“Mas, aku tak mau kamu menemui dia lagi! Aku juga butuh kamu, Mas!”
“Sebentar saja, Rena. Aku cuma memastikan dia menjalani Kemo sesuai jadwal. Bersabarlah! Aku mohon pengertian kamu! Dia sebatang kara! Dia sakit parah! Hidupnya tak lama lagi. Setelah dia tiada, aku akan fokus sama kamu dan anak kita!”
“Bagaimana kalau aku juga sakit, Mas? Apa kamu tetap menemui wanita itu?”
“Kamu dan bayi kita sehat, sayang! Kalian kuat! Bersabarlah sedikit lagi. Hidupnya tak lama lagi. Kamu jangan banyak pikiran ya. Tetap jaga makan dan istirahat yang cukup. Aku pergi dulu,"
“Mas ....! Mas ....! Jangan pergi! Aku butuh kamu, Mas! Calon bayi kita juga butuh kamu!”
“Aargh.....!”
Rangga terbangun dengan nafas memburu. Keringat dingin bercucuran dari dahinya. Ia mimpi buruk lagi. Lagi-lagi mimpi seperti itu lagi yang menghantuinya. Dengan tangan gemetar, Rangga mengambil gelas berisi air bening di nakas. Diambilnya pula satu butir kapsul. Lalu kapsul itu dimasukkan kemulutnya bersama air minum sampai air itu habis. Lalu diletakannya kembali gelas yang telah kosong itu di nakas. Kalau sudah begini, ia tidak bisa tidur lagi. Ia takut mimpi itu datang lagi. Sebenarnya itu bukanlah mimpi. Itu adalah memori yang terekam di otaknya peristiwa 10 tahun yang lalu.
Dengan perlahan, ia berjalan ke balkon. Ia menatap langit malam yang penuh bintang-bintang.
“Rena ...., Maafkan aku! Maafkanlah aku! Andai waktu dapat diputar, aku tidak akan bertindak seperti itu. Aku akan tetap fokus padamu dan calon anak kita!” lirihnya. Buliran bening membasahi pipinya.
Ditatapnya bintang yang gemerlap di langit. Rangga memandang jauh seakan menembus bintang nun jauh di sana.
"Rena .... apakah bisa aku bertemu denganmu lagi di surga? Apakah kita dan anak kita akan bersama di surga?" lirihnya.
Ada rasa sesak bila mengingat mendiang istrinya dan calon anaknya. Rangga merasa gagal menjadi suami dan ayah yang baik.
Diambilnya sebatang rokok lalu dinyalakannya. Saat ini hanya dengan merokok, segala kegundahan hatinya menguap bersama asap rokok. Ya, walau hanya sesaat.
Tak terasa adzan shubuh sayup-sayup terdengar berkumandang. Hawa dingin dan suara adzan membangunkannya dari tidurnya. Masih belum terkumpul penuh kesadarannya, Rangga celingukan merasa heran ia berada di sofa yang berada di balkon. Setelah ia ingat ternyata ia tertidur di balkon setelah mimpi buruk semalam, barulah ia bangkit.
Dilihatnya sebuah sajadah terlipat berada di kamarnya.
Entah sudah berapa lama ia tidak menjalankan kewajibannya pada Sang Khalik.
'Tidak! Tidak! Aku sedang memusuhi Tuhan! Tuhan telah merenggut semua yang berharga milikku! Tuhan bersekongkol dengan Rena untuk menghukumku dengan hukuman yang sangat pedih padaku!' kata batin Rangga.
'Bahkan anak yang baru saja dilahirkan Rena, Kau ambil juga,'
'Ini lebih pedih dari perceraian! Kau menghukumku dengan tanpa ampun! Kenapa tak Kau buat mati saja diriku agar aku tidak menanggung beban bersalah seberat ini?! Aku hidup, tapi jiwaku mati!' umpat Rangga.
Rangga segera menuju ke ruangan gym. Ia segera meninju samsak tinju untuk menyalurkan kemarahannya. Setelah merasa puas dan lelah, Rangga merosot ke lantai. Nafasnya terengah dan tersenyum sinis
*******
"Sebenarnya Rangga sudah sembuh. Hanya saja akhir-akhir ini mimpi buruk menghantuinya lagi," kata Pak Dani, Kepala ART di villa milik keluarga Rangga.
"Buatlah dia lelah sebelum tidur, agar ia bisa tidur nyenyak," kata Om Adam, adik dari papanya Rangga pada Pak Dani. Selama ini Rangga tinggal menyepi, menyendiri, jauh dari seluruh keluarga, teman-temannya dan seluruh kolega bisnisnya.
Dua tahun Rangga depresi berat dan dirawat di RSJ. Setelah dinyatakan sembuh, selama 8 tahun Rangga menghukum dirinya sendiri dengan mengasingkan diri tinggal di villa di daerah perkebunan teh di daerah Bogor.
"Tuan Rangga masih melukis dan berkebun untuk mengisi kesehariannya.Tapi ia ada rencana untuk belajar membuat kerajinan tanah liat," ujar Pak Dani.
"Baguslah. Nanti saya akan mencari guru lesnya. Nanti kalau sudah dapat, saya kasih kabar ke Pak Dani," kata Om Adam.
"Baik, Tuan," jawab Pak Dani.
Om Adampun berlalu dari hadapan Pak Dani. Ia segera masuk ke mobilnya. Tak lama mobil Om Adam meninggalkan villa itu. Hari ini Om Adam tidak menemui Rangga karena ada meeting dengan koleganya di sebuah rumah makan tak jauh dari kantornya.
Sejak Papanya Rangga meninggal dunia tiga tahun yang lalu, Om Adam yang mengelola bisnis di daerah Bogor itu. Daffa, kakaknya Rangga sibuk mengelola beberapa bisnis di beberapa kota besar lainnya sehingga perusahaan yang di daerah Bogor diserahkan pengelolaannya pada Omnya.
"Bu, Bu ...! Sekarang waktunya makan siang. Cepat siapkan makan siang untuk Tuan Rangga," perintah Pak Dani pada Bu Irah, istrinya, ketika Pak Dani memasuki dapur.
"Ya, Pak. Ini sedang disiapkan oleh Kokom dan Titin," jawab Bu Irah.
