Hai teman-teman semua, selamat datang di cerita baru aku, ya. Semoga kalian menikmati cerita ini, dan bisa mengisi kebosanan dalam hidup kalian, oke. Dan novel ini akan sedikit vulgar mungkin awalnya ya teman-teman.
*HAPPY READING*
"Ahh," suara nikmat keluar dari mulut sepasang lelaki dan wanita yang kini meraup surga dunianya. Seorang wanita yang ada dibawahnya tersenyum senang melihat lelaki diatasnya yang seperti begitu menikmati permainan mereka.
Tidak senikmat wanita itu. Batin Lelaki tersebut mengingat kejadian sekitar empat tahun lalu dimana dia tidak sengaja memperawani seorang gadis yang tak dia kenal.
"Memuaskan, Tuan?" tanya wanita dibawahnya.
Tanpa menjawab, Lelaki tersebut turun dan berbaring telentang disebelah wanita tersebut. Tangannya tergerak mengambil dompet yang ada di meja sebelah ranjang. Dia mengambil selembar cek yang ada di sana dan memberikan pada wanita tersebut.
"ini untukmu. Sekarang keluarlah," ucap lelaki tersebut.
Wanita itu tersenyum senang dan mengibaskan cek tersebut di dadanya. Lelaki tampan itu meremas sedikit dada wanita itu, sehingga membuat si empunya mendesah nikmat. "Bersihkan tubuhmu, dan keluarlah," ucap lelaki tersebut.
Wanita itu mengangguk dan segera ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Tiga puluh menit, wanita itu keluar dengan pakaian lengkap. "Jika membutuhkan kenikmatan, jangan lupa hubungi saya lagi, Tuan Nadhif," ucap wanita tersebut genit kepada lelaki yang masih telentang di kasur. Tubuhnya hanya dibalut selimut hingga batas pusar, sehingga memperlihatkan dada bidang dan perutnya yang begitu menggoda iman para wanita.
Lelaki itu terkekeh mendengar penuturan wanita tersebut. "Benar-benar ******," desisnya menatap wanita tersebut.
Ya, dia adalah Aqmar Nadhif Fabrian. Nadhif, begitulah panggilannya. Seorang pengusaha muda berusia 26 tahun nan sukses karena kepiawaiannya dalam dunia bisnis. Raja bisnis, gelar yang pemberian dari rekan bisnis Nadhif. Siapapun yang menjalin kerja sama dengan Nadhif, pasti mereka akan menuai kesuksesan dan keberhasilan dari kerjasama tersebut. Entahlah, Nadhif benar-benar membawa keberuntungan dalam setiap usaha yang dijalaninya.
Tapi dibalik keberhasilannya, dibalik sikap hambel dan tegasnya dalam dunia bisnis, terdapat sikap kejam yang Nadhif miliki terhadap seorang wanita yang kini menganggu hidupnya. Wanita yang beberapa jam yang lalu menjadi istrinya atas permintaan sang Ibu, namun tidak dengan hatinya. Wanita malam, minuman keras dan rokok adalah tempat pelampiasan Nadhif, seperti saat ini contohnya.
.....
Sedangkan di tempat lain, tepatnya di dalam sebuah kamar yang sudah dihias layaknya kamar pengantin baru. Kamar yang sangat indah, namun bertolak belakang dengan suasana hati seorang wanita yang tengah gundah menunggu lelaki yang beberapa jam lalu resmi menjadi suaminya.
"Kenapa Tuan Nadhif belum pulang juga, ya," gumam wanita itu menatap pintu kamarnya. Riasan pengantin sudah hilang dari wajahnya, pakaiannya juga sudah berganti dengan pakaian tidur biasa.
"Ditinggal dimalam pertama, tidak ada yang lebih menyedihkan dari pada ini," gumamnya sendu mengingat bagaimana perlakuan sang suami kepadanya tadi.
"Sabar Una, ada pelangi setelah hujan," gumamnya menyemangati diri sendiri.
Ya, dia adalah Lubna Azizah. Seorang wanita cantik berusia dua puluh satu tahun, dengan mata bulan dan bulu yang lentik, bibir mungil dan merah alami, serta hidung mancung mungil dan dagu yang indah dengan belahan ditengahnya. Dia benar-benar jelmaan bidadari surga di dunia ini. Ditambah dengan hijab yang menutupi auratnya. Tapi sayang, semua itu tidak berlaku untuk sang suami yang begitu tidak menginginkannya.
