# Gara Gara Pergi Berlayar
Bab 2 ( Gagal Bertunangan )
" Budi apa benar yang wanita ini katakan? " Bapak Budi langsung menatap tajam menuntut penjelasan dari anaknya.
Bahkan suaranya tak kalah lantang dari suara Tessa. Wajah Budi langsung menegang tak mampu menjawab pertanyaan Abahnya.
" Maaf Abah biar Dini yang jelaskan semuanya " sambil mengusap air mata Dini berucap.
" Sebelumnya Dini minta maaf kepada semua, terutama Papih dan Mamih dan juga Abah dan Umi.
Perlu Abah ketahui ini keluarga Mas Deni. Dulu Dini pernah dekat dengan seorang laki laki Bah namun Dini sudah memutuskan hubungan kami.
Maka dari itu Dini menerima ajakan Mas Budi untuk bertunangan. Karena Dini sudah tidak memiliki hubungan dengan laki laki lain " sambil terbata bata Dini bercerita.
" Enak saja, putus darimana. Kamu gak bisa memutuskan sebelah pihak dong. Keluarga saya jadi malu gara gara kejadian ini " ujar Tessa.
" Tapi Mih, Dini sudah lama memutuskan hubungan kami bahkan sudah dikonfirmasi pada Mas Deni.
Kalau Mamih tak percaya ini ada bukti chatting dengan Mas Deni, Mamih bisa baca sendiri "
Dini langsung menyimpan HP nya di atas meja.
" Saya tidak perlu melihatnya, namanya sudah tunangan tidak bisa sembarangan memutuskan seperti itu dong "
" Maaf Bu Tessa, kalau saya boleh bertanya kapan keluarga Ibu datang bertemu keluarga kami untuk meminta Dini menjadi bagian keluarga Ibu.
Seingat saya sebelum Deni pergi mereka hanya berpacaran sebatas wajar seperti muda mudi umumnya.
Sebagai ayahnya saya belum pernah menerima kedatangan keluarga Ibu untuk meminang putri kami Bu "
Mendengar pemaparan ayah Dini, Abah Budi terlihat mengangguk ngangguk.
Tessa merasa terpojokan dengan pernyataan Hanif, namun dia tetap tak mau kalah
" Ya memang saya dan keluarga belum datang kesini tapi kan mereka sudah bertukar cincin berdua. Itu sudah cukup menjadi penanda kalau mereka audah terikat "
Orang tua Budi terlihat tersenyum mendengar pembelaan diri dari Tessa.
" Dini, kamu jangan lupa Deni kan sering memenuhi segala kebutuhan kamu. Apa kamu lupa? "
Hanif langsung memicingkan matanya dan beralih menatap Dini " Maaf Mih Mas Deni memang rutin mengirim uang, sebelumnya sudah Dini tolak tapi Mas Deni memaksa.
Akhirnya Dini tabungkan, dan uang tersebut sudah Dini kembalikan pada Mas Deni ketika menyudahi hubungan kami "
" Ah itu bisa bisanya kamu saja, mana kita tahu ada berapa banyak uang yang terkumpul " kilah Tessa.
" Tapi Mih aku punya bukti transfer dari Mas Deni "
" Kamu juga jangan lupa dulu zaman SMA kamu sering dijajanin dan dibelikan baju. Bahkan uang SPP mu pernah dibayarkan "
" Maaf Bu, saya sebagai calon tunangan Dini sebelum memutuskan bertunangan dengan Dini saya sudah pastikan kalau Dini sudah tak memiliki hubungan dengan laki laki lain.
Adapun soal uang yang dibicarakan seperti uang jajan, pakaian dan SPP biar saya ganti saja"
Budi akhirnya ikut berbicara karena sudah mulai jengah dengan omongan Ibu Deni.
" Hehhh kamu banyak duit? kamu jangan menyepelekan kami ya. Saya bukan ingin pengembalian uang itu. Saya hanya ingin Dini mengingat jasa jasa Deni dulu "
" Mih sudah Mih tolong bicaranya dikontrol " Mukhlis berusaha menenangkan istrinya sambil mengusap bahu istrinya.
Lain halnya dengan Mela dia duduk di sebelah Tessa namun matanya sedari tadi tak lepas memindai tampilan Budi.
Hal itu disadari Ocha yang duduk berseberangan dengannya. Ocha pun menatap lekat Mela. Tanpa sengaja Mela melihat ke arah Ocha.
