“Hasil analisis sp*rma Pak Wirra tidak ada masalah. Semuanya bagus, mulai dari bentuk, jumlah dan konsistensinya, semua baik. Namun, untuk hasil pemeriksaan Ibu, sepertinya sedikit kurang baik.”
Anna dan Wirra saling tatap. Mendengar ucapan dokter, telapak tangan Anna seketika menjadi dingin. Wanita itu sebelumnya sudah sangat yakin jika dialah penyebab dari semua ini. Dia lah penyebab kalau mereka belum diberikan keturunan hingga saat ini.
Setelah hampir lima tahun menjalani biduk rumah tangga bersama Wirra, Anna akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mengajak sang suami melakukan tes pemeriksaan kesuburan. Dan hasilnya memang seperti apa yang ditakutkan olehnya.
“Dari hasil pemeriksaan, Bu Anna mengidap penyakit endometriosis. Dan endometriosis itu terdapat pada daerah tuba falopi,” ucap dokter sembari menunjukkan gambar hasil USG pervaginam yang dilakukan oleh Anna.
“Kondisi ini menyebabkan sp*rma akan kesulitan untuk mencapai dan membuahi sel ovum sehingga proses pembuahan menjadi sulit terjadi karena endometriosis dapat menimbulkan perlengketan dan mengubah letak organ-organ kandungan serta melepaskan zat yang bersifat racun untuk sel telur dan embrio.”
Tubuh Anna mulai gemetar mendengar penjelasan dokter. Walau sejak awal sudah bisa menebaknya, tapi Anna tetap merasa terpukul atas diagnosa yang diberikan oleh dokter.
“Apa bisa disembuhkan, Dok?” tanya Wirra.
“Pengobatan hanya dengan pemberian obat untuk meredakan nyeri yang sering dialami Bu Anna. Terlebih saat masa menstruasi datang. Setelah itu kita akan melakukan terapi hormon untuk menghambat pertumbuhan jaringan. Namun, jika belum juga membaik, kita akan melakukan operasi untuk mengatasi endometriosisnya.”
“Sebisa mungkin, Bu Anna berolahraga secara rutin, menjaga berat badan tetap ideal, dan mengurangi konsumsi minuman berkafein atau beralkohol.”
Sejak hari itu, Anna sering menyendiri. Wanita itu sering terlihat menangis seorang diri. Wirra yang tidak mau istrinya terus mengalami kesedihan, menawarkan untuk mencari dokter lain, dan kembali memeriksakan kesehatan sang istri.
“Aku tidak siap untuk mendengar vonis dokter untuk yang kedua kali, Mas. Dokter yang kita temui adalah salah satu dokter terbaik. Aku percaya dengan diagnosa yang dia berikan. Aku tidak akan mencari second opinion dan membiarkan hatiku merasa sakit sekali lagi,” lirih wanita itu.
Wirra menghela napas panjang. Pria itu terlihat menganggukkan kepalanya. Alih-alih memikirkan jika mereka tak akan bisa memiliki keturunan, Wirra malah terpikirkan akan kesehatan mental sang istri. Wanita itu terlihat tak lagi bergairah. Bahkan tubuhnya semakin terlihat kurus hanya dalam beberapa hari.
Melihat sang istri yang semakin murung dari hari ke hari, Wirra pun mengajak Anna berlibur ke Bali selama tiga hari. Anna begitu bahagia dengan perhatian yang diberikan oleh Wirra.
Wirra tak pernah menyalahkan dirinya. Sejak vonis diberikan oleh dokter, Wirra tak pernah menghakimi dirinya. Dan sebuah ide gila pun muncul di benak Anna.
Wanita itu tak langsung memberitahukan ide gila itu pada sang suami. Anna ingin liburannya selama tiga hari tak terganggu oleh sebuah pembicaraan yang pelik.
Satu Minggu setelah liburan mereka usai, Anna pun menyampaikan ide yang terlintas dalam pikirannya selama berada di Bali.
“Mas ... Bagaimana kalau Mas menikah lagi,” ucap wanita itu. Wirra benar-benar terkejut dengan permintaan sang istri. Wirra terpaku menatap Anna.
