NovelToon NovelToon

MARIA

1. Keluarga Hubrecht

1942,

"Mister... Mister... Ini gawat,"

Tampak seorang laki-laki dengan celana komprang hitam dan atasan baju putih lusuh datang tergopoh-gopoh,

Laki-laki itu lantas terlihat duduk di lantai, menghadap Tuan besar berdarah Belanda yang berpakaian putih-putih lengkap dengan tongkat dan topi,

Laki-laki tinggi putih yang jelas sekali Tuan besar yang dihormati itu duduk di kursi ruangan depan rumahnya yang luas khas rumah orang Belanda,

"Ada apa? Gawat apa?"

Tanya si Tuan besar pada laki-laki yang baru datang tersebut,

Laki-laki berkulit sawo matang khas orang Nusantara itu terlihat wajahnya begitu tegang, saking tegangnya mungkin jika terlalu dekat bisa nyetrum,

"It... It... Itu,"

"Jangan gagap! Atau saya tembak!"

Kata si Tuan besar, membuat si laki-laki celana komprang jadi makin tegang,

"It... Itu Tuan, ten... tentara sipon kabarnya sudah sampai Cirebon,"

Kata si laki-laki celana komprang, membuat si Tuan besar seketika terlonjak,

"Apa?!"

Jegeeer! Petir menyambar di langit di luar sana, hujan deras mengguyur seperti air ditumpahkan begitu saja dari langit,

"Iy... iya Tuan, tentara sipon telah masuk ke dalam keranjang, eh maksud saya sudah masuk wilayah Cirebon,"

"Kenapa mereka cepat sekali? Apa mereka pake paket kilat ekspres? Oh Oh... Tunggu, Cirebon itu sudah dekat, berarti kita harus segera bersiap mengungsi,"

Si Tuan besar yang panik lantas memanggil isteri dan anak-anaknya,

"Johanaaaa... Lunaaaaa... Mariaaaaa... Albert..."

Si Tuan Besar memanggil semua anggota keluarganya yang tercantum di dalam Kartu Keluarga,

Tak lama, para anggota keluarganya pun berdatangan,

"Ada apa Pap?"

Tanya perempuan bule yang rambutnya disanggul begitu anggun,

Rambut yang berwarna macam rambut jagung manis,

Sementara itu, gaun putihnya yang berenda tampak semakin menambah kecantikan dirinya,

Di dekatnya tampak dua anaknya, laki-laki dan perempuan,

Keduanya terlihat masih belia, yang laki-laki sekitar tiga belas tahun, sedangkan yang perempuan sekitar tujuh tahun,

"Cepat berkemas, kita harus mengungsi,"

Kata si Tuan besar tanpa babibu,

"Mengungsi? Kenapa? Apa mau banjir? Atau gunung meletus? Kenapa begitu tiba-tiba?"

Tanya si perempuan yang begitu cantik dan anggun itu, bola matanya yang biru mengarah kepada sang suami, lalu pada sang abdi mereka bergantian, seolah menuntut penjelasan dari kedua laki-laki itu,

"Nippon, mereka sudah sampai Cirebon, sudah bisa dipastikan tak akan lama lagi mereka sudah akan masuk ke wilayah kita tinggal,"

Kata si Tuan besar akhirnya,

"Nippon? Maksudnya... Tentara Jepang?"

Perempuan yang cantik nan anggun itupun kembali bertanya, yang kemudian dijawab anggukan kepala oleh Tuan Besar,

"Papi... Kita mau mengungsi ke mana Pap?"

Anak laki-laki yang bernama Albert itu pun mendekati Papi nya,

"Ke rumah istirahat kita di kaki gunung Slamet, kita akan sembunyi di sana sementara waktu sampai semua aman,"

Ujar si Tuan besar,

"Rum... rumah istirahat kita yang angker itu Pap?"

Tanya Albert, yang tentu saja langsung mendapat respon dari Luna, adiknya,

"Tidak mau, tidak mau tinggal di rumah angker,"

Kata Luna sambil mulai menangis,

"Haiish, Albert, kamu ini jangan suka mengatakan hal-hal yang tidak jelas keakuratannya,"

Kesal jadinya perempuan anggun yang pastinya adalah Mami mereka itu, isteri si Tuan Besar, si Nyonya Belanda, Nyonya Johana,

"Sungguh Mam, aku tidak bohong... aku benar-benar pernah melihat perempuan dengan tubuh ular di danau dekat rumah istirahat kita, dia sedang berjemur,"

Kata Albert,

"Ah itu hanya khayalanmu, kamu pikir hantu juga ingin punya kulit coklat sampai harus berjemur?"