Sadar sedari tadi diperhatikan Ocha dia pun mendelik dan membuang wajahnya sembarang.
" Pokoknya saya minta pertunangan ini dibatalkan, kalian tidak merasakan sakit hati dan kesedihan saya. Deni menghubungi saya jauh disana meminta agar bisa membatalkan pertunangan ini sampai menangis-nangis.
Bahkan dia berniat bunuh diri jika Dini nekad meninggalkannya hua huaaa "
Degh
Dini yang sedari tadi menunduk langsung mendongakan wajahnya. Merasa tak percaya dengan yang diucapkan Mamih Deni.
Tessa langsung meraung raung menangis, dan tangisannya berhasil menarik perhatian tamu yang sedang menikmati hidangan di luar.
" Sekali lagi saya tidak mau tahu kalau ada apa apa dengan Deni kamu lah yang paling bertanggung jawab, saya akan menuntut kamu dan tak akan memaafkan kamu seumur hidup "
Dini kembali mendapat tekanan dari Tessa. Selesai berbicara Tessa langsung berdiri dan meraih tas nya.
" Ayo Pih, Mel kita pulang tidak usah berlama lama disini "
Tanpa permisi Tessa langsung menarik tangan Mela yang sedang asik memandang Budi. Dengan terpaksa Mela mengikuti Mamihnya sambil berjalan terseok seok.
Mukhlis pun tak bisa berbicara banyak dia terlalu di dominasi istrinya. Namun dia sempat pamit pada orang orang yang berada di ruangan tersebut.
Bahkan dia meminta maaf atas kelakuan istrinya yang tidak sopan.
" Saya mohon maaf Pak, kejadian ini diluar kendali kami " Hanif menangkupkankan kedua tangannya memohon maaf pada Ayah nya Budi.
Ayah Budi menarik nafas dalam " Sebaiknya Bapak dan keluarga menyelesaikan dahulu permasalahan dengan keluarga Ibu tadi. Saya tidak mau ada salah faham dengan orang lain karena ini juga menyangkut Budi dan nama baik keluarga kami "
Hening semua tak ada yang bersuara, masih sibuk dengan fikiran masing masing.
" Saya ingin bertanya pada Dini, apakah benar Dini sudah tak ada hubungan dengan laki laki bernama Deni? "lanjut Ayah Budi.
Dini mengangkat wajahnya " Iya Abah sebelum saya menerima A'Budi saya sudah berpisah dari Mas Deni jauh jauh hari "
" Maaf Pak saya ikut menimpali, soal pertunangan yang disebutkan Bu Tessa saya juga tidak pernah menerima kedatangan keluarga mereka. Dini memang kapan kalian bertukar cincin? "
" Setelah lulus SMA Yah, waktu itu kan aku kuliah di tempat yang berbeda dengan Mas Deni. Dia memberikan cincin itu padaku sebagai tanda hubungan kami "
" Apakah kalian pernah berhubungan lebih jauh? "
" Astagfirullah Ayah, Demi Allah Dini tidak pernah melakukannya. Dini tahu batasan tidak mungkin melakukan hal yang dilarang agama "
" Alhamdulillah, Ayah percaya anak Ayah dapat menjaga diri dan nama baik keluarga " sambung Hanif.
" Dan satu lagi soal uang yang Ibu Tessa katakan itu maksudnya apa? "
Dini kembali menangis mengingat dulu mereka sangat kekurangan. Sehingga untuk membayar SPP saja masih sulit.
" Maafkan Dini Ayah hiks hiks. Dini pernah dibayarkan SPP oleh Mas Deni dia memaksa untuk membayarkannya karena waktu itu akan diadakan ujian.
Saat itu kondisi ekonomi kita sedang buruk, aku terpaksa menerimanya karena Mas Deni bilang itu uang jajan yang disisihkannya "
" Begini saja Pak Hanif, saya sebagai orang tua Budi memutuskan untuk menunda pertunangan ini saja sampai permasalahan dengan keluarga Ibu Tessa mendapat solusi "
" Abah " wajah Budi langsung terlihat kecewa. Begitupun yang lainnya, Dini langsung menangis tak dapat menahan rasa sedih dan kecewanya.
" Kalau memang kalian berjodoh, kalian pasti akan dipertemukan kembali. Maafkan kami Pak Hanif " kali ini tangan Ayah Budi yang ditangkupkan memohon maaf pada Ayah Dini.
