NovelToon NovelToon

Cinta Dalam Diam

1. Di Omeli

Seorang wanita cantik kelas tiga SMA yang bernama Niki Aliyah saat itu sedang duduk di kursinya dengan sebuah buku pelajaran di kedua tangannya. Posisi kursi yang ada di paling sudut belakang membuat orang-orang di depan sana mengira jika dia sedang membaca buku tersebut, namun pada kenyataannya di balik buku itu terdapat sebuah ponsel yang menjadi objek utama dari pandangan Niki. Saat itu Niki memang sedang menonton tayangan live konser dari musisi international melalui youtube.

Niki adalah wanita penggila konser. Semua jadwal konser yang ada di kotanya pasti selalu diketahui olehnya. Entah melalui internet, selebaran pinggir jalan, atau dari teman-temannya, dia pasti mengetahui itu. Tidak ada satupun konser yang terlewatkan olehnya untuk didatangi selama itu masih di dalam kota.

"Niki!" teriak seorang wanita bernama Rara dari pintu masuk membuat Niki mengalihkan pandangannya kepada wanita itu.

Rara adalah teman dekat Niki di sekolah. Meski mereka beda kelas tapi kedekatan dua orang itu tidak perlu diragukan lagi, apalagi Rara juga pecinta konser meski tak segila Niki. Dari Rara jugalah Niki sering mendapatkan info konser dan mereka sering datang berdua untuk bersenang-senang. Hanya saja jika sedang ada ujian, Niki sering pergi sendirian atau mengajak temannya yang lain karena Rara si kutu buku itu akan lebih memilih belajar dari pada menghabiskan waktunya di keramaian yang berisik.

"Kenapa sih, Ra, ganggu banget," ucap Niki sembari melanjutkan tontonannya dan tak memedulikan Rara yang sudah duduk di sampingnya.

"Ada konser gratis lusa malam."

Mendengar info dari Rara, saat itu juga Niki meninggalkan ponsel serta bukunya dan menatap kepada Rara dengan excited.

"Konser? Di mana, Ra?" tanya Niki heboh.

Rara menyebutkan lokasi konser yang akan di selenggarakan lusa malam dengan musisi terkenal tanah air sebagai penampil di sana. Lokasi tersebut berada di sebuah lapangan yang biasa dijadikan tempat bersantai di sore hari, tepatnya di pusat kota dan setiap acara yang diadakan di sana selalu gratis.

Niki tampak bersemangat mendengar apa yang Rara katakan. Setelah hampir dua minggu tidak menonton konser secara langsung, akhirnya lusa dia bisa kembali mendatangi tempat favoritenya itu. Dia sudah tidak sabar untuk bernyanyi ditengah keramaian yang di mana tidak akan ada orang yang akan fokus pada suaranya semata. Di situlah salah satu momen asik Niki, dia bebas bernyanyi sekencang mungkin dengan suara pas-pasannya dan di sana tidak akan ada yang mengejek suaranya itu.

"Wah asik tuh. Berarti duit tabungan aku kali ini nggak keluar nih. Jam berapa mulainya?" tanya Niki.

"Kayak biasa sih, sekitar jam delapan."

"Berarti aku nginap di rumah kamu saja ya malamnya. Ayah ibuku pasti ngomel kalau aku pulang larut lagi."

"Tenang saja. Rumahku selalu sedia kos-kosan buat seorang Niki."

Niki hanya tersenyum mendengar ucapan Rara. Memang begitulah mereka, rumah Rara selalu menjadi tempat menginap Niki jika jam 10 malam dia masih di luar. Dia tidak berani pulang di atas jam 10 karena selain orang tuanya yang akan mengomelinya, dia juga tidak tega jika harus membuat ibunya terganggu tidurnya. Orang tuanya biasa tidur jam 9 malam dan jika terbangun karena kepulangannya biasanya mereka susah untuk tidur kembali. Alhasil mereka akan tidur larut malam dan kesiangan bangunnya.