Pak Danipun segera mengantarkan makanan untuk makan siang Rangga ke kamar Rangga yang berada di lantai dua.
Tok, tok, tok!
Cekrek....
Pak Dani membuka pintu kamar Rangga setelah mengetuknya.
Braak!
Braak!
"Astagfirullah ....! Tuan...! Tuan Rangga! Tuan Rangga kenapa?!" Pak Dani sangat terkejut melihat Rangga sedang mengobrak abrik kamarnya.
"Mana lukisan itu?! Mana lukisan itu?!" tanya Rangga tampak marah
"Lu-lukisan apa Tuan?" tanya Pak Danu tergagap.
"Kemana lukisan yang tertutup kain?! Siapa yang memindahkannya?!"
Pak Dani meletakkan nampan berisi makanan dan minuman di nakas. Kemudian ia menghampiri tuannya dengan takut-takut
"Maaf, Tuan. Mungkin tadi pagi Mang Udin yang membantu Si Titin bersih-bersih di kamar ini, membawa lukisan itu ke gudang," jawab Pak Dani.
"Apa?! Ke gudang?! Tidak ada yang boleh memindahkan satu barangpun di rumah ini tanpa izinku?! Paham?!" Rangga tampak emosi
"Ma-maaf, Tuan. Itu atas perintah Tuan Adam," Pak Dani menunduk. Tak kuasa untuk menatap Rangga.
"Ini rumahku! Dia tidak berhak mengatur di rumah ini!" hardik Rangga.
"Kau kan tahu, itu lukisan siapa?" Rangga menatap tajam Pak Dani.
"Ya, Tuan, saya tahu," Pak Dani semakin menundukkan kepalanya
"Itu lukisan Rena, Istriku! Aku yang melukisnya!" sentak Rangga.
"Ya, Tuan. Maafkan saya. Nanti saya akan suruh Mang Udin untuk meletakkan lukisan itu ke kamar ini lagi," kata Pak Dani masih menunduk.
"Ya sudah! Cepat bawa kemari lagi!" perintah Rangga.
"Baik, Tuan. Mmm. ... Itu makan siangnya Tuan. Segera dimakan ya Tuan, supaya maag Tuan tidak kambuh. Juga obatnya harus diminum," kata Pak Dani.
"Hmm....," hanya itu suara Rangga.
Pak Dani segera keluar dari kamar Rangga. Setelah berada di luar kamar Rangga, sambil berjalan menuju tangga untuk turun ke lantai satu, Pak Dani mengelus dadanya. Ia benar-benar takut kalau Tuannya kambuh lagi depresinya.
'Ya Tuhan ...., semoga Tuan Rangga sembuh total. Kasihan beliau ....,' kata Pak Dani dalam hati.
Memang lukisan itu dipindahkan atas perintah Om Adam. Om Adam khawatir Rangga akan selalu teringat Rena. Padahal sudah beberapa tahun ini Rangga normal. Emosinya juga sudah stabil. Entah mengapa akhir-akhir ini Rangga kembali mimpi buruk. Kadang suka marah-marah yang tidak tahu penyebabnya apa. Jadi Om Adam berinisiatif untuk menyingkirkan lukisan itu agar Rangga bisa move on.
******
"B*jingan! Pengkhianat! Gara-gara kamu, adikku menderita! Adikku sedang berjuang mau melahirkan anakmu di rumah sakit ini, kamu enak-enakan disini sama pelakor!" David, kakak Rena menghantam Rangga yang sedang mendorong kursi roda yang diduduki Resty.
"Aku bukan pelakor! Hentikan!" teriak Resty histeris melihat Rangga dipukuli seseorang. Rangga sedang berusaha menghindar pukulan dari David.
"Hei, kamu! Kalau bukan pelakor, lalu apa?! Dia punya istri yang sedang hamil besar, tapi suaminya ini selalu sibuk mengurusi wanita macam kamu! Kalau kamu mau mati, mati saja! Jangan merepotkan suami adikku!" hardik David.
"Tunggu! Sebentar! Rena mau melahirkan?! Bukankah belum waktunya? Kandungannya baru 8 bulan!" Rangga menangkis serangan David, dan mencoba untuk berdialog dengan David.
"Kamu tentu saja tidak tahu. Istrimu dan Aku sudah berkali-kali meneleponmu, tapi kamu tak mengangkatnya. Oh iya, tentu saja karena kalian sedang sibuk memadu kasih!" ucap David sinis sambil terengah menghentikan pukulannya.
"Kak! Aku bukannya sedang selingkuh! Aku sedang mengantar Resty Kemoterapy!" ujar Rangga.
"Halah! Alasan! Lihatlah bapak-bapak, ibu-ibu, mbak-mbak! Apakah bisa dibenarkan, istrinya sedang hamil besar bahkan mau melahirkan. Tapi suaminya ini yang sok ganteng, lebih memilih mengantar selingkuhannya berobat daripada mengantar istrinya periksa kandungan!"
Terdengar suara bisik-bisik di area lorong rumah sakit itu.
"Kak! Aku tidak tahu kalau Rena akan melahirkan! Aku beritahu juga, Resty itu bukan selingkuhanku! Dia hanya sebatang kara di Jakarta ini! Dia sedang sakit parah! Aku hanya menolongnya!" teriak Rangga.
"Tapi mantan pacar kan?" sinis David. Terdengar lagi riuh bisik-bisik orang-orang yang ada di sana.
Rangga tercekat. Dilihatnya orang-orang menatap sinis pada Rangga dan Resty.
"Rena memanggil-manggil kamu, tapi kamu tidak memperdulikannya. Kamu tetap pergi menemui kekasihmu itu! Dimana nuranimu b*jingan?! Dimana nuranimu pelakor?! Kamu menyuruh perawatmu agar pengobatanmu selalu diantar Rangga bukan? Padahal sudah ada perawat yang digaji Rangga untuk mengantar dan merawatmu!" David semakin berani berbicara lantang.
"Huuuu dasar pengkhianat dan pelakor! Harus dibasmi!" teriak salah seorang yang berada di sana.
"Huuu ....!" teriak yang lainnya bersahut-sahutan menimpali.
Lalu terdengar nada dering hp. Ternyata dari hp David. David segera mengangkatnya.
