BRAKK!!
Adam beringsut ke samping menghindari buku tebal yang dilempar Ivy ke arahnya. Buku itu membentur tembok di belakangnya diiringi dengan tatapan tak percaya Adam yang menatap Ivy dengan mulut ternganga.
Wajah Ivy merah dan ia terengah-engah mengatur nafasnya yang tersengal-sengal.
“Kamu itu bukan kakakku! Nggak usah seenaknya ngatur hidupku! Mau aku pacaran sama siapa, mau aku main sama siapa, mau aku nikah sama siapa, itu urusan aku dan orang tuaku!!” seru Ivy.
“Orang tua kamu-“
“Orang tuaku ya orang tuaku! Bukan punya kamu, Kak!!” dengan langkah menghentak-hentak, Ivy menangis dan berjalan menuju kamarnya di lantai atas, lalu ia membanting pintu kamarnya dengan keras.
Begitu kerasnya sampai-sampai jendela ruangan di sekeliling Adam bergetar.
Adam menggigit bibirnya sambil termangu menatap ke arah kamar Ivy di lantai atas. Kamar itu tertutup dan terdengar isak tangis Ivy dari dalam.
“Ck!” cowok itu berkacak pinggang dan menunduk. Lalu menggelengkan kepalanya dan menghela nafas.
Kejadian sejam yang lalu membayanginya.
Ivy pacaran dengan Andy.
Suatu hal yang tidak ingin terjadi dalam hidupnya.
Karena Adam sangat mengerti tabiat Andy. Adam tahu semua perbuatan tercela Andy, Adam tahu sampai ke dalam-dalamnya, karena mereka berteman. Teman yang lumayan akrab. Ke mana-mana Andy bersama dengan Adam. Walau pun mereka memilih jalan yang berbeda dalam hal pergaulan, Adam lebih kalem dan perhitungan. Ia juga termasuk cowok yang pemilih dalam mencari pacar karena rasanya tidak ada gadis yang menarik di matanya.
“Dari sekian banyak cowok kenapa harus Andy sih, Vy?” desis Adam sambil menggaruk kepalanya dan mengacak-ngacak rambutnya. “Parah sumpah,” gerutunya sambil duduk di kursi ruang tamu dan mengutak-atik ponselnya.
“Halo Mah.” Sapa Adam setelah bunyi tanda berdering diangkat.
“Hey cah bagus,” sambut mamanya di ujung sana.
“Lagi ngapain Mah?”
“Kamu telepon Mama cuma mau nanya lagi ngapain?” terdengar suara cekikikan Mamanya dari seberang sana.
Mama saat ini berada di Italy dengan pacar barunya, sementara Papa juga berada di Spanyol bersama wanita lain yang akan dinikahinya. Dengan kata lain, mereka broken home. Namun Papa dan Mama masih sering bertemu dan mengobrol mengenai anak-anak mereka, dengan kata lain mereka berpisah secara baik-baik.
Adam pun menghela nafas berat.
“Berantem lagi sama Ivy ya?” tebak Mamanya.
“Hm...” gumam Adam.
“Berantem kalian makin intens ya sejak Mama ke Italy,” suara Mama pun terdengar lemah. Terdengar ia khawatir akan keberlangsungan hidup anak-anaknya.
“Tiap hari aku dilempar barang,” gerutu Adam lagi.
“Waduh, rumah kacau balau dong?! Kamu gimana keadaannya, masih bisa berdiri kan?!”
“Ya Ampun Mah... jangan bercanda dong,”
“Ivy kalau lempar barang nggak tanggung-tanggung loh! Hehehe,”
“Dia pacaran sama Andy kali ini,” dengus Adam.
“Ohya?! Andy... yang teman kamu itu?” suara mama terrdengar suram.
“Yah,”
“Yang kata kamu minggu lalu bikin mabok cewek terus dia pake itu?”
“Pake... mama kata-katanya begitu ih,”
“Lah kan bener dong!”