*

Sore itu Niki sedang pusing memilih outfit yang akan dipakai untuk pergi menonton konser nanti malam. Sebenarnya Niki bukan tipe orang yang begitu ribet dengan penampilannya, namun entah kenapa malam ini dia terlihat bingung hanya untuk memilih pakaian saja. Mungkin karena semua pakaian yang dia punya sudah pernah dipakainya untuk pergi sehingga membuatnya bingung harus memakai apa lagi.

"Gini nih resiko punya pakaian seadanya, mau pergi 'kan susah jadinya. Mau minta beliin ibu baju tapi lebaran masih lama," gumam Niki dengan sedikit kesal.

Dia menghela nafasnya dan membaringkan tubuhnya ke atas kasur. Pandangannya menatap lurus kepasa langit-langit kamar sembari memikirkan outfit apa saja yang akan dia kenakan untuk menonton konser nanti malam. Semua pakaian sudah ada di kepalanya dan dia hanya diam membayangkan dirinya memakai pakaian itu satu persatu. Begitu aneh memang, namun itulah Niki si wanita absurd.

Begitu merasa sudah cukup membayangkan pakaian apa yang akan dipakainya, Niki langsung bangkit dari rebahannya dan mengambil set baju sesuai khayalannya tadi.

"Oke, yang ini saja," ucapnya di depan cermin sembari meletakkan sebuah t-shirt dan jens selutut di depan tubuhnya.

Saat itu suara ketukan pintu dari luar membuat Niki mengalihkan pandangannya. Pintu yang sedikit terbuka membuatnya langsung bisa melihat sang ibu yang sedang melihat ke arahnya.

"Masuk, Bu."

Niki meletakkan pakaian yang dia pegang ke atas kasur dan meraih beberapa pakaian yang sebelumnya dia keluarkan untuk kembali dimasukkan ke dalam lemari.

"Mau ke mana, Nik?" tanya ibu Niki yang bernama Novi.

"Em, Bu, nanti malam Niki tidur di rumah Rara ya. Besok 'kan libur sekolah," ucap Niki yang berpamitan tanpa menjawab pertanyaan ibunya itu.

"Kamu mau nonton konser ya malam ini?" tebak Novi kemudian.

Niki yang sedang berada di depan lemari hanya menyengir kuda. Dia membalikkan tubuhnya menatap sang ibu dan mendudukkan tubuhnya di samping wanita tercintanya itu.

"Boleh ya, Bu," ucap Niki sambil memeluk Novi dari samping. "Janji deh nggak balik malem-malem banget."

"Jam berapa mulai konsernya?" tanya Novi.

"Jam delapan."

"Mulainya saja jam delapan. Masih harus nunggu artisnya tampil juga, nggak malem apanya itu?" ucap Novi yang mulai mengomel.

"Kenapa sih Nik kamu tuh hobi banget nonton konser malem-malem gini. Nggak bisa apa nonton konsernya pagi saja?"

Niki mengernyitkan keningnya mendengar ucapan sang ibu.

"Ibu apaan sih. Mana ada konser pagi, yang ada pengajian tuh pagi-pagi."

"Yaudah nonton pengajian saja."

Niki melepas pelukannya dari sang ibu sambil memasang muka cemberut.

"Ibu nggak asik banget sih. Orang mau nonton konser kok malah di suruh nonton pengajian."

"Pokoknya Niki malam ini nonton konser harus diizinin ya. Ya, Bu, ya?" ucapnya kemudian sambil mengayunkan tangan sang ibu.

"Iya iya, terserah kamu saja mau ngapain. Tapi ingat, awas saja sampai melakukan hal yang membuat malu keluarga. Kamu itu wanita, anak Ibu satu-satunya, keluarga kita juga bukan orang kaya, sebisa mungkin kamu harus menjauhi segala macam masalah di luar sana. Ibu nggak mau nanti tiba-tiba ada–"

"Ussshh, Ibu." Niki menyela ibunya yang sedang menceramahinya. Dia tahu betul apa yang akan dikatakan sang ibu dan dia tidak mau jika sampai perkataannya yang aneh akan menjadi kenyataan. Bagaimanapun juga, sebaik ataupun sejeleknya perkataan bisa saja menjadi doa. Apalagi yang berkata adalah seorang ibu.

