Di pagi yang tak begitu cerah karena awan mendung, Andre bersiap-siap berangkat ke sekolah dengan semangat.
Setelah sebulan tidak masuk sekolah karena penyakitnya, akhirnya kini dia bisa bersekolah di sekolah yang baru.
Andre senang, tapi tidak sampai loncat-loncat seperti ciwi-ciwi saat berhasil mendapatkan sesuatu yang berharga.
"Ndre, lo udah selesai belum?" tanya seorang lelaki, mengetuk pintu kamar Andre pelan.
Andre yang mendengar suara kakak lelakinya, Ady, segera bergegas membuka pintu dan memperlihatkan perawakan dirinya yang sedang bersiap-siap.
Ady yang melihat wajah cerah dengan penampilan ala kadarnya, karena belum selesai bersiap, hanya mengangguk dan berjalan turun dari lantai tersebut.
"Cepetan nyusul! Sekolah lo udah gak dekat lagi dari sini," seru Ady, sambil berjalan menuruni tangga.
Andre yang mendengar itu hanya diam dan segera bergegas agar tak ketinggalan mobil Kakak lelakinya itu.
"Bukunya sudah siap? Lo gak lupa bawa apa-apa lagi, kan?" tanya Ady, menatap Andre yang turun dengan membawa beberapa koper besar yang siap di angkut.
Andre mengangguk, membiarkan beberapa pelayan di rumah itu membantunya memasukkan barang di mobil Ady.
Ya, hari ini memang hari pertamanya sekolah, dan hari pertamanya pindah rumah ke rumah kakaknya.
Walaupun Ady sudah memiliki keluarga, tapi kakak iparnya tak masalah untuk membiarkan Andre tinggal bersama dengan mereka di sana. Toh, mereka masih belum memiliki anak. Jadi tidak terlalu merepotkan juga.
"Enggak, udah gue masukan semua ke koper," sahut Andre, berjalan turun dari lantai dua dengan membenarkan dasinya.
Ady mengangguk paham, membiarkan adiknya duduk di samping dia di meja makan.
Kedua orang tua mereka hanya diam, memperhatikan kedua putranya yang ribut sendiri karena ini dan itu.
"Jangan lupa, kalau ada apa-apa di sekolah kamu, langsung lapor ke kakak, ya? Jangan diam kayak dulu. Kami ada buat kamu, Ndre!" celetuk sang Ibu, memberitahukan dengan napa memperingati.
Andre yang mendengar itu hanya mengangguk pelan dan menyantap makanannya dengan tenang.
"Jangan khawatir, Bun. Nanti biar Ady yang urus. Lagian, di sana udah ada pawangnya kok!" celetuk Ady, dengan wajah sok misterius.
Ayah, Bunda dan Andre yang mendengar itu, hanya memandang lelaki itu dengan tatapan aneh.
"Pawang? Pawang apaan? Pawang hujan?" sambar Andre, tak paham.
Ady yang mendengar itu hanya menggeleng dan tak mau memberi tahu. Lalu dia berucap, "Entar kalau sudah sampai di sana. Lo juga bakal tahu!"
Andre hanya mengangkat sebelah alisnya, menunjukkan raut wajah bingung, tapi tak lagi bersuara dan lanjut menghabiskan makanannya.
***
"Selamat pagi, ucap Andre, setelah mengetuk pintu masuk kantor guru.
Tak lama kemudian, seorang lelaki berjalan mendekat ke arahnya dengan wajah ramah.
Lelaki itu mengenakan kacamata dengan frame hitam dengan lensa yang cukup tebal. Membuat matanya terlihat lebih besar di balik lensa tersebut.
"Andre, bukan?" tanya lelaki berkacamata tersebut, dengan suara ramah.
Andre yang merasa kikuk hanya mengangguk dengan menatapnya malu-malu.
Lelaki itu mengulurkan tangannya sembari memperkenalkan diri. "Nama saya Agam, kamu bisa memanggil saya Pak Agam. Saya wali kelas kamu, mari ikut saya ke kelas."
Andre menyelami tangan tersebut terlebih dahulu sebelum kedua orang lelaki itu pergi meninggalkan kantor guru.
Sepanjang perjalanan Pak Agam cukup banyak menceritakan tentang sekolah mereka yang mempunyai pendidikan yang baik. Di sana juga memiliki peraturan yang tegas dan ketat dan Pak Agam menjelaskan cukup rinci tentang hal tersebut.