“Kan mereka sama-sama mau Mah,”
“Ya tetap saja Ivy jangan dekat-dekat sama Andy dong Adaaaaam!”
“Makanya aku dilempar buku,”
“Kenapa sekarang mereka jadian?!”
“Andy baru putus sama cewek mabok yang kemarin,”
“JANGAN MAIN-MAIN KAMU ADAM!! Kok kamu bisa santai-santai begitu?! Sini Mama mau ngomong sama Ivy!”
“Kamarnya dikunci Mah, aku takut dilempar buku lagi!”
“Kamu sama buku aja kok takut sih! Mama telepon Ivy sekarang!”
Dan Mamanya menutup telepon dari Adam.
Adam duduk bersandar dengan santai di sofa, lalu mengamati sekelilingnya. Ia menunggu sebuah pertanda dari lantai atas.
Kenapa ya ia selalu dipercaya untuk menjaga Ivy? Dan kenapa semarah-marahnya Ivy padanya, gadis itu selalu saja berada di dekatnya? Adam juga tidak ada keinginan untuk berkuliah di luar negeri atau pun mencari pekerjaan di luar kota.
Padahal kalau ia mau, bisa saja ia lakukan semua itu.
Toh, Ivy bukan tanggung jawabnya.
Tahun ini Gadis itu sudah berusia 18 tahun, sudah dianggap mampu untuk mandiri.
Apalagi kedua orang tua mereka kayaraya. Ivy dapat bersekolah dengan leluasa di manapun ia mau, di negara maua pun yang ia tunjuk, dengan rumah tinggal yang layak dan tidak pernah merasa kelaparan.
Tapi bahkan, saat Papa dan Mama memutuskan untuk berpisah, dan mereka mulai menjalin cinta yang baru dengan pasangan mereka masing-masing. Mereka pun tinggal di negara yang berbeda, Ivy dan Adam tetap di Jakarta, menempati rumah lama mereka.
Hanya berdua.
Tanpa ART tanpa Satpam, tanpa pengurus lain.
Bahu membahu mereka merawat rumah ini, rumah peninggalan Mama dan papa, rumah kelahiran Ivy.
Juga rumah pertama Adam di mana keluarga hangat menyambutnya, saat ia berusia 14 tahun.
Karena,
Selama 4 tahun lamanya ia tinggal di Panti Asuhan. Sejak usianya 10 tahun.
Adam masih teringat kecelakaan yang menimpa orang tua kandungnya saat ia berusia 10 tahun. Orang tua Adam ekspatriat yang menetap di Bali. Mereka tinggal di Indonesia sudah lama, dan Sang Ibu melahirkan Adam di Indonesia. Jadi setelah kedua orang tuanya meninggal, Adam diurus dinas sosial.
Kebanyakan orang yang mau mengadopsi anak, mencari yang usianya masih kecil atau bayi. Saat itu Adam kecil, lebih banyak menghabiskan waktu dengan membaca buku atau bermain komputer di perpustakaan Panti, saat hari kunjungan ia malah bersembunyi dengan biolanya di gudang belakang. Bermain musik sambil melamun, membayangkan Papa dan Mama kandungnya masih hidup.
Adam tidak menginginkan orang lain menjadi orang tuanya.
Tapi semua berubah saat di usianya yang ke 14 tahun, ia melihat gadis kecil mengunjungi Panti Asuhan.
Ivy.
Ivy yang berusia 7 tahun sedang mengunjungi pantinya bersama kedua orang tuanya. Saat itu Papa dan Mama Ivy masih bersama. Belum ada banyak keributan yang terjadi. Namun inti permasalahannya sudah ada.
Rahim mama Ivy terpaksa harus diangkat karena terakhir keguguran mengakibatkan komplikasi serius. Sementara Papa Ivy sebenarnya masih mendambakan memiliki anak kedua, tapi ia pasrah saja menerima kondisi istrinya. Dan karena Ivy sering tampak kesepian, anak itu tidak punya banyak teman dan lebih sering menyendiri, Papa dan Mama Ivy berinisiatif membawa Ivy liburan ke Bali.