"Ibu jangan ngomong yang aneh-aneh ya. Cukup izinin Niki keluar, beri doa agar baik-baik saja di luar sana dan yang penting, harus percaya kalau Niki bisa menjaga nama baik keluarga kita oke," ucap Niki dengan diakhiri oleh sebuah senyuman yang sangat lebar agar sang ibu mengerti maksudnya.

"Yaudah terserah kamu sajalah. Awas saja sampai nggak bisa menjaga omongan sendiri."

Novi beranjak dari duduknya dan memilih keluar dari sana. Dia bahkan sampai lupa akan tujuannya mengunjungi kamar putrinya karena kesal dengan sang putri yang sibuk dengan hobi tidak pentingnya yaitu, menonton konser.

"Pusing-pusing, punya anak gadis kok hobinya cuma bisa menghamburkan duit buat nonton konser doang."

Niki memanyunkan bibirnya mendengar omelan ibunya yang ternyata masih berlanjut ketika sedang berjalan keluar dari kamarnya.

2. Konser

"Bu, Yah, Niki pamit pergi ya."

Niki berteriak dari ruang tamu kepada kedua orang tuanya yang saat itu sedang berada di kamar. Dia terlihat buru-buru sampai tak menunggu orang tuanya keluar dan langsung pergi begitu saja setelah berpamitan.

Di luar Rara sudah menunggunya dengan sepeda motornya, Niki segera menghampiri temannya itu dan naik ke atas motor setelah menerima helm yang diberikan Rara.

"Niki, jangan pulang malam-malam."

Saat itu teriakan ayah Niki berhasil membuat Rara menarik rem-nya. Mereka menghadap kepada suara pria paruh baya itu yang sudah berada di ambang pintu seorang diri.

"Iya Yah, Niki nggak pulang malem-malem banget kok. Setelah acara selesai pasti langsung pulang, paling nggak jam satu lah ya," ucap Niki dengan terkekeh di sana.

"Jam satu? Kamu jangan gila ya, Niki."

Niki hanya terkekeh melihat ayahnya yang nampak terkejut mendengar ucapannya.

"Tenang aja Ayah sayang, sebelum jam dua belas Niki sudah di rumah Rara kok. Bye Ayah, Niki pergi ya. Love you so much."

Setelah berteriak seperti itu, Niki meminta Rara untuk segera melajukan motornya menuju lokasi konser musik yang diselenggarakan. Konser akan di mulai sekitar satu jam lagi, suasana di sana pasti sudah mulai ramai dan mereka harus mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan tinggi agar tidak mendapatkan space paling belakang.

Setiba di sana memang saat itu suasana sudah sangat ramai dan konser juga baru saja di mulai dengan MC yang memandu acara. Niki yang begitu antusias berdiri dengan tidak sabar menunggu Rara memarkirkan motornya.

"Ayo cepetan, Ra," ucap Niki dengan pandangan ke arah panggung di ujung sana.

"Sabar kali, Nik. Tukang parkirnya lagi masukin motorku," sahut Rara. Sebenarnya dia juga tak kalah hebohnya dengan Niki, namun Rara masih bisa mengendalikan emosinya ketimbang Niki yang seperti orang baru pertama kali nonton konser.

Setelah tukang parkir memberi kunci motor ke Rara, Niki segera menarik tangan temannya itu menuju depan panggung. Karena orang-orang datang lebih cepat dari mereka, jadi mereka kedapatan space yang cukup jauh dari panggung.

"Yah, jauh banget. Mana seru kalau di belakang begini," ucap Niki kesal.

"Kamu sih pake acara sholat maghrib dulu, 'kan telat jadinya kita," ucap Rara kemudian.

"Mau gimana lagi, Ra. Dari pada nggak diizinin pergi, 'kan?" ucap Niki dengan memanyunkan bibirnya.

