Rien, wanita itu buru-buru meletakkan semua kantung belanjaannya dan segera berlari menuju kamar putrinya. Dengan segera dia mencuci kedua tangannya, lalu mengganti pakaiannya terlebih dulu karena takut kalau ada kuman yang akan membuat putrinya sakit nantinya. Setelah itu dia berlari menghampiri putrinya yang menangis di kasur bayinya.
" Tenanglah anak Ibu, kau haus ya? " Rien terdiam sebentar, dia membulatkan matanya begitu terkejut karena saat menyentuh putrinya yang bernama Chereline, biasanya di panggil Cherel, suhu tubuhnya benar-benar tidak biasa.
Sembari menggendong Cherel, Rien berjalan cepat mencari alat untuk mengukur suhu tubuh putrinya, begitu sudah selesai, Rien hanya bisa menyesali keputusannya untuk meninggalkan Cherel di rumah dan memilih untuk berbelanja kebutuhan dapur. Rien segera bangkit kembali untuk menyusui putrinya terlebih dulu dengan posisi yang di sarankan oleh Dokter anak. Sebagai Ibu muda yang biasa bekerja, Rien Xamitth hanya bisa mengandalkan Dokter saja, semua hal mengenai putrinya benar-benar dia selalu mengkonsultasikan kepada Dokter anak langganannya.
Rien menahan tangis karena putrinya terlihat benar-benar tidak nyaman. Akhirnya Rien memberikan obat penurun panas, lalu bersabar menunggu beberapa jam dan melihat bagaimana perkembangan putrinya setelah meminum obat.
Perlahan Rien menyanyikan lagu pengantar tidur yang biasa dia nyanyikan untuk menidurkan putrinya, tapi itu gagal karena Cherel benar-benar tidak berhenti menangis, dan justru semakin kuat dan semakin menjadi. Tidak tahan lagi, Rien akhirnya juga ikut menangis tanpa suara. Lelah, dia lelah sekali! Dia sudah berusaha sangat keras untuk anak dan keluarganya sampai tidak ada waktu untuk mengurus dirinya sendiri. Terakhir mandi adalah kemarin sore, dan ini sudah pukul sebelas siang. Dia butuh orang yang bisa membantunya, tapi semua tidak mudah untuk dia dapatkan karena satu hal yang sulit untuk dia lawan. Siapa?
" Tenangkan putrimu! Kepalaku sedang sakit, kalau kau tidak bisa membuat putrimu tenang, bawa keluar saja dia sampai dia tenang! "
Dia, dia adalah orangnya! Sang Ibu mertuanya yang sangat hobi menyakiti hatinya. Dulu, Rien adalah pekerja kantoran, dia benar-benar mencintai pekerjaannya, dan bahagianya dia ketika suaminya tidak melarang Rien bekerja setelah menikah. Memang dari awal Ibu mertuanya tidak terlihat ramah padanya, tapi Rien tidak begitu memperdulikan karena waktu itu dia hanya memiliki waktu terbatas untuk bersama dengan mertuanya.
Sebuah keputusan besar akhirnya Rien ambil, dia memilih untuk berhenti dari pekerjaannya, karena kandungannya sudah semakin besar, dan kelahiran bayinya hanya tinggal menghitung hari saja. Rien pikir dia akan mengabdikan hidupnya untuk suami, anak, dan keluarganya agar kehidupan rumah tangganya lebih harmonis. Dia berharap dapat banyak membantu keluarga dengan dia tinggal di rumah setiap hari.
Rien terlalu optimis hingga tidak menduga kemungkinan lain, bagaimana kehidupan akan berjalan saat dia memiliki anak nanti, dia tidak tahu kalau untuk mendapatkan simpati dari mertuanya adalah hal yang mustahil untuknya. Rien masih bersabar, dia menerima saja permintaan Ibu mertuanya untuk Rien juga Adik iparnya yang bernama Jenette saling membantu untuk mengerjakan tugas rumah karena keadaan usaha keluarga saat itu sedang tidak baik sehingga memutuskan untuk tidak menyewa pembantu rumah tangga lagi.