Una merupakan seorang pembantu yang diminta untuk menjadi istri anak majikannya. Entah karena alasan apa, tapi majikannya meminta Una untuk menjadi istri dari anak satu-satunya.
*Flashback*
"Una," panggil Elara Shafwan, seorang wanita paruh baya yang merupakan majikan di tempatnya bekerja.
"Iya, Nyonya," jawab Una menunduk sopan.
Nyonya Elara tersenyum. "Jadilah menantu saya, Una," ucap Elara yang mampu membuat Una mengangkat kepalanya menatap tak percaya majikannya tersebut.
"Ma-maksud Nyonya?" tanya Una tak mengerti.
"Menikahlah dengan anak saya, Nadhif, Una. Saya yakin kamu adalah wanita yang cocok untuk mendampingi anak saya. Dan lagi, Hanum, anak kamu membutuhkan sosok seorang Ayah, bukan?" ucap Elara.
Ya, Una memiliki seorang anak gadis cantik berusia empat tahun yang bernama Haisya Hanum Hanania. Anak hasil dari masa lalu kelam yang dialami oleh Una.
"Tapi Nyonya-"
"Nadhif juga dekat dengan Hanum, saya yakin dia pasti tidak keberatan. Ini permintaan saya, Una. Saya ingin kamu membayar semua kebaikan saya dengan menjadi menantu saya," ucap Elara.
"Nyonya-"
"Tidak ada penolakan, atau saya akan memutus biaya pengobatan Hanum," ucap Elara.
Una mengangguk pasrah menjawab pertanyaan Elara. "Baiklah, Nyonya. Saya akan menikah dengan Tuan Nadhif," ucap Una tanpa bisa menolak.
"Terimakasih, Una," ucap Elara memeluk Una. Keinginannya selama ini terpenuhi. Apa yang sudah sangat lama dia rencanakan, akhirnya bisa terwujud untuk menikahkan Una dengan Nadhif.
*Flashback Off*
Matahari pagi telah menyapa. Una membuka matanya dengan perlahan. Tidak sengaja matanya menangkap sosok lelaki yang kemarin menjadi suaminya sedang tidur di sofa kamar mereka.
Una berdiri dan mendekati lelaki tersebut. Dengan takut Una menggoyangkan sedikit bahu lelaki tersebut.
"Tu-Tuan," ucap Una.
"Bangun, Tuan Nadhif. Ini sudah pagi," ucap Una.
Terdengar lenguhan dari mulut Nadhif. Dia membuka mata dan langsung menatap benci wanita di yang berdiri di depannya.
"Kenapa Tuan tidur di sofa? Badan Tuan akan terasa sakit," ucap Una menunduk.
Nadhif tersenyum sinis. "Kamu pikir, saya mau satu ranjang dengan wanita seperti kamu," ucap Nadhif berdiri.
"Ganti spray kasur. Saya tidak mau satu keringat dengan kamu," lanjut Nadhif tegas.
Una mengangguk patuh. Una berjalan kembali ke ranjang dan melepas spray kasur. Dia mengambil spray baru di lemari dan kembali memasangkannya pada kasur, bantal dan guling.
"Jangan pernah gunakan spray itu lagi. Buang saja! Dan ingat, jangan pernah lagi tidur di kasur saya!" ucap Nadhif berjalan ke kamar mandi.
"Dan satu lagi," Nadhif berbalik dan menjeda ucapannya sebentar. Una hanya menunduk tidak berani menatap mata tajam Nadhif.
"Anak haram kamu itu jangan dekat-dekat lagi dengan saya!" ucap Nadhif tajam dan berlalu ke kamar mandi.
"Dia bukan anak haram," ucap Una lirih. Bukan keinginan Una untuk menjadi ibu di usia muda, tapi lagi-lagi takdir mempermainkan kehidupan masa lalunya. Karena permainan takdir, di usia tujuh belas tahun, Una harus menjadi seorang Ibu tunggal tanpa suami dan keluarganya.
.........................
Semoga menikmati, ya teman-teman. Jangan lupa kasih like dan komentar kalian, biar aku makin semangat.
Jangan lupa mampir di Instagram aku ya, @nonamarwa_ . Kalian bisa melihat postingan-postingan bermanfaat disana dan juga mengenai semua karya-karya ku. Terimakasih ,,,,,,,
*HAPPY READING*
Nadhif menuruni anak tangga satu persatu. Kakinya melangkah menuju meja makan untuk sarapan.
