NovelToon NovelToon

TAHTA SEMESTA

kamu dibalik hujan.

...Bertarung bersama luka,Aku yang terlanjur kecewa,tak mampu lagi meraup berjuta bahagia....

...🌜🌜🌜🌜...

Suara ketukan sepatu teredam diantara kecipak air sepanjang jalan setapak. Rintikan hujan menyatu dengan desauan angin yang menerbangkan beberapa anak rambut seorang gadis mungil. Gadis itu mengatur napasnya yang berburu beberapa kali, lalu dengan kasar mengelap air mata yang terus saja mendarat dengan lengan kaosnya.

Langit yang kelam berhias gelap melengkapi kesedihannya, asa yang dibangunnya hancur lebur tanpa sisa. Sakit, sakit dan sakit. Gadis tersebut menyibak rambut gelombangnya dengan kasar, dia membenci semesta, dia membenci kisah hidupnya.

" Apa sih salah gue sampai kalian buat gue kayak gini!" Gadis itu meremas dadanya kuat, air matanya terus saja membasahi pipinya yang halus.

"Kenapa harus gue yang jadi korban dari masalah ini, kenapa harus gue!" Gadis itu terus saja berteriak. Dia ingin sekali hujan menyapu dan menghapus rasa sedihnya, Dia juga ingin hujan membawa rasa sakitnya pergi jauh dari hidupnya.

Dia ingin menumpahkan sakitnya pada rintikan hujan yang membawa melody, menyalahkan deritanya pada desau angin yang dengan lembut menyibak rambut gelombangnya, dan mengutuk takdir yang tidak pernah berpihak di atas keinginannya.

Gadis itu jatuh terduduk memeluk lututnya, kepalanya bersembunyi diantara kedua kaki yang saling menyatu itu. Biarlah hujan yang jadi saksi, dan biarkan sedikit saja waktu meluangkan detiknya demi mendengar segala derita yang menimpa dirinya.

Dia, Adellia Alexa Agantara. Gadis cantik dengan berjuta senyum ceria yang kini terbebani dengan setumpuk rasa sakitnya. Senyum yang setiap hari nampak indah jikalau dipandang, kini hilang tanpa sisa.

"Akh!" Adellia menjambak rambutnya yang basah, air matanya semakin menderas melengkapi deritanya, telapak tangannya yang halus tidak sengaja tergores beberapa anak rambutnya yang tajam. Tapi Adellia tidak peduli dengan hal itu.

Tanpa Adellia sadari, beberapa tetes hujan tidak lagi mengenainya. Adellia tertegun, ia lantas mendongak ke atas, matanya berseterobok dengan netra berwarna coklat terang yang meredup. Seorang pemuda tampan berpakaian serba hitam memayungi tubuhnya yang terlanjur basah. Pemuda itu menatapnya dalam.

Entahlah, Adellia tak tahu pasti apakah itu ekspresi heran atau justru raut wajah yang menunjukkan rasa kasihan.

Tiba-tiba saja si pemuda menyunggingkan senyum tipis di bibirnya, sebuah lengkungan kecil yang sukses membuat jantungnya berdegup abnormal.

"Lo siapa? "

Tanya Adellia menatap wajah bak dewa dengan pahatan super sempurna itu dengan nyalang. Si pemuda berjengit kaget, matanya menyiratkan sebuah penyesalan yang entah apa.

"Maaf."

"Maafin aku Bella."

Adellia mengernyit tak mengerti. Mata bulatnya yang bersimbah air mata menatap pemuda di depannya dengan kebingungan.

"Aku nggak bisa jauh dari kamu Bella, kamu tahu itu kan? "

Ujar si pemuda asing sembari menyentuh tangan kanan Adellia lembut. Adellia menghempas tangan itu dengan kasar. Kedua matanya menatap sosok di depannya dengan sorot tajam.

"Apaan sih! Jangan lancang ya, "

"Maafin aku Bella, jelasin semua kesalahan aku yang bikin kamu pergi ninggalin aku sendirian? Aku butuh kamu Bella. Balik lagi ya, "

Ujar pemuda itu lembut, tangannya kembali meraih dua tangan Adellia lantas mengecupnya. Adellia menghempasnya kasar, rasa amarah membuncah memenuhi dadanya.