"Ya?! Apaa?! Eklampsia! Ya Allah ....," David hampir terhuyung mendengar berita buruk itu. Dengan segera ia menyambar tubuh Rangga lagi. Kali ini tanpa ampun, David memukul Rangga hingga babak belur.
"Kau tahu?! Rena terkena eklampsia? Dia koma sekarang! Kamu puas?! Apa kamu mau menikah sama pelakor sekarang?!" David memukuli Rangga dengan brutal.
"A-appa?! Re-Rena?! Renaaaa ....!" Rangga meraung-raung sambil berusaha menangkis pukulan David
"Kalian! Apa-apaan ribut di rumah sakit! Kalian ikut kami!" Dua orang Satpam yang baru datang segera meringkus David dan Rangga.
"Kalian, bubar! Bubar! Kenapa tidak ada yang melerai dua orang ini?! Bikin ribut saja!"
Orang-orang pun bubar. Tapi mereka masih menatap Rangga, David, Resty dan perawat Resty.
"Pak, saya mohon, Pak! Saya mau melihat istri saya Pak! Dia koma, Pak. Dia telah melahirkan di rumah sakit ini, Pak!" Rangga memohon-mohon pada Satpam itu.
"Baiklah! Dampingi dia Pak! Awas kalau bohong! Setelah ini, bawa lagi dia ke kantor keamanan! Orang yang ini biar saya yang bawa!" kata salah seorang Satpam itu pada temannya.
"Pak! Saya juga mau melihat adik saya, Pak!" kata David.
"Sudah, kamu diam! Kamu yang pertama bikin onar di sini!" hardik Pak Satpam itu sambil meringkus kedua tangan David dan menggelandangnya ke kantor keamanan rumah sakit.
"Renaaaa....! Tidaaaak ......! Renaaaa ....!" terdengar jerit tangis ketika Rangga baru sampai di ruang UGD setelah mencari keberadaan keluarganya di poli ibu dan anak.
Rangga terduduk lunglai. Peristiwa itu terbayang lagi diingatannya. Hatinya terasa disayat-sayat. Sakit sekali rasanya. Bahkan pukulan dari Davidpun tak seberapa dibandingkan luka bathin akibat peristiwa itu.
Dua jam setelah melahirkan, Rena meninggal. Dua jam kemudian, bayi Rena meninggal. Rangga ingat, seluruh keluarga besarnya dan keluarga besar Rena menudingnya penyebab semua itu. Bahkan teman sekantor pun tak ada yang bersimpati padanya. Semua ucapan duka cita hanya ditujukan pada keluarga Rena. Sedangkan pada Rangga. Tak satupun yang mau menyapanya. Padahal Rangga pimpinan di kantor itu.
Rangga merasa dikucilkan, dihakimi. Ia tak sanggup menanggung beban bersalah. Ia terlalu abai pada istrinya. Pikirnya Rena wanita yang kuat. Tapi Rangga lupa, sudah berapa kali ia tak mengantar Rena ke dokter Obgyn. Jadinya ia tak tahu kondisi kehamilan Rena yang terbaru.
Rangga kini sedang menangisi peristiwa masa lalunya lagi. Suara tangisannya terdengar jelas ke lantai satu. Kalau sudah begitu, seluruh ART di villa itu termenung semua. Tak tahu harus berbuat apa. Tak ada yang berani mendekat. Termasuk Pak Dani.
"Nyonya, sebaiknya Nyonya cepat ke sini. Kami tidak tahu harus bagaimana. Mungkin hanya Nyonya yang bisa membuat Tuan Rangga tenang," Pak Dani berinisiatif menelepon Nyonya Cindy, Mamanya Rangga.
"Kok bisa begitu lagi sih Pak? Katanya sudah sembuh. Ini sudah sepuluh tahun lho Pak! Ada apa sebenarnya?" Nyonya Cindy merasa gusar.
"Tidak tahu, Nyonya. Nyonya sebaiknya segera kesini," kata Pak Dani.
"Oke, nanti sore saya akan ke sana," jawab Nyonya Cindy.
Di dalam kamar, Rangga sedang menatap lukisan sosok Rena, mendiang istrinya. Air matanya tak henti-hentinya mengalir. Angannya jauh mengingat masa-masa suram itu.
"Istri anda terkena Eklampsia, Pak. Eklampsia adalah kondisi medis serius yang dapat mempengaruhi wanita selama kehamiln. Kondisi ini merupakan lanjutan atau komplikasi dari pre-eklamsia, yaitu kondisi langka yang serius di mana tekanan darah tinggi dapat menyebabkan kejang selama kehamilan."
"Ibu hamil dengan pre-eklampsia atau mengalami hipertensi berat selama kehamilan berisiko mengalami eklampsia yang ditandai dengan kejang dan kemudian diikuti penurunan kesadaran atau koma."
"Hingga saat ini, penyebab pasti dari eklampsia belum diketahui. Namun, kondisi eklampsia diduga berkaitan dengan beberapa hal, seperti: Kelainan pada plasenta dan fungsinya, tidak kuatnya aliran darah pada plasenta, tidak kuatnya aliran pembuluh darah pada plasenta, faktor genetik. Bisa juga karena Ibu hamil banyak pikiran atau stress. Saya kira anda tahu kondisi istri anda walau anda tidak mengantarnya periksa kandungan," kata dokter yang biasa memeriksa Rena sewaktu Rangga berkonsultasi pada dokter itu.
"Saya ...., saya ....," Rangga tidak dapat melanjutkan perkataannya karena rasa bersalah menyergapnya.
"Istri anda dibawa ke rumah sakit dengan tanpa rujukan dari saya. Sebenarnya apa saja yang Anda lakukan sebagai suaminya?! Gegabah sekali anda!" Rangga dimarahi oleh dokter itu.
"Ma-maaf."
TO BE CONTINUED
"Untuk apa anda minta maaf pada saya? Minta maaflah pada istri Anda! Semoga istri anda disana memaafkan anda!" dokter itu mendengus kesal.
"Mita, panggil pasien selanjutnya!" dokter itu seakan mengusir Rangga dengan menyuruh asistennya memanggil pasien berikutnya yang akan konsultasi dan periksa kandungan.
