NovelToon NovelToon

NIKAHI AKU TUAN!

Part 1

"Tuan Muda, kantor cabang sedang mengalami masalah Tuan, "ujar Alex pada Tuannya.

Seorang pria yang tengah duduk menatap tembok itu memutar kursinya dan menatap asistennya dengan dingin.

Pria itu adalah William Bavers, seorang CEO Bavers Company. Sebuah perusahaan raksasa yang memiliki banyak cabang baik dalam negeri maupun luar negeri.

"Apa ini juga ulah Paman Erick? "tanya William.

"Saya tidak tahu persis Tuan Muda, hanya saja sepertinya pelaku dari masalah ini sulit untuk kita temukan, "jabar Alex.

William terdiam. Tangan pria itu mengetuk meja berkali-kali selama beberapa saat.

"Tidak ada yang sulit di tangan William, Aku akan turun tangan untuk menyelidiki semua ini. Dan tugas kamu disini untuk memastikan Semu orang tidak tahu keberadaanku, sampaikan saja jika Aku akan keluar negeri, "ujar William.

"Baik Tuan, Saya akan menjalan tugas ini sebaik mungkin, "balas Alex.

"Hem."

***

"Mas Yoga dimana ya? Kenapa tidak datang-datang, "gumam Anindya.

Seluruh tamu undangan dan penghulu yang tengah duduk didepannya terlihat sudah tidak sabar menanti mempelai pria.

Jika pernikahan biasanya mempelai pria yang menunggu mempelai wanitanya, namun kini Anindya justru harus menunggu Yoga, calon suaminya yang tadi katanya mau kebelakang namun hampir satu jam berlalu belum juga kembali.

"Mba Anin, ini sudah sangat lama. Saya juga harus menikahkan pasangan pengantin lainnya, "ujar penghulu itu.

"Sebentar Pak, sebentar lagi. Saya akan ke dalam untuk memanggil Mas Yoga, "ujar Anindya.

"Baiklah, jangan lama-lama ya Mba Anin, "ucap penghulu itu diangguki Anindya.

Gadis berbalut kebaya itu melangkah kebelakang untuk mengecek keberadaan Yoga.

tok tok tok

"Mas Yoga, sudah belum buang airnya? Penghulunya sudah lama menunggu Mas, "ucap Anindya.

tok... tok... tok.

"Mas...Mas Yoga, "panggil Anindya.

merasa tidak ada sautan dari dalam. Anindya memberanikan diri untuk membuka pintu kamar mandi tersebut.

"Loh kok gak ada, Mas Yoga kemana? "ucap Anindya.

Gadis itu menutup kembali pintu kamar mandi lalu melangkah menuju ruang lainnya untuk mencari keberadaan Yoga.

Sampai ketika kakinya tepat di depan kamar miliknya sayup -sayup Anindya mendengar suara desahan dan erangan dari dalam.

"Itu suara apa ya? "gumam Anindya.

Anindya mendekatkan telinganya untuk memastikan siapa yang dengan berani masuk ke dalam kamarnya.

"Itu suara orang, "gumamnya lagi.

Merasa penasaran dengan sosok pemilik desahan dan erangan itu, Anindya memegang handle pintu kamarnya dan mendorongnya.

Ceklek

"M-mas Yo-ga."

Suara Anindya tercekat saat melihat pemandangan menyakitkan di depannya. Dada Anindya bergemuruh dengan cepat saat melihat bagaimana Yoga menggeram kenikmatan di atas tubuh polos seorang wanita.

"Apa-apaan ini? "ucap Anindya mengigit bibirnya miris.

Dikala ia menanti Yoga untuk mengucapkan ijab kabul. Anindya justru harus menyaksikan adegan ranjang antara calon suaminya dan sahabatnya dan lebih menyedihkannya itu di dalam kamar yang ia dekor untuk malam pertamanya.

"Mas Yoga! "teriak Anindya dengan wajah merah dan air mata yang sudah berkucuran deras.

Yoga yang sedari tadi tengah memompa tubuh Anes seketika berhenti saat mendengar teriakan seseorang.

"An-anindya, "panggil Yoga terbata.