"Kamu lupa sama janji kita ya? "

Adellia tertegun. Pemuda di depannya menatapnya sendu. Kedua matanya yang berwarna kecoklatan seakan menyimpan beribu sakit.

"Bel, kamu udah janji nggak bakal ninggalin aku bagaimanapun keadaannya kan? Hati aku masih terbuka kok buat kamu."

Alis Adellia naik sebelah. Masalah apalagi yang menimpanya kali ini?

Adellia ingin menjelaskan kalau dirinya bukanlah Bella yang pemuda itu maksud, namun belum sempat dia memenuhi niatnya, sebuah kehangatan lebih dulu melingkupi badannya yang kecil. Adellia tersentak, kedua matanya melebar karena terlalu terkejut. Dia lekas mendorong dada si pemuda yang tiba-tiba saja memeluknya.

"Jangan pergi lagi Bella. Aku nggak sanggup jauh dari kamu. "

"lo-"

"Please Bella, biarin aku meluk kamu sebentar saja. "

Adellia terpaku ditempatnya. Dia ingin menolak, namun rasa kasihan lebih mendominasinya.

"Kenapa harus aku sama kamu yang semesta permainkan Bel?"

Adellia mendongak menatap pemuda yang kini tengah merengkuhnya.

"Hidup yang aku jalani sudah terlalu berat tanpa permainannya. Aku nggak peduli kalau semesta renggut semua orang dari aku, "

"Aku nggak pernah mempermasalahkan hal itu Bella, tapi aku bakal berontak kalau dia juga renggut kamu. Hidup yang aku jalani akan semakin rumit kalau nggak ada kamu Bel, aku nggak bisa menerima keputusan kamu gitu aja. Kamu nggak boleh pergi."

Adellia memalingkan wajahnya ke arah jalanan yang lenggang. Sekelebat bayangan Papa dan Mamanya tiba-tiba saja muncul memenuhi ruang fikirnya.

Ma.... Kenapa mama tega hancurin harapan Adellia?

Kenapa Papa diem aja menerima tuduhan dari Mama?

Kenapa Papa nggak menenangkan Mama dan tanpa berpikir panjang memilih meretakkan istana yang selama ini dibangun di keluarga kita?

Adellia melingkarkan tangannya membalas pelukan pemuda asing yang tengah merengkuhnya. Adellia sadar, dia butuh papahan hari ini.

Air mata Adellia kembali menyeruak. Hidungnya yang mancung lebih memerah dari sebelumnya.

"Adel salah apa Pa ?"

Lirih Adellia sembari menyembunyikan kepalanya pada dada bidang yang berada di depannya. Pelukan pemuda itu bertambah kuat.Tangan besarnya mengusap surai Adellia lembut.

.

.

.

Deg!

Entah mengapa melihat gadis itu mengingatkanya pada senja yang telah Auksa simpan menjadi kenangan. Senja yang menghilang entah kemana, dan senja yang seakan tidak mau lagi bertemu langitnya.

Auksa mengusap wajahnya kasar. Mungkin saja semua itu hanya pemikirannya sendiri. Senja cantiknya memilih pergi karena ketidak becusannya dalam hal menjaga.

Auksa tersenyum kecut, ternyata semenyakitkan ini rasanya ketika ia mengingat gadis rapuh seindah senja.

"Kenapa sih harus gue yang jadi korban dari masalah ini, kenapa harus gue!"

Entah beban apa yang dipikul oleh gadis mungil itu, kedua netranya yang redup menatap langit dengan sorot sendu, air matanya mengalir deras membasahi pipinya yang cubby.

Auksa mengambil payung yang terletak tepat disampingnya, lantas membuka pintu mobilnya pelan.

"Akh!"

Auksa tersentak, dia lekas memperlebar payungnya lalu berlari menghampiri seorang gadis yang bersimpuh di tengah derasnya hujan. Hati Auksa berdenyut nyeri, kedua matanya tanpa sadar mengalirkan setitik bening.