Bagaimana mungkin ada seorang istri yang meminta sang suami untuk menikah lagi? Bukankah kebanyakan wanita tak ingin dimadu? Bukankah kebanyakan wanita biasanya menginginkan sang suami untuk setia hanya dengan dirinya?
“Mas ... Mas dengarkan apa yang aku katakan?” tanya Anna dengan lembut.
Wanita itu benar-benar mengatakannya dengan lembut. Seolah dipoligami benar-benar tak masalah baginya.
Apakah sang istri belum mencintai dirinya?
Pernikahan mereka memang terjadi karena perjodohan. Wirra yang tak kunjung memiliki seorang kekasih hingga berusia 30 tahun, membuat guru spiritualnya mengenalkan seorang gadis cantik nan anggun.
Tutur bahasa Anna selalu sopan dan lembut di setiap pertemuan mereka. Itu yang membuat Wirra akhirnya menerima perjodohan itu.
Sementara Anna, saat melihat Wirra yang tampan dan memiliki karir yang sukses, dia langsung menyetujui perjodohan itu.
Anna seorang wanita yang penurut dan lembut. Karena kelembutan itu, tak susah bagi Wirra untuk merasa sayang pada wanita itu. Wirra menyayangi dan menghormati Anna. Tentu saja penawaran yang diberikan oleh Anna tak disetujui olehnya.
“Apa kamu mengatakan hal ini karena penyakit yang kamu derita?” tanya Wirra. Anna hanya menjawabnya dengan tersenyum tipis.
“An ... Kita bisa cari second opinion. Bisa saja diagnosa dokter itu salah.”
“Mas ... Aku kan sudah katakan, aku tidak mau sakit untuk kedua kalinya. Dokter yang memeriksa kita adalah dokter terbaik di Ibukota,” lirih Anna.
“Dokter juga manusia biasa, An. Mereka bisa saja salah. Tidak ada yang mutlak benar. Atau, jikapun diagnosa dokter itu benar, kita bisa mencari pengobatan lain. Mungkin ke Singapore? Uangku cukup untuk itu,” jelas Wirra. Anna kembali tersenyum tipis.
“Mas ... Sejak vonis itu, aku sudah membaca beberapa literatur. Kemungkinan aku bisa hamil hanya lima persen, Mas. Aku ingin Mas Wirra memiliki keturunan. Ibu juga pasti menginginkan cucu dari Mas Wirra. Mas Wirra putra lelaki satu-satunya.”
“Kita bisa adopsi anak, An. Jika kamu memang menginginkan seorang anak,” ucap Wirra.
Bibir Anna semakin sumringah. Penolakan sang suami akan saran darinya, membuat Anna merasa bahagia dan merasa dicintai.
“Ibu pasti menginginkan keturunan Mas Wirra. Bukan anak orang lain. Mereka pasti menginginkan darah daging Mas Wirra. Memangnya Mas Wirra tidak begitu?”
“Aku tidak mempermasalahkan hal itu. Dan aku rasa, Ibu juga tidak mempermasalahkannya,” tegas Wirra.
“Tapi aku menginginkannya, Mas. Aku ingin Mas Wirra memiliki seorang penerus. Penerus dari darah daging Mas sendiri.”
Wirra tetap teguh pada pendiriannya. Pria itu tak gampang untuk membuka hati. Dan mungkin tidak akan ada wanita yang selembut sang istri hingga bisa membuatnya merasa sayang. Dan dia tidak mungkin melakukan hubungan layaknya suami-istri jika dia tak memiliki rasa sayang.
Sejak hari itu, beberapa kali sang istri mengajaknya bertemu dengan gadis-gadis muda. Gadis-gadis yang rela menjadi madu bagi Anna. Kebanyakan gadis-gadis itu adalah saudara dekat ataupun adik dari sahabat Anna.
Anna sendiri menjamin kebaikan hati para gadis itu. Tapi entah mengapa, Wirra tak tertarik sedikit pun.