Pria itu hendak menjauh dan ingin melepaskan penyatuan nya dengan Anes. Namun tiba-tiba wanita yang tadi ada dibawahnya itu justru merengkuh tubuh Yoga hingga kini milik pria itu semakin dalam.

"Maaf Anin, Aku dan Mas Yoga tidak sanggup menahan diri lagi sehingga melakukannya disini, "ucap Prita tidak tahu malu bahkan wanita itu terlihat mulai menggerakkan pinggulnya membuat Yoga kembali hilang kendali.

"Kalian memang br*ngsek,"umpat Anindya.

Gadis berkebaya itu berjalan keluar kamar, bukan untuk kabur melainkan ia melangkah menuju dapur lalu mengambil satu wadah besar minuman lemon yang niatnya akan disajikan pada tamu-tamu.

Sebelum melancarkan aksinya tidak lupa Anindya menutup pintu dan menguncinya. Kakinya terus mendekati ranjang menatap penuh amarah dua insan tidak tahu diri yang sedang mencari kepuasan itu.

Cekrek. Cekrek.

Dengan kameranya Anindya memotret pemandangan menjijikan antara Yoga dan Anes. Dan barulah tangan gadi itu mengangkat wadah untuk menyiram keduanya.

Byur.

"Akhhh, Anindya apa yang kamu lakukan, "teriak Prita.

"Apa hah apa? seharusnya Aku yang bilang apa yang kamu lakukan di dalam kamarku j*lang,"maki Anindya.

Gadis berkebaya itu menjambak rambut Prita dengan keras hingga tubuh polos Prita terjungkal di atas lantai.

Tidak hanya itu, Anindya juga menampar berulang kali pipi mulus Anes hingga napasnya memburu.

"Akhhh, Mas Yoga tolong Aku. Hentikan perempuan ini, "teriak Prita meminta bantuan Yoga.

Yoga yang sedari tadi diam karena kaget dengan kebrutalan Anindya gegas meraih celana boxernya dan mendekati kedua wanita yang saling menjambak itu.

"Kamu kesini maka anu mu habis Yoga, "ancam Anindya memperlihatkan gunting.

Glek

Yoga menatap ngeri dengan ancaman Anindya, namun melihat kondisi Prita yang mengenaskan membuat pria itu tidak tega.

"Anin kamu jangan nekat, mari kita bicarakan baik-baik Sayang,"ujar Yoga memohon.

"Cuih, Jangan panggil Aku sayang. Kamu sudah tidak pantas lagi, Yoga. Dan tenang saja, Aku tidak akan membunuh j*langmu ini, hanya ingin memberi sedikit pelajaran saja padanya, "ucap Anindya.

Prita beringsut mundur. Tubuhnya gemetar, ia takut Anindya akan berbuat nekat dan melukai tubuhnya.

"Anin, kamu bisa dipenjara jika membunuhku Anin, "ucap Prita gemetar.

"Siapa juga yang mau membunuhmu, Aku hanya ingin menghukum j*lang sepertimu saja, "ucap Anindya.

"Akhh... "

Prita memekik saat rambut panjangnya di tarik dan secara asal dipotong oleh Aindya menggunakan gunting.

"Mas Yoga tolong Aku, Mas. "teriak Prita.

Namun Yoga hanya diam saja, karena sebagai sosok kekasih Anindya, Yoga tahu betul jika gadis itu sudah marah maka siapapun sulit mencegahnya.

"Mas, Akhh..."

"Kamu memang perempuan kasar, "teriak Anes dengan keadaannya yang sudah sangat kacau.

"Dan kamu adalah j*lang rendahan, dan sangat menjijikan, Prita."

Anindya melangkah meraih pakaian milik Anes dan Yoga kemudian melemparkan pakaian itu tepat di wajah keduanya.

Plak plak plak plak

Anindya masih menyempatkan diri untuk menampar Yoga bolak balik hingga cap tangan miliknya melekat pada pipi pria itu.

"Kenakan pakaian kalian dan keluar dari kamarku, sekarang, "ucap Anindya melipat kedua tangannya.

"Tapi Anin, lihat karena perbuatanmu membuat Prita begitu mengenaskan. Di luar sana pasti banyak orang, tolong jangan permalukan kami, "mohon Yoga.