" Kau masih tidak membuat putrimu tenang, hah?! Mau sampai kapan membiarkan tangis putrimu memenuhi seisi rumah?, Kau mau membuat kepalaku pecah ya?! "
Rien tersentak, dia menyeka air matanya, lalu mencium kening putrinya dengan lembut. Segera Rien bangkit dari posisinya, keluar dari kamar dan di sanalah Ibu mertuanya berdiri dengan wajah yang seperti biasanya, sinis dan dingin.
" Ibu, Cherel sedang demam tinggi, apakah Ibu sama sekali tidak melihatnya untuk memastikan keadaan Cherel saat aku pergi tadi? Matanya sembab saat aku pulang, dia pasti sudah menangis dari lama. " Ucap Rien sembari menitihkan air mata, dia benar-benar heran dengan Ibu mertuanya yang seperti tidak begitu perduli dengan Cherel, padahal Cherel juga adalah cucunya ya walaupun Cherel lahir dari putra tirinya.
Ibu mertua membuang nafas, dia menatap Rien dengan tatapan marah dan menatap Cherel sebentar tanpa mau memastikan dengan menyentuh dahi Cherel.
" Berlebihan sekali! Anak demam ya tentu saja sudah biasa. Yang tidak biasa itu adalah kau! Salah siapa kau belanja kebutuhan dapur sangat lama? Makanya jangan biasakan dirimu bergerak seperti siput, giliran anakmu sakit kau mencoba mencari pembenaran dengan menyalahkan ku! " Segera setelah itu, Ibu mertua membuang pandangannya, membuat Rien semakin tak kuasa menahan tangis. Kenapa? Apakah sulit baginya untuk memastikan keadaan Cherel terlebih dulu? Kenapa reaksi Ibu mertuanya benar-benar seperti menjelaskan kalau dia tidak perduli dengan Cherel sama sekali?
Rien menyeka air matanya, dia berjalan meninggalkan Ibu mertuanya yang kembali menatap sinis padanya. Rien berjalan mendekati kamar adik iparnya yang kini juga tengah mengandung sekitar tujuh bulan. Rien mengetuk pintu itu beberapa kali, dan akhirnya adik iparnya yang bernama Jenette membuka pintu sembari menguap, matanya bengkak karena sepertinya dia terlalu banyak tidur dan bersantai sepanjang hari.
" Ada apa? " Tanya Jenette dengan tatapan malasnya.
" Jenette, bisa tolong jaga Cherel sebentar? Aku ingin pergi ke apotik membeli- "
" Aduh, tidak bisa! Kau kan tahu aku tidak memiliki pengalaman mengurus bayi, lagi pula ibu hamil sepertiku di titipi bayi tentu saja akan kesulitan. Membawa perutku saja aku sudah kesulitan, ditambah harus menjaga bayimu, bisa-bisa aku melahirkan sebelum waktunya. "
Rien terdiam sebentar, iya, dia telah berharap dengan bodohnya. Rien berjalan meninggalkan Jenette dengan perasaan kecewa juga marah. Dia sebentar menatap kembali Cherel yang terus menangis. Tidak, dia tidak tahan lagi melihat putrinya kesakitan hingga Rien memutuskan untuk segera membawa putrinya ke rumah sakit.
Butuh waktu yang lama karena dia juga perlu menunggu pasien lain selesai di periksa, hingga giliran Cherel tiba.
" Perutnya kembung, ini yang membuat dia tidak nyaman, Nyonya. Aku akan memberikan beberapa tips agar mengurangi kembung perut pada bayi, anda perhatikan ya Nyonya? Untuk demamnya, nanti akan di berikan obat penurun panas, dan juga cara mengompres yang benar. " Dokter itu menunjukan bagaimana membuat gerakan agar Cherel membuang angin di dalam perutnya hingga beberapa kali Cherel mengeluarkan angin, lalu perlahan mulai tenang. Setelah Dokter memberikan resep obat, lalu penangan yang harus Rien lakukan, Rien sudah bisa kembali dengan perasaan lega.