Dirumah ini, Nadhif hanya tinggal bersama Una dan Hanum, anak kandung Una. Sedangkan Elara sudah kembali ke Jerman, tempat dia menghabiskan waktu bersama sang suami yang sudah lebih dulu pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Sampai di meja makan, Nadhif sudah disuguhkan sepiring nasi goreng, susu dan segelas air putih. Nadhif memang lebih suka susu dari pada kopi atau teh untuk minum paginya. Dan tentunya Una yang menyiapkan semua ini. Karena sebelum menikah, memang Una yang menyiapkan makanannya.
Tiga tahun sudah Una menjadi pembantu rumah tangga di rumah Nadhif. Dan itu semua juga atas perintah Elara yang tak terbantahkan. Nadhif tidak mungkin bisa menolak perintah wanita kesayangannya itu. Mau tidak mau, Nadhif menerima Una dan anaknya untuk tinggal sekaligus menjadi pembantu dirumahnya.
"Papi," ucap seorang anak kecil senang yang mendatangi Nadhif dengan sepiring nasi goreng di tangannya.
"Hanum makan sama Papi, ya," ucapnya senang.
"Berhenti dan kembali ke dapur. Tempatmu bukan disini," ucap Nadhif menatap tajam anak perempuan tersebut.
"Tapi biasanya Hanum makan sama Papi kan?" tanya Hanum menunduk takut.
"Mulai sekarang berhenti memanggil saya Papi. Saya bukan Ayah kamu!" ucap Nadhif.
"Tapi kenapa? Bukannya sebelumnya Hanum juga panggil Papi?" ucap Hanum sendu.
"Saya majikan kamu! Jadi berhenti memanggil Papi. Kamu bukan anak saya, ingat itu!" ucap Nadhif tajam dan berlalu meninggalkan meja makan. Nafsu makannya tiba-tiba hilang karena kedatangan Hanum. Hanum tidak salah, hanya saja setelah menikah dengan Una, perasaan sayang pada Hanum berubah menjadi benci. Entahlah, saat ini Nadhif benar-benar membenci sesuatu yang berhubungan dengan Una, istirnya.
Hanum memandang nasi goreng ditangannya dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa Papi berubah? Padahal kemarin Papi menikah dengan Ibu," gumam Hanum sendu. Hanum kembali membawa nasi gorengnya ke dapur.
Di sana, Una menatap sendu anaknya. "Hanum," panggil Una lembut.
"Ibu," ucap Hanum dengan suara bergetar.
"Hanum jangan sedih, ya. Mulai sekarang kita harus makin tahu tempat kita. Ibu hanya pembantu disini, pernikahan kemarin itu anggap saja tidak terjadi, ya Nak," ucap Una.
"Tapi kenapa Papi tiba-tiba jahat, Bu?" tanya Hanum sendu.
Una menggeleng. "Tuan Nadhif tidak jahat, Nak. Dia hanya mengingatkan tempat kita yang sebenarnya," ucap Una.
Hanum menatap Una dengan pandangan sendu dan mengangguk. "Hanum akan panggil Tuan Nadhif mulai sekarang, Bu. Karena tidak sopan jika pembantu memanggil Papi pada majikannya," ucap Hanum dewasa.
Una mengangguk. Dia memeluk erat tubuh Hanum yang sangat dia sayangi. "Hanum harus patuh, ya. Mulai sekarang kita harus tahu batasan. Dan Hanum tidak bisa bebas seperti dulu lagi, biar Tuan Nadhif tidak marah," ucap Una.
"Iya, Bu. Hanum tidak akan nakal, kok. Hanum bantu Ibu pel lantai, ya," ucap Hanum.
Una menggeleng. "Hanum belajar aja di kamar, ya. Biar Ibu yang kerjakan. Hanum harus jadi anak pintar biar Ibu bangga," ucap Una.
Hanum mengangguk. Setelah itu dia pergi kesebuah kamar kecil yang berada di ujung dapur dan dekat kamar mandi. Di sanalah tempatnya yang sebenarnya, anak itu sudah berpikir dewasa karena sebuah keadaan yang memaksanya. Tidak ada pilihan selain menjadi dewasa bagi Hanum. Apalagi sikap Nadhif yang biasanya memanjakan, kini tiba-tiba berubah drastis, sangat membencinya.
"Jangan sedih, Hanum. Memang begini seharusnya, Tuan Nadhif hanya mengingatkan tempat Hanum yang sebenarnya," gumam Hanum sendu.