Auksa menghentikan langkahnya tepat di belakang gadis yang tak dikenalnya, dia memberikan seluruh lebar payungnya pada gadis yang tengah menangis itu. Auksa tidak peduli dengan setelan jasnya yang basah kuyup.

Ah,

Entah kenapa bayangan senja kembali menyeruak, senjanya yang rapuh, si Bella yang teramat dicintai olehnya.

Jika boleh, Auksa ingin menanyakan perihal ini. Mengapa senja yang selalu dirindukannya memilih pergi dan meninggalkan dia sendiri?

Tiba-tiba saja gadis itu mendongak menatapnya, Auksa tersentak. Entah semesta yang mencoba mempermainkanya atau hatinya yang tidak pernah mau menerima segala kepahitan takdir.

Auksa mengepalkan tangannya, Bellanya ada disini. Tepat berada di depan matanya.

"Lo siapa? "

Dada Auksa berdentum. Benarkah gadis didepannya ini adalah senjanya? Auksa menggigit bibirnya menahan rindu. Rasa bersalah menelusup memenuhi dadanya.

"Maaf."

Ujar Auksa lirih sembari menunduk, dia mencoba menyembunyikan genangan air yang bergumul di matanya. Auksa memang selalu lemah jika menyangkut senjanya.

"Maafin aku Bella."

Ulangnya lagi merasa bersalah. Seandainya Auksa berusaha lebih keras lagi, sudah pasti Bella masih berada disampingnya sampai sekarang. Sayangnya, Bella terlanjur memilih pergi lebih dulu. Auksa meraih tangan gadis didepanya lantas mengusapnya lembut

"Maafin aku ya?"

"Apaan sih lo! Jangan lancang ya, "

Auksa tersentak, tubuhnya bergetar tanpa diminta. Perlakuan Bella padanya membuat hati Auksa terasa tertikam sembilu. Gadis itu menghempas tangan Auksa kasar.

"Maafin aku Bella, jelasin semua kesalahan aku yang bikin kamu pergi ninggalin aku sendirian? Aku butuh kamu Bella. Balik lagi ya,"

Auksa kembali meraih kedua tangan gadisnya lantas mengecupnya lembut. Namun lagi dan lagi Bella menghempasnya tanpa kasihan.

"Kamu lupa sama janji kita ya? "

Auksa menatap gadis didepanya dalam. Ada sarat rindu yang terlihat jelas dari kedua retinanya.

"Bel, kamu udah janji nggak bakal ninggalin aku bagaimanapun keadaanya kan? Hati aku masih terbuka kok buat kamu"

Auksa menatap gadisnya yang nampak kebingungan lalu memajukan langkahnya pelan, rasa rindu yang dipendamnya membuncah begitu hebat. Auksa memeluk tubuh Bella sampai membuat gadis itu berjengit kaget. Auksa tersenyum kecil, ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri tentang berapa lamamya ia tak membawa Bella dalam rengkuhannya.

"Jangan pergi lagi Bella. Aku nggak sanggup jauh dari kamu."

"Lo-"

"Please Bella, biarin aku peluk kamu sebentar sajal

Pinta Auksa sambil mengeratkan pelukannya agar gadis itu tidak lagi berkutik.Bella terdiam kaku.

"Kenapa harus aku sama kamu yang semesta permainkan Bel?"

"Hidup yang aku jalani sudah terlalu berat tanpa permainannya. Aku nggak peduli kalau semesta renggut semua orang dari aku, "

"Aku nggak pernah mempermasalahkan hal itu Bella, tapi aku bakal berontak kalau dia juga renggut kamu. Hidup yang aku jalani akan semakin rumit kalau nggak ada kamu Bel, aku nggak bisa menerima keputusan kamu gitu aja. Kamu nggak boleh pergi."

Auksa merasakan tangan kecil melingkari pinggangnya. Bella terisak pelan di dadanya. Auksa tersenyum kecil, ia mempererat pelukanya. Hatinya menghangat tanpa dia minta.

"Adel salah apa pa? "

Auksa tidak menyadari perkataan gadis yang berada dalam rengkuhannya. Auksa hanya tahu kalau dia ingin menikmati waktu bersama senjanya. Dimana senjanya kembali dalam pelukan kehangatannya lagi.