Andre yang mengikuti langkahnya dari belakang, hanya terus mengangguk kan kepalanya sampai merasa lehernya cukup sakit karena terlalu lama mengangguk.
Klek!
"Ketua kelas!! Elma menjebak rambut gue sampai rontok. Lo harus memarahinya!" jerit seorang murid lelaki, berlari ke belakang punggung seorang gadis yang baru saja datang dan hendak memasuki kelas tersebut.
Melihat air muka Pak Agam sepertinya, kelas itulah yang akan ditempati Andre. Dan ternyata cukup ricuh untuk ukuran anak kelas IPA, yang biasanya paling mementingkan individu daripada sosialisasi.
"Unik, kan?" celetuk Pak Agam, membuat Andre menoleh ke arahnya dengan tatapan bertanya.
Andre tak tahu kapan wali kelasnya itu mulai memperhatikan ekspresi wajahnya. Tapi setelah Andre lihat sekilas, sepertinya lelaki itu cukup peka dengan sekitarnya. Jadi dia akan tahu pikiran orang-orang di sekelilingnya dengan baik.
Andre kembali mengangguk untuk ke sekian kalinya. Tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya, karena dia sedang berusaha membangun citra anak pendiam di sekolah barunya ini.
Pak Agam tersenyum masam, melihat ekspresi wajah Andre yang cukup datar melihat keunikan kelasnya. Padahal kata kedua orang tua Andre atau pun kakak lelakinya, Ady, Andre bukan tipe anak yang suka diam di satu tempat. Dia orang yang cukup hiperaktif dari kecil.
Jadi siapa yang akan menyangka jika anak yang di temani Agam saat ini sangat berbeda dengan penjelasan keluarganya?
"Ellen," panggil Pak Agam, membuat dua murid yang dari tadi ribut di depannya itu. menoleh pada mereka.
Lelaki yang hampir memeluk pundak siswi bernama Ellen itu, melepaskan kedua tangannya dari bahu gadis tersebut dan membiarkannya pergi ke arah Pak Agam dan Andre berada.
Anak lelaki itu hanya diam, memperhatikan perawakan Andre dengan intens. Dari atas sampai bawah, sebelum dia memutuskan masuk ke dalam kelas dan meminta teman-temannya untuk diam karena Pak Andre mungkin membawa teman baru untuk mereka.
"Ya, Pak?" tanya siswi bernama Ellen, setelah dia berada di depan wali kelas dan anak lelaki yang tidak dikenali identitasnya.
"Ini Andre, mulai sekarang dia akan belajar bersama kalian. Kemarin Bapak sudah bilang kalau akan ada murid baru, kan?"
Ellen mengangguk dan tersenyum kaku, walaupun dia berusaha ramah. Tapi ekspresi wajahnya yang alaminya terlihat dingin, malah terlihat mengerikan saat tersenyum.
Andre sampai bergidik melihat wajahnya yang bak psikopat itu, saat tersenyum.
"Bapak serahkan dia padamu. Jangan lupa, kamu ingat yang Bapak katakan kemarin, kan? Kamu harus menjaganya dengan baik," ucap Pak Agam, seakan-akan sangat mengandalkan murid perempuan itu.
Ellen hanya mengangguk dan membiarkan wali kelasnya pergi meninggalkan mereka. Ya, itu karena Pak Agam akan ada pelajaran di kelas lain. Jadi dia harus buru-buru pergi mengejar jam pelajaran pertama.
Ellen dan Andre saling diam. Ellen masih menatap wajah Andre cukup lekat, sampai-sampai membuat Andre mengulas senyuman masam saat melihat tatapan intens itu.
"Sekarang lo gak papa sama keramaian?" tanya Ellen, untuk pertama kalinya.
Andre yang mendengar pertanyaan absurd itu, hanya menatapnya dengan tatapan bingung dan mulut yang setengah menganga.
Ellen yang peka dengan kebingungannya, hanya tersenyum masam dan mengajaknya masuk. "Lupakan, kayaknya lo udah jauh lebih baik dari keadaan terakhir kali," celetuknya, penuh teka-teki.
Ellen masuk ke dalam kelasnya dengan di ikuti oleh Andre.