Sebenarnya Niki memang sudah siap pergi sejak sore, namun ayahnya melarangnya pergi sebelum maghrib. Ayahnya tahu sekali jika di luar rumah Niki seringkali lalai menjalankan ibadahnya. Seharusnya saja Niki diizinkan pergi setelah sholat isya', namun karena Niki protes dan mengatakan jika acaranya mulai pukul tujuh, makan ayahnya hanya minta Niki untuk berjanji tidak lalai dengan ibadahnya. Meski orang tua Niki bukanlah seorang yang ahli agama, namun untuk hal wajib bagi agama mereka, ayah Niki cukup patuh akan itu. Walaupun tidak memaksakan anaknya, tapi beliau berusaha untuk menerapkan ilmu agama kepada putri semata wayangnya itu.

Begitu MC memanggil salah satu band yang akan tampil, Rara dan Niki kembali bersemangat. Tubuh yang tidak terlalu tinggi membuat mereka harus berjinjit agar bisa melihat lebih jelas apa yang ada di atas panggung. Karena begitu excited ingin mendapatkan pemandangan yang sempurna, Niki menggenggam pergelangan tangan Rara dan menariknya menerobos para manusia di depan sana yang memberi celah untuknya masuki. Celah sekecil apapun akan Niki terobos agar bisa lebih dekat dengan panggung. Dia sangat excited dengan konser itu meski ini bukanlah yang pertama ataupun kedua baginya.

"Nik, pelan-pelan dong. Sakit nih tanganku," rengek Rara saat merasakan pergelangan tangannya yang kebas karena digenggam Niki dengan begitu erat.

"Sorry, Ra. Kamu jalannya cepetan dong. Nanti kalau hilang, gimana?" ucap Niki.

"Nggak mungkin hilanglah, kamu kira aku anak kecil apa."

"Makanya cepetan jalannya."

Niki melepas genggamannya dari pergelangan tangan Rara dan berganti menggenggam ujung baju temannya itu. Perjalanannya menuju barisan paling depan memang begitu sulit karena ramainya orang di sana, namun Niki tak pantant menyerah. Sambil bernyanyi dan berjoget, dia terus bergerak maju sediki demi sedikit. Hingga akhirnya satu jam kemudian Niki dan Rara sudah berada sangat dekat dengan panggung utama.

"Emang the best kamu Nik kalau urusan nerobos kerumunan," ucap Rara sembari menepuk bahu temannya itu.

"Niki gitu loh," sahut Niki.

Musik yang terdengar begitu lantang membuat Niki kembali berjoget dengan melompat-lompat, mengikuti irama musik yang ada. Kerumunan yang melakukan hal sama pun membuat Niki dan Rara tak menghiraukan rasa malu karena di sana tidak ada yang akan memerhatikan mereka seorang kecuali, para panitia yang berjaga di samping panggung. Hal tersebut sudah biasa bagi mereka yang sering menonton konser dan tidak akan menjadi penghalang mereka untuk bersenang-senang.

Begitu musik berhenti dan digantikan oleh MC yang mengambil alih, pandangan Rara saat itu tertuju pada seorang pria dibalik pagar pembatas yang sedang menatap ke arah mereka. Dia menatap lama pada pria itu yang ternyata sedang memerhatikan Niki yang sedang berkutik dengan ponsel pintarnya.

"Nik."

Niki mengalihkan pandangannya begitu Rara memanggil dan menyenggolnya.

"Kenapa?"

"Ada cowo yang ngeliatin kamu dari tadi tuh," ucap Rara sembari memberikan petunjuk pada lirikannya kepada pria yang saat itu masih menatap Niki.

Niki segera menatap kepada apa yang Rara pandang. Dia melihat seorang pria yang cukup tampan sedang menatap ke arahnya dengan sebuah senyuman tipis. Sepertinya pria itu berusia tak jauh darinya jika dilihat dari wajah dan tinggi badannya.

"Ngapain dia senyum-senyum nggak jelas gitu?" ucap Niki sambil tersenyum geli. Dan ternyata senyumnya itu berhasil membuat pria di sana melebarkan senyumnya, sehingga membuat Niki tertawa bersama Rara.