" Saya faham Pak, kami akan segera menyelesaikannya. Semoga ini keputusan terbaik untuk kita semua "
" Ibuu hiks hiks " Dini memeluk Ibunya yang duduk di sampingnya.
Ibu Dini hanya bisa berusaha menenangkannya sambil mengelus pundak Dini.
" Bu bawa Dini ke kamar saja, dia pasti syok " ujar Hanif.
Dini pun berdiri namun dia terlebih dahulu memohon maaf pada orang tua Budi sambil bersimpuh " Abah, Umi maafkan Dini. Maaf sudah membuat malu keluarga Abah dan Umi "
Ibu Budi hanya bisa mengelus kepala Dini yang terbalut hijab berwarna lilac " Kami maafkan Nak, bersabarlah minta petunjuk pada Allah "
Lalu Dini melihat ke arah Budi, mereka saling berpandangan kemudian Dini berlalu sambil menangis.
" Kalau begitu kami permisi Pak Hanif, sekali lagi saya mohon maaf telah menunda acara pertunangan ini " ucap Ayah Budi.
" Iya Pak tidak mengapa, saya faham dengan keputusan Bapak "
Mereka pun bersalaman, kemudian semua keluarga Budi meninggalkan rumah Dini.
Tamu yang tersisa hanya tinggal sebagian, itu pun sepertinya yang masih penasaran ingin tahu hasil akhirnya.
" Assalammu Alaikum Ibu dan Bapak, saya mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Acara pertunangan kami tunda terlebih dahulu. Namun Ibu dan Bapak boleh menikmati hidangan yang sudah kami sediakan. Terima Kasih "
Pak Hanif menutup acara tersebut, dia mempercayakan kelanjutannya pada Iman.
Saat ini di kamar Dini sedang menangis tergugu, dia melepaskan baju pertunangannya dan membuangnya sembarang.
Hatinya begitu sedih dan kecewa, dia pun malu menghadapi hari esok. Dia merasa bersalah karena merasa sudah mempermalukan Ayah dan Ibunya.
# Gara Gara Pergi Berlayar
Bab 3 ( Keputusan Ayah Dini )
Pov Dini
Setelah masuk kamar aku menangis tergugu, air mataku rasanya tak pernah habis sedari tadi.
Kulepas baju pertunanganku dan kulempar sembarangan sebagai bentuk rasa kecewaku.
Salah siapa? aku tak tahu
Marah karena apa? aku pun tak tahu
Kecewa? pasti dan sangat
Mungkin aku bisa menahan rasa malu dengan cemoohan tetangga dan teman temanku, tapi bagaimana ayah dan ibuku?
Tok tok tok
" Teh, boleh aku masuk? " Ocha pasti sangat khawatir sehingga dia menyusulku.
" Masuk " ujarku.
" Teh, mmhhhh aku temenin ya " tuh kan bener Ocha khawatir sama aku.
" Gak usah Cha teteh mau tidur sendiri, teteh gapapa kok "
" Beneran Teh? " Ocha memastikan keinginanku.
" Iya Cha, udah ya Teteh mau tidur dulu " aku langsung mendorong tubuhnya keluar kemudian mengunci pintu kamar.
***
Suara adzan shubuh membangunkanku, entah jam berapa aku tertidur.
Namun setelah tidur perasaanku menjadi lebih baik. Kulihat pantulan wajahku di cermin, mataku bengkak seperti habis di pukul.
Lebih baik aku ambil wudhu dulu, takutnya ketemu yang lain. Aku masih belum sanggup bertemu mereka.
Syukurlah belum ada yang bangun, mungkin mereka masih kelelahan karena acara semalam. Kamar mandi melewati dapur sebaiknya aku buru buru agar tidak bertemu yang lain dulu.
Selesai berwudhu aku langsung masuk kembali ke kamar dan segera sholat.
" Yuur sayuuurr "
Jam segini biasanya Ibu-ibu akan berkumpul di tukang sayur keliling.
Duh aku yakin kejadian semalam pasti jadi bahan gunjingan tetangga, apa Ibu sanggup mendengarkan ocehan mereka?
Biasanya mereka akan bergosip dan sekarang sepertinya akulah yang bakal jadi bahan gosipnya.