Semua murid yang tadinya gaduh, tiba-tiba menjadi diam saat Ellen berjalan masuk ke dalam kelas dan berdiri di podium, belakang mimbar tempat guru biasanya mengajar.
Semua fokus anak-anak kelas tersebut langsung tertuju kepada ketua kelas tanpa di minta. Entah kenapa, Andre merasa jika kelas ini terlalu tertib. Walaupun sangat mengejutkan bagi Andre, setelah melihat citra anak-anak kelasnya untuk pertama kalinya, tadi.
Seorang murid lelaki yang duduk di paling ujung bagian kiri, mengangkat tangannya bahkan sebelum ketua kelas mereka mengucapkan salam selamat pagi.
"Siapa dia?" tanya lelaki itu, membuat perhatian Ellen tertuju padanya.
"Murid baru. Lo juga tahu, tapi malah bertanya. Aneh, kan?" celetuk Ellen, membuat teman-teman yang lain tertawa sambil memperhatikan wajah lelaki yang duduk di belakang sana.
Angga, anak lelaki yang baru saja mengajukan pertanyaan pada Ellen, hanya memutar bola matanya malas dan kembali diam, memperhatikan ketua kelasnya dengan cermat.
"Oke, sekarang mari kita mulai perkenalkannya. Seperti yang gue katakan kemarin, dia memiliki sedikit masalah sosial. Tolong jangan terlalu terburu-buru untuk mendekatinya," celetuk Ellen, membuat Andre menatapnya dengan tatapan terkejut.
Ya, siapa yang tidak terkejut? Ellen baru saja mengembangkannya jika Andre memiliki kelainan sosial. Walaupun bukan sekelas dengan orang introvert, tetapi tetap saja, siapa yang tidak malu diperkenalkan dengan cara seperti itu?
Belum dimulainya perkenalkan diri saja, Andre sudah dibuat kesal dan marah oleh setelah kelasnya, Ellen! Tapi sepertinya, gadis itu tidak menyadari kesalahannya dan malah meminta Andre untuk segera memperkenalkan diri pada teman-temannya.
Ellen menatap Andre dengan tatapan bertanya dan setengah bingung. "Kenapa? Lo enggak berani perkenalkan diri? Apa harus gue yang memperkenalkan kamu pada mereka??" tanyanya, setengah berbisik agar Andre tidak malu.
Andre mendenguskan napas kasar dan maju satu langkah lebih depan dari posisi Ellen. Dia menatap ke depan, menatap orang-orang yang sedang menatapnya dengan tatapan gugup, sebelum akhirnya nyalinya menghilang begitu saja.
Kluk ....
Andre menundukkan kepalanya, membuat Ellen yang berdiri di dalam satu langkah lebih belakang dari posisi Andre, maju untuk menyamai posisinya dan menatap lelaki itu dengan tatapan tenang.
"Lo baik-baik saja? Tidak ada satu orang pun yang bisa ganggu lo, selama gue ada di sini. Lo cukup menyebutkan nama dan asal lo aja. Setelah itu, gue pastikan enggak akan ada pertanyaan lain!" ucap Ellen, terlihat sangat yakin saat mengatakannya.
Andre menatapnya, menatap wanita yang terdiri di sebelahnya dengan posisi sedikit membungkuk, karena dia hendak melihat wajah Andre yang tertunduk cukup dalam.
"Lo yakin? Kalau mereka tidak akan bertanya hal yang aneh-aneh?" tanya Andre, dengan wajah polosnya.
Ellen menganggukkan kepalanya mantap, seakan memberi keberanian Andre untuk memperkenalkan diri.
Menghirup napas dalam, Andre berusaha menenangkan ketakutannya. Mengendalikan dirinya, sebelum kembali mengangkat kepala dan mengedarkan pandangannya kembali, pada calon teman-temannya.
"Fuhh ..." Andre membuang napas cukup kencang, sampai membuat anak-anak di kelas itu menatapnya dengan alis yang hampir menyatu di tengah-tengah kening mereka.
Ya, mungkin gelagat Andre yang kelewat tegang cukup mengusik ketenangan mereka. Terlebih lagi, dia menghabiskan cukup banyak waktu untuk perkenalkan dirinya.
"Nama gue Andre, gue pindahan dari sekolah XX. Gue harap kalian bisa berteman baik sama gue," ucap Andre, akhirnya mendapatkan sambutan tepuk tangan yang cukup meriah dari anak-anak kelas tersebut.