" Ternyata sudah akan malam ya? " Gumam Rien tak terasa saat keluar dari rumah sakit ternyata hari mulai gelap.
Sesampainya di rumah.
" Dari mana saja kau seharian ini?! " Tanya Ibu mertua menyambut kedatangan Rien tanpa sedikitpun Ingat kalau beberapa saat lalu Cherel menangis terus karena sakit.
" Rien, kenapa tidak mengangkat teleponku? " Tanya Gail, Gail Marco, dia adalah suaminya Rien.
Rien dengan kesal menjawab,
" Cherel demam, dia juga kembung, jadi aku pergi lama karena harus membawa Cherel ke rumah sakit. "
" Dasar Ibu tidak berguna! Anak sakit begitu saja sudah repot ke rumah sakit, makanya kursus menjadi ibu supaya kau bisa merawat sendiri putrimu, kalau begini kau sudah membuktikan kepada kami bahwa kau tidak pecus mengurus anakmu sendiri. "
Rien melotot kaget, mulutnya benar-benar gatal ingin membalas ucapan Ibu mertuanya itu, tapi suaminya justru mengatakan kalimat yang langsung membuat bibirnya Kelu.
" Rien, belajarlah dengan Ibu ya? Kau harus lebih memperhatikan Cherel, jangan membantah ucapan Ibu karena dia marah pasti mengkhawatirkan Cherel. "
Bersambung.
Pagi hari, pagi yang sangat sibuk untuk Rien seorang. Iya, jangan tanya kenapa dan bagaimana bisa, karena semua itu adalah karena Ibu mertuanya. Sudah selesai membuat sarapan berupa nasi goreng, dengan telur mata sapi, sosis goreng, juga dengan jus kesukaan masing-masing. Tinggal membuat jus untuk Ibu mertuanya, barulah setelah itu dia harus menyiapkan makanan pendamping asi karena putranya Cherel sudah bisa memakannya.
Tak ada yang bisa membantu, suaminya memang duduk di meja makan menunggu semua selesai, tapi dia begitu fokus dengan ponselnya karena katanya ada pekerjaan yang perlu untuk dia handle dengan sangat teliti.
Rien tidak bisa meminta tolong kepada siapapun, sedangkan putrinya juga masih rewel meskipun perutnya sudah tidak kembung, tapi sisa demam kemarin mungkin masih menganggu putrinya. Sempat meminta tolong kepada Ibu mertuanya untuk sebentar saja menggendong Cherel karena dia harus membuat jus, tapi jawaban Ibu mertua benar-benar membuat Rien terdiam dan hanya bisa menahan kesal di dalam hatinya saja.
" Tidak bisa, kepalaku sakit kalau dengar anak menangis, tanganku juga sudah tidak kuat lagi. Kau terlalu banyak memberikan makanan kepada Cherel, makanya Cherel jadi gendut seperti itu, kedepannya jangan berlebihan memberikan makanan pendamping asi, jadi kesulitan sendiri kan? "
Aneh? Iya tentu saja sangat aneh dan tidak masuk akal. Bukankah biasanya seorang nenek akan mengkhawatirkan saat cucunya kurus? Tapi mertuanya benar-benar sangat berbeda, cucunya gemuk dan berisi malah di jadikan masalah olehnya. Entah harus bagaimana lagi menghadapi Ibu mertuanya itu, yang jelas Rien sudah mulai lelah dengan mulut Ibu mertuanya yang tidak ada lelahnya membuat Rien merasa sedih setiap harinya.
Gail, suaminya benar-benar menolak meski dengan lembut caranya menolak. Pekerjaan itu katanya sangat penting untuk kelangsungan perusahaan keluarga, jadi Rien juga hanya bisa menahan kedongkolannya di dalam hati.