"Sebenarnya bukan saya yang membawa istri saya ke rumah sakit, dok. Saya tidak sedang bersamanya waktu itu .....," Rangga masih ingin menjelaskan.
"Sudah tidak ada gunanya lagi sekarang kan Pak? Sebagai teman Mamanya Rena, saya sangat kecewa dengan kabar yang saya dengar di luar! Saya harap itu jadi pelajaran bagi anda, agar dikemudian hari anda tidak melakukan kesalahan yang sama. Itupun kalau ada wanita yang masih mau sama bapak!" kata dokter wanita itu menahan emosinya. Kedekatannya secara pribadi dengan keluarga Rena, membuatnya kesal mendengar kabar tak sedap tentang suami Rena di luar.
Sebenarnya dokter itu juga marah pada Bu Astrid, Mama Rena, karena tidak berkonsultasi padanya ketika Rena akan melahirkan. Bu Astrid beralasan bahwa Rena memaksa ke rumah sakit XXX ketika perutnya kontraksi. Belakangan baru diketahui, Rena ingin berada di rumah sakit yang sama dengan Resty, mantan kekasih Rangga yang sedang Kemo di rumah sakit itu. Karena Rangga berada di rumah sakit itu. bersama Resty.
Rangga menghembuskan nafas kasar bila mengingat masa-masa itu. Seluruh rangkaian kejadian itu masih terekam jelas di ingatannya.
Tok!
Tok!
Tok!
"Rangga! Ini Mama, nak!" terdengar suara dari balik pintu kamar Rangga.
Rangga merasa terkejut. Ia yang sedang merenung langsung bangkit dengan mata berbinar. Rangga menghapus air matanya yang telah menetes sejak tadi.
Cekrek!
Pintu kamarpun dibuka.
"Mama!" pekik Rangga.
"Rangga!" Nyonya Cindy memeluk Rangga. Ranggapun memeluk Mamanya. Mereka bertangisan.
"Maaf, Mama baru bisa ke sini lagi. Kamu baik-baik aja kan, nak?" tanya Nyonya Cindy setelah mengurai pelukannya. Ranggapun mengajak Mamanya untuk masuk ke kamarnya.
"Tak apa, Ma. Rangga senang Mama masih ingat Rangga," jawab Rangga.
"Kamu itu bicara apa sih? Kamu itu kan anak Mama, ya Mama enggak akan lupa dong," ucap Mamanya.
"Apa yang kamu rasakan sekarang, nak?" Nyonya Cindy bertanya sambil duduk di kursi yang ada di kamar Rangga.
"Akhir-akhir ini, Rangga merasa aneh. Suasana hati Rangga jadi melow. Rangga juga sering mimpi buruk. Kenangan masa lalu membayang-bayangi Rangga lagi. Padahal, beberapa bulan lalu, Rangga merasa sangat sehat," jawab Rangga.
"Kamu masih konsultasi ke Psikiater?"
"Sudah lama tidak lagi. Sudah Rangga katakan, Rangga merasa sehat dan baik-baik saja. Tapi Pak Dani selalu menyuruhku minum obat. Itu atas perintah Om Adam katanya. Obat itu direkomendasikan dari Psikiater kenalan Om Adam katanya,"
Nyonya Cindy mengernyit heran.
"Boleh Mama lihat obatnya?"
"Sudah diminum siang tadi. Lagipula obat itu tidak ada bungkusnya. Obat itu diberikan satu butir sehari pada waktu makan siang."
"Aneh! Ya sudah, cobalah jangan kau minum dulu obat itu. Itupun tanpa sepengatahuan seluruh ART disini dan Ommu. Nanti kamu rasakan perbedaannya. Reaksinya gimana. Mama khawatir ....," Nyonya Cindy tampak ragu-ragu meneruskan perkataannya.
"Khawatir kenapa Ma?" sambar Rangga.
"Mmm ...., enggak, enggak! Pokoknya kamu jangan minum obat itu lagi. Tapi orang lain jangan sampai tahu. Kamu harus memberitahu Mama reaksi yang kamu rasakan setelah beberapa hari tidak minum obat itu, oke?" bisik Nyonya Cindy takut ada yang menguping.
"Mama dengar katanya kamu akan dicarikan guru privat kerajinan dari tanah liat?" Nyonya Cindy bersikap biasa lagi.
"Ya, rencananya Rangga mau belajar membuat kerajinan seni kriya," jawab Rangga.
"Kalau sudah mahir, Rangga ingin buka pameran hasil karya Rangga, Mah, lukisan dan seni kriya," imbuhnya.
"Bagus. Memangnya hasil karya kamu udah banyak?" Nyonya Cindy sempat melirik lukisan yang tertutup kain hitam.
"Sudah tiga bulan Mama tidak kesini. Lukisanku makin banyak lho Ma!" Rangga tampak antusias.
"Mama mau lihat?" tawar Rangga.
*Nanti saja, Rangga. Mama mau nginap 3 hari kok. Masih banyak waktu," jawab Nyonya Cindy.
"Oke kalau begitu. Mama pasti lelah. Mamah istirahatlah dulu di kamar Mama," saran Rangga.
"Ya, Rangga. Setelah makan malam nanti kita lanjutkan lagi obrolan kita," Nyonya Cindy tersenyum.
"Oke, Ma," Rangga pun tersenyum.
*******
Setelah makan malam, Nyonya Cindy dan Rangga duduk di ruang tengah. Tak ada benda elektronik di villa itu yang bisa dijadikan hiburan untuk Rangga. Rangga benar-benar menjauhi itu semua. Bahkan sudah lama iapun tidak memakai hp. Rangga benar-benar menyepi. Bila membutuhkan sesuatu dari keluarganya, Pak Dani yang menelepon keluarga Rangga. Bila keluarganya rindu pada Rangga, mereka menelepon Rangga melalui hp Pak Dani.
"Rangga, sudah waktunya kamu keluar dari tempat menyepimu ini, nak. Sudah terlalu lama kamu bersembunyi dari dunia luar. Mama ingin melihat hari tua Mama tidak punya beban karena memikirkanmu. Bangkitlah, Rangga! Hidupmu masih panjang! Jangan sia-siakan hidup kamu dengan menyiksa diri seperti ini," pinta Nyonya Cindy. Diusianya yang sudah menginjak kepala enam, ia masih tampak cantik. Walau rambutnya disana sini mulai memutih.