Kubuka Hp ternyata banyak notifikasi pesan yang masuk. Ada dari temanku, A' Budi dan Deni.
Deni? untuk apa dia menghubungi belum puaskah dia menyakiti dan mempermalukanku.
Kuabaikan pesan darinya, tak mau menambah rusak moodku.
Pesan dari teman kebanyakan menanyakan kondisiku apakah baik baik saja dan meminta agar aku untuk bersabar.
Lalu kubuka pesan dari A'Budi
[ Din, bagaimana keadaanmu pagi ini? aku harap sudah membaik. Maaf tadi malam aku tak menghubungimu takut menambah rasa sedihmu ]
Lebih baik aku balas pesannya saja agar dia tak semakin khawatir.
[ Aku baik baik saja, sampaikan ucapan maafku pada Abah dan Umi. Dan aku akan menyelesaikan masalah ini terlebih dahulu ] send
Tak ingin membuat orang tua ku khawatir, aku segera mematut diri di depan cermin berniat menemui mereka.
Aku segera keluar kamar, ternyata mereka sudah berkumpul di meja makan.
Melihatku datang mereka langsung terdiam " Aku gapapa kok Yah, Bu "
Dengan memaksakan tersenyum aku berucap pada ayah dan ibu kemudian duduk bergabung dengan mereka.
Hanya terdengar suara dentingan sendok dan piring di meja makan. Tak ada yang mengeluarkan satu patah kata pun.
" Din, ayah dan ibu ingin berbicara denganmu apa kamu bisa? " selesai makan ayah langsung bertanya padaku.
" Tentu saja yah, jangan khawatir aku baik baik saja kok "
Selesai makan kami berpindah duduk di ruang keluarga.
" Din, bagaimana untuk ke depannya apa kamu sudah memiliki rencana? "
" Ya ayah tentu saja aku akan menyelesaikan semuanya. Ayah, Ibu aku baik baik saja. Kemarin aku hanya syok saja " jawabku sambil tersenyum
" Syukurlah, dan sebaiknya libatkan kami sebagai orang tua apalagi ini menyangkut nama keluarga "
" Iya maafkan aku Yah "
" Sebenarnya kalau boleh Ayah memberi pendapat Ayah kurang sreg dengan Deni. Bukan Ayah tak mengingat kebaikannya hanya saja Ayah kurang suka dengan Ibunya "
" Betul Yah, Ibu juga sama. Ibu jadi khawatir kalau misal Dini jadi menantu mereka pasti Dini sering disakitinya " timpal Ibu.
" Ibu ini korban sinetron hahaa " ucap Ocha.
Ocha dan Andri baru bergabung dengan kami, mereka baru saja membereskan bekas sarapan kami di dapur.
" Eh bukan gitu lihat saja gestur tubuhnya, matanya itu persis kayak pemeran antagonis " ujar Ibu sambil merotasi matanya bolak balik.
Kami semua tertawa melihat tingkah Ibu. Alhmadulillah kami sudah bisa tertawa bersama kembali.
" Tapi Teh apa benar yang dikatakan Bu Tessa kalau Mas Deni sampai mau bunuh diri? kalau iya kan ngeri ih masa labil gitu "
" Entah Cha Teteh gak tahu, kami sudah lama tidak berkomunikasi. Justru Teteh heran kok dia bisa tahu Teteh mau bertunangan kemarin "
Ya hal ini yang jadi fikiranku semalam, kira kira Mas Deni tahu dari siapa.
" Dari siapa pun Din lebih baik kamu jangan bercerita banyak pada orang lain ya. Lebih baik kamu tegaskan lagi pada Deni kalau hubungan kalian sudah berakhir "
Benar kata ayah sebenarnya perasaanku sudah mulai terkikis sejak lama pada Deni.
Bukan karena perlakuan Deni, tapi perlakuan Ibu dan keluarganya. Aku tak pernah bercerita pada Ayah dan Ibu karena tak mau mereka bersedih.
Keluarga Deni memang cukup berada, Ayah Deni memiliki usaha di bidang kuliner. Memiliki beberapa cafe yang cukup besar yang lagi ngehits.
Deni berangkat berlayar beralasan ingin menambah ilmunya di bidang kuliner dia bekerja menjadi chef di sebuah kapal pesiar.
Selain ingin menabung untuk biaya pernikahan dia juga ingin ketika mengelola usaha yang dimiliki keluarganya nanti sudah memiliki pengalaman.