Jenette, adik iparnya itu sama sekali enggan untuk membantunya, padahal Rien hanya minta tolong untuk menjaga Cherel yang akan dia dudukan di baby Walker. Tapi belum juga Rien menyelesaikan kalimatnya, Jenette sudah lebih dulu menolak dengan alasan perutnya sangat begah dan tidak bisa berjalan dan bergerak dengan baik.
Rien menghela nafasnya, dia akhirnya menggendong Cherel sembari membuat jus alpukat untuk Ibu mertuanya. Sungguh memang sangat sulit mengerjakan pekerjaan dapur sembari menggendong anak, dan tolong jangan samakan Rien dengan Ibu lain yang sudah mahir melakukanya. Rien adalah anak tunggal, dia tidak tahu caranya merawat anak kecil dan tidak ada pengalaman juga sebelumnya.
Prang!
" Ah...! " Rien terkejut bukan main saat atau gelas jus alpukat itu tumpah ke lantai, bukan sengaja, tapi itu karena tangan Cherel yang terus bergerak karena dia penasaran dengan benda yang di pegang Ibunya. Rien sebentar mengabaikan gelas yang jatuh ke lantai, dia memastikan dulu tangan putrinya tidak apa-apa barulah dia bisa menghembuskan nafas lega.
" Untunglah, kau pasti kaget juga ya sayang? " Rien mengecup pipi putrinya, dan barulah dia akan bergerak membersihkan pecahan gelas di lantai.
" Kenapa ini? " Tanya Ibu mertua, dia melotot seperti orang yang sudah bersiap akan marah, Gail juga menyusul dengan mimik khawatir.
" Sayang, ada apa? " Tanya Gail.
" Tadi aku sedang ingin membawa jus alpukat Ibu ke meja makan, tapi Cherel tidak sengaja menepisnya, dan gelasnya jatuh ke lantai. Untunglah tangan Cherel tidak apa-apa. "
" Untung apanya? Stok alpukat kan tidak ada lagi? Itu hanya alasanmu saja kan? Kau pasti sengaja menyalahkan Cherel supaya aku tidak marah kan? Setahuku kau memang tidak pernah pecus dalam banyak hal, selalu saja membuat ulah yang menyebalkan. "
Rien tidak bisa tahan lagi, dia bersiap ingin membuka mulutnya dan balik memaki Ibu mertuanya, tapi matanya tidak sengaja melihat suaminya hanya menghela nafas dan menggelengkan kepala membuat Rien membeku. Apa maksudnya? Dia menggelengkan kepala juga apakah karena sepemikiran dengan Ibunya? Ataukah dia menggelengkan kepala karena tidak ingin Rien membantah, dia ingin Rien terus patuh dan diam saja seperti sebelumnya?
Rien membuang nafasnya, dia menahan tangis yang seperti ingin meronta dan meraung sejadi-jadinya. Rien mengarahkan pandangannya ke arah di mana adik iparnya sedang duduk santai sembari terus mengusap perutnya yang buncit. Bagaimana bisa dia begitu santai padahal kalau tidak bisa menjaga Cherel sebentar bukankah seharusnya dia bisa membuatkan jus untuk Ibu mertua?
Rien tak lagi bicara, dia berjalan meninggalkan dapur membuat Theo, suami dari adik iparnya atau adik tiri dari Gail menatapnya bingung karena dia baru saja tiba di meja makan.
" Kakak ipar, ada apa? " Tanya Theo penasaran.
" Hanya menumpahkan segelas jus, tapi reaksi mereka semua sudah berlebihan, ah! Atau mungkin memang reaksiku yang berlebihan. " Setelah mengatakan itu Rien memutuskan untuk membawa masuk putrinya ke dalam kamar. Dia menyusui Cherel karena sepertinya dia tidak ingin kembali ke dapur untuk mengambil makanan Cherel. Hatinya benar-benar sakit sekali, dan sialnya dia tidak bisa melakukan apapun karena perasaan cintanya kepada Gail sangat dalam, juga tidak ingin kalau sampai Cherel jauh dari Ayahnya sendiri.