"Entahlah, Ma! Rangga masih belum siap! Rangga merasa masih ada yang mengganjal di hati. Rangga tidak layak hidup bahagia setelah apa yang Rangga lakukan pada Rena," Rangga menolak permintaan Mamanya.
"Mama yakin, Rena sudah memaafkanmu di sana. Iapun tak ingin melihat kamu begini terus. Sepuluh tahun, Rangga! Mama tak tega melihat kamu terpuruk seperti ini terus!"
"Tapi Mama juga dulu menyalahkanku," ujar Rangga.
"Maafkan Mama! Waktu itu siapapun emosi padamu. Apalagi Mama dan Papamu sudah sangat berharap menimang cucu. Tapi kamu mengecewakan harapan kami. Tapi ya sudahlah! Semua sudah berlalu. Kamu sudah menyadari kesalahanmu. Kamu harus berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Mama ingin kamu bahagia," Nyonya Cindy berkaca-kaca.
"Maafkan Rangga," lirih Rangga sambil menyentuh tangan Mamanya.
"Mama ingin kamu membuka lembaran baru hidupmu. Bukalah hatimu. Mama tak ingin sampai Mama mati, kamu masih begini. Mama merasa gagal menjadi orangtua," kata Nyonya Cindy.
"Pulanglah ke rumah Mama. Kelola lagi perusahaanmu ataupun perusahaan peninggalan Papamu. Terlalu berat Kakakmu menanggung sendirian," ucap Nyonya Cindy lagi
"Maafkan Rangga, Ma. Rangga belum siap. Rangga masih merasa berdosa. Rangga layak dihukum oleh Rena. Inilah hukumanku, Ma," kata Rangga bersikeras.
Nyonya Cindy tak dapat berbuat Apa-apa. Dengan menahan air mata, ia menyentuh pundak Rangga. Lalu tanpa sepatah katapun, Nyonya Cindy beranjak dari ruang tengah itu menuju kamarnya.
Didalam kamar, Nyonya Cindy menahan tangis. Sekuat tenaga ia berusaha tidak menangis dihadapan Rangga. Ia tak ingin mental Rangga terganggu dengan tangisannya. Dikamar pun, Nyonya Cindy tak mau tangisannya terdengar oleh Rangga.
"Rangga ...., Mama sayang kamu, nak! Maafkan Mama. Mama belum bisa menjadi orangtua yang baik," gumam Nyonya Cindy.
Angannya melayang jauh. Ia teringat pada Kakak dan adik Rangga, Daffa dan Wulan. Mereka telah hidup bahagia dengan keluarga kecil mereka. Hanya Rangga yang hidupnya harus mengalami kepahitan.
Flashback
"Bu besan, Rena akan melahirkan prematur! Tolong hubungi Rangga. Teleponnya tidak aktif. Saya khawatir .... saya khawatir Rena tidak dapat bertahan lama," kata Bu Astrid ditelepon.
"Ya Allah! Memangnya apa yang terjadi, Bu Astrid?! Kemana Rangga?!" tanya Nyonya Cindy panik.
"Menurut Rena, Rangga sedang menemani Resty kemoterapy," jawab Nyonya Astrid.
"Apaaa?! Keterlaluan! Anak itu harus di kasih pelajaran! Istri sedang hamil besar, hpnya malah tak diaktifkan!" rutuk Nyonya Cindy.
"Kata Rena, sebenarnya Rangga telah memberitahu Rena bahwa Rangga akan menemani Resty Kemo. Lalu Rena tiba-tiba merasa perutnya mulas. Rena sudah mencoba memanggil-manggil Rangga. Tapi Rangga tidak mendengarnya karena terlihat sedang menerima telepon dan langsung masuk ke mobil," jelas Nyonya Astrid.
"Saya akan ke rumah sakit sekarang, Bu Astrid! Nanti saya juga akan coba menelepon Rangga," kata Nyonya Astrid.
Nyonya Cindy lalu menelepon Wulan agar Wulan bisa tiba lebih dahulu untuk menemani Nyonya Astrid. Tempat kuliah Wulan berdekatan dengan rumah sakit tempat Rena melahirkan. Nyonya Cindy juga berulangkali menelepon Rangga. Tapi panggilannya masih belum diangkat juga.
"Ya Allah .... semoga baik-baik saja menantu dan cucuku!"
"Rangga! Awas, kamu! Mama tak akan memaafkanmu kalau sampai terjadi apa-apa sama mereka!" geram Nyonya Cindy.
Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, Nyonya Cindy langsung menuju ke ruangan bersalin. Papanya Rangga karena sedang ada pekerjaan, akan menyusul nanti. Bu Astrid tampak sedang menangis tersedu-sedu dengan Wulan.
"Ada apa Bu?!" Nyonya Cindypun ikut menangis sambil menghampiri Nyonya Astrid.
"Bu Cindy ...., Rena koma setelah melahirkan! Dia terkena Eklampsia! huu huu huuu ....!" tangis Bu Astrid sambil merangkul Nyonya Cindy. Nyonya Cindypun berangkulan dengan Nyonya Astrid dan Wulan.
"Astagfirullahaladziim ....!" pekik Nyonya Cindy.
Dengan gundah, Nyonya Cindy, Nyonya Astrid dan Wulan menunggu di teras UGD. Mereka sempat melihat bayinya Rena sebelum dimasukan ke inkubator. Kondisi bayi Rena pun kritis. Bayi Rena yang prematur dipasangi selang-selang di dada, perut dan hidungnya. Tampaknya bayi Rena juga ada penyakit bawaan. Nyonya Cindy hanya bisa berdoa semoga mereka bisa melewati masa kritis itu dan selamat.
"Maa ...., apa yang terjadi Maa?!" tiba-tiba Rangga muncul bersama seorang Satpam.
"Kamu dari mana saja Rangga?! Suami macam apa kamu, membiarkan istri melewati masa-masa sulit sendirian!" Nyonya Cindy tak dapat menahan emosinya. Ia memukul - mukul badan Rangga.
"Mas Rangga kejam! Mas Rangga lebih memilih bersama wanita itu daripada Mbak Rena! Mas Rangga b*jingan!" maki Wulan sambil ikut memukul-mukul Rangga.