"Kalian masih punya urat malu rupanya! Kamu sungguh pria tidak tahu malu Ga, sudah untung Aku masih memberi kesempatan kalian untuk mengenakan baju dan mengunci pintu agar sedikit menutup aib kalian. Tapi dengan tidak tahu malunya, Kamu masih memintaku untuk melakukan hal lebih, sungguh kamu pria paling gila yang pernah Aku temui, Ga, "ujar Anindya dengan mata tajamnya.

"Tapi Anin... "

Ceklek

Anindya membuka pintu kamar itu dan berkata.

"keluar sekarang dari kamar dan rumahku, jangan sampai Aku membunuh kalian berdua di kamar ini, "ancam Anindya.

Prita dan Yoga tidak bisa berbuat lebih, walaupun Anes terus menolak namun karena Yoga yang tahu jika Anindya tidak akan main-main dengan ucapannya menarik Anes keluar kamar itu.

"Ya ampun, bukannya lelaki itu calon mempelai prianya ya. Kenapa penampilannya sangat kacau dan lihat dia bersama wanita yang keadaannya sangat mengenaskan, "celetuk tamu undangan menatap Yoga dan Anes.

Malu karena saat keluar kamar ternyata banyak orang yang berdiri disana kemungkinan karena suara gaduh yang ada di dalam kamar Anindya.

Yoga dan Prita hanya bisa mempercepat jalan mereka lalu keluar dan masuk ke dalam mobil Anes.

Brak.

Brum.

Prita menatap penuh dendam rumah sederhana Anindya.

"Aku tidak akan tinggal diam saja Anin, "gumam Prita.

Sementara itu Anindya tengah mengatur napasnya sebelum keluar kamar dan meminta maaf kepada penghulu dan tamu undangan karena ia telah membatalkan pernikahannya.

"Maaf pak penghulu dan seluruh tamu undangan, karena ada sedikit masalah jadi pernikahan ini Saya batalkan, "ujar Anindya dengan senyum yang ia paksakan.

Bisik-bisik mulai terdengar dari tamu undangan tersebut.

"Untuk Pak penghulu uang pembayaran akan tetap Saya lakukan, walaupun acara ini batal, "ucap Anindya mengulurkan amplop berisi uang.

"Baik Mba Anin, jika begitu Saya pamit,"ucap penghulu itu melangkah pergi meninggalkan rumah sederhana Anindya.

Begitupun dengan para tamu yang terdiri dari tetangga-tetangga gadis itu.

Setelah semua orang pergi, kini keadaan rumah Anindya yang tadinya ramai berubah menjadi sepi.

Bruk.

"Susah payah Aku menyiapkan acara ini, begitu lama Aku menabung untuk pesta pernikahan sesuai adat di sini. Namun semuanya sia-sia, hiks... hiks. "

***

TBC

hallo jumpa lagi dengan Author Duyung Indahyani dengan karya terbarunya ini. Selamat menikmati. Jangan lupa follow Instagram Othor ya @duyung_indahyani123

Part 2

"Tuan Muda, Anda yakin akan melakukan ini? "tanya Alex sekali lagi.

William tak menjawab dan lebih memfokuskan dirinya pada penampilannya yang menggunakan seragam office boy itu.

"Aku tidak pernah ragu dalam melakukan sesuatu, "jawabnya.

Alex hanya bisa memandang atasannya itu dengan perasaan tak menentu.

Sebagai asisten William yang selalu bertugas menjaga keamaan dan keadaan dari pria itu Alex tentu khawatir dengan ide William yang akan menjadi office boy di perusahaan cabang tersebut.

"Saya akan ikut Anda ke perusahaan tersebut Tuan, "usul Alex.

William tak menyaut, walaupun ia mencegah Alex, pria itu akan tetap mencari cara untuk menemaninya.

"Baiklah, tapi Kamu hanya sesekali disini karena orang-orang perusahaan pasti mengenali wajahmu dan bersikaplah layaknya orang asing saat kita bertemu, "ucap William.

"Baik Tuan, "saut Alex terlihat sangat lega.

William meraih sebuah tompel palsu dan menempatkannya pada pipi pria itu.

Setelah semuanya siap. William melangkah meninggalkan apartemen itu diikuti Alex dibelakangnya. Kedua berpisah saat sampai di bawah, dimana Alex yang mengendarai mobilnya sementara William memilih untuk memakai sepeda motor matic yang ia gunakan sebagai pendukung dalam aksinya.