Di meja makan, Theo menatap Ibunya dengan tatapan bingung. Sebenarnya apa yang di pikirkan Ibunya sampai begitu membuat Rien sangat tertekan? Semenjak Rien melahirkan dan selalu berada di rumah, Rien jadi terlihat tidak bahagia, padahal saat sekolah dulu, sampai bekerja Rien banyak di kagumi oleh teman-temannya karena memiliki adik kelas yang sangat bersemangat dan manis seperti Rien.
" Kak, apa tidak lebih baik kalau kakak melihat dulu keadaan istri kakak? Dia kan sudah lelah memasak, di tambah sambil menggendong Cherel, dia pasti lebih membutuhkan sarapan di banding kita. " Ujar Theo yang tahu benar bagaimana kebiasaan kakak iparnya setiap pagi.
" Iya, makanan yang aku ambil ini untuk Rien, sekalian aku akan bawakan makanan juga untuk Cherel. "
Ibu mertua membuang nafasnya.
" Jangan terlalu memanjakan istrimu, Gail. Kalau kau terlalu lunak yang ada dia akan kurang ajar dan tidak segan-segan menginjak kepalamu nanti. "
Theo mengeryit tak setuju dengan ucapan Ibunya, berbeda dengan Jenette yang terlihat tidak perduli sama sekali.
" Ibu, jangan bicara seperti itu. Dia di bawa ke rumah ini sebagai istrinya kak Gail, bukan untuk menjadi pembantu. Aku akan cari pembantu besok, jadi Kakak ipar tidak perlu kerepotan lagi nantinya. "
Gail terdiam dengan segala pemikirannya.
" Jangan omong kosong, Theo! Keuangan keluarga kita baru saja pulih, dan kau ingin membuang uang? Pikirkanlah betapa sulitnya kita beberapa tahun lalu, mulai sekarang kita harus benar-benar menekan pengeluaran. "
Gail tak ingin ikut serta dalam pembicaraan ini karena dia tahu benar istri dan anaknya pasti sedang lapar.
" Sayang, ini sarapan untukmu. " Ucap Gail begitu masuk ke dalam kamar.
" Taruh saja. " Ujar Rien tak berniat menatap Gail.
" Berhentilah menyusui dulu, kau belum sarapan, nanti kau lemas kalau menyusui. Makanan Cherel sekalian aku bawa. "
" Kenapa? Kalau aku lemas kau takut aku tidak berguna lagi untuk rumah ini? "
Bersambung.
Setelah seharian mengerjakan pekerjaan rumah, akhirnya Rien bisa pergi mandi, dan sekarang dia bisa sebentar memegang ponselnya karena Cherel sedang tertidur pulas. Hari memang sudah sore memang, tapi dia juga tida bisa mengentikan putrinya yang terus menangis karena ingin tidur kan? Sebentar Rien membuka media sosial miliknya, di sana ada beberapa akun online hah menjual barang-barang wanita, Mukai dari baju, celana, dress, sepatu, sendal, tas, juga aksesoris kebutuhan wanita. Tentu saja Rien sama seperti para wanita yang lainnya, dia begitu bersemangat untuk melihat barang kesukaannya dia, tapi karena ingat benar uangnya belum cukup terkumpul, dia hanya bisa menunggu uangnya cukup. Sebenarnya bisa saja dia membeli barang berupa tas itu menggunakan uang yang di berikan suaminya tiap bulan, tapi terlalu sayang karena dia juga harus membaginya dengan kebutuhan sehari-hari yang mahalnya justru berkali-kali lipat.
