NovelToon NovelToon

Anak Suamiku

Anak Suamiku

"An, kenalin ini Dinda, dia anak aku." Begitulah kalimat yang diucapkan mas Hadi yang seketika membuat jantungku bergemuruh dan tubuhku lemas seketika.

Tega sekali mas Hadi mengkhianati aku. Padahal selama ini aku selalu setia padanya. Menuruti setiap ucapannya meskipun aku tidak akan pernah memberikan dia keturunan karena dokter telah memvonis bahwa aku mandul enam tahun yang lalu. Hancur? Itu kata yang tepat. Aku dapat melihat raut wajah kecewa mas Hadi saat itu. Begitu juga dengan ibu mertuaku yang langsung menyuruh mas Hadi untuk menceraikan aku dan mencari wanita lain.

Namun yang terjadi sungguh mengejutkan. Mas Hadi tidak mau menceraikan ku karena dia sangat mencintai aku. Sontak aku merasa sangat gembira karena mas Hadi menerima keadaanku. Bahkan setelahnya dia masih memperlakukan aku dengan sangat baik. Dia memberikan apa pun yang ku minta. Uang, barang-barang bagus, dan mobil mewah.

Mas Hadi memang sangat kaya karena dia adalah seorang direktur perusahaan tempatnya bekerja. Maka tak khayal bila aku mendapatkan kemewahan darinya.

"Mas, tega sekali kamu. Bukankah kamu berjanji mau nerima aku apa adanya?" tangisan ku tak bisa ku bendung lagi.

Ku lihat anak perempuan berwajah imut itu. Usianya sekitar lima tahun. Itu artinya mas Hadi menikah diam-diam setelah mengetahui kemandulan ku.

"Maafkan mas, mas tidak bisa berbohong pada diri mas sendiri. Mas menginginkan seorang anak." Tampak sekali raut wajah penyesalan di wajah mas Hadi.

Tak berselang lama, masuklah seorang wanita yang sangat cantik dan seksi. Dia terlihat seperti wanita karir.

"Ini Sinta, sekretaris mas sekaligus istri mas. Sinta, ini Ana." Mas Hadi memperkenalkan kami.

Aku melihat Sinta tersenyum ramah padaku. Cih, aku tidak sudi melihat wajahnyaz dasar pelakor, rutukku dalam hati.

"Mulai sekarang Sinta dan Dinda akan tinggal disini," sambung mas Hadi.

Aku terkejut mendengar ucapan mas Hadi. Tega-teganya dia membuat aku tinggal dengan orang yang sudah menghancurkan keutuhan rumah tangga kami. "Apa? Tinggal disini? Mas, kenapa kamu tega banget sama aku. Kamu nggak mikirin perasaan aku mas?"

"Maafin aku An, kamu juga harus mikirin perasaan aku. Apa kamu tega memisahkan ayah dari anaknya?" Mas Hadi mencoba memberi pengertian kepadaku.

"Mas, aku nggak mau!" tolak ku dengan kasar.

"Kalau kamu menolak, terpaksa kita harus berpisah, An," ucap mas Hadi.

Aku terkejut dengan ucapan mas Hadi. Tega sekali dia mengatakan hal itu padaku. Padahal dia tau bahwa hidupku bergantung padanya. Aku adalah seorang yatim piatu. Ibuku meninggal saat aku masih bayi, dan ayahku meninggal beberapa minggu setelah aku menikah dengan mas Hadi. Mereka tidak meninggalkan harta warisan. Yang ada hanyalah hutang ayah yang seorang penjudi berat. Bahkan rumah kami disita karena ayah menggadaikannya kepada rentenir dan tidak bisa membayar. Bahkan kalau bukan karena mas Hadi, mungkin sekarang aku hidup dalam kejaran penagih hutang. Dan karena latar belakang ku itulah ibu mas Hadi tidak merestui kami.

Jika mas Hadi menceraikan aku, maka aku harus siap menggelandang di jalanan. Aku yang hanya lulusan SMP akan kesulitan mencari pekerjaan di kota besar ini. Ibu mas Hadi dan istri barunya tidak akan mungkin membiarkan mas Hadi memberikan tunjangan hidup padaku.