***

"Selamat tinggal pernikahan impian, "ucap Anindya.

Bara api berkobar disamping rumahnya, gadis itu tengah membakar kasur miliknya.

Kasur yang ia baru beli dan sengaja ia siapkan untuk malam pertamanya justru menjadi kasur yang paling ingin ia musnahkan.

"Anin, apa yang kamu lakukan! Itu apinya besar sekali, kamu sudah gila ya, "teriak Bu Laksmi, tetangga Anindya.

Anindya diam memandang kasurnya sendu, ia tidak meladeni umpatan amarah dari tetangganya itu.

"Sudah nggak waras kamu ya Nin, pantesan pernikahan kamu dengan Yoga gagal. Orang kelakuan kamu kayak gini, "maki Bu Laksmi.

Tangan Anindya terkepal kuat, gadis itu berbalik lalu melangkah mendekati Bu Laksmi dengan tatapan tajamnya.

"Loh mau apa kamu Nin? Jangan macam-macam sama Saya, gini-gini Saya lebih tua daripada kamu, "ujar Bu Laksmi ketakutan.

Anindya berkacak pinggang di depan wanita itu dan berkata.

"Sudah tua ya? Sudah sekolah berarti dong Bu, tetapi kenapa mulut Ibu seperti orang yang tidak pernah disekolahkan ya? Ah atau jangan-jangan Bu Laksmi memang tidak pernah disekolahkan makanya kalau bicara asal dan tidak sopan, "ucap Anindya lalu berjalan meninggalkan Bu Laksmi.

"Woy Anin, kamu itu memang perempuan kasar dan pembawa sial. Pantas saja Melati kamu pergi ninggalin kamu sama Mbok Murti, mungkin karena sadar kalau kamu itu pembawa sial, "maki Bu Laksmi.

Brak.

Pintu rumah sederhana itu Anindya banting cukup keras sampai membuat Bu Laksmi menjengit karenanya.

"Aku juga tidak pernah ingin dilahirkan di dunia dengan keadaan seperti ini,"ucap Anindya sesenggukan.

Tangis Anindya pecah. Sekuat-kuatnya dia ketika berada di luar namun Anindya tetaplah gadis yang rapuh.

Sedari kecil ia hanya tinggal bersama Mbok Murti. Ayah Anindya meninggal dunia saat menyelamatkan dirinya yang tenggelam di sungai sedangkan Ibunya, Melati pergi usai meninggalnya ayah Anindya. Dan sekitar dua tahun yang lalu Mbok Murti juga turut meninggalkannya untuk selama-lamanya.

"Jika saja boleh memilih, saat itu lebih baik Aku yang mati tenggelam daripada ayah, "ucap Anindya dalam tangisnya.

Anindya menghapus air matanya dengan kasar, hari ini ia harus kembali bekerja sebagai Office Girl. Sebelumnya ia mengambil libur karena rencana pernikahannya namun sepertinya bekerja adalah pilihan yang tepat saat ini.

"Oke Anin, lupakan dua makhluk sampah itu dan semangat kerja dan tunjukkan pada dunia jika seorang Anindya tidaklah lemah, "ucap Anindya menyemangati dirinya.

Gadis itu telah mengenakan seragam pabriknya lalu mengeluarkan sepeda ontel kesayangannya.

Jarak rumahnya dengan pabrik tidaklah jauh jadi memakai sepeda ontel itu pilihan sehat seorang Anindya.

"Ayo maju... maju...ayo maju Anin. Merdeka! "sorak Anindya menyemangati dirinya dengan lirik lagu nasional.

Kaki jenjang Anindya mengkayuh sepedanya penuh semangat, beberapa menit kemudian gerbang perusahaan sekaligus pabrik tempatnya bekerja mulai terlihat.

Anindya semakin mengkayuh sepeda ontelnya dengan penuh semangat dan tanpa Anin sadari dari arah lain terlihat motor matic yang juga akan masuk ke dalam perusahaan tersebut.

Tabrakan antara keduanya pun tak terelakan.

"Akhhh... "

Brak.

Anindya terpelanting cukup jauh karena ia hanya mengendari sepeda motor sedangkan lawannya mengendarai motor.