Auksa mengusap punggung kecil yang masih saja naik turun akibat isakan yang tak kunjung berhenti. Dia akan berusaha memperbaiki kesalahan yang diperbuat olehnya bagaimanapun caranya. Bella harus kembali kepadanya lagi. Namun pemikiran Auksa terpaksa terhenti tatkala dirasanya Bella mendorong tubuhnya pelan.

"Ekhem, makasih."

Auksa mematung, Dia menatap gadis yang tengah membenarkan letak kaos yang dikenakannya. Hatinya terasa kosong.

Apa yang dilakukan oleh Bella?Apakah gadis itu benar-benar mendorong Auksa beberapa detik lalu? Dada auksa sesak, Bella tidak mengharapkanya lagi.

"Bel," Ucapnya sembari mencekal pergelangan tangan senjanya yang berniat pergi. Gadis itu menoleh, menatap Auksa dengan sorot tak mengerti.

"Please Bella, jangan pergi lagi dari aku"

Bella menghempas tangan Auksa kasar. Tatapannya menunjukkan amarah.

"Bel,"

"Gue nggak tahu siapa yang lo maksud!"

"Bella, aku bakal berusaha lebih keras lagi buat perbaiki semuanya. Kita bisa kembali seperti dulu lagi Bel,"

"Diam! Dasar gila!"

Auksa terkejut, memori Bella yang berkelebatan dalam pikirannya lenyap, sosok lain berambut gelombang menyapa retinanya. Auksa terkesiap. Gadis ini bukanlah senja yang dicarinya selama ini. Dia salah. Auksa menahan perasaan kecewa yang menjamah hatinya lantas berucap lirih.

"Maaf,"

"Saya salah orang"

"Lo sinting! "

Aku,

Hanya menjadi sesosok bayangan yang enggan beranjak menjauhimu.

Kamu pusat duniaku, dan kamulah yang menghadirkan segenggam biru pada langit yang kelabu.

Kembali Bella,

Jangan biarkan aku memupuk rasa rindu sendiri.

🌜🌜🌜🌜

    Bunyi gesekan gorden pada besinya membuat dua alis Adellia berkerut. Cahaya matahari menelusup tanpa malu, sinarnya tanpa sadar mengenai wajah Adellia yang tengah tertidur nyenyak.

Adellia menggeliat, dia merenggangkan otot dan sendinya yang sempat kaku karena aktivitas tidurnya. Adellia membuka mata dengan malas. Perlahan namun pasti, sosok berpakaian gaun biru tertangkap netranya.

"Eh mama! "

Adellia bangkit dari tidurnya lantas memeluk mamanya yang kini masih menatapnya tidak mengerti.

"Adellia kok nggak cepet cepet mandi sih? Entar kesiangan loh"

Suara lembut mamanya mengalun merdu memasuki telinga Adellia. Adellia memeluk Sinta semakin erat, ia begitu girang mendengar suara mamanya yang masih  terdengar hangat. Bukan seperti peristiwa yang ia mimpikan itu. Mama cantiknya bahkan menjadi monster ketika di depannya, memarahi Papanya dan mengancam meninggalkan istana rumah tangga yang dengan susah payah telah di bangun.

"Bentar Ma, Adellia masih males"

Jawab Adellia sekenanya. Ia memang malas, lebih tepatnya ia ingin menatap wajah lembut mamanya sedikit lebih lama untuk menghilangkan mimpi kelam yang kemarin sukses menghantuinya.

"Ewh...Anak gadis kok malesan gini. Cepet mandi sana, enggak betah mama deket sama kamu. Bau!"

Ujar mama sambil mengapit hidung mancungnya dengan telunjuk dan ibu jari. Bibir Adellia mengrucut tak terima.

"Mama!Adel nggak bau tau. "

Sentak adel sambil bermanja di lengan Sinta. Sinta menepuk kepala Adellia lembut lantas tertawa terpingkal.

"Mana mau Taehyoung sama kamu. Bau gini anaknya."

"Ma! Adel gigit ya lama-lama,"

"Makanya mandi dong,"

Adellia mengerucutkan bibirnya, ia malas. Jujur, dia masih mengingat bayangan Sinta yang tidak seperti biasanya. Adellia takut kalau Sinta akan berubah ketika dirinya beranjak.