"Mungkin dia bukan sedang ingin kulitnya coklat Pap, mungkin dia ingin kering,"

Kata Albert ngotot,

Iya kali hantu apa keripik melinjo harus berjemur sampai kering,

"Albert, tidak ada hantu di dunia ini, kamu jangan suka berkhayal macam orang kampung yang suka sekali cerita-cerita hantu pocong, kunti dan cewek gembel ya,"

Kata Tuan Besar,

"Wewe gombel Tuan, bukan cewek gembel,"

Abdi si Tuan Besar meralat,

Tuan Besar jadi tambah kesal karena didebat,

"Pokoknya Albert tidak mau mengungsi ke rumah angker itu Pap!"

Albert tetap ngotot,

"Kalau begitu, kamu ditinggal di sini supaya menghadapi Nippon sendirian, masih bagus ketemu hantu saja, daripada ketemu tentara Nippon, kamu mau di dor?"

Kesal si Papi jadinya,

Oh sungguh menyebalkan berdebat dengan sang anak, begitu pasti pikiran Tuan besar,

"Sudah... sudahlah, pokoknya kita harus mengungsi, lebih baik bertemu hantu, daripada kita yang akan jadi hantu karena ditembak mati tentara Nippon,"

Kata Tuan Besar lagi, mengabaikan kedua mata Albert yang kini tampak merah,

"Bagaimana dengan Batavia Pap? Apa tidak lebih baik kita menuju Batavia saja?"

Tanya Nyonya Johana pada sang suami, berusaha menengahi antara Tuan besar dan juga anaknya,

"Ah Mam, apa kamu sedang ingin bercanda? Batavia jelas jadi target utama mereka, bagaimana bisa kaj malah punya ide pergi ke sana?"

Tanya Tuan Besar heran dengan isi kepala isterinya,

Perasaan dia sudah memenuhi asupan gizi keluarganya dengan baik, tapi kenapa terkadang seperti otaknya tak berfungsi dengan baik dan benar,

Apa mungkin baut nya kendor atau bagaimana?

"Cepat, berkemas sekarang, waktu kita tidak banyak, kita harus bersembunyi sampai nanti kita bisa pergi pulang ke Amsterdam,"

Kata si Tuan Besar,

"Lalu... saya... saya bagaimana Tuan?"

Si laki-laki bercelana komprang bertanya,

"Hah kamu nanye? Kamu bertanye-tanye?"

"Tuan, saya takut ditinggal sendiri,"

Laki-laki bercelana komprang tampak ingin menangis karena takut nanti juga jadi sasaran tembak tentara dari Jepang,

Mereka terkenal sangat sat set dalam menembak target,

Sudah banyak sekali orang Belanda yang mati di tangan mereka, pun juga warga pribumi yang kedapatan bekerja dan mengabdi pada orang-orang Belanda yang tinggal di sini,

"Kami adalah saudara tua kalian, kami datang akan membantu kalian merdeka,"

Begitulah janji para Nippon, yang membuat mereka disambut gegap gempita oleh rakyat yang selama ini menginginkan kemerdekaan,

Berbeda dengan orang-orang Belanda dan juga orang-orang pribumi yang ikut Belanda yang menganggap para Nippon adalah ancaman, bagi rakyat dan juga pejuang kemerdekaan, kedatangan Nippon membuat harapan mereka atas berhasilnya perjuangan seolah semakin berada di depan mata,

"Kamu tinggal pilih saja, tinggal di sini, atau lari juga,"

"Tapi lari ke mana Tuan? Saya ikut Tuan saja, saya... saya..."

Belum lagi si laki-laki bercelana komprang itu melanjutkan kalimatnya yang belum selesai, tiba-tiba...

"Ada apa ini? Ada apa?"

Sebuah suara seorang gadis terdengar seiring dengan langkahnya yang mendekati Tuan Besar,

Gadis berparas cantik luar biasa, yang selalu membuat mata para laki-laki yang melihatnya tak rela berkedip itu tampak berdiri di dekat Nyonya Johana sambil merangkul Luna, adik perempuannya,

"Maria, kita harus berkemas, kita akan mengungsi,"

Kata Nyonya Johana pada anak sulungnya,

Maria...