Salah satu alasanku menjauh dari Deni bukan karena kami LDR. Aku bukan type wanita senang berselingkuh.
Deni sangat baik, aku tahu dia sangat mencintaiku. Hanya saja aku kurang suka perlakuan dan sikap Mamihnya serta tante tantenya.
Mereka memang terlihat baik tapi hanya di depan saja. Sering kali mereka aku pergoki sedang membicarakanku bahkan kadang merendahkan.
Seakan mereka menganggap aku tak pantas bersanding dengan Deni. Pandangan mereka terlihat begitu merendahkan.
Status sosial kami memang berbeda. Aku hanya seorang anak guru honorer di sebuah sekolah SMP. Dan Alhamdulillah 3 tahun ke belakang ayah sudah diangkat menjadi PNS.
Setiap hari libur aku selalu diajak Deni ke kafe miliknya. Tanpa sepengetahuan Deni aku selalu di suruh untuk membantu entah di dapur atau membantu melayani pesanan pengunjung oleh Ibunya.
Awalnya aku merasa biasa saja, namun lama lama aku lelah dan merasa hanya diperas tenagaku. Bukan aku perhitungan tapi aku bekerja tanpa bayaran sedangkan jam kerjaku sama seperti karyawan cafe.
Bahkan tak jarang aku mendapat sindiran dari tante tante Deni, yang berbicara tentang kasta dan status sosial.
Beruntung setelah lulus kuliah aku mendapat pekerjaan di sebuah kantor kontraktor. Sehingga aku dapat menolak ajakan untuk ke kafe milik orang tua Deni.
Tak berapa lama Deni pun memutuskan bekerja di kapal pesiar sehingga kami menjadi LDR.
Awal kepergian Deni Mamih masih terlihat baik karena setiap libur bekerja aku masih membantu di kafe.
Namun karena kelelahan akhirnya aku sering menolak. Disitulah aku merasa Mamih sering ketus padaku.
Lambat laun aku memutuskan untuk sering menghindar dari keluarga Deni.
Apalagi Deni sering menegurku ditelepon dengan alasan Mamihnya merasa tersinggung dengan sikapku.
Entah apa yang disampaikan oleh Mamihnya pada Deni, hingga membuat aku tak nyaman dan akhirnya memutuskan untuk berpisah.
Tentu saja Deni menolak keras bahkan memohon agar kami tetap bersama. Namun keinginanku sudah bulat untuk berpisah.
Semua uang yang pernah ditransfernya semua dikembalikan. Untung saja aku tak pernah memakainya. Bahkan aku menyimpannya di rekening berbeda agar tidak ada salah faham.
" Ekheeemm Din, kok melamun " deheman ayah membuat aku tersadar dari lamunan masa lalu.
" Eh iya maaf Yah "
" Jadi kapan kita ke rumah Deni menyelesaikan semua nya agar kita tenang tidak menggantung masalah "
" Iya ayah secepatnya, aku akan menghubungi dulu Mamihnya Mas Deni " jawabku.
Untung aku langsung connect, tadi aku benar benar melamun.
Kring kring
HP ku berbunyi, kulihat Deni menghubungiku.
" Deni Yah, gimana? " ucapku meminta pendapatnya apakah harus ku angkat atau aku biarkan.
" Angkat saja " ujarnya.
Kutarik nafas dalam dalam sebelum menjawab panggilannya.
[ Hallo...]
# Gara Gara Pergi Berlayar
Bab 4 ( Kedatangan Deni dan Keluarga )
" Deni Yah, gimana? " ucapku meminta pendapatnya apakah harus ku angkat atau aku biarkan.
" Angkat saja " ujarnya.
Kutarik nafas dalam dalam sebelum menjawab panggilannya.
[ Hallo...]
[ Hallo, Dini sayang apa kabarmu? ]
Suara Deni terdengar serak seperti habis menangis.
[ Aku baik Mas ]
[ Maafkan aku Din, aku tak berniat menyakitimu sungguh aku mencintaimu. Tunggulah aku Din ]
[ Maksud Mas Deni apa? ]
[ Aku ingin kita bersama Din, aku sudah di Jakarta. Sore nanti aku pasti sudah di Bandung. Aku pasti datang ke rumahmu. Salam untuk Ayah dan Ibu ]
" Kenapa Din? ' Hanif bertanya pada Dini.