Nyonya Astrid yang melihatnya hanya menangis. Ia juga sebenarnya sangat marah pada menantunya itu. Tapi ia menahan emosinya. Biar Rangga dipukuli oleh Mamanya dan adiknya sendiri.
Flashback off
Tok!
Tok!
Tok!
Suara ketukan dipintu kamar, membuyarkan lamunan Nyonya Cindy.
"Ma? Mama sudah tidur belum?" tanya Rangga di balik pintu.
Nyonya Cindy tidak menjawab. Ia lebih memilih menarik selimutnya menutupi ujung kaki sampai dada. Dipejamkannya matanya. Hari ini cukup melelahkan setelah melakukan perjalanan ke Bogor, ditambah melihat Rangga yang masih terpuruk. Hatinya merasa lelah dan letih. Ia ingin mengistirahatkan pikirannya malam ini.
Tak lama Nyonya Cindypun sudah terlelap ke alam mimpi.
TO BE CONTINUED
Hai, hai para readers, berikan vote, like dan komentarmu ya. Terimakasih. LOVE YOU ALL!
Nyonya Cindy memenuhi janjinya untuk menginap di villa itu selama tiga hari. Banyak kebersamaan yang dilakukan oleh Ibu dan anak itu selama disana. Mulai dari membantu Rangga berkebun, mendampingi Rangga melukis, hingga bertemu dengan guru privat seni kriya yang datang pada saat hari ketiga Nyonya Cindy berada di sana.
Usia Nyonya Cindy yang sudah tidak muda lagi, membuat kesibukannya di dunia bisnis diserahkan sepenuhnya pada Daffa, anak sulungnya. Memang sejak suaminya tiada, ia sempat turut terlibat dalam mengelola perusahaan. Tapi kini ia memilih istirahat. Ia ingin menikmati hari tuanya bersama anak dan cucunya.
Daffa dan Wulan sudah memberinya cucu. Lalu bagaimana dengan Rangga? Nyonya Cindy merasa masih belum tenang andaikan sewaktu-waktu ia meninggal dunia, tapi Rangga belum hidup bahagia.
Melihat Rangga dengan aktivitasnya yang sekarang terlihat menikmatinya, cukup membuat Nyonya Cindy bernafas lega. Ia berharap suatu saat nanti Rangga akan mendapatkan jodoh lagi untuk menemani Rangga hingga menua.
Setelah melihat-lihat lukisan Rangga, Nyonya Cindypun segera berkemas-kemas untuk kembali ke Jakarta. Nyonya Cindi berjanji akan kembali lagi nanti dua bulan mendatang.
"Kalau hasil kriyamu belum siap, lebih baik kamu membuat pameran lukisanmu saja. Jangan terlalu memaksakan diri. Dua bulan terlalu singkat." kata Nyonya Cindy khawatir target Rangga tidak tercapai.
"Mama nanti yang akan membiayai pameranmu. Nanti biar Wulan yang mempromosikan pameranmu," kata Nyonya Cindy.
"Terimakasih, Ma," ucap Rangga dengan mata berbinar.
Nyonya Cindy mengangguk sambil tersenyum. Ia senang, setidaknya Rangga masih punya semangat untuk hidup. Dulu ia khawatir kalau Rangga akan bunuh diri ketika terpuruk sewaktu kehilangan istri dan anaknya. Sedangkan mantan kekasih Rangga? Entahlah. Nyonya Cindy masih penasaran dengan hati Rangga pada Resty. Apakah masih menyimpan cinta atau hanya iba saja. Karena Resty yang telah meninggalkan Rangga dahulu sewaktu akan bertunangan. menghilang tanpa jejak. Hingga Rangga patah hati. Dan setelah Rangga move on, menjalin hubungan serius dengan Rena hingga satu tahun, kemudian menikah, tiba-tiba Resty datang lagi dalam keadaan sakit parah.
Tidak ada lukisan Resty di ruangan lukis Rangga. Begitu juga di kamar Rangga. Nyonya Cindy hanya menemukan lukisan Rena di kamar Rangga yang ditutup kain, dan dibuka sewaktu-waktu oleh Rangga. Nyonya Cindy menyimpulkan, cinta Rangga lebih besar pada Rena dibandingkan Resty. Mungkin tindakan Rangga waktu dulu itu hanya demi kemanusiaan ataupun iba karena Resty sebatang kara dan dalam keadaan sakit Kanker stadium akhir. Ya, mungkin itu alasannya.
"Mama harap kamu harus mempertimbangkan tawaran Mama untuk kembali mengelola perusahaan Papamu. Perusahaanmu yang dulu itu biarkan saja dikelola oleh Varrel, suami Wulan. Kamu tentu tidak mau kan bertemu karyawan-karyawan kamu yang dulu?" tanya Nyonya Cindy sambil memasukkan pakaiannya pada koper.
"Aku sudah tidak mau kembali ke perusahaan itu. Kalau perusahaan Papa...., saat ini Rangga belum berfikir ke sana dulu. Saat ini Rangga hanya ingin fokus membuat pameran hasil karya Rangga selama bertahun-tahun," jawab Rangga sambil bersandar pada dinding kamar Mamanya.
"Oke. Kalau begitu, Mama pamit. See you later! Mama harap nanti ada perubahan yang terjadi yang membawa angin segar pada hidup kamu," Nyonya Cindy mencium kening Rangga.
"Bawa koper sama tas saya ya mang Udin!" perintah Nyonya Cindy ketika melihat Mang Udin sudah berada di depan pintu kamar
"Baik, Nyonya!" Mang Udin dengan sigap mengambil koper dan tas yang berada di kamar Nyonya Cindy.
"Mama semoga sehat selalu. Hati-hati di jalan ya , Ma!" ucap Rangga sambil merengkuh pundak Mamanya.
"Kamu juga ya! Harus sehat dan move on! Siapa tahu ketemu gadis idaman," kata Nyonya Cindy sambil mengerling.
"Ck! Gadis idamanku sudah di surga!" jawab Rangga sambil mencebik.
Rangga mengantar Mamanya hingga teras villa. Para ART sudah berjajar ikut mengantarkan Nyonya Cindy sampai ke teras.