Tubuh Anindya terpentok tembok gerbang. Gadis itu meringkuk kesakitan.

"Aw, Shhht. Sa-kit banget, "runtih Anindya memegang perut dan merasa sakit pada bagian tubuh lainnya.

Seluruh karyawan yang akan masuk ke dalam perusahaan terhenti karena peristiwa tersebut.

"Ya ampun, Anindya! Kamu baik-baik saja kan? "

terdengar suara Malika, salah satu office girl yang merupakan teman kerja Anindya berlari ke arah gadis itu lalu berusaha membantu Anindya bangkit.

"Kamu luka-luka Nin, pulang saja ya? Biar Aku izinkan ke Bu Siska, "ucap Malika merasa kasihan melihat kondisi Anindya.

"Aw, tidak usah Mal. Aku baik-baik saja kok, "ucap Anindya dengan senyumannya.

"Tapi Nin, itu lutut sama yang lainnya berdarah loh, "tunjuk Malika.

"Nanti di cuci terus di kasih plester saja cukup, "kekeuh Anindya.

Sementara itu terlihat di sisi lain pria yang beberapa saat lalu bertabrakan dengan Anindya terlihat tengah menundukkan kepalanya.

Pria itu tengah dimarahi oleh Bu Siska yang merupakan pimpinan dari staf cleaning service perusahaan tersebut.

"Kamu karyawan baru di sini bukan? Hari pertama sudah berbuat rusuh saja,"bentak Bu Siska.

Anindya yang melihat kejadian tersebut merasa kasihan padanya. Gadis yang baru beberapa waktu lalu ini merintih kesakitan terlihat mencoba bangkit.

" Kamu mau ke mana Nin? "tanya Malika.

"Bantuin aku dong,"pinta Anindya.

Malika walaupun kesal karena Anindya yang keras kepala namun gadis itu tetap membantu Anindya.

Keduanya berjalan menuju pria yang juga menggunakan seragam sama persis seperti kedua gadis itu.

"Bu Siska. Saya baik-baik saja kok Bu Jangan memarahi dia lagi, "ucap Anindya.

"Siapa juga yang khawatir sama kamu. Saya hanya ingin menertibkan dia sebagai karyawan baru."judes bu Siska.

Anindya hanya bisa mengelus dadanya, meski wanita itu judes namun Anindya tahu Bu Siska termasuk wanita yang peduli dengan anak buahnya terlebih di bagian cleaning service.

"Apapun itu alasannya Bu, sepertinya bukan kesalahan dia sepenuhnya karena saya juga tadi tidak melihat kiri kanan sehingga tabrakan tersebut tidak bisa terelakan Bu, "jelas Anindya.

"Jadi bisakah Ibu tidak memarahinya lagi," pinta Anindya.

Bu siska tidak menyahut ucapan dan permintaan Anindya wanita bertubuh Tambun itu memalingkan muka lalu melangkah meninggalkan mereka.

"Kamu OB baru ya, "ucap Anindya mengulurkan tangannya pada pria yang beberapa waktu lalu tabrakan dengannya.

"Aku Anindya, siapa nama kamu? "

Pria itu terdiam namun sudut matanya sedikit melirik pada sosok Anindya.

" Budi." ucap pria tersebut yang sebenarnya adalah William Bavers.

"Oke ini Malika, mari ikut Saya menemui Bu Siska, wanita yang tadi memarahimu untuk menanyakan bagian mana tugas kamu,"ujar Anindya

Pria itu masih terdiam hingga panggilan Anindya kembali menggema barulah William berjalan mengikuti gadis itu yang berjalan dengan bantuan Malika.

"Gadis aneh, "gumam William.

***

TBC

Part 3

"Kau bukan orang sini ya? perantauan dari mana? "tanya Anindya untuk memulai obrolan antara dia dengan William yang ia tahu sebagai Budi.

"Lampung,"jawab William asal.

Anindya manggut-manggut mengerti. Gadis itu melangkah menuju rak untuk mengambil dua buah cangkir untuk membuatkan ia kopi dan untuk Budi juga.

"Semoga betah ya disini, kalau ada yang menyulitkanmu bilang saja sama Aku, "ujar Anindya menepuk dadanya dengan sombong.

