NovelToon NovelToon

Sandiwara Cinta

Megan Gadis yang Tangguh

SMA Bintang

Toilet Wanita

Plak!

"Pelacu*r sialan! Kenapa kamu tidak mati saja? Kehadiranmu hanya membuatku muak? Lihat saja, dengan tampang murahanmu kamu berani menabrakku?" kata gadis itu. Dia kini beralih mencengkeram kerah baju gadis lain yang terduduk dengan wajah suram.

"Jangan diam saja, Bajinga*n! Kamu pikir dengan diam, kami akan mengampunimu?"

Gadis lain menimpali dengan senyuman remeh. "Jangan beri ampun pada kutu tidak tahu diri. Ca, kamu harus menunjukkan status derajatnya, hanya seorang sampah!" Kaki gadis dengan nametag Marie tidak tinggal diam. Menendang tubuh gadis yang menjadi korban.

Lica menyeringai. Kini dia mengambil saus yang dibawa dari kantin. "Aku akan membuat karya seni di rambutmu, sebagai balasan rasa kesalku."

Lica mulai melumuri rambut gadis itu dengan saus.

"Haha! Sangat menjijikkan. Cocok sekali untukmu!" kata Lica yang terus saja tertawa.

Marie ikut tertawa dan mengibas angin dengan kasar secara berulang. "Kamu mencium bau busuk itu, Lica? Sangat tidak sedap memasuki penciumanku."

"Kau benar. Itu pasti bau busuk dari badan gembel ini. Iuh, daripada lama-lama di sini dan ketularan bau, kita pergi saja." Sebagai penutup Lica menendang perut Megan hingga tersungkur dan berlalu setelahnya, karena bel masuk telah berbunyi. Bel ini dia yang ditunggu Megan sedaritadi.

Megan berdiri dan menepuk bajunya yang berdebu.

Menghela nafas, "Aku kenapa tidak bisa melawan? Ah, iya tidak mungkin, karena kelas sosialku berada di kasta terendah." ucap Megan tersenyum pahit, memandang tubuhnya di cermin besar yang berada di toilet. Berantakan.

"Hei kamu, apakah kamu masih sanggup?" monolog Megan. "tentu saja. Jika aku tidak sanggup, aku sudah mati sejak lama."

Megan membasuh wajahnya. Kemudian mencuci rambutnya yang lengket oleh saus. Setidaknya bekasnya menghilang. Setelahnya, gadis itu memeras rambutnya dan membiarkan rambut basah itu menyampir di pundak.

" Tapi...," Megan luruh di lantai, untung saja tidak ada anak kelas lain yang sedang mengunjungi kamar mandi, sehingga Megan dapat puas untuk menangis. "Hidupku sedih sekali. Padahal aku masuk ke sini dengan adil dan jujur. Aku hanya anak beasiswa yang miskin, tapi kenapa mereka memperlakukan aku seperti ini?"

Ini bukan kali pertama. Tapi untuk Megan, semua perlakuan ini membuatnya frustasi. Jika dia berhenti untuk sekolah, nenek yang mengasuhnya selama ini akan bersedih. Tapi jika terus melanjut, semuanya menjadi lebih buruk.

Dengan cepat Megan menyeka air matanya, dia menyentuh rambutnya yang tidak lagi meneteskan air. Megan kemudian berlalu dari sana.

Megan berakhir di taman belakang sekolah, dia memilih untuk bolos. Tidak mungkin masuk ke dalam kelas jika melihat penampilannya. Duduk dengan beralaskan rumput dan menutup mata, menikmati semilir angin. Damai.

"Satu tahun lagi. Bertahanlah Megan! Kamu sudah sejauh ini untuk melanjutkan study."

Benar. Megan Angelica usia 17 tahun, kelas Xl MIPA-1 semester kedua. 

***

"Megan pulang, Nek." ujar Megan ketika pertama menginjakkan kaki ke dalam rumah. Namun, yang didapat adalah sepi dan tidak berpenghuni. "di mana Nenek?"

Megan menghela nafas. Meletakkan tasnya di salah satu kursi plastik, kemudian Megan menuju ke kamar Neneknya.

"Nenek!" seru Megan, namun tidak ada sahutan. Megan mencoba menenangkan diri dengan berkata, "Jangan panik Megan. Mungkin Nenek sedang berada di rumah tetangga."

Melangkah meninggalkan kamar, ketika Megan mendengar ketukan pintu dari luar. Dia membuka pintu dan melihat salah satu tetangganya berdiri di sana.