Wirra yang tak tertarik pada gadis-gadis muda itu, membuat perasaan Anna senang. Walau dia menginginkan sang suami menikah lagi dan memiliki keturunan. Tapi tak bisa dipungkiri jika hatinya merasa berbunga kala sang suami menolak para gadis cantik itu. Seolah hati sang suami hanya untuk dirinya.
“Apa kita minta bantuan Ibu untuk mencarikan istri buat Mas? Atau minta bantuan Paman Musa, seperti kita dulu?”
Pertanyaan dari Anna membuat Wirra mengembuskan napas panjang.
“Sudahlah, An. Aku sama sekali tak tertarik untuk menikah lagi,” ucap Wirra.
mendengar ucapan Wirra, Anna pun menyerah. Ada rasa senang yang teramat begitu mendengar sang suami tak ingin menduakannya. Mungkin sang suami sangat mencintai dirinya. Begitulah pikir Anna.
“Tapi, satu hal yang harus Mas ingat. Aku mengizinkan Mas untuk menikah lagi. Kapan pun Mas Wirra menginginkan untuk menikah lagi, kapan pun Ibu meminta Mas Raka untuk menikah lagi, aku bersedia Mas. Aku bersedia untuk dipoligami.”
Bulan demi bulan pun berlalu. Anna tak lagi mengenalkan sang suami dengan gadis-gadis muda pilihannya.
Dan saat itu ponsel Wirra berbunyi. Seorang temannya semasa kuliah, memasukkan nomor ponselnya ke sebuah grup chat.
'Reuni SMA Bunga Bangsa'06'
Dan cuitan seorang wanita membuat dirinya terusik.
“Meyta ...,” lirihnya.
Meyta sama sekali tak meneteskan air mata di pemakaman sang suami. Wanita beranak satu itu hanya merasa patah hati saat melihat sang anak meraung di atas pusara ayahnya. Walau dia merasa tak nyaman dengan hal itu, tapi Meyta membiarkan anaknya yang berusia delapan tahun itu, melampiaskan rasa sedihnya karena kehilangan sosok ayah.
Bukan tanpa alasan Meyta tak merasakan kesedihan saat ditinggal pergi sang suami.
Sang suami yang berulangkali kepergok tengah memadu kasih dengan wanita lain, membuat tak ada lagi rasa cinta yang tersisa di hati Meyta untuk suaminya itu.
Sudah sejak lama perasaannya mati untuk pria yang sudah terbujur kaku itu. Selama ini, dia mempertahankan rumah tangganya hanya demi Mutiara— anaknya.
Anaknya yang sangat menyayangi sang ayah, membuat Meyta harus menyimpan keinginannya untuk berpisah.
Padahal, sejak Mutiara masih dalam kandungan, suaminya itu tak lagi pernah memberinya nafkah batin. Karena usut punya usut, sejak Meyta mengandung, sang suami sudah mulai berselingkuh.
Saat tengah hamil besar, Meyta menyaksikan sendiri bagaimana sang suami bercumbu mesra dengan wanita lain.
Mereka bertengkar hebat kala itu. Bahkan sang suami hampir saja melakukan kekerasan fisik hingga membuat Meyta terperanjat, lalu terjatuh hingga akhirnya wanita itu mengalami pendarahan dan berujung di meja operasi.
Beruntung saat pertengkaran itu terjadi usia kandungan Meyta sudah mendekati hari perkiraan lahir (HPL) hingga Mutiara terlahir dengan usia kandungan yang cukup.
“Aku akan mengajukan gugatan perceraian,” ucap Meyta kala dirinya sudah berada di ruang rawat inap, pasca operasi Caesar.
Saat itu, di dekat box bayi, sang suami bersimpuh, memohon pengampunan dari Meyta. Pria itu berjanji akan berubah dan tak lagi bermain wanita.
Awalnya Meyta tak mau memercayai pria itu. Namun, karena suaminya itu terus berlutut sembari menangis dan memohon, Meyta pun memutuskan untuk memberi maaf pada pria itu.