"Hati-hati di jalan ya Nyonya!" kata para ARTnya serempak. Nyonya Cindy mengangguk sambil tersenyum.
"Kokom, perut kamu sudah besar? Sudah berapa bulan?" tiba-tiba Nyonya Cindy menyapa Kokom, salah seorang ARTnya di villa itu.
"Sudah tujuh bulan, Nyonya. Saya sekalian mau ijin, saya mau cuti dulu mulai besok," kata Kokom sambil menunduk.
" Ya sudah, gak apa-apa. Mang Udin, dijaga ya istri dan calon anakmu!"
"Tentu, Nyonya!" Mang Udin menjawab.
"Pak Dani, kalau pekerjaan di villa ini tidak tertangani dengan ART yang ada, cari ART baru untuk sementara selama Kokom cuti ya!" Nyonya Cindy memberi arahan sebelum ia pergi.
"Baik, Nyonya!" jawab Pak Dani.
Tiba-tiba sebuah mobil masuk ke halaman villa dan berhenti tepat di depan Nyonya Cindy yang akan pergi.
"Maaf Kak Cindy! Beberapa hari ini saya sibuk. Jadi baru sekarang ke sini," Om Adam, adik ipar Nyonya Cindy keluar dari mobil menghampiri Nyonya Cindy.
"Ck! Jangan terlalu sibuk! Nanti kamu lupa pada keluargamu sendiri," ujar Nyonya Cindy.
"Ha ha ha ! Tentu saja tidak akan lupa!" jawab Om Adam sambil bersalaman pada kakak iparnya.
"Sehat Kak?"
"Alhamdulillah, sehat,'
"Kak Cindy akan pulang ke Jakarta sekarang?" tanya Om Adam.
"Iya. Aku sudah tiga hari di sini, aku sudah kangen sama cucu-cucuku. Jadi aku sekarang mau pulang ke Jakarta,"
"Wah, sayang sekali! Tadinya saya akan ajak Kak Cindy jalan-jalan sekitar puncak," kata Om Adam.
"Udah basi! Saya mau pulang! Saya pamit ya semuanya!" Nyonya Cindy melambaikan tangan pada semua ARTnya dan juga pada Rangga. Mang Udin yang telah memasukkan koper dan tas dibantu sopir Nyonya Cindy membalas lambaian tangan majikannya.
"Hati-hati di jalan Nyonya! Semoga selamat sampai tujuan!" ucap Mang Udin.
******
POV Raisa
Namaku Raisa. Usiaku 20 tahun. Aku anak yatim piatu. Aku tinggal dengan ibu tiri ku yang bernama Hety, dan saudara tiri ku yang bernama Sesil. Sebenarnya ada satu lagi saudara tiri ku yang laki-laki, tapi ia sekarang tinggal di kota dengan istrinya. Untunglah. Kalau ia ada di sini, aku takut. Ia kasar dan temperamental.
Ayahku sudah lama meninggal. Aku tinggal dengan Ibu tiri dan saudara tiri ku dengan penuh tekanan. Aku diperlakukan seperti pembantu di rumahku sendiri. Mereka menguasai harta benda peninggalan Ayahku. Keluarga dari Ayahku dan dari Ibuku, aku tak begitu jelas mengetahui keberadaan mereka. Keluarga kami sudah lama putus komunikasi. Hal itu terjadi sejak Ayah memutuskan menikahi Ibu tiriku. Ibu tiriku menjauhkan semua keluarga besar Ayah dan Ibuku. Apalagi mereka tidak menyetujui pernikahan Ayah dengan Ibu tiriku.
Tinggallah aku sendiri menjalani hidup ini tanpa orang-orang yang menyayangiku. Aku diperlakukan seperti budak di rumahku sendiri. Setiap hari aku harus melakukan pekerjaan rumah dan juga harus ke kebun. Aku harus mengurus kebun peninggalan Ayahku untuk ditanami berbagai macam sayuran. Hasil dari kebun itu untuk dijual dan digunakan untuk biaya hidup kami sehari-hari. Sedangkan Ini tiriku dan Sesil hanya menerima hasilnya saja. Mereka merampas semua hasil kebun. Aku hanya mengolah hasil kebun sedangkan mereka yang mengatur keuangannya.
Sebenarnya hidup yang kujalani masih bisa kujalani dengan sabar dan tabah kalau saja Ibu tiriku tidak punya rencana gila. Ibu tiriku berencana menikahkanku dengan seorang tuan tanah tetangga desa yang sudah tua, beristri empat, dan sudah beranak cucu. Aku dijadikan penebus hutang-hutang ibu tiriku yang tidak dapat membayar hutangnya. Tentu saja ibu tiriku berhutang untuk memenuhi gaya hidup Sesil yang hedon. Sehingga akulah yang kena getahnya.
“Raisa! Cepat pakai pakaian itu! Pakaian itu dikirim calon suamimu agar kau pergi makan malam dengannya sekarang!” teriak Ibu tiriku.
“Aku tak mau! Kenapa Ibu menjodohkan aku dengan laki-laki bangkotan yang sudah beranak cucu?! Aku tak Sudi!” balasku.
“Kamu tidak boleh membantah! Kamu harus pergi bersamanya malam ini!” Ibu tiriku mencengkeram pipiku.
“Tidak! Aku tidak mau! Kenapa bukan Ibu saja yang pergi dengannya? Atau Sesil?! Kalian kan yang punya hutang!” aku menghempaskan tangan Ibu tiriku.
Mendengar perlawananku, Ibu tiriku marah. Aku ditamparnya berkali-kali. Dengan penuh amarah, aku lari dari rumah. Cukup! Sudah cukup penderitaanku selama ini! Aku berhak atas hidupku. Tidak boleh ada lagi orang yang berbuat semena-mena pada diriku! Aku bertekad meninggalkan rumahku yang penuh kenangan bersama kedua orangtuaku.
Sepanjang jalan, tak henti-hentinya aku menangis. Aku berlari mengikuti kemana langkah kakiku. Hari sudah mulai malam. Tak kupedulikan sekelilingku. Langkahku baru berhenti ketika menyadari aku akan melewati sebuah area persawahan yang gelap dan sepi. Rasa takutku mulai menyergap. Jalanan terlihat lengang sekali.