"Bu Sari?"

Megan tidak sempat melontarkan pertanyaan lagi saat Bu Sari dengan panik berkata, "Lho Nak Megan, kenapa masih di rumah? Tidak menjenguk Nenekmu di rumah sakit?"

"Nenek sakit?"

"Kamu belum tahu? Pagi tadi, Nenek terpeleset di kamar mandi dan sekarang dalam keadaan kritis." kata Bu Sari dengan raut cemas.

Sesaat Megan terdiam, berusaha memahami situasi. "N-Nenek terpeleset, kenapa bisa?"

Tidak menunggu jawaban, Mega hendak pergi, untung saja Bu Sari menghentikannya. "Nak Megan, sama Ibu saja. Ibu juga mau kesana." Saking cemasnya Megan hanya bisa mengangguk.

"Ayo. Ibu bawa motor." ujar Bu Sari kemudian menuntun Megan yang sudah mengunci rumah. Mereka bergegas menuju ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Megan langsung menuju ruang inap no. 126 sesuai petunjuk Bu Sari. Dia melihat salah satu dokter yang dia kenal baru keluar dari ruangan tersebut. "Bu Dokter." kata Megan yang kini berdiri di depan Dokter Belinda.

"Megan." kata Dokter Belinda lirih, raut wajahnya sendu. Dia turut prihatin dengan keadaan Nenek Megan yang kini dirawat.

"Kamu sudah dengar pasti."

"Bagaimana dengan Nenek, Dok?" Megan tidak membiarkan Dokter Belinda melanjutkan perkataannya tadi. Kini dia sudah mengguncang bahu Dokter Belinda yang berusia 23 tahun.

"Sayang sekali aku tidak bisa berkata banyak. Nenekmu dalam keadaan kritis, itu masa yang sulit." tukas Dokter Belinda saat Megan sudah tidak mengguncang bahunya.

"Selamatkan Nenekku, Dok! Aku akan mencari biayanya ke mana pun." ujar Megan dan Dokter Belinda hanya bisa menghela nafas.

"Tentu saja, itu sudah tugasku. Mengenai adminitrasi jumlahnya tidak sedikit. 10 juta." kata Dokter Belinda hati-hati.

"Aku tidak peduli, lakukan saja yang terbaik. Kumohon Dok, Nenek adalah satu-satunya yang aku miliki."

"Baiklah. Jeda operasinya selama dua hari. Apakah kamu memang bisa untuk mendapatkan uang sebanyak itu?" kata Dokter Belinda, dia sebenarnya juga ingin membantu Megan yang sudah seperti adik perempuannya. Masalahnya, keuangannya juga sedang kritis. "maaf, aku tidak bisa membantu."

"Aku akan berusaha. Pokoknya, Dokter hanya perlu melakukan tugas dengan baik."

Dokter Belinda akhirnya tersenyum, "Megan, kamu memang selalu seperti ini.Tidak ada pilihan lain selain percaya. Tapi dari itu semua, keadaan pasti akan berbalik untuk mendukungmu."

Pembicaraan itu ditutup dengan Dokter Belinda yang pamit untuk mengurus beberapa hal penting, sedangkan Megan kini duduk termenung menatap sang Nenek yang sedang terbaring.

"Aku benar-benar tidak berguna." kata Megan kemudian menelungkupkan wajahnya di antara lengan. "Sekarang, bagaimana caranya mencari uang yang tidak sedikit itu.

Bahkan untuk makan sudah lebih dari cukup. Aku pusing. Bagaimana ini, Nek?"

Megan kembali mendongak, memperhatikan wajah neneknya yang sudah menua. Megan kemudian menggali ingatannya di tujuh tahun silam. Berharap ada secuil harapan yang tersisa.

Sekali lagi untuk sesi perkenalan dengan Megan Angelica. Gadis yatim piatu yang hanya memiliki Neneknya dalam hidup, Nenek yang tidak memiliki ikatan darah dengannya dan paruh baya yang telah merawatnya hingga berusia 17 tahun.

Sebelumnya Megan tinggal di panti asuhan, ketika berusia tujuh tahun. Kemudian setelah itu, dia bertemu dengan Nenek baik hati yang mau merawatnya seperti cucu sendiri. Itu salah satu karunia terindah yang Megan rasakan.

Nenek pernah berkata kepada Megan, "Terus melangkah maju dengan sebuah senyuman. Niscaya kamu akan menempuh jarak ribuan mil sekejap, jika mengabaikan sekitarmu."