"Mandi Adel."

"Males,"

"Mandi sekarang atau-"

Alis Sinta naik turun menggoda. Adellia merinding, ditatapnya sang mama yang juga tengah menatapnya.

"Atau-"

"Atau apaan Ma?"

"Atau Mama gelitikin, hiah!"

  

    Adellia berlari terbirit. Dia bisa mati muda kalau terus-terusan mendapat gelitikan maut dari mamanya. adellia membuka pintu kamar mandi, lantas menguncinya dari dalam.

"MAMA KEBIASAAN DEH, HIH NYERREMIN! "

     Teriakan Adellia membuat Sinta terkikik geli, lantas rautnya kembali meredup dalam sekejap.

Pantaskah dia mendapat kebahagiaan ini?

.

.

.

       Seorang gadis cantik menatap pemuda disampingnya dengan diam. Bibir kecilnya menyungging senyum, rambutnya yang dibiarkan terurai menari tertiup angin.

"*Jangan senyum."

Perintah pemuda bernama Auksa sembari mengalihkan wajahnya yang memerah. Alis gadis itu menyatu mendengar kata tersebut*.

"Emang kenapa ?"

Tanya Bella penasaran, Auksa menatap wajah keakasihnya penuh cinta. Tangan kanannya mengamit tangan Bella lembut.

"Aku takut kalau langit jadi jatuh cinta sama kamu. Soalnya berat nyainginya, "

Jawab Auksa membuat Bella tergelak.

Mana mungkin langit menyukainya. Pikir Bella dalam hatinya.

Bella menatap auksa lebih dalam, ia semakin menghiasi bibirnya dengan senyum mempesona.

"Dia nggak akan rebut aku dari kamu Sa. Aku udah terlanjur memiliki langit abadi yang khusus untukku sendiri. Langit paling spesial dan langit yang paling indah sejagat raya. "

Sekarang Auksa yang mengerutkan alisnya karena tak mengerti. Bella menghambur ke pelukan Auksa, gadis itu mendongakkan kepalanya agar dapat melihat wajah kekasihnya yang kini tengah menunduk menatapnya.

"Kamu tahu langit itu siapa Sa?"

Auksa menggeleng kecil menanggapi.

"Langit itu ya kamu Sa, cowok yang sekarang tepat dipelukan aku. Kamu adalah langit yang lebih dulu menjatuhkan senja ke dasar cinta sampai akarnya. Langit yang membuat senja tidak akan mampu berpaling ke langit lain sekalipun langit yang lainnya itu lebih besar dan lebih luas. I love you Sa. "

Ucapan Bella sukses membuat Auksa mematung, jantungnya berdetak abnormal. Auksa mencium Bella lama sekali. Dia ingin menikmati setiap momen bersama kekasih tercintanya.

"Kamu senjanya? "

Bella mengangguk lantas memberikan senyum manisnya.

"Bisa kamu jabarin kenapa aku milih senja ketimbang yang lainnya? "

      Auksa mengernyit, dia mamaksa otaknya untuk berpikir lebih keras. Setelah menemukan jawaban, Auksa memegang dua tangan Bella dengan lembut. Netra hitam kecoklatanya bertubrukan dengan bola mata Bella yang indah.

"Senja adalah sumber senyum bahagia sang langit. Tanpanya, langit akan tampak murung dan tidak sempurna. Bel, aku, Auksa Legarvan Alfadiaraga, hari ini dengan tegas meminta, kamu mau kan jadi senjanya Auksa sampai batas waktu yang tidak ditentukan?"

Pinta Auksa sambil membawa Bella dalam rengkuhan kehangatannya. Bella membalas pelukan Auksa erat, hatinya benar-benar terasa bahagia.

"Iya , aku mau jadi senjanya kamu yang tidak akan pernah menghilang walau pagi dan malam menghalangi, aku juga mau jadi senja yang tetap setia datang untuk menunggu pelukan sang langit,"

"Kamu langit aku yang paling tampan bernama Galaksi Auksa."