Kata mereka, secara mengejutkan dalam perjalanan ke Nusa Dua, Ivy tampak antusias menatap ke gedung Panti Asuhan tempat Adam berada.
Apalagi saat berada di dalamnya, Ivy bilang, “Teman-teman di sini ramah-ramah Mah, beda sama teman Ivy di sekolah sombong-sombong,”
Saat itu, Papa dan Mama ivy baru mengerti kenapa Ivy selalu sendirian dan tidak punya banyak teman.
Ivy korban Bully.
Tapi setelah ditanya, apa saja yang mereka lakukan dan siapa saja pelakunya? Ivy hanya bilang “Udah deh Mah, Ivy malas ngomongin itu,” katanya.
Ivy yang berusia 7 tahun berjalan-jalan ke perpustakaan di gedung panti yang letaknya agak ke dalam.
Ia mendengar suara biola dilantunkan.
Ivy merasa tertarik dengan lantunan nada yang suaranya terdengar tak biasa namun sinerginya terasa pas. Musik yang dimainkan saat itu bagaikan berada di dunia khayalan, dunia peri, dengan nada yang cepat dan ceria.
Dan Ivy pun mengintip sedikit ke dalam perpustakaan,
Lalu melihat Adam sedang bermain di tepi jendela.
“Halo,” sapa Ivy.
Permainan biola Adam berhenti.
“Kamu siapa?” tanya Adam.
Mata Ivy tampak berbinar. Wajah Adam yang menurut Ivy tidak biasa, hidung mancung dan kulit pucat, membuat Ivy teringat anak-anak yang tinggal di negeri dongeng di Eropa.
“Ada Peter pan,” desis Ivy sambil menatap Adam dengan ceria.
“Mana?”
“Itu,” Ivy menunjuk Adam.
“Aku maksudnya?” Adam menunjuk dirinya sendiri.
“Iya,” jawab Ivy tegas.
Adam menyeringai, lalu mengambil sebuah buku di dekatnya. Ia tampak membolak-balik halamannya, “Ini baru Peter Pan,” Adam menunjuk ke arah lembaran berwarna buku itu. Seorang anak berambut pirang dan berbaju hijau, merentangkan tangannya sambil terbang di langit. “Rambutnya Peter Pan kuning, rambutku coklat,”
“Mata kamu hijau, mirip Peterpan,”
Adam menyeringai, dalam hatinya ia berpikir, mungkin anak ini memanggilnya Peter Pan karena wajah mereka sama-sama bule. Darah Eropa mengalir di nadi mereka.
“Nama kamu siapa?” tanya Adam.
“Ivy,”
“Ivy lagi ngapain di sini?”
“Aku lagi liburan bareng Papa Mama, terus pas Papa ngantri di pom bensin depan, aku ngeliat anak-anak main di halaman depan sana. Kupikir ini taman bermain, hehe,”
“Ini Panti Asuhan namanya, anak-anak yang sudah tidak memiliki Papa dan Mama lagi, tinggal di sini. Sampai Papa dan Mama baru menjemput mereka,”
“Kakak ini namanya siapa?” tanya Ivy.
“Adam,”
“Kak Adam Papa dan Mamanya ke mana?”
“Meninggal kecelakaan,” jawab Adam.
“Mau tinggal sama Papa dan Mamaku nggak? Nanti kita bisa main bareng-bareng,”
Dan begitulah awal pertemuan mereka berdua.
Lumayan akrab, sebenanrya.
Sampai Ivy beranjak dewasa , dan mulai menilai kalau... Adam terlalu baik untuknya.
**
Adam mendongak saat mendengar Ivy membuka pintu kamarnya.
“Kak Adam!!” serunya kesal, “Kakak ngadu ke Mama kalau aku jadian sama Andy?!”