"Dia ge-er kayaknya, Nik. Kamu kenapa balik senyum ke dia," ucap Rara.

"Aku nggak senyum ke dia, Ra. Aku cuma geli saja dengan pria itu."

Mereka kembali menertawaka tingkah aneh pria di sana dan begitu musik kembali terdengar, mereka mulai mengabaikan pria itu dan fokus pada alunan musik yang membuat tubuhnya meliuk bersama dengan suara cempreng mereka.

Hampir tengah malam konser musik pun akhirnya selesai. Semua orang mulai membubarkan diri untuk pulang ke asalnya masing-masing, begitu juga Rara dan Niki. Mereka berjalan pelan mengikuti langkah kaki orang-orang di depannya menuju area parkir. Karena lebih banyak manusia berjenis kelamin pria yang ada di sekitar mereka, membuat mereka sering kali terdorong karena kegaduhan orang-orang yang kadang hanya jahil saja.

"Ini yang buat aku malas datang ke konser. Pulangnya pasti begini nih," rengek Rara sambil memelul lengan Niki.

"Yaudahlah Ra, nikmatin aja."

Rara hanya memanyunkan bibirnya mendengar sahutan Niki. Saat kondisi sudah tidak begitu padat lagi, Rara berencana meraih ponselnya yang ada di saku celananya. Namun karena tidak bisa merasakan keberadaan benda pipih itu di tubuhnya, Rara lantas melepas pelukannya dari lengan Niki dengan tiba-tiba.

"Kenapa, Ra?" tanya Niki heran.

"Ponselku, Nik. Ponselku kok nggak ada ya?"

Niki dan Rara langsung menghentikan jalannya. Mereka mulai mencari di seluruh saku pakaian mereka dan juga slim bag yang Niki pakai, namun hanya ponsel Niki saja yang ada di dalam slim bag itu.

"Kamu sih, sudah dibilangin simpan di tasku saja malah disimpan dalam saku," omel Niki begitu menyadari jika ponsel Rara ternyata hilang.

"Gimana dong, Nik. Aku bisa diomeli mamaku."

Raut cemas Rara membuat Niki menghela nafasnya. Jika sudah seperti ini, pasti dia yang akan sibuk. Bagaimana tidak, jika sedang bersama Rara, Niki-lah yang akan menjadi problem soulving untuk temannya satu itu.

Akhirnya Niki mengajak Rara menuju belakang panggung tempat konser berlangsung. Namun belum tiba di sana, seorang pria dari arah belakang mereka menghentikan langkahnya.

3. Indra

"Gimana dong, Nik. Aku bisa diomeli mamaku."

Raut cemas Rara membuat Niki menghela nafasnya. Jika sudah seperti ini, pasti dia yang akan sibuk. Bagaimana tidak, jika sedang bersama Rara, Niki-lah yang akan menjadi problem soulving untuk temannya satu itu.

Akhirnya Niki mengajak Rara menuju belakang panggung tempat konser berlangsung. Sembari berjalan menuju belakang panggung, Niki mencoba untuk menghubungi ponsel Rara. Namun belum juga panggilan terhubung, seorang pria dari arah belakang mereka menghentikan langkahnya.

"Maaf Kak, ini ponselnya ya?"

Niki dan Rara saling pandang sejenak, kemudian Rara langsung meraih ponsel yang ada di tangan pria itu dengan cepat sambil mengiyakan.

"Kenapa ponselku bisa ada di kamu? Kamu–"

"Ra."

Niki memotong perkataan Rara yang mulai kelewatan.

"Jangan nuduh sembarangan," ucapnya kemudian dengan suara pelan, namun masih bisa didengar oleh pria itu. Niki mengalihkan pandangannya kepada pria itu.

"Em, maaf, kenapa ponsel temanku bisa ada di kamu?" tanya Niki.

"Saat kalian joget tadi ada orang jahil yang mengambil ponsel teman kamu. Aku nggak sengaja melihat kejadian itu dan meminta temanku untuk mengejar orang jahil itu."

"Orang jahil? Maksud kamu maling?" tanya Rara.