Budi menyeruput kopi yang dibuat Anindya. Terasa sangat pas di lidahnya yang notabene pemilih dalam makanan maupun minuman.

William mengernyit menatap tingkah gadis di depannya itu.

"Emang kamu mau apa? "tanya William.

"Aku... Aku, emm... nggak ada sih,"jawab Anindya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

William hanya tersenyum mengejek kesombongan Anindya.

"Tapi setidaknya setelah itu, Kamu bisa cerita sama Aku biar plong gitu, "ucap Anindya.

"Hem."

Keduanya mengobrol, ah tidak lebih tepatnya Anindya yang banyak bicara sedangkan William hanya menjadi pendengar setia gadis itu dengan sesekali menjawab dengan kalimat singkatnya.

"Apa yang kalian lakukan hah! Bukannya bekerja malah mengobrol disini. Cepat kerja... kerja! "teriak Bu Siska dengan berkacak pinggang.

"Ya ampun Bu, kerjaan kami sudah selesai dan juga ini itu jam istirahat loh,"protes Anindya.

Dari seluruh staf cleaning service yang ada disana memang hanyalah Anindya yang berani melawan Bu Siska.

Ingin memecatnya pun tidak bisa, karena memang hasil pekerjaan Anindya baik. Bahkan karena sikapnya yang riang terkadang membuat Bu Siska turut terhibur.

"Kamu ini ya, selalu melawan kalau Ibu ngomong, "celetuk Bu Siska.

"Bukannya berani loh Bu, gini daripada Ibu capek ngomel-ngomel mending sini duduk Bu. Saya buatin kopi ya, "tawar Anindya menarik tubuh Bu Siska lalu membimbingnya duduk di kursi tepat di samping William.

Sementara itu, William yang melihat Bu Siska duduk di sebelahnya mengangguk pada wanita bertubuh tambun itu.

"Ini Bu, satu cangkir kopi favorit Bu Siska telah Anind buat, selamat di minum, "ujar Anindya meletakkan secangkir kopi itu di atas meja.

"Kamu ini, selalu saja seenaknya saja, "cebik Bu Siska.

"Loh ini mau nggak Bu, kalau nggak Anind ambil lagi loh kopinya, "ucap Anindya berancang-ancang mengambil cangkir itu.

"Enak saja, pamali ambil kembali barang yang sudah di kasih, "seru Bu Siska menarik kekehan Anindya.

Tawa yang renyah terlihat sangat natural dan menambah kesan cantik alami wanita itu. Hingga membuat William terkesiap melihatnya selama beberapa saat.

"Woy, malah ngelamun lagi! "hardik Anindya membuyarkan pria yang tengah tertegun itu.

"Ehem... ehem."

William berdehem berulang kali lalu menyeruput kembali kopinya itu. Bu Siska yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya.

"Anin, maaf ya saat pernikahan Kamu, Ibu nggak bisa hadir, "ujar Bu Siska menyesal.

"Dia sudah menikah ternyata, "batin William.

Berpikir tentang itu, William memilih diam mendengar apa yang akan dijawab oleh Anindya.

"Nggak papa Bu, lagi pula nikahnya nggak jadi kok, "ucap Anindya tersenyum.

Sebuah senyum yang tidak masuk dalam arti sesungguhnya, sebuah senyuman yang sebenarnya terdapat kesedihan di dalamnya.

"Ya ampun, Saya tidak tahu Nin, itu gimana ceritanya? Kenapa Yoga, kan nama pacar kamu itu? Kenapa bisa batal. "

"Entahlah Bu, anggap saja bukan jodoh, "saut Anindya melirik William.

Pria itu paham, mungkin karena keberadaannya dirinya membuat Anindya merasa tidak nyaman untuk bercerita.

Ia bangkit dari duduknya, sebelum itu William menenggak kopi itu hingga tandas.

"Saya mau ke toilet dulu, permisi, "pamit William meninggalkan keduanya.

Pria itu melangkah meninggalkan pantry, membiarkan gadis berhijab yang baru ia kenal beberapa waktu lalu itu bercerita pada Bu Siska dengan tenang.

"Sudah lama, Aku tidak mendatangi cabang ini. Terakhir ketika masih remaja dan belum menjadi CEO, "gumam William.