“Diomelin yaaaaa, sukur!” sahut Adam sambil beranjak dan bersiap lari.
Ivy melempar Adam dengan ponselnya dari lantai dua. Adam dengan sigap menangkap ponsel itu.
“Hoy!! Balikiiiin!!”
“Loh yang lempar tadi siapa?! Lumayan digadai-in bisa buat service motor!”
“Kak Adaaaam!!”
“Putusin Andy baru kubalikin!” Adam berteriak dari kejauhan, di halaman depan rumah sambil naik ke motornya untuk siap-siap kabur.
“Childish banget sih tingkah looo!!” jerit Ivy kesal.
**
“Lagi ngapain lo, serius amat?” Alka menepuk bahu Adam saat cowok itu mengerutkan keningnya sambil menatap ponsel Ivy yang ada di tangannya.
Sambil mengerucutkan mulutnya Adam tampak menekan-nekan tombol di layar ponsel Ivy.
“Kita putus aja ya Ndy, Mamaku nggak setuju kita pacaran,” gumam Adam sambil ngetik. “Ni bang-sat cuma pingin merawanin adek gue, mampus lo gue putusin... pake nama ivy,” dia tampak bisik-bisik.
“Lo ngomong apa sih Dam?”
“Lagi mengusahakan sebuah masa depan tanpa masalah,”
“Itu slogan produk kita yang mana?”
“Gimana Ka?” Adam mengangkat wajahnya dan menatap Alka. ”Ada masalah apa nih?”
Alka tampak mencibir sambil gebrak meja “Ceile, Dam! Gue dari tadi ngobrol sama lo, rupanya kau fokus ke yang lain? Gue di-duain getoooh?!”
“Sejak kapan kita selingkuh?”
“Belum juga jadian udah selingkuh aje,”
“Naj1s lo...” Adam begidik.
“Kan lo yang mulai, Nying...” gerutu Alka. “Klien yang baru dari Spanyol, dari Madrid, cantik gila! Tapi Sugar Baby!”
“Tiba-tiba ngomongin cewek aje,” Adam membetulkan posisi duduknya dan mulai fokus ke komputernya. Pekerjaan mereka menangani iklan dan komersial sebuah produk. Klien biasanya datang dengan suatu produk dan membayar mereka untuk sebuah logo atau iklan untuk dipasang di media sosial.
Alkatiri, teman Adam, bekerja sebagai Creative Director, sementara Adam posisinya sebagai Art Director. Kadang posisi mereka malah terbalik. Karena wajah Adam cukup menjual, sekali Adam membuat konten di media sosial, banyak klien yang DM dia untuk minta dibuatkan iklan atau desain produk. Sementara karena ingin terlihat berguna, Alka malah menawarkan diri untuk mengerjakan desainnya dari pada Adam harus mengerjakan semuanya.
Mereka memiliki sekitar 20 staff saat ini, dan sebenarnya, tadinya Adam join dengan Alka untuk mengisi waktu luangnya sembari ambil S2 untuk degreenya. Eh, malah keterusan kerja sampai perusahaan mereka BEP dan mencapai profit.
“Penawarannya gimana?” tanya Adam mulai membahas klien dari madrid ini.
“Dia jualan tas second, tapi Ori. Jumlahnya ratusan di lemarinya katanya. Karena dia mau taroh koleksi baru, jadi yang model lama mau dia jual-jualin,”
Adam mengernyit.
“Begituan kenapa pake minta bantuan kita sih? Kan dia bisa foto sendiri terus ditaro di media sosialnya? Pake bantuan online shop juga bisa,”
“Lah terus kita tolak gitu? Pemasukan nih! Udah triwulanan mayan buat bagus-bagusin record di Bank,”
“Segitu putus asanya kita sama klien? Yang kemarin usaha perhiasan aja belom sempet gue kerjain,”
“Yang ini nggak bakalan nawar katanya, dia bayar berapa aja harga yang kita patok,”
“Ini dia tinggal di Madrid?”