Tidak Masalah Semua Pasti Berlalu

Pagi ini Megan tidak sekolah. Karena memang kebetulan sedang hari libur. Dia tidak ke rumah sakit untuk memantau keadaan sang Nenek. Megan menyambar jaketnya dan keluar dari rumah setelah mengunci pintu. Hari libur adalah waktu yang tepat untuk menghabiskan hari di tempat kerja.

Megan kerja part time setiap pulang sekolah dan karena hari ini libur, dia akan bekerja seharian di kafe D tempatnya bekerja.

Jarak antara kafe dan rumah Megan tidak terlalu jauh, jadi dia berjalan kaki menuju ke sana.

"Apa yang harus kulakukan? Bagimana mengumpulkan puluhan juta dalam waktu singkat. Itu mustahil untukku yang hanya seorang pelajar-kerja part time." gumam Megan sendu, hanya saja dia tidak ingin menyerah. Setidaknya dia harus memberikan yang terbaik.

"Semoga saja ada orang baik yang memberikanku pinjaman atau aku mendadak kaya raya dengan setumpuk uang entah dari mana." Diakhir kata Megan tertawa pelan, tidak percaya perkataan itu akan terlontar begitu saja.

"Tentu saja, itu mustahil. Pemikiran yang konyol."

Megan semakin mempercepat jalan, saat merasa dia akan terlambat.

Sesampainya di kafe, Megan masuk dan menyapa para pelayan yang juga sedang bekerja. Beruntungnya, di tempat sederhana ini Megan dihormati dan tidak diperlakukan berbeda. Dia menuju kamar mandi untuk mengganti seragam kerja yang sudah ia bawa sejak awal.

"Oh, Megan? Kamu sudah datang ternyata. Ayo lekaslah bekerja! Kafe sedang dalam keadaan ramai." kata seorang wanita saat Megan berjalan.

"Aku akan segera bekerja."

Megan kemudian berjalan untuk melakukan pekerjaannya. Mencatat pesanan dan mengantarkan pesanan.

"Oke. Hanya itu saja, Nona?" Saat melihat pelanggan mengangguk Megan tersenyum. "Kalau begitu mohon ditunggu. Pesanan Anda akan datang sesaat lagi." Megan berlalu dari sana.

"Ini pesanan, dari tamu yang duduk di meja no. 12. Aku akan datang sesaat lagi."

"Emm..., oh ya, kamu tolong catat pesanan untuk mereka yang di sana."

"Oke."

Megan berjalan ke arah meja yang ditunjuk dan lekas menyapa mereka. "Halo Tuan-Tuan, ada yang mau dipesan?"

Mereka menoleh dan sekilas Megan terkejut, dia memilin roknya. Kebiasaan menunduk untuk menghadapi seseorang kembali muncul.

"Sebentar. Mau pesan apa?" kata salah satu Pria.

"Samakan saja dengan apa yang kamu mau."

"Oke kalau begitu, sphagetti dan caffucino." katanya dengan mantap dan langsung saja Megan mencatat pesanan tersebut.

"Pesanan Anda sekalian akan diantar sesaat lagi." kata Megan hendak pergi dari sana, namun diurungkan saat mendengar suara seseorang.

"Tunggu."

"Iya." Megan sedikit mendongak, dan benar saja. Gadis itu adalah salah satu orang yang dia takuti di sekolah. Mauren, pembuly nomor satunya.

"Seperti yang kuduga. Kamu Megan 'kan? Tidak kusangka bekerja di sini."

Dia berdiri dan menghampiri Megan, mengusap pundak Megan untuk sesaat lalu mencengkeramnya kuat. Megan tidak bersuara, ia menahan sakit dalam hati.

"Jangan lupa antarkan dengan cepat, ya Pelayan!" tukas Mauren lalu kembali duduk. Seolah tidak melakukan apa pun, dia berbincang ria dengan kekasihnya.

Megan segera pergi dari sana dan memberikan catatan itu kepada Angga. Biasanya pria itu yang bertugas untuk memasak menu, dengan dibantu Laura dan Vivian. "Ada apa Megan? Wajahmu tampak pucat." tanya Angga ketika melihat Megan yang terengah-engah untuk duduk. Megan sangat gugup, takut saja Mauren tadi melakukan kekerasan padanya.

"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Sebentar untuk istirahat."

"Oke. Setelah itu, jangan lupa pesanan yang baru kamu catat, pesanan yang tadi sudah diantar oleh Berly."