" Yah, Deni sudah tiba di Jakarta " jawab Dini.
" Ya baguslah ada orangnya biar kita selesaikan sekalian. Bener kan? " tanya hanif.
" Iya Yah, aku mau ke kamar dulu ya "
" Iya tenangkan diri dulu, ayah dan ibu akan selalu mendukungmu ".
***
Pukul 16.00
Tok tok tok
" Assalammu Alaikum "
Bu Isma yang sedang berada di ruang TV bersama Ocha saling berpandangan.
" Cha coba lihat siapa yang datang, tumben tumbenan ada tamu " titah Bu Isma pada anak gadisnya.
" Ya Bu " Ocha pun melangkah menuju ruang tamu dan lekas membuka pintu.
" Waalaikum Salam "
" M-mas Deni " Ocha langsung menganga melihat tamu yang datang.
Dihadapannya ada Deni yang sudah lama tak dijumpainya. Yang lebih mengherankan Deni tak datang sendiri melainkan bersama orang tua dan beberapa keluarganya.
Deni hanya tersenyum melihat Ocha yang melongo melihatnya.
" Hai Cha apa kabar? kamu pasti kaget kan. Aku ingin bertemu Ayah dan Ibumu dan juga Dini "
Setelah berucap Deni langsung menunduk.
" Cha siapa, masih ada tamunya? kok gak disuruh masuk " terdengar langkah kaki mendekat.
" Deni? " Bu Isma pun tak kalah kagetnya melihat kedatangan Deni.
" Ocha kenapa gak disuruh masuk? silahkan masuk Deni, Ibu, Bapak " ucap Bu Isma sambil tersenyum.
Deni dan keluarganya masuk ke dalam kemudian duduk di sofa.
" Cha panggil ayahmu " Ocha pun pergi ke belakang memanggil ayahnya.
" Yah ada tamu agung di depan " ucapnya dengan wajah datar.
" Ada tamu agung kok mukanya gak sumringah memangnya siapa tamunya? "
" Deni Yah " masih dengan wajah yang datar.
" Mamih Papihnya maksud kamu? "
" Iya Yah, tapi ada Mas Deni nya juga " jawab Ocha.
Kening Hanif terlihat mengernyit " Deni? bukannya dia masih berlayar? "
" Gak tahu lah Yah, mending Ayah buru buru ke depan " ucap Ocha.
" Hufftt " Hanif menarik nafas dan membuangnya kasar.
" Baiklah, sebaiknya kamu beritahu kakakmu supaya dia juga bersiap untuk ke depan "
Setelah memanggil Ayahnya Ocha langsung menuju kamar Dini.
Tok tok tok
" Teh, tehh "
" Iya, kenapa Cha " tanya Dini sambil menyembulkan kepalanya di balik pintu kamar.
" Teh di depan ada Mas Deni sebaiknya Teteh bersiap siap " ujar Ocha.
Dini mengernyitkan keningnya " Maksud kamu keluarga Mas Deni? "
" Iya, tapi Mas Deni nya juga ada "
" Loh bukannya dia masih berlayar " tanya Dini.
" Entah Teh, mungkin pulang ngedadak. Tadi ayah pun bertanya begitu " jawab Ocha sambil mengangkat kedua bahunya.
" Baiklah Teteh siap siap dulu "
Dini langsung bersiap siap menuju ruang tamu, dia menggunakan hijab instant seadanya. Wajahnya polos tanpa make up namun tetap terlihat cantik natural.
" Assalammu Alaikum " ucap Dini sambil menangkupkan tangan di dadanya.
" Waalaikum Salam "
Semua serempak menjawab, Deni langsung menatap Dini. Matanya memancarkan kerinduan yang amat sangat.
Andai tak malu dia ingin berlari memeluk Dini. Bahkan Dini sekarang telah berhijab ini menambah rasa kagum Deni.
Terakhir mereka Video Call beberapa bulan ke belakang waktu itu Dini belum berhijab.
Deni sangat terpana dia tak mengalihkan pandangannya dari wajah Dini.
Melihat Deni yang terus memandang, Dini menjadi risih. Berkali kali dia membuang wajah sembarang.
Ocha datang menyuguhkan air minum pada keluarga Deni, kemudian ikut bergabung bersama keluarganya.