“Sampai tahun lalu dia tinggal di Madrid, lalu dia memutuskan untuk tinggal di Indonesia karena calon suaminya orang Indonesia,”
“Dia prang Indonesia juga,”
“Elah, jauh-jauh jadi WNI ke Madrid, ketemunya sama orang Indonesia juga...”desis Adam.
“Ketemu pas maksi yak! Kita meeting sama dia,” Alka mengangkat tangannya untuk menatap ke arah jam tangannya, “5 menit lagi jam makan siang,”
“Baru aja pantat gue duduk!” dengus Adam.
“Lagian lo pulang kelamaan, ngurusin apa sih lo di rumah? Palingan ngurusin Ivy kan?!” tebak Alka.
Adam mengibaskan tangannya, tanda ia ingin Alka tidak protes.
“Ntar yang mastiin itu barang-barang asli atau palsu lo aje ye, gue nggak ahli soal fashion,” desis Adam.
“Gitu aja jiper,” gerutu Alka, “Lah apalagi gue, tas gue aja pake kresek!” dan Alka cengengesan.
“Gimana sih Njaaaay!” gerutu Adam sambil bersiap-siap pergi.
**
Memang dunia ini sempit.
Betapa kagetnya saat Adam melihat, sosok yang di depannya, si Klien, tampak didampingi oleh seorang laki-laki yang sangat ia kenal.
Sosok itu berdiri saat melihat Adam datang.
Ia tampak terkejut.
Adam pun ternganga saat melihat pria itu. “Sejak kapan?” tanyanya.
“Astaga, Adam. Ini perusahaan kamu?”
“Iya lah Pa, masa Papa nggak tau? Sejak kapan Papa balik?”
“Tadi malam,”
“Kok nggak bilang?”
“Bilang-bilang buat apa?”
“Ya kan setidaknya bisa nengokin Ivy sebentar Pah,”
“Ivy kan nggak mau ketemu Papa,”
Adam menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil menghela nafas. Sementara Alka yang memang sempat mengenal Papa Adam juga menyeringai tak enak akan pertemuan tak biasa yang terjadi.
“Bebé, dia siapa?” suara seorang wanita membuat mereka menoleh berbarengan ke sosok di sebelah Papa Adam.
Seorang wanita, cantik, berkulit kecoklatan eksotis, dan berambut panjang ikal.
Alka tidak ragu untuk menunjukan ketertarikannya, tapi Adam hanya menatap wanita itu sekilas dari atas ke bawah, lalu melengos untuk kembali berbicara dengan Papanya.
"Walau pun Ivy tidak ingin bertemu Papa, setidaknya Papa menunjukan eksistensi," Adam pun duduk di salah satu kursi sambil memanggil waaiter untuk memesan minum.
"Papa percayakan saja padamu," kata Papanya.
"Anak perempuan adalah tanggung jawab ayahnya," desis Adam.
"Papa masih bertanggung jawab kok, setidaknya masalah keuangan,"
"Kalau keuangan dan kesejahteraan Ivy, aku juga bisa memenuhinya sendiri, Pah,"
"Setidaknya ada hubungan kerja sama di antara kita," Papa pun menyeringai.
Adam hanya menarik nafas dan menghembuskannya dengan berat.
"Ini anak kamu, Beb?" wanita di sebelah Papa memperhatikan Adam sambil menyangga dagu di pinggir meja. Tampak ia sangat tertarik dengan Adam.
"Ah, ini klien kita Dam, namanya Cassandra," kata Alka.
"Oh, hai," Adam mengulurkan tangan hendak menjabat tangan Cassandra.
Cassandra mengangkat tangannya tapi dengan memperlihatkan punggung tangannya ke depan Adam, seakan sedang memamerkan cincin berliannya.