Meyta memilih untuk memercayai ucapan sang suami. Dia membatalkan niatnya untuk mengajukan gugatan perceraian. Meyta bahkan rela mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja agar bisa mengurusi anaknya sendiri dan mengabdi pada sang suami, agar pria itu tak lagi punya alasan untuk berselingkuh.
Namun, pengorbanan Meyta itu sepertinya tak dihargai oleh sang suami. Walau pria itu ikut membantunya mengurus rumah dan anak, sang suami masih saja tak memberinya nafkah batin. Lelah adalah alasan yang selalu diberikan oleh pria itu. Harus bekerja dan membantu sang istri di rumah menjadi penyebab kelelahan yang dialami pria itu.
Walau sangat merindukan belaian sang suami. Tapi Meyta berusaha untuk mengerti. Wanita itu berusaha untuk memercayai ucapan sang suami. Toh, rumah tangga mereka berjalan dengan lancar. Sang suami menunjukkan perhatian padanya, bahkan sangat dekat dengan putri mereka.
Namun, Meyta berhenti memercayai sang suami, saat anaknya berusia tiga tahun. Meyta kembali memergoki perselingkuhan sang suami.
Meyta menyaksikan sang suami tengah menikmati pelayanan dari rekan kerjanya.
Bahkan, tanpa malu suaminya itu melenguh dengan kencang. Meyta terus menyaksikan adegan itu hingga selesai. Dan sang suami seketika pucat saat menyadari kehadiran Meyta di sana.
Sang suami pikir, Meyta akan kembali mengumumkan perpisahan. Tapi, Meyta hanya diam. Wanita itu bahkan terus diam.
Anaknya sangat mencintai sang ayah dan begitu dekat dengan ayahnya. Itulah yang membuat Meyta mengalah. Dia memilih untuk bertahan dalam mahligai itu walau tanpa cinta.
Bungkamnya Meyta, membuat hubungan mereka bertambah dingin dari hari ke hari.
Meski rumah tangganya terasa hambar, Meyta tak memedulikannya. Asal dia bisa melihat tawa canda sang anak setiap hari, itu sudah cukup baginya.
Biarpun dia dan sang suami tidur di kamar yang sama, di ranjang yang sama, setiap hari. Mereka tak saling sapa. Kecuali di hadapan Mutiara.
Kini, Meyta tak perlu lagi bersandiwara.
Setelah kepergian sang suami, Meyta merasa ikatan yang membelit dadanya selama ini, terlepas begitu saja. Dia merasa sangat senang karena akhirnya bisa terbebas dari belenggu yang begitu menyiksanya selama lima tahun belakangan.
Kepergian sang suami membuat Meyta mau tak mau harus menjadi tulang punggung keluarga. Dia harus bisa memberikan kehidupan yang layak pada anak semata wayangnya itu.
Kini, fokus wanita itu hanya untuk Mutiara.
Beruntung Meyta sudah kembali bekerja sejak tiga tahun lalu. Hingga tak ada masalah baginya untuk memenuhi kebutuhan dia dan anaknya. Perselingkuhan sang suami yang disaksikannya terakhir kali, membuatnya mengambil keputusan untuk kembali bekerja.
...----------------...
Sudah tiga hari berlalu sejak kepergian sang suami. Meyta pun harus kembali bekerja.
“Mama hanya mendapatkan cuti tiga hari. Besok, Mama sudah kembali bekerja. Rara tidak apa-apa kan kalau di rumah hanya ditemani nenek?” tanya Meyta pada sang anak, kala mereka tengah berpelukan dan beranjak tidur.
Dalam dekapan sang ibu, Mutiara pun menganggukkan kepalanya. “Iya Ma. Tapi Rara belum mau masuk sekolah. Rara masih sedih,” lirih gadis itu.
“Tidak masalah. Kamu bisa kembali ke sekolah kapan pun kamu merasa siap,” jawab Meyta sembari memberikan kecupan hangat di pucuk kepala sang anak.
Meyta memang tak mau menambah beban di hati anaknya itu. Meyta tak ingin memaksakan anaknya agar kembali bersekolah. Dia tak mau anaknya menjadi tertekan karena paksaan darinya.