"Mas, jangan ceraikan aku. Aku mohon," pintaku pada mas Hadi.

"Sekarang pilihan ada di tangan kamu An," ucap mas Hadi.

Aku menelan salivaku. Rasanya berat harus mengatakan ini, namun aku tidak berdaya.

"Baiklah mas, aku setuju mereka tinggal disini."

Dengan begitu maka Sinta dan Dinda menjadi bagian dari rumah ini. Dan mulai saat ini juga aku harus menahan sakit dan perih hatiku melihat suamiku bermesraan dengan wanita lain. Penyebab nya hanya satu, yaitu anak suamiku.

Sakit

Sinta dan Dinda sudah memasukkan pakaian mereka di dalam lemari kamar masing-masing. Sinta menempati kamar di samping kamar kami, dan Dinda di sebelah kamar Sinta.

Aku masih menangis di dalam kamar. Tentu aku belum menerima semua ini. Ini terlalu menyakitkan. Bahkan tadi pagi aku masih mengantar mas Hadi sampai depan pintu dengan begitu manjanya. Namun sore harinya, mas Hadi datang membawa Sinta dan Dinda.

Aku mendengar suara langkah kaki datang mendekat. Aku tau itu mas Hadi. Segera ku hapus air mataku. Aku merasakan tangannya menyentuh bahuku lalu memeluk erat tubuhku dari belakang.

"Maafkan aku An, aku nggak bermaksud menyakiti kamu. Aku sangat mencintai kamu, tapi aku juga menginginkan keturunan." mas Hadi mencium lembut pundak ku.

Aku menoleh dan berusaha tersenyum. "Nggak apa-apa mas. Aku ngerti posisi kamu. Aku tau ini pasti akan menyakitkan. Tapi aku akan menerima semua ini asalkan kamu bersikap adil, mas." pintaku.

"Makasih ya, An. Kamu pengertian banget. Aku jadi makin sayang sama kamu." mas Hadi mencium kening ku dengan lembut. Aku masih merasakan cinta pada ciuman itu. Tapi satu hal juga yang harus aku tau. Mas Hadi sudah membagi cintanya. Ciuman penuh cinta ini juga dirasakan oleh Sinta. Entahlah, aku tidak ingin mengungkitnya. Itu terlalu menyakitkan bagiku.

"Oh ya, An. Mulai sekarang aku harus bagi hari. Tiga hari aku di kamar Sinta, tiga hari aku di kamar kamu. Dan satu hari aku akan tidur sendiri agar kalian merasa adil," ucap mas Hadi.

Aku menahan air mataku. Biasanya mas Hadi selalu ada setiap aku membuka mata. Namun kini aku harus lebih jarang melihatnya. Waktuku dengan mas Hadi semakin berkurang, namun waktunya dengan Sinta malah akan lebih banyak karena mereka satu kantor. Ah, membayangkannya saja sudah membuat hatiku terasa nyeri.

"Iya, mas," jawabku singkat.

"Terima kasih ya, An. Aku tinggal dulu." Mas Hadi pergi keluar. Aku yakin dia menuju kamar Sinta.

Tak berselang lama, pintu di ketuk. Aku yakin itu bukan mas Hadi yang kembali karena dia tidak pernah mengetuk pintu.

"Siapa?" tanyaku dari dalam.

"Ini Dinda, tante."

Aku terkejut. Mau apa Dinda datang kemari? Apa dia mau mencari masalah denganku? aku pun segera membuka pintu. Ku lihat Dinda menatap ku dengan sedikit takut. Tentu saja, karena aku menatapnya dengan tatapan yang teramat sangat dingin. Bisa dibilang aku sangat membencinya. Karena dirinya lah aku menjadi begini. Ah tidak, ada apa dengan ku. Jelas Dinda hanya anak kecil yang tidak berdosa. Yang salah adalah Sinta dan mas Hadi.

"Ada apa, Dinda?" tanyaku.

"Tante, apa Dinda boleh masuk?" tanya nya pelan.

Aku melebarkan pintuku dan Dinda pun masuk. Dia masih berdiri mematung.

"Duduk," ucapku.

Dinda langsung menduduki sofa.