Adam sebenarnya mengerti wanita di depannya ini minta dicium tangannya. Tapi dengan cueknya, Cowok itu melepaskan tangan Cassandra dan menunjukan raut wajah tidak tertarik.
Dingin, dan serius.
Adam pun membuka laptopnya dan mendiskusikan masalah pekerjaan.
"Aku ingin memasarkan tas koleksiku, merknya kebanyakan dari Eropa," desis Cassandra sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Adam.
Papa Adam memandang Cassandra sampai menaikkan alisnya. Alka bahkan fokus ke belahan dada Cassandra.
"Apa yang bisa kami bantu?"
"Aku ingin dibuatkan display supaya foto setiap piecenya menarik, jadi aku ingin display yang glamor, mungkin beberapa warna agar bisa kusesuaikan dengan warna tasnya. Juga tampilan di web dan online shopnya bisa eye-catching," kata Cassandra dengan gerakan tubuh yang meliuk-liuk.
Adam tahu gerakan tubuh semacam ini. Gerakan menggoda.
Terus terang saja ia tidak tertarik.
Apalagi Cassandra adalah Pacar Papanya sendiri.
Se-seksi-seksinya Cassandra, sekuat tenaganya berusaha memperlihatkan lekukan tubuhnya ke Adam, cowok itu menatap Cassandra tanpa ekspresi.
"Kamu anaknya Bebe, berapa umur kamu?" tanya Cassandra.
"25," jawab Adam pendek.
"Wah kita nggak beda jauh yaaa! Aku baru 20 tahun loh! Lucu juga nanti kalau punya anak tiri yang usianya lebih tua, haha,"
"Hm," gumam Adam cuek, "rangkaian display untuk warna merah konsepnya seperti ini saja bagaimana?"
"Terserah kamu laaaah, ngomong-ngomong kamu di perusahaan ini jabatannya apa?"
"Art Director, merk apa saja yang Mbak Cassandra punya?"
"Banyak, koleksi lama dari pacar-pacarku sebelum Bebe. Aku sayaaaaang banget sama Papa kamu, jadi koleksi kenangan mantan mau kujual saja,"
Kata-katanya bernada seakan ia ingin membuat Adam cemburu.
"Gimana kalau kamu datang aja ke tempatku dulu, lihat kondisi barangnya?"
"Ohiya, memang itu bagian dari tugas kami, nanti Alka datang untuk melakukan pengecekan," kata Adam.
"Bukankah itu tugas kamu?"
"Kalau saya, nanti konflik kepentingan. Kan Mbaknya pacar Papa saya. Jadi saya bantu Display saja, lain-lain silakan langsung ke Alka,"
Cassandra mengernyit menatap Alka yang duduk sambil menggoyang-goyangkan kakinya tanda kegugupannya. Alka menyeringai ke Cassandra dengan canggung.
Cassandra menatap Alka dengan ragu sampai-sampai memicingkan matanya.
"Jangan kuatir Mbak, dia lebih berpengalaman daripada saya," Adam menutup laptopnya dan tersenyum.
"Papa mau makan malam bareng kami nanti malam?" tawar Adam.
"Papa mau-"
"Oke, dimana lokasinya? Kasih tau aja, nanti kita dateng deh," Seru Cassandra bersemangat.
"Aku ada meeting dengan klien nanti malam, kan itu tujuan kita balik ke Jakarta," Bisik Papa ke Cassandra. Tapi Adam masih bisa mendengarnya.
"Kalau nggak bisa, aku ngerti kok Pa, cuma jangan lupa tengok Ivy saja. Dia masih butuh figur ayah," kata Adam.
"Gimana kalau aku sendiri saja yang menemani kamu makan malam?" tawar Cassandra.
Sampai-sampai semua hening karena mendengar tawaran aneh itu.
Papa Adam mengernyit tidak senang, dan Adam pun mencibir ke arah Cassandra.
"Saya menawarkan makan malam HANYA ke Papa saya. justru kalau Mbaknya tidak ikut malah lebih baik," sahut Adam sambil beranjak.