Ellen menepuk pundaknya beberapa kali, sambil mengulas senyuman manis yang mengatakan, "dia hebat".
Andre hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, sembari berterima kasih pada Ellen yang sudah menyemangati dirinya.
"Sekarang pilihlah tempat duduk yang kamu suka. Ada cukup bangku kosong di kelas ini. Bukan karena penghuninya tidak masuk, tapi memang karena belum di isi. Banyak calon murid baru, jadi kami sudah meletakkan tempat duduk mereka terlebih dahulu sebelum mereka datang. Supaya enggak repot aja," jelas Ellen, dengan ramah.
"Kalau gitu, gue gak papa duduk di pojok sana, kan?" tanya Andre, menunjuk ke arah salah satu tempat duduk yang ada di ujung kelas bagian kanan, dan itu adalah tempat duduk Ellen.
Teman-teman sekelasnya, yang melihat sikap Andre, langsung menatap ke arah Ellen dengan tatapan menuntut.
Ellen hanya tersenyum masam dan menganggukkan kepalanya. "Ya, duduklah di tempat itu kalau kamu nyaman. Aku akan duduk setempat lain," celetuknya, membuat seorang lelaki yang duduk di barisan depan bangku yang di inginkan Andre, berdiri dan menatap keduanya dengan tajam.
"Itu bangku lo El. Jangan main memberikannya pada orang lain. Gue lebih senang, kalau lo yang duduk di sana!" ucap Dika, dengan kening yang sudah mencuram cukup dalam.
Ellen melambaikan tangannya, menghentikan ucapan lelaki itu dengan tegas. "'Gue gak papa, Dik. Bangku sebelah lo kan masih kosong. Gue bisa duduk di sana!" ucapnya, mengalah.
Tapi lain halnya dengan Andre, yang mengetahui fakta tersebut. "Sorry, gue gak tahu kalau itu bangku lo. Gue duduk di sebelahnya aja. Itu masih belum ada orangnya, kan?"
Ellen menoleh ke arah Andre dan mengulas senyuman masam. "Lo yakin?"
Andre mengangguk dan kepalanya dan berjalan ke bangku yang ada di sebelah meja Ellen. Dia meletakkan tasnya di kursi dan duduk dengan rapi di sana.
Orang-orang di sekitar Andre, menatapnya dengan tatapan yang membuat Andre kurang nyaman.
Dia langsung menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya yang tampak canggung dari pandangan orang-orang.
"Hei, jangan mengintimidasinya. Kalian ingat apa yang gue bilang kemarin, kan?" seru Ellen, tiba-tiba nada suaranya berubah menjadi dingin.
Sampai membuat Andre yang menunjukkan kepalanya, mendongak kembali dan menatap wajah Ellen yang sudah berubah menjadi dingin.
Padahal beberapa saat yang lalu dia masih terlihat ramah, walaupun ekspresinya memang judes. Tapi lihatlah sekarang. Dia terlihat benar-benar dingin dan terkesan merendahkan yang lain.
Mungkin lebih tepat jika itu disebut sebagai tekanan, daripada merendahkan. Karena di mata Andre, gadis itu terlihat sangat keren karena di takuti orang-orang, tanpa dia harus melakukan hal buruk seperti menggertak teman-temannya.
Hening, bisa waktu jam pelajaran pertama dihabiskan dengan kesunyian karena tekanan yang diberikan oleh Ellen pada teman-temannya, seakan membekas di otak mereka dan membuat yang lainnya, tidak berani bergerak sembarangan.
Andre menatap wajah Ellen yang mengacuhkan tatapan anak-anak yang terlihat takut kepadanya. Gadis itu hanya menundukkan kepalanya, membaca buku pelajaran pertama sambil mengerjakan beberapa soal dengan tenang ditemani dengan earphone-nya.
"Lo bisa berhenti lihat gue? Gue cukup risik karena di tatap terus!" celetuk Ellen, langsung menoleh pada Andre dengan cepat sampai membuat lelaki itu salting karena ketahuan melihatnya.
"So-sorry kalau gue ganggu," celetuk Andre, segera memalingkan wajahnya ke arah lain, dengan canggung.
Kringgg ....
Ellen merenggangkan badannya yang terasa lelah setelah jam pelajaran ke-7 selesai.