"Mau apa kamu kesini?" tanyaku sinis. Sepertinya rasa kesalku masih menguasai hatiku saat ini.

"Tante, Dinda minta maaf ya," ucap Dinda pelan.

Aku terkejut. Anak sekecil ini meminta maaf padaku? Apa dia mengerti tentang kondisiku saat ini?

"Kamu minta maaf kenapa?" tanyaku lagi.

"Sejak Dinda dan mama datang, tante nangis terus. Dinda minta maaf, Dinda janji nggak akan nakal. Dinda juga makannya nggak banyak kok tante. Dinda juga nggak suka jajan. Jadi tante jangan sedih ya," ucap Dinda.

Astagfirullah, anak sekecil ini saja bisa mengerti tangisanku. Tapi orang tuanya malah tidak mengerti.

"Dinda, tante capek. Kamu keluar dulu ya," ujarku.

"Iya tante." Dinda langsung keluar dari kamarku.

"Dia anak yang baik. Sayang, aku membenci ibumu," ucapku sinis sambil memandang ke arah pintu yang sudah tertutup itu.

Malam harinya, aku memasak banyak makanan untuk makan malam. Bukan atas keinginanku, melainkan atas perintah mas Hadi.

Ku lihat mereka berkcengkram mesra, sesekali menyuapi Dinda yang tampak menyukai masakanku. Jelas sajab, sedari kecil aku memang gemar memasak. Apalagi setelah ibu meninggal, aku lah yang memasak untuk ayah. Dengan terus memperbaiki kemampuan memasakku, aku pun bisa membuat semua orang menyukai masakanku. Memang rumah ini punya dua pembantu namun, untuk urusan memasak, mas Hadi hanya ingin aku yang melakukan itu.

"An, malam ini mas tidur dengan Sinta ya," ucap mas Hadi saat sudah menyelesaikan makannya.

Dengan berat hati aku mengangguk. Sakit memang, tapi itulah konsekuensi yang harus ku terima. Karena saat ini aku sudah mempunyai madu yang bisa memberikan anak kepada mas Hadi.

"Ma, bacain Dinda dongeng dong," pinta Dinda saat kedua orang tuanya hendak naik ke lantai atas menuju kamar mereka.

"Nggak bisa sayang, mama mau istirahat besok mau kerja," ucap Sinta.

"An, kamu aja yang bacain dongeng buat Dinda ya," ujar mas Hadi.

Apa maksud nya? Dinda anaknya dan Sinta tapi kenapa aku yang harus membacakan dongeng untuknya. Namun tak berani ku gelengkan kepalaku.Itu hanya akan membuat mas Hadi marah dan mengusirku dari sini.

"Iya mas," sahutku pelan.

Setelah mereka masuk ke kamar, aku menemani Dinda dan membacakan dongeng untuk nya. Hingga saat aku selesai, Dinda sudah tertidur pulas. Ku naikkan selimut agar menutupi tubuhnya lalu kembali ke kamarku.

Aku meraba bagian ranjang sebelah kanan yang biasa ditiduri mas Hadi. Terlintas dalam benakku saat-saat kami melakukan pergumulan panas disini. Sakit, hatiku semakin sakit. Karena yang ku dengar saat ini adalah suara ******* yang bersahut-sahutan di kamar mereka. Begitu bergairah dan panas.

Begitulah yang ku dengar dari kamar mereka. Segera ku ambil earphone dan menyetel musik dengan kuat agar aku tak lagi mendengar sahutan penuh gairah dari mereka.

Tak Adil

Pagi ini, aku sudah memasak untuk sarapan. Kini kami berempat sedang sarapan bersama. Ku lihat wajah mas Hadi dan Sinta sangat berseri-seri. Mereka saling melempar senyuman dan itu membuat hatiku semakin sakit.

"An, mulai hari ini kamu antar jemput Dinda ya. Temeni dia main sampai kami pulang," pinta mas Hadi.

"Loh kan ada pembantu mas. Kalian kan bisa sewa jasa baby sitter," tolak ku sambil mendengus kesal.

"An, itukan butuh biaya. Lagian ada kamu ngapain kita repot keluarin uang. Sinta dan aku akan sangat sibuk mulai sekarang karena ada proyek besar." Mas Hadi menatapku serius.