Una menatap punggung kecil Hanum. Tanpa bisa dia tahan, air matanya menetes begitu saja. "Maafkan Ibu, Nak. Takdir buruk Ibu harus berimbas kepada kamu, Nak," gumam Una lirih. Setelah itu Una kembali melanjutkan kegiatannya.
…..
Nadhif berjalan memasuki gedung tinggi menjulang itu dengan wajah tegasnya. Tidak lupa lelaki itu sesekali tersenyum dan mengangguk membalas sapaan keryawannya. Pesona Nadhif memang tidak bisa dipungkiri, tampan dan berwibawa. Nadhif bukan pimpinan seperti kebanyakan yang dingin pada bawahannya. Meskipun tegas, Nadhif merupakan pemimpin yang ramah dan baik pada karyawannya. Tapi, jika satu kesalahan diperbuat oleh karyawannya, maka Nadhif tidak akan memberi ampun untuk itu.
"Mark," panggil Nadhif pada sekretaris sekaligus asisten pribadinya.
Saat ini Nadhif sudah sampai di ruangannya. Pria itu nampak memandang jauh penjuru kota yang dapat dia lihat dari lantai lima puluh lima itu.
"Ya, Tuan," jawab Mark lembut dan sopan.
Berbeda dengan Nadhif, Mark adalah orang yang kaku dan dingin. Apalagi dalam hal bicara,Mark akan sangat irit, kecuali jika itu hal penting atau mengenai pekerjaannya.
Nadhif menghela nafas pelan. "Apa kau sudah menemukan wanita itu?" ucap Nadhif.
"Beri saya waktu, Tuan," ucap Mark membungkuk.
"Bahkan ini sudah empat tahun, Mark. Butuh waktu berapa lama lagi?" ucap Nadhif berbalik menatap Mark.
"Sangat sulit menemukan jejak wanita itu, Tuan," jawab Mark.
Nadhif menghela nafas pelan. "Aku hanya khawatir dengan masa depan gadis itu, Mark. Bahkan saat itu dia masih berusia tujuh belas tahun," ucap Nadhif kembali menatap jalanan kota.
"Aku berharap secepatnya kau menemukannya, Mark. Dan ya, pesan wanita untukku," lanjut Nadhif dengan pesan yang selalu dia sampaikan pada Mark.
"Wanita, Tuan?" Tanya Mark memastikan.
Nadhif mengangguk menjawab pertanyaan Mark. "Kau pasti tahu kebutuhanku," jawab Nadhif.
"Tapi Nyonya Una-"
"Berhenti memanggil dia Nyonya, Mark. Dia hanya pembantu di rumahku!" ucap Nadhif cepat memotong perkataan Mark.
"Entah ada angin apa Mama menjodohkanku dengan perempuan menjijikan itu. Seorang pembantu, yang bahkan sudah punya anak diusia mudanya," gerutu Nadhif yang masih terdengar jelas di telinga Mark.
Nadhif berbalik dan segera duduk di kursinya. "Kau boleh keluar, Mark. Lanjutkan pekerjaanmu," ucap Nadhif dengan tangan yang sibuk dengan file dan pulpen.
Mark mengangguk patuh. Dengan segera dia meninggalkan ruangan Nadhif dan kembali ke ruangannya.
.....
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi Nadhif belum kunjung pulang. Una duduk di teras menunggu kepulangan Nadhif dengan perasaan khawatir. Sebagai seorang istri, Una harus memenuhi kewajibannya untuk melayani dan patuh pada Nadhif.
Tiga puluh menit, suara mobil memasuki pekarangan rumah mewah Nadhif. Una langsung berdiri dan segera berjalan sedikit keluar teras.
"Tuan baru pulang?" tanya Una melihat Nadhif yang keluar dari mobilnya dengan pakaian yang sudah berantakan. Namun, tetap tidak mengurangi kadar tampan lelaki tersebut.
Nadhif menaikkan alisnya menatap sinis Una. "Punya hak apa kau bertanya padaku?"
.....................
Semoga menikmati, ya teman-teman. Jangan lupa kasih like dan komentar kalian, biar aku makin semangat, yaa.
Jangan lupa mampir di Instagram aku ya, @yus_kiz. Kalian bisa melihat postingan-postingan bermanfaat disana dan juga mengenai semua karya-karya ku. Terimakasih ,,,,,,,
HAPPY READING
"Tuan baru pulang?" tanya Una melihat Nadhif yang keluar dari mobilnya dengan pakaian yang sudah berantakan. Namun, tetap tidak mengurangi kadar tampan lelaki tersebut.