Begitu pula dengan anak-anak, mereka bergegas pergi keluar kelas untuk pergi ke kantin.
Dika menoleh ke belakang, menatap Ellen yang masih membereskan buku-bukunya, dan menyiapkan buku untuk pelajaran selanjutnya.
"Lo gak pergi ke kantin? Kayaknya suasana anak-anak lagi suram gara-gara lo marah tadi. Lo gak mau membaur sama mereka?" tanya Dika, terlihat cukup perhatian kepada Ellen.
Ellen hanya menggelengkan kepalanya pelan dan menyandarkan kepalanya di meja, menutupi wajahnya dengan buku dan memejamkan matanya, untuk pergi tidur.
Dika menggidikkan tahunya tak acuh dan bangkit dari tempat duduknya. Dia berjalan mendekati Andre, dan membuat lelaki itu memandangnya.
"Apa?" tanya Andre, saat Dika memandangnya dengan tatapan serius dan cukup lama.
"Lo gak mau ke kantin?" tanya Dika, dengan nada bersahabat.
Tidak seperti tadi, kali ini Dika terlihat cukup baik sebagai teman. Dan ternyata lelaki itu cukup ramah padanya.
"Lo ajak gue ke kantin??" tanya Andre, menunjuk dirinya sendiri. Memamerkan ekspresi wajah tidak percaya kepada ajakkan Dika ini.
Dika menganggukkan kepalanya, menatap Andre dengan tatapan bingung. Karena lelaki itu seperti terlihat sangat senang saat seseorang mengajaknya keluar bersama.
Ellen membuka buku yang menutupi wajahnya, memperhatikan kedua lelaki yang ada di hadapannya dengan senyuman manis.
"Belikan gue susu coklat, ya? Lapar juga gue," celetuk Ellen, menarik punggungnya ke belakang, kembali duduk dengan tegak sambil melihat dua anak lelaki yang memandangnya.
"Kalau mau makan, ya lo ikut kita aja. Lagian anak-anak juga pasti lagi cariin lo di sana. Lo kan gak pernah absen sama makanan kantin. Mumpung gratis nih. Banyak laut yang enak hari ini. Yakin enggak mau makan nasi?" ucap Dika, mendekat padanya dengan kedua alis yang terus naik-turun, seraya menggoda kesabaran Ellen.
Ellen memutar bola matanya malas dan bangkit dari tempat duduknya, berjalan terlebih dahulu keluar kelas diikuti dengan Dika dan Andre.
Sesampainya mereka di kantin, Ellen malas disuguhkan dengan pekerjaan yang menumpuk. Karena ada tiga orang anak kelasnya yang bertengkar dengan anak kelas IPS. Terlebih lagi, anak-anak itu adalah kakak kelas mereka.
Dika dan Andre spontan melihat ke arah Ellen yang baru saja menghela napas kasar dengan bunyi yang cukup lantang.
"Sabar ... sabar ... orang sabar di sayang pacar sama Tuhan. Kalau lo enggak sabar, nanti gue yang sayang! Mau lo gue sosor pake congor gue?!" celetuk Dika, membuat telunjuk Ellen mengarah pada keningnya, akan mendorong kening lelaki itu dengan pelan.
Dika hanya tertawa saat kepalanya di toyor seperti itu oleh Ellen. Dia bahkan tidak marah, dan malah mengikuti langkah Ellen yang berjalan pergi mendekati anak-anak kelasnya, yang tengah ribut di tengah kantin.
"Woi udah-udah, kenapa pada bertengkar si–" Duak ....
Ellen yang bahkan baru masuk di tengah-tengah pertengkaran itu, langsung mendapatkan serangan dari salah satu siku anak-anak yang bertengkar di sana.
Baru masuk ke dalam keributan itu, tapi dia langsung tersentak mundur dan membuat teman-temannya panik, saat melihat Ellen tersungkur di atas lantai dengan posisi terduduk, dengan tangan kiri yang sudah memegang hidungnya.
"Len, lo gak papa?!" teriak Andre, saking terkejutnya melihat Ellen yang jatuh tepat di bawah kakinya.
Tanpa sadar, sentakkan dari suara Andre yang berat, membuat keributan 6 orang itu terselesaikan dengan mudah.
Ya, siapa yang tidak terkejut mendengar suara sebesar itu berteriak dengan suara yang cukup lantang.