Rien tertidur setelah lelah menatap ponselnya, sengaja seberapa lama dia terduduk pulas, hingga suara tangis Cherel terdengar, dan dia paham kalau yang di inginkan Cherel adalah asi. Segera Rien bangun laku ambil posisi duduk, mengangkat tubuh Cherel untuk dia letakkan di atas pangkuannya untuk menyusui Cherel. Dengan mata masih super mengantuk itu dia menyusui Cherel hingga tak sengaja dia mendengar suara Jenette dan Ibu mertuanya kembali ke rumah setelah seharian pergi bersama entah kemana mereka. Padahal sebenarnya Rien juga ingin di ajak pergi bersama mereka, sesekali keluar untuk jalan-jalan, tapi dia selalu tak pernah di ajak jadi dia bisa apa?
Karena Cherel tertidur lagi setelah kenyang menyusu, Rien memutuskan untuk membuatkan Rien tidur dengan nyaman, dia keluar dari kamarnya, karena dia ingin megambil air dingin untuk dia minum. Baru sampai di ruang tengah, dia melihat Ibu mertuanya dan juga Jenette sedang sibuk membuka satu persatu paper bag yang begitu banyak.
Ada baju bayi, topi bayi, kaos kaki, sepatu bayi, semua perabotan bayi yang begitu menumpuk banyak seperti ingin jualan saja, batin Rien.
" Bu, rencananya aku akan memakaikan setelan warna biru telur asin ini saat putraku lahir nanti, menurut Ibu bagaimana? " Tanya Jenette mengangkat satu setel baju bayi yang sepertinya itu cukup mahal.
Ibu mertua tersenyum dan mengangguk setuju, dia mengambil baju dari tangan Jenette dan memandanginya dengan tatapan bahagia.
" Ibu benar-benar tidak sabar ingin melihat cucu Ibu. Nanti biar saja Ibu bantu kau mengurus putramu ya? ibu juga sudah menyiapkan nama loh. "
" Ah, Ibu. Aku juga sudah menyiapkan nama, Theo juga sudah menyiapkan nama, makanya kami sering berdebat karena ini. " Ucap Jenette masa bodoh dengan adanya Rien yang terus berdiri mendengarkan pembicaraan antara dia dan Ibu mertuanya.
Rien terdiam, iri? Iya! Jelas dia iri, marah, kecewa, dan tidak terima. Dia ingat benar saat dia akan melahirkan Cherel, dia pergi berbelanja kebutuhan bayi sendiri karena Ibunya beralasan tidak kuat berjalan jauh, Jenette beralasan tengah hamil dan tidak nyaman untuk banyak berjalan. Sekarang apa? Mereka nampak bahagia, tidak terlihat seperti alasan mereka saat itu, dan apa tadi yang di ucapkan Ibu mertuanya? Biarkan merawat putranya Jenette? Tidak kah Ibu mertuanya tahu seberapa menyakitkannya ucapannya barusan?
Rien mengepalkan kedua tangannya menahan perasaan yang begitu campur aduk dia rasakan. Di rumah itu, hanya dia seorang yang merawat Cherel, memang ada Gail, tapi Gail kan tidak bisa selalu ada untuk Cherel karena dia harus bekerja.
" Wah, sepatu yang kau beli ini lucu sekali loh. " Ujar Ibu menunjukkan Sepasang sepatu yang nampak lucu dan imut membuat kedua bola matanya berbinar bahagia.
Rien membuang nafasnya, benar saja, Cherel bukanlah cucu kandungnya, jadi wajah kalau dia tidak menyukai Cherel, tapi apakah perlu sampai harus begitu jelas membedakan antara cucu kandung dan cucu tiri? Rien menggelengkan kepalanya, memikirkan kelakuan Ibu mertua dan adik iparnya memang tidak akan ada habisnya, hanya membuat dia sakit kepala sendiri.
Rien melanjutkan niatnya yang tadi ingin pergi ke dapur dan mendapatkan segelas air dingin. Begitu sampai di dapur dia meminum banyak-banyak air dingin berharap air dingin itu bisa membuat otaknya sedikit tenang dan berhenti untuk terus terprovokasi dengan segala ucapan adik ipar dan Ibu mertuanya.