" Mohon maaf Bapak Mukhlis sekeluarga kira kira ada apa gerangan sampai sampai datang bertamu ke rumah kami " ujar Hanif membuka percakapan setelah semua berkumpul.
" Begini Pak Hanif, sebelumnya saya meminta maaf kalau kami tidak mengabari terlebih dahulu perihal kedatangan kami sekeluarga "
Mukhlis berhenti menjeda kata katanya, dia seperti sedang menyusun kata kata yang ingin disampaikan.
" Langsung saja lah Pih gak usah basa basi " ujar Tessa pada suaminya.
Mukhlis terlihat mendelikan mata pada istrinya yang terlihat tak sabar.
" Ekheeemm begini Pak, saya datang kesini atas permintaan Deni untuk meminang Dini secara resmi "
Hanif dan keluarganya langsung saling berpandangan.
" Maaf maksud Bapak bagaimana ya? " Hanif ingin memperjelas maksud Mukhlis.
" Masa begitu saja tidak mengerti, bukannya kemarin Pak Hanif bilang kalau keluarga kami belum datang secara resmi untuk meminang Dini.
Makanya kami sekarang datang kesini sesuai permintaan Bapak " ucap Tessa begitu lugas.
" Mmhhh seperti itu ya Bu " jawab Mukhlis.
" Mungkin Ibu salah faham, saya tidak pernah meminta Ibu untuk meminang Dini. Kemarin Ibu bilang Dini memutuskan pertunangan sepihak tapi seingat saya keluarga Ibu belum ada yang datang secara resmi untuk meminang Dini.
Tolong digaris bawahi Bu, lagipula Dini sudah bersama Budi. Mohon pengertiannya dari Ibu Tessa dan keluarga " lanjut Mukhlis.
" Gak bisa gitu dong Pak, Deni kan kenal dengan Dini lebih dahulu mereka lebih lama berpacaran seharusnya Deni lebih berhak untuk bersama Dini "
Suasana mulai memanas Tessa tak mau menerima penjelasan Hanif.
" Mih tolong jangan seperti itu " Deni berkata pada Tessa.
Setelah Deni bicara barulah Tessa terdiam karena melihat anaknya terlihat memohon.
" Ayah bolehkah saya berbicara dengan Dini empat mata. Saya tidak akan menyakitinya. Saya hanya ingin bicara dari hati kehati "
Ayah Dini terlihat diam dan berfikir, kemudian dia memandang Ke arah Dini. Anak gadisnya itu mengangguk pertanda setuju.
" Baiklah ayah izinkan, kalian bisa bicara di taman belakang " ucap Hanif.
" Makasih Yah "
Deni dan Dini berjalan menuju halaman belakang. Mata Deni terus memindai sekeliling rumah Dini.
Mereka duduk di kursi taman yang terbuat dari kayu. Belakang halaman rumah Dini tidak terlalu luas namun terasa sejuk karena di tumbuhi berbagai macam tanaman hias.
Ayah Dini senang sekali bercocok tanam, sedang ibu Dini senang sekali memasak.
Selain sebagai guru PNS Hanif mendapat penghasilan tambahan dari menjual tanaman hiasnya dan dari Isma yang memiliki hobi memasak menerima pesanan berbagai macam masakan dan memiliki catering kecil kecilan.
" Din rumah kamu sangat nyaman, banyak sekali perubahan semenjak aku pergi berlayar " ucap Deni.
Dini hanya menanggapi dengan senyum, karena sebenarnya dia masih kaget dengan kepulangan Deni.
" Dini apa kau tak merindukanku? setiap malam aku selalu mengingat kamu " Deni mencoba meraih tangan Dini.
" Maaf Mas tolong jangan seperti ini " Heni menepis tangan Deni dengan lembut.
" Kenapa Din, ada apa? apa aku semenjijikan itu" tanya Deni.
" Bukan Mas, apa Mas tak lihat sekarang aku berhijab kita bukan mahrom " Dini menunduk.
" Maaf Din, aku hanya merasa kangen. Aku lupa kita lama tak bertemu pasti ada banyak hal yang berubah "
" Din, maukah kamu menjadi istriku? sesuai keinginan dan cita-cita kita dulu untuk bersama mengarungi rumah tangga "
Hai semua, mohon like comment dan jangan lupa follow nya ya....
Semoga kalian suka dengan novel terbaruku. Mohon koreksian dan masukan apabila banyak kesalahan dan kekurangan. Makasih semuaa..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!