"Hm."

Megan menghela nafas, kini pandangannya teralihkan ke arah Mauren dengan teman-temannya. Tampak bahagia dengan kemewahan yang tersaji dalam kehidupannya. "Kalau tidak salah, Mauren anak pemilik saham ke tiga di sekolah. Tidak mungkin sebanding dengan aku yang bahkan anak beasiswa. Keputusan awalku untuk diam ketika dirundung mungkin adalah yang terbaik." kata Megan dalam hati kemudian tersenyum.

Setelah beberapa saat, dia berdiri dan mengantar pesanan dari Mauren yang kebetulan juga telah selesai dimasak. Walau berat, Megan tetap melakukannya.

"Ini Nona, pesanannya." Megan meletakkan piring-piring ke meja. Dia mengambil semua makanan itu menggunakan sebuah troli.

Kemudian dia berbalik untuk pergi, untung saja Mauren tidak mencegah atau melakukam hal yang tidak menyenangkan.

***

"Maaf sekali Megan. Tapi aku tidak bisa meminjamkan uang sebanyak itu. Jika hanya sebatas, memberi gaji lebih cepat itu tidak masalah atau kamu meminjam dengan nominal uang yang dikurangi, masih dapat dipertimbangkan." kata Felicia pemilik kafe ini. Dia juga merasa kasihan dengan cerita Megan, tapi apa yang bisa ia perbuat? Dia masih memiliki keluarga untuk dibutuhi. Perlu diketahui, Felicia seorang ibu tunggal.

Megan menghela nafas, merasa perlu menjernihkan pikiran.

"Tidak apa, jangan minta maaf. Kamu sudah cukup dengan hanya menerimaku sebagai pelayan di sini." kata Megan dan kemudian tersenyum. Baginya, kafe ini adalah rumah kedua setelah rumah Nenek. Karena di sini, orang-orang menerimanya dengan lapang dada.

"Jadi, apa yang akan kamu lakukan? Jika mendengar ceritamu, sedikit tidak mungkin mengumpulkan puluhan juta dalam jangka waktu pendek." jeda sejenak. "aku punya teman rentenir. Bagaimana jika kamu meminjam ke dia saja?"

Dengan cepat Megan menggeleng. Dia tidak percaya dengan rentenir, karena Megan juga pernah meminjam uang dari rentenir dan bunganya berkali-kali lipat dan cara penagihan mereka cukup kejam. Hampir saja hari itu, Neneknya dipukul jika Megan tidak menahan rentenir.

"Pengalamanku untuk itu sudah cukup. Tapi, kalau memang tidak ada tempat untuk meminjam lagi, apa aku punya pilihan lain?" Untuk sebentar Megan menutup mata. Dia lelah.

"Baiklah terserah kamu. Tapi, jika sudah mendapatkam keputusan, kamu harus percaya diri. Aku tahu semua akan berlalu dengan keteguhanmu." kata Felicia menyemangati. Dia tidak berbohong, walau sorot mata itu sendu-semangat Megan untuk tetap bertahan hidup bagai api yang menyala-nyala. Dia kagum dengan sosok Megan.

"Aku juga berpikir begitu, terlalu bersemangat hingga aku ragu apa masih bisa bertahan untuk kedepannya?"

Diantara perkataan itu, Megan teringat perlakuan kasar para pembuly kepadanya dan Megan hanya bisa merintih kesakitan.

"Benar-benar dunia yang kejam ya, padahal kamu begitu baik dan tangguh, namun itu saja belum cukup." kata Felicia terkekeh dan kemudian hening. "Tapi pada dasarnya, tidak ada yang bisa membantumu dalam keadaan sulit selain ketangguhanmu. Contohnya saat-saat ini."

Megan berdiri bersiap untuk pergi, dia tersenyum kearah Felicia. "Hari sudah larut malam, aku akan pulang dan semuanya akan berlalu. Semoga saja saat aku bangun, dipenuhi dengan karunia dan mendapat uang banyak."

"Ya, semoga."

Pintu ditutup bersamaan dengan keadaan kafe yang sudah sepi. Hanya tertinggal beberapa pekerja kafe yang juga akan pulang. Megan mengambil ponselnya, melihat sebuah foto.

[Foto] Dokter Belinda

[Keadaan Nenekmu sudah lumayan stabil. Tapi jika tidak dilakukan operasi segera, bengkak di kepala bisa semakin parah. Megan jangan menyerah, kamu pasti bisa. Aku akan melakukan yang terbaik dari sini.]