"Deal masalah harga ke Alka ya Mbak, saya jalan duluan masih banyak pekerjaan,"
"Laaaah," gumam Alka kebingungan.
**
Di dalam mobilnya, Adam menyandarkan kepalanya ke kursinya dan memejamkan matanya.
Hatinya pedih.
Melihat Papanya dengan wanita lain selain Mama membuatnya sakit, juga diliputi rasa muak dan marah.
Kenapa Papa dan Mamanya harus berpisah? Meninggalkan dia, meninggalkan Ivy?
Walau pun perpisahan itu secara baik-baik tetap saja sangat sulit menerima kenyataan kalau kedua orang tua mereka harus tinggal bersama orang lain.
Karena,
Adam trauma dengan perpisahan.
Dan sampai setahun yang lalu, Ia masih punya keluarga yang utuh.
Kini, bisa dibilang keluarganya hanya Ivy.
Jadi Adam mengendarai mobilnya untuk pulang, berharap Ivy masih ada di rumah.
**
“Ngapain lo di sini?” dengan kesal, Adam menatap Andy yang duduk di teras rumahnya dengan santai.
“Nemuin Ivy,” jawab Andy pendek.
“Hm...” Adam berjalan menelusuri taman dan mendekati Andy.
“Ivy mutusin gue, lo tau?” tanya Andy.
Adam tidak langusng menjawab, ia berpikir sejenak. Apakah ini kalimat jebakan? Mengingat ponsel Ivy ada padanya dan yang mengirimkan kata ‘putus’ adalah Adam, bukan Ivy. Apakah Andy sudah tahu hal itu aaukah ia benar-benar bertanya?
“Emang kapan lo jadian?” tanya Adam selanjutnya.
“Kemarin sih,”
“Kok gue nggak tau,”
“Lo terlalu sibuk,”
“Gue yang sibuk atau lu yang nggak punya kegiatan,” sindir Adam.
Andy mencibir sambil duduk bersandar di kursi taman. “Ivy nggak mau ketemu gue, lo bisa nggak bantu biar dia keluar? Gue perlu ngomong nih sama dia,”
Adam menarik nafas panjang. Ia lega.
Ternyata Ivy mematuhi larangan Mama. Dan Andy belum tahu kalau ponsel Ivy ada di Adam.
“Bentar bro...” desis Adam sambil membuka kenop rumah.
Dikunci.
Lalu ia menekan kode password di smartlock, dan masuk ke dalam rumah.
Adam mengarahkan pandangan langusng ke lantai dua rumahnya, Ivy sedang ada di dalam kamar.
Tok
Tok
“Woy, princess,” sapa Adam, “Itu kenapa Pangeran kamu dibiarin diluar dinyamukin?”
Ivy meliriknya sekilas, lalu membuang muka.
“Ngambek terus, cepet keriput loh,” gumam Adam sambil berlalu dari kamar.
Adam mengambil ponselnya dari kantong dan ia putuskan untuk tidak memedulikan Ivy yang sedang ngambek. Ia mengirimkan pesan singkat ke Andy “Bro, Ivy nggak mau ketemu lo, diultimatum Nyokap. Lo balik aja,” begitu ketik Adam ke Andy.
Sekitar 5 menit kemudian, Adam melihat dari jendela kamarnya, kalau mobil Andy yang terparkir di depan rumah menjauh.
Dengan senyum sinis, Adam pun mendengus puas.
“Awas aja kalo lo sampe berani deket-deket ivy lagi,” desis Adam.
“Kaaaaak,” terdengar suara Ivy dari luar, “Balikin hapeku dooong,” gerutu adiknya itu.
“Besok aja, mau aku liat-liat dulu isinya,” sahut Adam.
“Apa sih kaaaaak!!” sungut Ivy dari luar.
Adam terkekeh dan kembali menatap ke arah luar, menatap mobil Andy yang perlahan hilang dari pandangannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!