Pria itu meraih sapu sebagai alat untuk ia jadikan alasan untuk melihat kondisi perusahaan tekstil itu.

Saat ia naik ke lantai empat, samar-samar William mendengar obrolan para karyawan yang mengeluh potongan gaji.

"Gaji Aku di potong dua puluh persen, padahal Aku cuma terlambat masuk satu kali, "keluh seorang karyawan.

"Lah Aku hampir saja di potong lima puluh persen gegara nggak sengaja nabrak kekasihnya manajer kita, keterlaluan nggak sih, untung saja Aku waktu itu mohon-mohon ya meski harus sakit hati di marahin habis-habisan sama wanita itu, "saut lainnya.

"Eh, kalian curiga nggak sih?"

seorang karyawan terlihat memelankan suaranya membuat William harus berpura-pura menyapu dengan jarak yang lebih dekat.

"Curiga kenapa? "

"Sama manajer kita itu, kan setahu Aku ya produksi itu setiap bulannya selalu meningkat. Tapi pas kemarin Aku cek di keuangan. Manajer pinjam dana perusahaan itu gede banget tahu. Aku pas protes ke bagian manajer keuangan, eh malah di marahi, "ujar karyawan itu.

Dari gaya bahasanya, William dapat menyimpulkan jika karyawan yang tadi bercerita panjang lebar itu termasuk staf keuangan.

"Ah masak? terus gimana? bisa bahaya sama perusahaan kalau terus gini."

"Dengar-dengar sih, akan ada utusan dari kantor pusat. Tapi itu kayaknya cuma kabar burung, makanya manajer kembali ke mode awal santai dan semena-mena sama kita, "ucap karyawan itu lagi.

William terus mendengarkan setiap perbincangan itu dengan seksama. Sampai Ketiga karyawan itu beranjak menuju kantin barulah ia meninggalkan tempat itu untuk mencari tempat yang aman.

[Lex, kirim data laporan keuangan perusahaan cabang ke email Saya]-William.

Usai mengirimkan pesan pada asistennya itu, William memasukkan ponsel tersebut lalu melangkah menuju pantry kembali.

Waktu istirahat kantor masih tersisa setengah jam lagi. Dan itu bisa menjadi kesempatan William untuk memasuki area ruangan milik manajer keuangan.

Dengan langkah hati-hati dan mata yang jeli, William mengawasi sekitar. Setelah dirasa keadaan aman. William gegas memasuki area ruangan tersebut.

Ia mengobrak-abrik ruangan itu untuk mencari sesuatu yang bisa membantunya menyelesaikan masalah perusahaan cabang itu.

"Ck, dimana? Pasti ada berkas atau apa yang bisa membuktikan semua penggelapan dana,"gumamnya.

Waktu sisa dua puluh menit, namun William belum juga menemukan isi apapun. Ia beralih pada komputer di atas meja lalu dan menghidupkannya.

"Dapat, ceroboh sekali,"ucapnya menyeringai. Ia kirim file itu pada flashdisk yang dibawanya.

Waktu terus berjalan, namun entah mengapa rasanya begitu lama.

"Ayo cepatlah sedikit,"gumamnya dengan kepanikan.

Selain file itu, William juga mencari bukti keterlibatan Pamannya dalam penggelapan dana di perusahaan tersebut.

"Sip, Kamu tidak akan bisa mengelak lagi Paman,"ucap William menyeringai.

Ia rapikan kembali ruangan yang telah ia acak-acak sebelumnya. Dan setelah itu berjalan ke arah pintu untuk keluar dari sana.

Ceklek.

William memepet tubuhnya pada dinding dan pintu yang terbuka dari luar. Si manajer telah masuk dengan memegang ponsel pada telinganya.

"Semuanya aman, Tuan. Sesuai kesepakatan yang telah kita buat Tuan Erik. Dan jangan lupakan bagian Saya,"ucap si manajer itu dengan sosok dibalik panggilan tersebut.

William merekam aksi manajer yang ia yakini tengah bertelepon dengan Pamannya. Baru setelah itu dikala si manajer sibuk dengan panggilan tersebut. William gegas keluar dari sana.

"Memuaskan,"gumamnya tersenyum senang.

***

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!