Sebuah Tawaran

Megan keluar dari angkutan umum saat sudah berada di depan gerbang sekolah. Angkutan yang ia naiki pergi lebih lama dari biasanya, alhasil sekolah sudah ramai dengan suara siswa-siswi yang melakukan kegiatan di pagi hari.

Berjalan melewati koridor lantai satu menuju lantai dua tempat kelasnya berada. Namun, saat dia akan melangkah menaiki tangga, dari arah barat sosok Mauren berbicara.

"Hei kamu yang di sana! Oh rupanya, Megan?" katanya sesaat membuat Megan terhenti, namun dihiraukan dan akan menaiki tangga.

"Pelayan. Kenapa kamu menghiraukan perkataan majikanmu?" Itu perkataan dengan mengandung ejekan. Terpaksa Megan menutup hati dan pikirannya, membiarkan Mauren yang secara terang-terangan merusak nama baiknya.

"Bahkan anjing akan berpikir dua kali untuk menggigit tuannya. Kurasa semalam,  kamu memperlakukanku dengan sangat baik persis seperti pelayan." tukas Mauren membuat Megan harus menghentikan langkah untuk dua anak tangga lagi menuju  lantai dua.

Mauren hanya tersenyum melihat Megan yang tampak frustasi. Merasa terhibur dengan ekspresi itu. Dia melangkah menaiki tangga, menghampiri Megan dengan sisa satu anak tangga. "Pengecut selamanya akan menjadi pengecut. Bukankah lebih baik, jadi babu dan hidup dengan damai? Tidak buruk, bukan?" Mauren melempar tasnya ke arah Megan dengan reflek gadis itu menangkap, lebih tepatnya menahan untuk tidak jatuh.

"Tolong, bawakan tasku menuju kelas." ujar Mauren yang kemudian menguap, pergi mendahului Megan yang terdiam. Dia menunduk kala matanya bersitatap dengan para siswa.

"Hina."

Megan kalah, untuk kesekian kalinya. Dia tidak bisa mengeluarkan satu kata karena yang dikatakan oleh Mauren ada benarnya, dia hanya seorang pengecut.

***

Megan menyenderkan tubuhnya di pembatas. Untuk kedua kalinya dia membolos saat jam pelajaran dan kini berakhir di rooftop menikmati semilir angin yang menenangkan jiwanya.

"Oh, ada orang?"

Megan terpaksa menunda kegiatannya. Dia berbalik dan mendapati seorang pria dengan tatapan datar. Megan tidak menghiraukan, menunduk dan merasakan angin yang menerpa kulit. Berada di sini tidak terlalu buruk.

"Jika tidak salah, Megan Angelica dari Xl Mipa-1."

Megan untuk kedua kalinya berbalik dan untuk sesaat udara di sekitarnya menipis, ketika pria itu mendadak berdiri di depannya dengan jarak dekat. Tidak berani untuk mengatakan apa pun.

"Huh, diam?"

Hening dan kemudian terdengar tawa dari pria itu. Tawa miris yang seolah menyayat kembali luka terdalam. "Pengecut, lucu sekali." tukasnya padahal tahu dalam keadaan ini tidak ada yang lucu.

"Kamu...," Mata Megan sudah berkunang-kunang. Keadaan saat ini membuatnya membenci air mata itu.

"Apa? Adakah yang salah dengan ucapanku, kurasa tidak."

Megan berdecak dan akan pergi dari sana saat pria itu mencekal pergelangan tangannya. "Jangan pergi dulu, apa yang ingin aku tawarkan kepadamu, mungkin menarik."

"A-Aku tidak membutuhkannya."

"Yakin?"

Semakin Megan gemetar dan tampak ketakutan, pria itu ingin lebih lama membuatnya menghadapi situasi sulit ini.

"Jangan, jangan. Kumohon jangan rundung aku lagi. Aku sungguh sudah lelah. Biarkan aku pergi dari sini." kata Megan dalam hati memberontak.

"Tolong, lepaskan tanganku, aku akan kembali ke kelas untuk mengikuti pembelajaran." kata Megan yang menimbulkan kekehan dari pihak lain.

"Bagaimana dengan lima belas juta?" kata pria itu membuat Megan seketika terdiam. Sesaat kemudian, ia kembali berkata. "atau masihkan kurang?"

"Apa maksudmu."

"Kamu membutuhkan uang bukan? Tenang saja akan kuberikan, jika kamu menuruti satu permintaanku."