Meyta membiarkan Mutiara untuk menenangkan dirinya lebih dulu. Membiarkan anak perempuannya itu melampiaskan rasa kehilangannya. Dan tindakan Meyta pun membuahkan hasil.
Setelah satu Minggu penuh tak bersekolah, Mutiara kini telah siap sepenuhnya untuk kembali bersekolah. Gadis itu pun perlahan kembali ceria.
Bu Wati— ibu kandung Meyta yang memang sudah lama menjanda, memutuskan untuk tinggal bersamanya sejak kepergian sang suami.
Kini, hari demi hari dilalui Meyta dan Mutiara seperti biasa. Setiap pagi Meyta mengantarkan anaknya ke sekolah sebelum menuju kantor, seperti biasa.
Bedanya, jika dulu mereka diantar oleh sang suami, kini Meyta dan anaknya berangkat dengan menggunakan angkutan kota. Mereka pun berangkat lebih pagi dari biasanya.
Beruntung jarak kediaman mereka tak terlalu jauh. Hingga hanya butuh waktu lima belas menit menaiki angkutan kota, hingga mereka tiba di sekolah Mutiara. Dan Meyta hanya butuh berjalan kaki sedikit untuk tiba di kantornya.
Setiap Mutiara pulang sekolah, Meyta pun menjemput sang anak dan makan siang bersama sebelum kembali ke kantor dan membawa anaknya turut serta.
Setiap hari Mutiara menunggu sang ibu kandung hingga pulang bekerja sembari mengerjakan tugas sekolah di kantor sang ibunda.
Mereka saling menguatkan satu sama lain.
Mutiara adalah sumber kekuatan bagi Meyta, begitupun sebaliknya. Hidup hemat dan menabung yang selalu dilakukan Meyta sejak dulu, membuat ibu dan anak itu tidak pernah merasakan hidup kekurangan walau tanpa seorang kepala keluarga.
Kini, sudah hampir dua tahun Meyta hidup menjanda. Dia bahkan tak lagi menginginkan sebuah pernikahan. Pernikahan pertamanya membuat wanita itu tak lagi percaya dengan sebuah komitmen.
Mantan suaminya itu benar-benar sudah meninggalkan bekas luka yang begitu lebar di hatinya.
Meyta kini hanya ingin fokus membesarkan sang anak.
Namun, walau tak punya keinginan untuk menikah kembali, dia tak membatasi hubungannya dengan lawan jenis.
Umur yang masih terbilang muda, paras yang cantik dan terawat serta bentuk tubuh yang ideal, membuat banyak pria terpesona pada sosok Meyta.
Selama dua tahun menjanda, Meyta terlihat dekat dengan beberapa orang pria. Mulai dari seorang pemilik perusahaan, seorang kepala sekolah, hingga tetangganya.
Namun, jika para pria itu ingin melanjutkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius, seketika Meyta memutuskan jalinan itu.
Dia hanya ingin bebas sekarang. Dia tak mau lagi terikat pada sebuah hubungan yang belum tentu bisa membuatnya bahagia, apalagi membuat anaknya bahagia.
Meyta benar-benar tak mau lagi terikat pada sebuah hubungan. Kebahagiaan sang anak adalah yang menjadi prioritasnya saat ini.
Tapi, sebuah kejadian membuat hal itu perlahan berubah.
Kala itu, Meyta tiba-tiba tergabung dalam sebuah grup chat reuni. Beberapa teman semasa SMA pun mulai menyapa. Meyta menjawab semua pertanyaan yang tertuju padanya. Pembicaraan Meyta dengan beberapa temannya semasa SMA pun terasa begitu menyenangkan. Kenangan seru dan indah saat dirinya masih berseragam putih abu-abu, kembali berputar di kepalanya.
Wajah Meyta terlihat begitu ceria. Senyuman tak lepas dari bibirnya kala berinteraksi dengan teman-temannya itu. Senyuman Meyta bahkan semakin lebar, saat tiba-tiba janda beranak satu itu teringat akan seorang pria.