Ya Maria Hubrecht, gadis tercantik yang bagaikan boneka Barbie.

...****************...

2. Mengungsi

Dan, sesuai arahan si Tuan Besar, akhirnya sekeluarga itupun berkemas dengan cepat,

Mereka tampak hanya membawa pakaian seadanya dan juga beberapa bahan makanan saja untuk bertahan sementara,

Sang abdi setia yang selama ini bekerja sebagai penjaga rumah dan juga pengurus kebun akhirnya Tuan Besar bawa serta karena mengingat ia hidup sebatang kara,

Mereka mengungsi menggunakan mobil pribadi si Tuan Besar,

Namun, berhubung untuk ukuran mobil yang ukurannya tak selebar mobil jaman sekarang, si abdi setia yang sebatang kara diputuskan mengungsi menggunakan angkutan dan begitu sampai di kota kecil menuju kaki gunung slamet, Tuan Besar akan meminta pekerja di rumah istirahatnya menjemput Sepul, nama si Abdi,

Tuan Besar memilih waktu untuk mengungsi saat hari sudah mulai gelap, berharap dengan begitu tak akan banyak mata melihat pergerakan ia dan keluarga yang pergi meninggalkan rumah tiba-tiba,

Mobil bergerak meninggalkan rumah dan kemudian keluar dari kota tempat mereka tinggal selama ini,

"Perjalanan akan membutuhkan waktu dua jam lebih, jika kalian mengantuk, tidur saja,"

Kata Tuan Besar yang berada di belakang kemudi,

"Perkebunan tebu kita bagaimana nasibnya Pap?"

Tanya Nyonya Johana seraya menerawang keluar kaca pintu mobil Chrysler mereka,

"Tidak usah memikirkan kebun tebu lagi, kita sudah tidak aman, yang harus kita pikirkan sekarang adalah kita bisa pulang ke Belanda dengan selamat,"

Ujar Tuan Besar,

Nyonya Johana tampak menghela nafas mendengar jawaban suaminya, terbayang luas kebun tebu milik keluarga mereka rasanya hatinya sebagai perempuan tentu saja berat jika harus melepaskan semuanya,

Oh rasanya sayang sekali membiarkan apa yang telah mereka raih kini terlepas begitu saja,

"Kita bisa memulai bisnis lain saat sudah sampai ke Belanda,"

Kata si Tuan Besar,

"Bisnis apa? Tidak semudah itu membangun bisnis Pap,"

"Ya bisnis apalah, jual sambel kacang kek, apa rendang jengkol kek,"

Sahut si Tuan Besar asal bunyi macam buang angin, membuat Nyonya Johana hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya,

Sungguh mendengar Tuan Besar memberikan ide bisnis jual sambel kacang dan rendang jengkol, Nyonya Johana jadi membayangkan berjualan di tengah guyuran salju,

Tak berbeda jauh dengan kedua orangtua mereka, anak-anak Tuan Besar juga sibuk kasak-kusuk debat soal hantu bertubuh ular yang diyakini betul oleh Albert jika sosok itu adalah penunggu rumah istirahat mereka,

"Aku melihatnya dengan kedua mata kepalaku Maria, bahkan mata kaki aku pun melihatnya,"

Kata Albert benar-benar ngotot,

Maria menghela nafas, sesungguhnya ia sama sekali tak percaya dengan hal-hal semacam itu,

Sama seperti Papi nya, Maria merasa jika hantu hanyalah imajinasi manusia saja, mereka tidak nyata, mereka hanya sesuatu yang dibuat-buat oleh orang yang lebih tua untuk menakuti anak-anak kecil agar mau menurut,

"Kita buktikan saja nanti setelah sampai di sana, bila perlu kamu aku ceburin ke danau,"

Kesal Albert membuat Maria mengangguk,

"Ayok, siapa takut, kita buktikan kalau kamu cuma berkhayal,"

Kata Maria penuh percaya diri.