"Begitulah," sahut pria itu.

"Kamu nggak bohong, 'kan? Jangan-jangan kamu–"

"Rara!" Niki kembali memotong perkataan Rara sambil menjelitkan matanya. "Di bilangin jangan nuduh sembarangan."

"Ya, kita 'kan nggak tahu, Nik, dia jujur atau nggak," ucap Rara membela diri.

"Ngapain aku maling ponsel kamu. Ponselku saja ada dua," ucap pria yang dituduh Rara tersebut dan berhasil membuat mereka berdua menatap ke arahnya.

Pria itu memamerkan ponselnya yang baru saja dia ambil dari saku celananya. Dua buah ponsel dengan lambang apel digigit itu membuat Niki menelan salivanya. Dia melirik Rara dengan menaikkan kedua alisnya untuk memberi kode jika Rara sudah keterlaluan menuduh pria itu.

"Kamu seriusan nggak maling ponselku?" tanya Rara dengan sedikit ragu.

"Kalau nggak percaya ya nggak papa. Lagi pula ponsel kamu sudah kembali, 'kan? Nggak ada yang hilang lagi juga. Kalau begitu aku permisi," ucap pria itu sambil memandangi Niki dan Rara bergantian sebelum berlalu dari sana.

"Rara, kamu keterlaluan banget sih."

Niki tampak kesal dengan temannya itu. Dia yang melihat pria yang sudah membantu mereka berlalu dari sana lantas menghentikan langkahnya sambil memegang pergelangan tangannya tanpa sadar.

"Tunggu."

Pria itu berbalik menatap Niki, kemudian dia melirik pada lengannya yang digenggam Niki.

"Em, maaf," ucap Niki yang baru tersadar dan segera melepas tangan pria itu dengan tidak enak hati.

"Kenapa lagi?" tanya pria itu.

"Em, maafin temanku yang sudah menuduh kamu ya. Dia sebenarnya hanya terkejut saja karena ponslenya hilang, dia beneran nggak maksud mau nuduh kamu kok," ucap Niki yang merasa bersalah atas kelakuan Rara.

"Its okay. Aku ngerti kok."

"Em, buy the way, makasih ya sudah mau bantu temanku. Kita jadi berhutang budi sama kamu."

"Nggak papa kok. Sesama manusia memang harus saling tolong menolong, bukan?"

Niki tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dia hendak berpamitan kepada pria itu karena waktu sudah sangat larut saat ini, namun belum juga berucap, pria itu lebih dulu memulai bicara dan mengajaknya berkenalan.

"Aku Indra. Nama kamu siapa?"

Niki sempat terkejut melihat pria itu mengajaknya berkenalan setelah apa yang mereka lakukan padanya. Namun Niki berusaha bersikap normal dan menanggapi pria itu.

"Aku Niki. Itu temanku, namanya Rara," ucap Niki sambil menunjuk ke arah Rara yang berada tiga meter di sampingnya. "Oh ya, aku permisi dulu ya. Sudah larut banget, takut jalanan keburu sepi."

"Kalian berdua saja?" tanya Indra dan diiyakan Niki. "Gimana kalau aku antar saja. Kalian pulang ke mana?"

Niki menyebutkan nama jalan rumah Rara.

"Yasudah, bareng aku saja. Rumahku nggak jauh dari sana kok."

"Kamu serius?" tanya Niki.

"Iya. Tunggu sebentar ya. Aku pamit sama teman-temanku dulu."

Niki mengiyakan saja tawaran Indra. Dia sebenarnya ingin menolak, namun rasanya Indra orang yang baik, jadi lebih baik jika pria itu mengantarnya pulang dari pada mereka pulang sendirian. Apalagi area rumah Rara pasti sudah sangat sepi karena waktu yang hampir menunjukkan pukul satu malam.

Sementara Indra berpamitan kepada teman-temannya sesama panitia konser, dia menghampiri Rara dan mengajaknya untuk menuju parkiran. Mereka akan menunggu Indra di sana saja sekaligus melihat keadaan motor mereka.

