tas tersebut, mengeluarkan beberapa isinya dan paham apa yang dimaksud oleh Jeny barusan.
"Oke, Nomor 2?!" ucap Ara bersiap menorehkan tinta di kertas putihnya
"Pangeranku itu tidak suka banyak bicara dan lelet. Kau harus cepat menyiapkan semuanya tapi kerapian harus yang utama. Jangan berbicara saat sedang meriasnya kecuali dia yang bertanya kepadamu.
Kalau sedang bekerja jangan pernah membiarkan dia menunggu mu, kau harus sudah standbye di ruangannya bahkan sebelum dia datang, makanya kau harus punya kontak Bumi dan harus sering tanya ke dia, Bumi juga orangnya baik kok sangat bisa diajak kerja sama, karena kalau pangeranku marah karena satu orang ... Yang lain ikut kena imbasnya."
Ara manggut-manggut, semua hal yang dijelaskan Jeny masih dalam hal wajar. Mungkin ... tidak akan ada kesulitan besar untuk pekerjaan barunya ini.
"Hm ... Apa ada hal yang paling pantang dilakukan?" tanya Ara
"Ya ... Tentu saja."
"Apa itu?"
"Jangan bangunkan dia tidur!"
"Oh ... Itu sebabnya kita tadi ...."
"Ya ... Bumi hanya akan membangunkannya jika terdesak, misalnya dia ketiduran saat beberapa jam lagi ada jadwal. Pokoknya kalau ada hal penting saja, kalau hanya sekedar makan seperti tadi, lebih baik membiarkan makanannya dingin daripada membangunkan kucing tidur. Haha ...."
"Macan tidur maksudnya?" Ara mengkerutkan alisnya
"Haha ... Kau benar-benar tidak menyukai idol ya, Ra." jawab Jeny tertawa, Ara justru semakin mengerutkan alisnya
"Satu dunia tau, kecuali kau ya! Pangeranku ini di biaskan ke kucing. Imutnya ... Garangnya ... Nggemesinnya ... Ah, Will you marry me."
"Hus! Kau bahkan sudah menikah, Jen." tepuk Ara pada lengan Jeny
"Haha ... Itu adalah kata-kata yang keluar dari seluruh fans perempuannya, tidak terkecuali untuk yang seperti aku. Ye Jun, will you marry me!" Jeny mengulang kembali kata-katanya tadi
"Hah ... Kenapa aku masuk kedalam komunitas ini." Ara menyembunyikan kepalanya dalam lipatan tangan dan kembali memejamkan mata. Mungkin tidur lagi akan memberikannya kekuatan untuk bekerja di tempat yang ia rasa ini semua ... Aneh.
.
.
.
.
.
🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!