Masuk wilayah kota kecil yang menandakan perjalan sudah tinggal sebentar lagi, anak-anak akhirnya sudah tak terdengar berisik,

Mereka tidur terlelap sambil saling menyandar satu sama lain, begitu pula dengan Nyonya Johana,

Perempuan cantik nan anggun itupun tampak tertidur pulas sambil kepalanya menyandar di kaca pintu mobil,

Tuan Besar menguap lebar, matanya sejatinya juga sudah mulai mengantuk, badannya juga sudah mulai pegal-pegal karena lelah mengemudi,

Tapi, ia ingin cepat sampai dulu ke rumah istirahatnya, rumah yang ia beli dari seorang kawan yang memutuskan kembali ke Belanda dua tahun lalu itu tinggal setengah jam lagi, maka Tuan Besar memilih memaksakan diri meneruskan perjalanan,

Gelap, sangat gelap, jalan menuju rumah istirahat sangat gelap dan juga sepi,

Melewati sawah ladang yang membentang sepanjang jalan, bahkan juga hutan yang konon banyak monyet yang kadang juga turun ke jalanan dari pohon-pohon yang tumbuh di sana,

Mobil terus melaju, saat kemudian di sebuah tikungan yang setelah itu ada tanjakan cukup tinggi,

Mata Tuan Besar tanpa sengaja melihat seorang perempuan berdiri di pinggir jalan,

Perempuan itu mengenakan daster putih sambil memegangi tongkat,

Hanya sekilas saja Tuan Besar melihatnya ketika mobil melintas, namun anehnya ketika Tuan Besar melihat lagi ke spion mobil, perempuan itu sudah tidak ada,

Ah apa itu?

Batin Tuan Besar mulai bertanya-tanya,

Dirinya yang selama ini tak ingin percaya dengan hal semacam itu, akhirnya kini mulai sedikit terusik,

Kenapa ada perempuan di pinggir jalan sendirian seperti itu? Di kegelapan dan pula di dekat hutan,

Dan...

Bagaimana mungkin ia langsung tak kelihatan lagi begitu dilihat dari spion?

Tuan Besar terus bertanya-tanya atas kejanggalan yang baru saja ia temui, bahkan hingga kemudian mobilnya akhirnya sampai di rumah istirahatnya, Tuan Besar masih saja memikirkan sosok perempuan di pinggir jalan tadi,

Mobil yang dikendarai Tuan Besar berhenti di depan rumah Istirahat miliknya,

Rumah satu lantai dengan desain khas rumah-rumah Belanda yang tinggi dan juga bangunannya terlihat kokoh itu pintunya dibuka seseorang dari dalam rumah,

Tuan Besar turun dari mobil, sementara seorang pemuda yang muncul dari dalam rumah lalu segera mendatangi Tuan Besar tampak mengulurkan tangannya mengajak Tuan Besar bersalaman,

"Jadi, kamu yang menggantikan Pak Komar?"

Tanya Si Tuan Besar,

Pemuda itu mengangguk,

"Betul Tuan, saya menggantikan Bapak saya, karena ia sudah sakit-sakitan,"

Jawab si pemuda,

Tuan Besar pun mantuk-mantuk tanda mengerti,

"Baiklah, siapa namamu?"

Tanya si Tuan besar, yang bersamaan dengan itu Nyonya Johana turun, baru kemudian anak-anaknya,

Dan...

Pemuda yang merupakan penjaga serta pengurus rumah peristirahatan Tuan Besar itu tanpa sengaja matanya melihat sosok anak gadis Tuan Besar,

Ya, gadis yang sangat cantik, yang bahkan si pemuda itu tak pernah sekalipun melihat wajah secantik itu sebelumnya,

Bahkan, saking kagumnya, si pemuda itupun sampai tak berkedip, dan juga jadi mematung menatap anak gadis Tuannya,

Sungguh, ternyata benar anak Tuan Besar cantik luar biasa. Dia benar-benar seperti dipahat dengan sangat hati-hati oleh Sang Maha Pencipta,

Sebuah karya yang sempurna, dari ujung kepala hingga ujung kaki,

Ya setidaknya itulah yang bisa si pemuda lihat, karena di dalamnya ternyata ada panu, kudis, kurap tentu si pemuda tidak tahu,

Namun, tiba-tiba...

"Ehm... ehm..."

Suara Tuan Besar kembali terdengar dan mengagetkan si pemuda,

"Aku tanya kepadamu anak muda, siapa namamu?!"

Tanya si Tuan Besar lagi mengulang, membuat si pemuda terlihat langsung wajahnya memerah karena malu,

Maria, gadis cantik itu, yang melihat pemuda tampan penjaga rumah istirahat mereka itu wajahnya tampak memerah menahan malu jadi tersenyum simpul,

"Sa... saya... Yusuf, Tuan,"

Jawab si pemuda kemudian sedikit tergagap.