"Tapi mas..."

"Mbak, aku mohon ya. Dinda masih kecil. Aku nggak mau terjadi apa-apa sama dia. Aku percaya sama mbak," ucap Sinta.

"Oh, jadi sekarang kamu mempercayakan anak kamu kepada wanita yang kamu rebut suaminya?" Mataku menatap Sinta tajam. Bisa-bisanya dia menyuruhku menjaga anaknya dan dia bersenang-senang dengan suamiku? Enak sekali kamu, Sinta.

"An, kita udah bicara soal masalah ini kan? Apa kamu mau aku mengingatkan mu lagi?" Mas Hadi tampak marah mendengar ucapanku.

"Maaf, mas." Aku menunduk sedih. Aku tidak punya kekuatan untuk membantah mas Hadi.

Selesai sarapan, mereka bergegas pergi ke kantor.

"Dinda, kamu udah siap belum?" tanyaku ketus.

"Udah tante," ucap Dinda yang baru saja menghabiskan susunya.

"Ayo." Aku berjalan menuju mobil dan Dinda mengikutiku. Langkahnya terdengar hati-hati. Apa yang terjadi? Apa dia takut padaku? Baguslah kalau begitu. Sungguh anak yang merepotkan.

Aku dan Dinda sudah masuk ke dalam mobil. Supir pun segera melajukan mobil menuju TK tempat Dinda sekolah.

Sesampainya disana, aku melihat banyak sekali orang tua yang mengantar anaknya. Begitu Dinda turun, segerombol anak datang dan berjoget-joget didepannya serta mengejeknya.

"Dinda anak kurang kasih sayang, weee." Seorang anak laki-laki terus saja mengatainya.

Ku lihat Dinda hanya tertunduk sedih. Ku langkahkan kaki untuk turun dari mobil dan menegur anak-anak nakal itu.

"Udah cukup. Kalian nggak boleh gitu. Gimana perasaan kalian kalau diejek begitu?"

"Tante siapa? Pengasuh nya ya?"

"Udah, jangan ejek dia lagi." Aku sungguh tak ingin berdebat dengan anak kecil. Rasanya bodoh sekali.

"Pengasuhnya marah, weeee." Anak laki-laki lainnya mengejekku sambil menjulurkan lidahnya.

"Duh anak siapa sih ini, kok nggak ada sopan santun nya? Nggak diajari ya?" Emosiku mulai meledak melihat bocah bau kencur mengejekku.

"Kenapa mbak?" Seorang wanita paruh baya mendekat. Tampaknya dia adalah ibu dari anak itu.

"Dia anak ibu?" tanyaku sambil menunjuk anak nakal tadi?

"Iya emang kenapa mbak?" tanyanya sinis.

"Nggak apa-apa bu. Cuma kurang sopan aja ngejek-ngejek orang tua," gerutuku sambil menatap sinis padanya.

"Namanya juga anak kecil. Ya wajar dong."

"Oh, nggak diajarin sopan santun ya?"

"Dia kan masih kecil? Belum waktunya."

Aku menatap wanita itu dengan tatapan heran. Ibu macam apa yang tidak menanamkan perilaku sopan santun pada anaknya di usianya saat ini. Apa harus menunggu anaknya lebih besar lagi dan melawannya? Aku saja yang belum pernah punya anak sudah berpikiran layaknya ibu yang baik. Dia apa saja kerjanya? Ghibah? Astaga.

Aku tak menjawab ucapannya. Rasanya akan sangat lama berdebat dengan orang seperti itu. Lagi pula kenapa aku harus berdebat dengan orang lain hanya untuk membela Dinda. Anak si pelakor.

Ku tatap Dinda yang masih berdiri di depannya. "Kamu masuk gih," ujarku.

Dinda menoleh dengan raut wajah sedih. "Makasih ya tante," ucapnya yang kemudian tersenyum kecil.

Aku mengangguk lalu kembali naik ke mobil dan pulang ke rumah. Aku akan menjemput Dinda beberapa jam lagi. Tidak mungkin kan menunggunya sampai pulang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!