Seorang pria yang pernah mengisi hari-harinya dengan penuh senyuman saat dia masih berstatus sebagai mahasiswa tingkat akhir.
Wirra Pramudya ...
Walau mereka kenal saat masih berseragam putih abu-abu, tapi mereka menjalin kedekatan saat di bangku perkuliahan. Hingga tak ada satu orang pun teman SMA yang mengetahui hubungan yang pernah terjalin di antara Meyta dan Wirra.
Meyta yang baru saja putus dengan kekasihnya, tiba-tiba menjadi penasaran dengan Wirra. Meyta menggulirkan nama para anggota grup chat itu untuk mencari sesosok pria bernama Wirra. Dia begitu penasaran.
Apakah pria itu juga berada di grup chat yang sama? Bagaimana kabar pria itu? Apa dia sehat? Apa dia semakin menawan? Apa pria itu sudah menikah? Berkeluarga?
Meyta seketika menghentikan jemarinya untuk tak lagi menggulirkan layar ponselnya. Wanita itu kemudian mengembuskan napas kasar.
Buat apa dia memikirkan pria itu? Bukankah dia sendiri yang meninggalkan Wirra. Dan kejadian itu sudah berlalu lebih dari 12 tahun. Wirra pasti sudah berkeluarga. Dia pasti memiliki keluarga yang harmonis karena Wirra adalah seorang lelaki baik dan penyayang. Dirinya saja yang bod*h karena meninggalkan pria seperti Wirra.
Dan tepat saat itu, tanpa disadarinya, jemari Meyta berhenti pada sebuah kontak. Nama Wirra Pramudya tertera di sana. Sebuah senyuman kecut terpampang di wajah Meyta.
“Ya ... Seperti yang sudah kuduga. Dia pasti sudah memiliki seseorang di sisinya. Wanita itu sungguh beruntung,” gumam Meyta saat melihat foto profil yang dipajang oleh Wirra. Foto Wirra yang tersenyum di sebelah wanita cantik di sebelahnya.
Meyta tiba-tiba saja menggelengkan kepalanya. Wanita itu tak mau terganggu dengan apa yang baru saja dilihatnya. Wirra sudah berkeluarga dan dirinya juga tak ingin menjalin hubungan serius dengan pria manapun.
“Sadarlah Mey ... Kenangan masa lalu itu harus kamu kubur dalam-dalam. Kamu harus fokus pada kebahagiaan Rara,” gumamnya pada diri sendiri.
Tak lama, Meyta menganggukkan kepalanya. Membenarkan apa yang diucapkannya pada dirinya sendiri.
Ya ... Dia memang harus fokus pada kebahagiaan putri semata wayangnya. Tak ada masa depan yang lebih membahagiakan selain melihat ekspresi kebahagiaan yang dipancarkan sang anak.
“Mama kenapa? Tadi, Rara lihat Mama geleng-geleng, sekarang angguk-angguk,” ucap Rara yang kini tengah berjalan menghampiri Meyta.
Rupanya gadis kecil itu sudah memerhatikan sang ibu sejak tadi. Mutiara melihat bagaimana wajah antusias Meyta ketika menatap ponselnya. Lalu melihat sang ibu tiba-tiba murung, lalu menggelengkan kepalanya kemudian mengangguk-anggukkan kepala.
“Kenapa Ma?” tanya Mutiara sekali lagi.
Meyta pun tersenyum mendengar rasa penasaran sang anak. Mutiara memang selalu seperti itu. Gadis kecil itu sangat kritis. Rasa ingin taunya sangat besar. Dia selalu diliputi dengan rasa penasaran.
“Bukan apa-apa,” jawab Meyta.
Walau Meyta tau, jawaban seperti itu pasti tidak akan memuaskan sang anak. Gadis kecil itu pastinya akan semakin penasaran. Tapi, ditodong pertanyaan itu dengan tiba-tiba, Meyta tak siap untuk menjawabnya. Meyta juga tidak bisa jujur pada sang anak tentang apa yang ada di hati dan pikirannya saat ini.