Beberapa saat kemudian.
Gail dan Theo pulang ke rumah, Rien sudah menyambut di depan bersama dengan Jenette yang juga menunggu suaminya.
" Selamat malam, kakak ipar? " Sapa Theo lebih dulu dengan sopan meski usianya berada di atas Rien. Jenette kesal, dia tidak terima karena bagaimanapun yang pertama kali di sapa seharunya istrinya sendiri bukan?
" Selamat malam juga. " Rien menjawab karena tidak mungkin mengabaikan sapaan adik tiri suaminya yang selalu bersikap baik padanya kan?
Gail mencium kening Rien lalu merangkulnya.
" Cherel sudah tidur? " Tanya Gail seraya membawa istrinya untuk masuk ke dalam kamar.
" Iya, dia sudah tidur dari sore tadi. "
Seperti kebanyakan istri lainnya, Rien akan menyiapkan pakaian untuk suaminya setelah mandi nanti, lalu setelah itu dia menuju dapur untuk membuatkan makan malam sederhana karena memang begitu kebiasaan orang di rumah itu.
Roti gandum, dengan saus keju, juga telur. Ini juga adalah menu yang paling di sukai oleh Gail dan Theo.
Tidak ada yang terjadi di meja makan selain mendengarkan ocehan Jenette yang menceritakan kepada semua keluarga betapa menyenangkannya berbelanja kebutuhan bayi yang sangat lucu dan menggemaskan. Rien hanya tersenyum pahit, sial! Dia benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa orang memiliki wajah setebal itu?
Theo tak menanggapi, begitu juga dengan Gail yang fokus menikmati makan malamnya. Rien sebenarnya agak bingung dengan Gail, dia seperti memiliki uneg-uneg, tapi anehnya kenapa dia sama sekali tak membuka mulut sedikitpun?
Setelah selesai makan malam, Gail sebentar melihat putrinya yang tidur satu kamar dengannya jika malam. Gail mengusap wajah putrinya dengan lembut karena dia takut akan mengganggu tidurnya, lalu mencium keningnya.
" Sayang, apa aku boleh cerita sesuatu? " Tanya Rien yang kini sudah duduk di pinggiran tempat tidur.
" Cerita saja, memangnya aku pernah bilang tidak boleh? " Jawab Gail, lalu berjalan mendekati Rien dan duduk di sebelahnya.
" Hari ini, Ibumu dan Jenette pergi keluar seharian untuk berbelanja pakaian bayi, kau juga tahu itu kan? Mereka dengan semangat sampai di rumah membuka semua pakaian yang dia beli untuk menyambut bayi Jenette. "
" Lalu? " Tanya Gail yang masih belum paham apa yang ingin di ceritakan oleh Rien.
" Aku hanya merasa Ibumu terlalu membedakan antara aku dan Jenette. Dulu aku memintanya untuk menemaniku karena aku tidak tahu apa saja yang harus aku beli. Dia banyak alasan, tapi begitu Jenette yang pergi, dia langsung ikut pergi padahal pagi tadi dia mengeluh sakit kepala. Jujur saja aku membenci sikap ibumu yang keterlaluan itu. "
Gail terdiam sebentar.
" Sudahlah, mungkin waktu itu Ibu memang sedang tidak enak badan. Toh semua sudah berlalu juga, kita tidur saja ya, ini sudah malam. " Ucap Gail sembari mengusap wajah Rien karena tidak ingin kalau sampai Rien terus memikirkannya.
" Lagi pula di usia Ibu yang sekarang tidak mudah untuknya membagi waktu, jadi tetaplah patuh, anggap saja kau sedang mematuhi Ibumu sendiri. "
Rien menepis tangan Gail, lalu dengan cepat mengambil posisi tidur dengan memunggunginya.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!