"Kamu seriusan dia orang baik, Nik? Gimana kalau semua ini hanya modus si Indra-Indra itu saja?"

Niki memutar bola matanya malas mendengar ucapan Rara yang kembali bernegatif thinking kepada orang lain.

"Kalau dia orang jahat, yasudah, mau diapakan lagi."

"Hah?"

*

Rara terpaksa memercayai Niki yang juga memercayai pria bernama Indra untuk mengantar mereka pulang. Berdebat dengan Niki tidak ada gunanya, dari pada dia pulang sendirian lebih baik dia ikut perkataan temannya itu saja.

Mereka saat itu sudah berada di parkiran dan sedang menunggu kedatangan Indra yang entah sedang apa dan di mana. Ponsel Niki tiba-tiba berdering yang ternyata Indra meneleponnya untuk menanyakan keberadaan mereka. Setelah menyebutkan titik keberadaan mereka, Niki segera menutup panggilannya dan meletakkan kembali ponselnya ke dalam tas.

"Sejak kapan kalian bertukar nomor ponsel?" tanya Rara heran. Seingatnya, dia tidak melihat Niki memberikan nomor ponselnya kepada si Indra itu.

"Sebelum dia pergi. Katanya biar mudah menghubungi kita. Yasudahlah Ra, hanya nomor ponsel juga."

"Hanya? Gimana kalau nomor kamu dipakai buat daftar pinjol?"

Niki kembali memutar bola matanya malas mendengar tuduhan yang dilayangkan temannya satu itu. Entah kenapa Niki heran sekali dengan wanita si juara umum di sekolahnya itu yang terlihat sangat bodoh dalam menilai orang lain.

"Mulai lagi deh," gumam Niki dalam hati.

"Kalau dia mau daftar pinjol, nanti aku kasih nomor ponsel kamu," ucap Niki asal.

Rara terlihat serius menanggapi ucapan Niki, namun wanita itu tak menghiraukan omelannya dan lebih memilih mengedarkan pandangannya untuk mencari keberadaan Indra. Tak butuh waktu satu menit, sosok Indra dengan motor gedenya terlihat menuju ke arahnya.

"Jangan ngomong yang aneh-aneh. Ayo pulang," ucap Niki memberi peringatan kepada Rara terlebih dahulu sebelum Indra tiba di depan mereka.

Rara hanya menganggukkan kepalanya saja. Dia sebenarnya belum bisa percaya dengan Indra yang tiba-tiba ingin mengantar mereka pulang dan juga dengan mudahnya meminta nomor ponsel Niki. Namun lagi-lagi dia tidak bisa apa-apa di situasi yang seperti ini selain memercayai Niki dalam keputusannya.

Di perjalanan pulang Niki membawa motor dengan kecepatan tinggi baginya, namun tidak untuk seorang Indra yang terlihat mengantuk karena merasa Niki sangat lamban membawa motornya. Namun meski begitu Indra tetap sabar mengikuti dua wanita itu dari jarak dua meter di belakangnya.

Hampir lima belas menit akhirnya mereka tiba di depan sebuah rumah berlantai satu yang cukup luas. Indra memerhatikan rumah tersebut dan sekitarnya, kemudian dia tersenyum kepada Niki yang menatap ke arahnya.

"Makasih ya, Dra. Kamu hati-hati pulangnya," ucap Niki sebelum memasukkan motor milik Rara ke dalam halaman rumah.

"Iya. Aku pulang dulu ya."

Niki mengiyakan, setelah Indra membawa motornya menjauhi rumah Rara, dia langsung menarik gas motor itu memasuki area rumah temannya itu.

"Nggak sopan banget sih, masa dia pamitan sama kamu doang," ucap Rara sembari mencoba membuka pintu rumahnya menggunakan kunci cadangan yang sengaja dibawanya.

"Dia marah kali sama kamu, soalnya kamu sudah nuduh dia yang nggak-nggak," sahut Niki sambil terkekeh.

Rara menghela nafasnya mendengar perkataan Niki. Setelah pintu terbuka mereka segera masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu kembali dengan rapat.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!