"Aku tidak-" Perkataan Megan terpotong dengan pria itu yang meletakkan jari telunjuk di bibir miliknya.  Dan otomatis cekalam pada tangannya terlepas. "Jangan berbicara dulu. Kamu jangan langsung menolak. Megan Angelica si murid beasiswa, benar tidak menginginkan uang yang akan kuberikan?" katanya.

Megan menyatukan buku-buku jarinya. Dia menggigit pelan bibirnya. Bingung dengan apa permintaan pria itu. Dan seolah tahu yang diperdebatkan Megan dalam hati pria itu menjawab, "Aku adalah Juza dari Xl Mipa-5. Jika kamu bersedia memenuhi satu permintaanku dengan pasti akan kuberikan lima belas juta itu saat ini."

Megan gelap mata saat Juza dengan menggoda mengeluarkan puluhan lembar rupiah berwarna merah. Saat itu juga, pikirannya berkelana untuk perkataan Dokter Belinda tenpo waktu. Bagaimana sekarang keadaan Nenek.

"Apa? Kamu ragu? Sebenarnya aku tidak memaksa."

"Apa yang harus kulakukan untuk menebus uang itu."

"Oh?" Juza tersenyum, tentu saja dia kini beralih ke arah kursi dan memerintah Megan untuk mendekat, berdiri di depannya. "Jadilah kekasih pura-puraku selama satu semester. Hanya itu saja, mudah bukan?"

Megan tersentak dan mendongak, matanya yang tertutupi poni sedikit mengisyaratkan rasa cemas. "Kenapa?" dia bertanya.

"Kamu ingin tahu?" Kini Juza sudah berdiri lagi dan tersenyum tepat di depan wajah Megan. "Karena aku ingin memberikan seseorang arti rasa yang sebenarnya. Gadis kejam yang sudah mencampakkanku, seharusnya mendapatkan balasan yang setimpal dan kamu adalah kunci dari ini semua."

Megan tidak bodoh untuk tidak mengerti perkataan Juza. Juza kini berjalan melewati Megan, merasa urusannya sudah selesai dan dia berdecak malas.

"Gadis pecundang seharusnya mendapatkam lebih buruk dari ini. Dia sungguh tidak punya harga diri?" katanya dalam hati. "Oh ya, sebelum memulai skenario ini kamu harus tahu, nama gadis itu adalah Mauren. Tidak mungkin kamu tidak mengenalnya." Tidak ada jawaban dari Megan membuat Juza semakin memandang remeh gadis itu.

"Lantas kenapa kamu memilih aku?" kata Megan tiba-tiba berhasil menghentikan langkah.

"Karena kamu adalah yang paling cocok." jeda sejenak. "kandidat yang tidak lebih baik dari dirinya." Dia pergi begitu saja tanpa tahu Megan sedang menahan luka.

"Aku sungguh tidak sebaik dia? Apakah aku seburuk itu."

Tatapan mata sendu dan Megan berjalan untuk kembali ke posisi semula guna menikmati semilir angin. "Dia sengaja menggunakan aku sebagai pion? Apakah mungkin untuk memprovokasi Mauren. Gadis itu pasti akan tertantang dan aku akan mendapat masalah baru."

"Tapi tidak mengapa. Aku baik-baik saja, ini untuk Nenek."

Megan mengeluarkan ponselnya, menekan nomor Dokter Belinda kemudian menghubunginya. Tak lama kemudian panggilan terhubung.

"Halo?" Dari seberang Dokter Belinda menyapa.

"Ada apa, Megan? Apakah telah terjadi sesuatu?"

"Bukan hal yang buruk." jeda sejenak."Dokter, tolong lakukan yang terbaik untuk Nenek besok. Operasinya harus berjalan lancar, aku mohon. Soal biaya, tenang saja aku sudah mendapatkannya. Nanti aku akan ke rumah sakit, untuk menjenguk Nenek."

"Syukurlah. Itu pasti karena tekadmu untuk terus berjuang. Oleh sebab itu, Pencipta memberi jalan yang lain untukmu. Jika begitu, besok aku akan melakukan yang terbaik."

"Baiklah, aku ucapkan terimakasih, untuk ini semua." tukas Megan yang diangguki oleh Dokter Belinda dari seberang.

Megan menghela nafas, "Kalau begitu sampai disini saja ya Dok, maaf aku ada kesibukan lain."

"Tidak apa." Tepat setelah itu, Megan mematikan panggilan secara sepihak.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!