Aku menajamkan penglihatanku ketika aku melihat sebuah mobil Avanza akan melintas di depanku. Aku memberhentikan mobil itu. Kulihat sepasang laki-laki dan perempuan paruh baya duduk didepan.
“Pak, Bu! Tolong saya! Bawa saya pergi dari sini! Kalian pasti orang baik yang mau menolong saya!” aku memohon pada kedua orang itu.
“Ada apa nak? Kamu kenapa berada di tempat sepi begini sendirian?” tanya wanita paruh baya itu.
“Saya lari dari rumah, Bu! Saya tidak mau dijadikan penebus hutang ibu tiriku. Tolong, bawa saya pergi. Saya takut mereka akan menyusul saya!”
Mereka tampak terdiam. Mereka memandangku seperti sedang menelisik. Lalu wanita paruh baya itu berbisik pada laki-laki paruh baya. Laki-laki itu memandangku lagi. Kemudian iapun mengangguk. Wanita itu tampak berbisik kembali. Aku sebenarnya agak curiga takut kalau-kalau mereka orang jahat. Tapi aku tidak ada pilihan lain selain ikut mereka. Aku akan waspada.
“Baiklah, ayo masuk!” kata laki-laki paruh baya itu.
Aku bersorak dalam hati. Segera aku buka handle mobil dibelakang. Akupun duduk dibelakang mereka.
“Terimakasih, Pak, Bu!” ucapku.
Sebenarnya aku bertindak gegabah, ikut dengan orang yang tidak dikenal dijalan. Tapi apa mau dikata, aku setidaknya terlepas dari belenggu Ibu tiriku. Untuk selanjutnya aku akan menyusun rencana. Yang terpenting aku pergi dari tempat itu.
Mobil pun perlahan meninggalkan tempat sepi itu. Kurasakan pandanganku ke belakang. Takut-takut ada orang suruhan Ibu tiriku yang mengikutiku. Aman. Tak ada yang mengikutiku ternyata.
“Namamu siapa, nak? Kamu dari desa mana?” tanya wanita paruh baya itu.
“Nama saya Raisa, Bu. Saya dari desa sekitar sini.”
“Kamu mau kemana? Apa ada yang akan kamu tuju?” tanya laki-laki paruh baya yang sedang menyetir mobil itu.
“Saya tidak tahu. Saya hanya lari dari rumah. Saya tidak punya saudara yang akan saya tuju. Kalau boleh, saya akan ikut kalian saja. Saya bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga, ataupun bekerja di kebun,” terdengar lancang sebenarnya. Tapi daripada aku terlunta-lunta di jalan, lebih baik kuberanikan diri untuk tinggal bersama mereka.
“Sebenarnya sangat riskan kami membawa seorang gadis malam-malam di jalan. Kami takut dituduh menculik atau membawa lari anak orang. Tapi melihat kejujuranmu dan masalah yang sedang kamu hadapi, kami mau menampung kamu sementara di villa majikan kami,” kata laki-laki paruh baya itu.
“O ya, kenalkan, nama saya Dani dan istri saya bernama Irah,” kata laki-laki paruh baya itu.
“Senang bertemu kalian, Pak Dani dan Bu Irah. Terimakasih sudah berbaik hati memberi tumpangan pada saya. Juga terimakasih sudah percaya pada saya," ucapku tulus.
POV Raisa off
Lima belas menit kemudian mobil yang mereka tumpangi tiba di sebuah rumah yang besar. Raisa terbelalak melihat kemegahan rumah itu. Dirinya memang pernah lewat di daerah itu. Hanya rumah itu satu-satunya yang terlihat berbeda. Rumah yang dekat dengan kebun teh, jauh dari pemukiman penduduk sekitar, tapi mempunyai bangunan yang indah dan megah. Baru kali ini Raisa melihat rumah itu dari dekat.
Pak Dani dan Bu Irah turun dari mobil, diikuti Raisa. Pak Dani dan Bu Irah tampak sibuk menurun-nurunkan belanjaan dari bagasi. Dengan sigap, Raisa membantu mereka menurunkan belanjaan itu.
"Banyak sekali belanjaannya, Bu," komentar Raisa.
"Iya. Belanja bulanan," jawab Bu Irah.
"Memangnya di rumah ini berapa orang Bu?" Raisa penasaran.
"Satu orang," jawab Bu Irah,"Sekalian bawa masuk ya Raisa," kata Bu Irah sambil menjinjing belanjaan. Kedua tangannya penuh menenteng keresek berisi belanjaan.
"Ya, Bu," jawab Raisa sambil mengikuti Bu Irah masuk.
"Satu orang, tapi belanjaannya banyak banget," kata batin Raisa.
"ART disini ada empat, bahkan lima. Cuma yang satunya cuti hamil. Kami yang mengurus Tuan muda selama di sini. Ini villa keluarganya," jawab Bu Irah seakan mengerti jalan pikiran Raisa.
Raisa hanya mengangguk. Matanya sibuk melihat-lihat bangunan paviliun yang berada di belakang gedung utama.
"Letakkan saja disitu belanjaannya. Biar nanti Ibu yang membereskannya," kata Bu Irah ketika berada di sebuah dapur yang menghubungkan antara bangunan utama dan paviliun.
Setelah barang balanjaan diletakkan di dapur, Bu Irah mengajak Raisa mendekati paviliun yang berjejer memanjang. Setelah dekat pada sebuah kamar, Bu Irah membuka pintu kamar itu.
"Kamu tidur di kamar ini. Bersihkan badanmu. Kamar mandinya ada di dalam. Setelah itu pergilah ke dapur. Kami menantimu untuk makan malam. Kamu pasti belum makan," kata Bu Irah.
"Iya, Bu. Terimakasih," jawab Raisa.
"Di lemari, ada beberapa potong pakaian ganti. Pakai saja. Itu disediakan untuk ART baru. Semoga saja cukup ditubuhmu," kata Bu Irah lagi.
"Terimakasih, Bu," ucap Raisa. Ia merasa beruntung sekali ditampung oleh pasangan suami istri yang bekerja sebagai ART di villa itu.
TO BE CONTINUED
Happy reading my readers! Jangan lupa tinggalkan jejak ya
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!