Mutiara pun memicingkan mata dan menatap tajam pada sang ibu hingga membuat Meyta tergelak.
“Hahaha ... Tidak ada masalah apa-apa Sayang,” ucap Meyta meyakinkan sang buah hati. “Teman-teman Mama semasa SMA akan mengadakan reuni. Tapi mama masih bingung, mau ikut atau tidak.”
“Reuni itu apa Ma?” tanya Mutiara.
“Reuni itu artinya bertemu kembali. Jadi, Mama akan bertemu dan berkumpul kembali dengan teman-teman Mama semasa SMA dulu,” jawab Meyta.
Meyta berharap jawaban yang dia berikan bisa meruntuhkan sedikit rasa penasaran sang anak.
Mutiara terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya lalu terdiam sejenak.
“Kalau itu bisa membuat Mama merasa senang, ikut saja.”
Meyta menatap sang anak. Ucapan yang dilontarkan oleh Mutiara benar-benar membuatnya terharu.
Bagaimana mungkin gadis sekecil itu bisa mengeluarkan kata-kata yang begitu bijaksana? Memikirkan kebahagiaan ibunya.
Meyta seketika menggeser duduknya lalu membawa Mutiara dalam dekapannya. Dikecupnya berulangkali pucuk kepala sang anak semata wayang.
“Terima kasih karena Rara sudah memikirkan kebahagiaan mama,” ucap Meyta. Mutiara membalas ucapan terima kasih itu dengan membalas pelukan sang ibu kandung dengan tak kalah erat.
“Tapi, di acara reuni itu, tidak ada yang boleh membawa anak karena acaranya malam hari dan di sebuah klub. Boleh?” jelas Meyta.
Selama ini, kemana pun Meyta pergi di hari libur, wanita itu pasti mengajak sang anak turut serta. Sekalipun itu jadwal kencan dengan kekasihnya.
Mutiara melepaskan pelukannya lalu menganggukkan kepala, “iya boleh. Yang penting Mama senang. Rara akan senang kalau Mama senang.”
Lagi-lagi Meyta dibuat terharu dengan ucapan sang anak. Meyta pun semakin menguatkan hatinya. Dia tidak akan pernah menikah lagi. Dia hanya akan fokus mengasuh Mutiara dan membesarkan anak semata wayangnya itu dengan limpahan kasih sayang. Dia akan memberikan banyak kebahagiaan pada gadis kecil itu.
Begitulah rencana Meyta.
Tapi ... sepertinya semesta tak merestui itu.
Entah bagaimana kronologi ceritanya, saat menghadiri acara reuni itu, Meyta memasuki ruangan yang salah di sebuah klub malam.
Meyta mengedarkan pandangannya. Wanita itu sama sekali tak mendapati sosok yang dikenalinya. Meyta mengernyitkan dahi. Dia kembali mengecek lokasi janji temu.
“Benar di klub Newton. Tapi kemana yang lainnya?”
Meyta hendak menghubungi salah satu temannya semasa SMA, namun suara dan tepukan seorang pria di pundaknya berhasil mengejutkan Meyta.
“Kamu kenapa di sini, Mey?”
Meyta menoleh. Pencahayaan yang temaram di ruangan yang cukup luas itu di tambah suara musik yang begitu keras, membuat Meyta harus memicingkan mata dan menatap dengan jelas siapa yang berada di depannya.
“Kamu sudah melupakan aku, Mey? Melupakan wajahku? Melupakan suaraku?”
Meyta menggelengkan kepala sembari melambaikan kedua tangannya dengan terburu-buru. Tentu saja dia tak mungkin melupakan pria yang kini ada di hadapannya itu. Bahkan suara pria itu juga masih terekam jelas di ingatannya.
Meyta hanya ingin memastikan, apa pria yang berdiri di hadapannya itu, benar-benar pria dari masa lalunya.
“Bukan begitu. Hanya saja lampu yang berkelap-kelip ini membuat mataku sedikit silau. Tentu aku masih ingat dengan kamu, Wir. Masih sangat ingat,” jawab Meyta.
Senyum Wirra seketika terkembang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!