...****************...

3. Rumah Peristirahatan

Albert tampak menatap bangunan rumah istirahat milik keluarganya yang kini ada di hadapannya,

Ia tampak ragu untuk masuk ke dalam rumah, bayangan saat dulu ia sempat melihat sosok perempuan dengan tubuh ular di danau dekat rumah peristirahatan membuatnya seketika membayangkan sosok itu kini telah berpindah ke dalam rumah keluarganya,

"Albert... cepat masuk,"

Tuan Besar memanggil anak keduanya dari ambang pintu, sementara isteri dan kedua anaknya yang lain, Luna dan Maria telah lebih dulu masuk dengan Yusuf membawakan tas-tas pakaian milik mereka,

Albert dengan masih ragu karena takut menguasai dirinya akhirnya menuruti sang Papi untuk masuk ke dalam rumah,

"Kenapa lama sekali hanya untuk masuk ke dalam rumah?"

Omel Tuan Besar,

Albert malas menjawab, baginya menjawab omelan Papi hanya sebuah kesia-siaan,

Albert kemudian menyusul Mami dan kedua saudaranya,

"Sudah Yusuf, kami menempati kamar di lantai satu saja,"

Kata Nyonya Johana pada Yusuf, membuat Yusuf pun seketika menghentikan langkahnya,

Deretan kamar di lantai satu dengan pintu-pintu besar dan tinggi tampak berjejer,

Ada sekitar enam sampai tujuh kamar di sana, sebelum kemudian di ujung koridor ada dapur lalu tempat makan dan ruang terbuka hijau yang ada pintu untuk menuju ke bagian belakang rumah yang mana di sana ada telaga alam yang selama ini dikatakan Albert terdapat perempuan setengah ular,

"Kamar ini untuk saya dan Tuan Besar, sebelah sini untuk Luna, dan di sebelahnya lagi untuk Albert, dan..."

"Aku ambil kamar di atas saja,"

Kata Maria menyerobot, sebelum Maminya menunjuk kamar untuk Maria,

"Lantai atas?"

Tanya Yusuf, wajahnya sedikit menunjukkan gelagat tak enak,

Tapi mana peduli Maria, baginya, saat ia menginginkan sesuatu, maka itu adalah mutlak,

"Kamu tidak takut Maria?"

Tanya Albert seolah mewakili yang lain,

Tapi Papi yang sepertinya justeru menyukai ide Maria, tampak mewakili Maria menjawab,

"Memangnya apa yang harus ditakutkan? Yang harus kita takuti saat ini adalah Nippon menemukan tempat persembunyian kita,"

Ujar Tuan Besar,

Albert yang mendengar jawaban Papi, tampak menghela nafas,

Nyatanya Papi memang sangat menolak percaya hal semacam itu, dan Maria adalah anak yang plek jiplek dengan Papinya,

"Bawakan tas pakaian ku ke atas Yusuf, aku akan memilih kamarku,"

Ujar Maria yang lantai berjalan santai menuju anak tangga yang untuk naik ke lantai dua,

"Ta... tapi..."

Yusuf seolah hendak mengatakan sesuatu, namun begitu melihat Nyonya Johana menggelengkan kepalanya, semacam isyarat jika Yusuf tak perlu mengatakan apapun karena tak akan berguna untuk Maria, maka Yusuf pun memutuskan untuk akhirnya diam saja,

Pemuda kampung dengan wajah tampan itupun lantas memasukkan tas-tas pakaian ke kamar-kamar yang telah diputuskan akan ditempati,

Setelah semua selesai, barulah tas milik Maria dibawakannya ke lantai dua,

"Lantai dua kenapa begitu lembab? Apa selama ini tidak ada yang pernah tinggal di sini? Kudengar, beberapa teman Papi dan keluarga mereka sering ikut menginap di sini,"

Tanya Maria begitu dilihatnya Yusuf telah menyusul dirinya,

Maria tampak berdiri di balik kaca jendela di lantai dua, menatap jalanan kampung yang terlihat sepi,

"Mereka kebanyakan lebih suka menempati kamar-kamar di lantai satu Nona,"

Jawab Yusuf,

"Jalanan di depan itu, kenapa begitu sepi? Dulu sepertinya tidak sesepi ini, banyak orang lewat menuju sawah dan beberapa kendaraan mengangkut orang untuk bekerja di perkebunan,"

Kata Maria lagi,

"Iya Nona, belakangan banyak dari mereka memilih jalan lain, sejak..."