Nadhif menaikkan alisnya menatap sinis Una. "Punya hak apa kau bertanya padaku?" tanya Nadhif.
"Saya istri Tuan, kalau Tuan lupa," ucap Una mencoba berani menatap Nadhif.
Nadhif menghentikan langkahnya mendengar perkataan Una. Dia berbalik dan menatapi Una dari ujung kaki hingga ujung kepalanya. Una yang melihat itu merasakan gugup luar biasa. Tapi dia mencoba untuk berani di depan Nadhif.
"Apa kau tidak berkaca sebelum bicara seperti itu? Bahkan wanita yang aku bayar lebih baik dari pembantu sepertimu!" ucap Nadhif sarkas tepat di wajah Una.
Una menutup mata mendengar perkataan menyakitkan Nadhif. "Dulu Tuan tidak seperti ini pada saya," ucap Una pelan.
Nadhif bersedih sinis. "Dulu, sebelum aku tahu kau memanfaatkan Mama ku untuk meminta menikahkan ku denganmu," jawab Nadhif.
"Saya tidak seperti itu, Tuan," ucap Una menatap Nadhif berani.
"Tidak seperti itu kata mu? Yang benar saja. Lalu menurutmu kau ini bagaimana? Wanita baik dengan hijab palsu ini? Hijab yang kau gunakan untuk menutupi kebusukan mu, iya?" ucap Nadhif.
"Jangan menilai seseorang terlalu cepat, Tuan. Tuan tidak tahu masa lalu saya," ucap Una dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Aku tahu masa lalu mu. Seorang wanita tak jelas yang memiliki anak haram!" ucap Nadhif tajam.
Una menggeleng. "Jangan hina anak saya, Tuan. Dia terlalu kecil menerima perkataan kasar seperti itu. Jika Tuan benci, maka lampiaskan saja pada saya. Dan satu lagi, jangan pernah hina hijab saya, Tuan. Meskipun tidak mahal, tapi ini identitas saya," ucap Una tegas.
Nadhif tersenyum mengejek mendengar perkataan Una. "murah tetap saja murah!" ucap Nadhif dan berlalu meninggalkan Una yang masih mematung mendengar perkataan Nadhif.
Una menghapus air matanya. Wanita itu masih bersyukur Hanum tidak mendengar semuanya. Biar dia yang dihina, tapi jangan anaknya.
Saat Una hendak berbalik, kakinya tidak sengaja menginjak sebuah benda kecil yang sangat tipis. Una mengambil benda tersebut. "Kartu pelanggan," gumam Una membaca kepala kartu tersebut.
Una membulatkan matanya melihat kartu tersebut. "Club' malam," gumam Una lagi.
"Apa ini yang dikatakan Tuan Nadhif dengan wanita bayarannya? Apa suamiku tidur dengan wanita lain? Bukankah sudah ada aku yang seharusnya dia jadikan tempat mencari nikmat dunia dan akhiratnya," gumam Una sendu.
"Haruskan Una menjadi pelacur untuk suamiku sendiri, Tuhan."
…..
Setelah pertengkaran tadi, Una menyusul Nadhif ke lantai dua. Bagaimanapun, Una adalah seorang istri, dia bertanggung jawab untuk semua keperluan suaminya.
Tanpa Una sadari, Hanum melihat semuanya. Anak itu menyaksikan dan mendengar setiap perkataan kasar Nadhif kepada Una dari dapur. Tidak banyak yang anak itu bisa lakukan, dia hanya bisa menangis sambil bertanya-tanya mengenai anak haram yang sering dia dengar dari mulut Nadhif mengenai dirinya.
"Sebenarnya anak haram itu apa? Kenapa Papi selalu bilang Hanum ini anak haram?" gumam Hanum sendu memandang Una yang sudah menjauh di lantai dua.
Hanum memandang gambar yang dia buat. Tangan mungilnya merobek helaiaan kertas yang berisi gambar tersebut, setelah itu dia menempelkan di kulkas rumahnya. "Semoga papi melihat ini nanti," gumam Hanum mengusap pipinya yang basah karena air mata. Setelahnya, Hanum pergi ke kamarnya yang ada di ujung dapur.
.....