Mangkanya, hampir semua orang yang ada di kantin, bahkan melihat ke arahnya dengan tatapan beragam.
Tapi yang jelas, tiga anak dari kelas mereka, yang tadinya bertengkar. Langsung menghampiri Ellen dan menatapnya dengan panik.
"Idung lo berdarah!!" teriak Elma, panik melihat hidung Ellen yang mengeluarkan darah cukup banyak sampai membasahi celah jemarinya yang menutupi sebagian wajah, bagian bawahnya.
"Huee ... sorry, Len. Gue gak sengaja!" seru seorang kakak kelas, yang bertengkar bersama dengan 3 orang dari kelas Ellen tadi, setelah mendapati siku bagian kirinya, terdapat bercak darah yang cukup banyak.
Elma, Lora dan Sia yang mendapati perkataan itu, langsung kembali bangun dan menghajar kakak kelas itu kembali.
Membuat keributan gelombang kedua terjadi. Bahkan lebih heboh dari yang pertama. Karena tiga orang perempuan yang berasal dari kelas Ellen, terus berteriak kepada kakak kelas mereka dengan suara yang kencang.
Ellen yang kesakitan, akhirnya tidak bisa melerai pertengkaran teman-temannya. Tapi dia memilih untuk mencubit tiga kaki teman-temannya, sampai mereka terduduk dan kesakitan.
"Anjirrr ... ngapain lo cubit-cubit gue, gila ya lo, Len! Kita lagi sibuk bela lo. Tapi lo malah nusuk kita dari belakang? Memang dasar teman, gak pernah sadar diri!" celetuk Sia, sok memelas dengan terus menggosok betisnya yang sakit.
Andre hanya diam di tempatnya dengan posisi setengah membungkuk, karena tadi, dia ingin membantu Ellen. Tapi gadis itu malah mengambil tindakan lebih dulu untuk teman-temannya, game membuat keributan konyol di sana.
Tiga orang teman Ellen terus memprotes Ellen karena dia mencubit kaki mereka sampai terasa benar-benar sakit dan memerah.
Tapi yang dilakukan Ellen malah tertawa terbahak-bahak, seakan menertawakan penderitaan teman-temannya.
Tapi karena hal itu, tiga orang teman perempuannya, yang tadi memprotes dirinya karena sikap tak tahu diri itu, kini malah ikut tertawa sambil menangis, sambil mengusap-usap betisnya juga.
Pemandangan yang benar-benar konyol untuk Andre. Tapi juga mengundang tawa untuknya, karena melihat kekonyolan empat orang teman perempuannya.
Dika yang dari tadi mengawasi, juga terlihat lebih tenang karena teman-temannya sudah terlihat akur walaupun ketua kelas mereka lagi-lagi kembali terluka.
"Hahh .. dasar strong woman," pekik Dika, mengundang perhatian Andre.
"Strong woman? Siapa? Ellen??" tanya Andre, dengan wajah lu goyang terlihat sangat polos.
Bahkan Dika sampai gemas melihat ekspresi wajah Andre saat ini. Mungkin jika Andre adalah perempuan, Dika sudah menghabisi pipinya.
"Iya, strong woman. Itu julukan Ellen dari anak-anak kelas. Hahh ... caranya memang kasar untuk mendisiplinkan kita. Tapi lo tahu enggak, kalau dia enggak pernah mau kita masuk ke dalam masalah yang lebih dalam?" tanya Dika, menatap lawan bicaranya dengan senyuman masam.
"Basipun, seandainya padi mereka bertiga tawuran pakai senjata tajam, kayak garpu atau pisau buat iris daging, misalnya! Ellen pasti tata pasang badan buat mereka, biar enggak dipanggil ke ruang BK! Hebat, kan? Walaupun lebih mirip kayak orang bego, tapi gue yang sekarang gak bisa ngomong apa-apa. Karena gue juga lagi ditolong sama dia setiap akhir semester terjadi!" ucap Dika, mengundang pertanyaan di kepala Andre.
"Setiap akhir semester?? Memang apa yang bisa dilakukan anak yatim piatu kayak Ellen, buat mereka-mereka yang punya aset di kehidupannya? Merasa atau enggak, tapi gue yakin penghormatan anak-anak kelas sama Ellen terlalu berlebihan. Pasti ada sesuatu yang terjadi di dalam kelas ini, kan?" batin Andre, mulai menebak-nebak apa itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!