Tampak Yusuf terdiam sejenak, seperti ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya,

Namun, itu jelas membuat Maria jadi menoleh ke arahnya, dan melihat wajah Maria yang jelita, tentu menjadikan Yusuf salah tingkah karenanya,

"Ngg... It... Itu karena..."

Yusuf pun tergagap, dan dalam kondisi demikian Maria malah berjalan mendekat,

"Apa?"

Tanya Maria,

"Ngg... itu Non, sil... sil..."

"Silat?"

Tanya Maria,

Yusuf menggeleng,

"Sil... siluman ular,"

Kata Yusuf akhirnya, Maria mengerutkan keningnya,

"Siluman ular?"

Maria bergumam,

Tampak Yusuf mengangguk,

"Ada warga kampung mati saat memancing di telaga, kata temannya, dia ditarik siluman ular penunggu telaga,"

Tutur Yusuf,

"Hah? Ada yang seperti itu? Siluman ular membuat manusia mati?"

Maria terheran-heran, namun di saat yang bersamaan, Maria juga jadi ingat cerita Albert tentang perempuan dengan tubuh ular besar di sekitar danau,

"Kapan kejadiannya?"

Tanya Maria,

"Baru-baru ini saja Nona, itu sebabnya mereka sekarang memilih jalan lain meskipun harus sedikit memutar dan lebih jauh,"

Kata Yusuf,

Maria tampak menganggukkan kepalanya tanda mengerti,

Ia sudah tidak heran dengan kebiasaan orang-orang pribumi, yang memang sangat mudah ketakutan dengan hal-hal semacam itu,

Ah tidak, bukan hanya orang pribumi, karena Albert, adiknya pun juga sama saja,

Yusuf kemudian diminta oleh Maria memasukkan tas pakaiannya ke dalam kamar yang paling dekat dengan tangga,

Setelah memasukkan tas pakaian Maria, tampak Yusuf pun pamit untuk turun karena harus menyiapkan teh untuk Tuan Besar dan Nyonya Johana,

"Nona ingin dibuatkan teh juga?"

Tanya Yusuf sebelum benar-benar pergi,

Maria mengangguk,

"Ya, buatkan satu untukku,"

Kata Maria, tampak Yusuf mengangguk mengiyakan,

Yusuf lantas berjalan turun ke lantai satu lagi, di sana tampak sang Tuan Besar sedang menghubungi teman-temannya di Batavia,

Tentu saja, ia sangat khawatir dengan kondisi Hindia Belanda sekarang,

Setalah sebelumnya habis-habisan kalah dari Jerman, kini mereka yang berada di tanah Nusantara pun mulai diserang oleh Jepang pula,

Kabar jika Tarakan hingga Palembang telah dikuasai juga sudah ia dengar, termasuk juga pertempuran laut yang dimenangkan para tentara dari Negeri Sakura hingga mereka kini mampu mendarat di pulau Jawa,

Jika prediksi si Tuan Besar tidak meleset, dalam sekejap saja, Hindia Belanda tampaknya akan segera dipaksa menyerah dan kemudian berakhir di bumi ini, yang otomatis, dengan begitu mereka harus hengkang pulang ke negara asal mereka, itupun jika Jepang tak lantas membumi hanguskan mereka seluruhnya,

Yusuf berjalan menuju ke dapur, meskipun ia hanyalah pemuda kampung, tapi ia tahu tentang kabar datangnya para tentara saudara tua yang akan memerdekakan warga pribumi,

Ya, merdeka, cita-cita semua bangsa untuk bisa hidup bebas tanpa jajahan bangsa lain,

"Johanaa... Johanaaa..."

Terdengar kemudian suara Tuan Besar memanggil sang isteri,

"Ada apa Pap? Kenapa teriak-teriak?"

Tanya Nyonya Johana yang baru saja keluar untuk mengambil barang yang tertinggal di mobil,

"Keadaan sepertinya sudah sangat genting, lebih baik biarkan tas pakaian tidak usah dibongkar, empat hari lagi, kita akan ikut keluarga Dursley kembali ke Belanda,"

Kata Tuan Besar pada sang isteri.

...****************...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!