Una memasuki kamar Nadhif, yang kini juga menjadi kamarnya. Dia tidak melihat keberadaan Nadhif di kamar, tapi Una mendengar gemercik air dari kamar mandi. Dapat dia pastikan, Nadhif sedang di kamar mandi membersihkan dirinya.
Una berjalan menuju walk in closet, dia mengambilkan baju tidur yang akan digunakan oleh Nadhif. Setelah itu, dia duduk di karpet bulu yang ada di kamar. Una takut, jika dia duduk di ranjang atau sofa, maka Nadhif akan marah besar.
Ceklek.
Pintu kamar mandi terbuka, nampak Nadhif keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Jangan lupakan rambut Nadhif yang setengah basah menambah ketampanannya. Una kagum melihat itu, tapi dia tidak punya hak. Meskipun berstatus sebagai seroang istri, namun Una tidak memiliki sedikitpun tempat di hidup Nadhif.
"T-Tuan," ucap Una berdiri dari duduknya.
Nadhif menghentikan kegiatannya mengeringkan rambut dengan handuk dan menatap Una. "Apa yang kau lakukan disini?" tanya Nadhif sinis.
"Tuan sudah makan malam?" tanya Una lembut.
"Kau pikir bisa merebut hatiku dengan bertanya seperti itu?" ucap Nadhif sarkas.
Una tersenyum lembut. Dia menguatkan hatinya untuk menerima setiap hinaan dan ucapan kasar Nadhif. "Una hanya melaksanakan tugas sebagai seorang istri, Tuan," ucap Una lembut.
"Istri? Dasar murahan!" ucap Nadhif tajam dan pergi meninggalkan Una ke walk in closet.
Una menghela nafas pelan mengabarkan hatinya yang terluka untuk kesekian kalinya. Lima belas menit, Nadhif keluar dari walk in closet dengan pakain casualnya.
Tampan. Itulah satu kata yang terlintas dipikiran Una saat ini ketika melihat Nadhif. Una tersenyum kecut melihat pakaian tidur yang sudah dia siapkan tidak ada gunanya. Pakaian itu hanya menjadi kain lipat di atas kasur mahal Nadhif.
"Tuan mau kemana? Bukankah ini sudah sangat larut, Tuan," ucap Una pada Nadhif yang kini memasang sepatunya.
Nadhif menghentikan kegiatannya dan menatap Una tajam. "Tidak ada hak mu untuk bertanya mengenai kegiatanku!" ucap Nadhif tegas.
"Una adalah istri Tuan!" ucap Una gak kalah tegas menjawab perkataan Nadhif.
"Apa yang kau inginkan? Kau ingin harta? Atau kau ingin aku memberi identitas atas anak harammu itu?" tanya Nadhif menatap jijik Una.
"Tidak ada di dunia ini yang namanya anak haram, Tuan," ucap Una pelan.
"Ada! Anakmu contohnya," jawab Nadhif.
"Hanum tidak salah apa-apa, jadi jangan merubah sikap baik Tuan kepadanya. Setidaknya, izinkan anak saya untuk tetap memanggil anda Papi, Tuan," ucap Una lirih menatap Nadhif.
"Apa kau masih waras? Kau meminta aku mengakui anak haram itu, disaat Bapak kandungnya sendiri tidak tau kemana? Kau punya otak tidak?!" ucap Nadhif marah pada Una.
Una memejamkan matanya mendengar bentakan Nadhif. Sungguh, bukan karena ibu mertuanya, Una memilih pergi dari sini. Jika bukan karena janji dan kesehatan anaknya, Una sudah meninggalkan lelaki angkuh ini.
"Sikap murahanmu yang membuat anakmu menjadi anak haram!" ucap Nadhif berdiri dan pergi mengambil dompetnya di meja sebelah ranjang.
"Tuan mencari ini?" tanya Una mengangkat sebuah kartu ditangannya saat melihat Nadhif seperti sedang mencari sesuatu.
Nadhif berbalik menatap Una. Tanpa aba-aba, dia langsung merebut kartu itu dari Una. "Bahkan ini lebih berharga darimu," ucap Nadhif dan berjalan keluar kamar.
"Kita boleh jahat, Tuan. Tapi jangan bersikap menjijikan untuk mendapat kenikmatan yang akan memberi dosa," ucap Una yang mampu menghentikan langkah Nadhif.
Nadhif tersenyum mengejek dan berbalik menatap Una. "Kau lebih murahan karena mengemis hatiku!"
......................
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!