Auksa membalas pelukan Bella semakin erat. Semilir angin serta pemandangan senja menambah keromantisan kedua insan yang kini tengah berdiri tepat di atas gedung milik Auksa.

Auksa terbangun dari tidurnya, entah kenapa mimpi itu kembali menelusup secara diam-diam dalam alam pikirannya. Keringat Auksa menetes deras.

"kenapa harus mimpi sialan itu lagi sih?"

ujar Auksa mengutuk. Dia tidak menyukainya. walaupun mimpi itu sangat indah karena terdapat Bella di dalamnya, Auksa tetap akan membencinya. Kenapa? karena kehadiran mimpi itu membuat niat Auksa sulit direalisasikan. Auksa tidak ingin terlalu lama terpuruk dalam mencintai Bella yang tidak pernah memunculkan diri.

"Kenapa kamu memilih dia kketimbangaku Bella? Bukannya aku sudah berusaha buat jadi langit yang sempurna buat kamu?"

"Kenapa kamu milih mencari langit lain dan meninggalkan aku disini bersama semua kenangan yang bahkan susah untuk aku hilangkan?"

Auksa mengacak rambutnya, dia tak paham dengan senja yang memilih meninggalkanya, namun Auksa lebih tak mengerti dengan dirinya yang sangat mencintai Bella dengan begitu dalamnya.

Memang benar takdir mempermainkan hatinya, bahkan setelah satu tahun berlalu tanpa kabar, Auksa masih tak mampu menghapus wajah bidadari Bella. Wajah cantik yang selalu menampilkan segurat senyum bersama lesung pipit, dengan mata yang selalu menampakkan binar ketika menatapnya.

Auksa memeriksa jam yang melingkar pas di pergelangan tangannya, dia menghembuskan nafasnya sedikit lantas berlalu menuju kamar mandi.

Auksa selalu menjadikan pekerjaan sebagai pelampiasannya, dia tak mau terlihat rapuh karena kepergian Bella kekasihnya. Auksa akan mencoba berusaha bangkit lagi dan melupakan kenangan yang selalu menghantuinya. Auksa percaya kalau dia pasti bisa melakukannya.

Auksa menyalakan shower kamar mandi, dibiarkannya air itu menubruk wajah bak dewanya yang kini tengah mendongak. Tak elak, walaupun Auksa berusaha membuang semua itu, Auksa tetap tak bisa menampik rasa rindu yang menghujaninya.

Dia merindukan Bella yang telah lama menghilang.

.

.

.

    Seorang gadis dengan tatapan mata kosong melangkah pelan menyusuri gang. Hatinya pilu, hancur dan perih.

Dia Adellia Alexa Argantara. Adellia kira semua hal yang menimpanya akhir-akhir ini hanyalah mimpi belaka, namun ternyata perkiraannya itu salah. Semuanya benar terjadi dalam hidupnya.

Adellia masih ingat tatkala ia menanyakan keberadaan Papa kepada Mamanya. Dia juga masih ingat ketika Sinta mengalihkan wajah dan menjawab pertanyaan itu dengan sorot sendu.

Papanya meninggalkanya.

Semudah itu pahlawan hidupnya menyerah pada rumah tangganya, lantas berhenti menjadi ayah yang baik untuk pitrinya.

Adellia melangkahkan kakinya goyah tanpa semangat. Lalu untuk apa dia hidup?

Adellia memiringkan bibirnya, ia menyesali segala takdir kejam yang dengan pasrah dia jalani.

Tin!

Adellia menoleh, sebuah sedan putih dengan laju cepat memperingatinya agar segera menyingkir, Adelia mematung, tubuhnya kaku, sedang otaknya tiba-tiba saja berhenti beroperasi.

"Awas! "

Adellia tak mengubris teriakan histeris dari orang-orang yang melihatnya dari kejauhan. Tanpa sedar, senyum Adellia terbit. Sepertinya mati adalah pilihan paling tepat untuk mengakhiri semua ini.

Brakkkkkk!!!!

Tubuh Adellia terpental keras. Kedua matanya terpejam rapat.

Apakah dia sudah mati? pikirnya dalam hati. Namun suara bariton dari seorang pria membuatnya kembali tersadar. Adellia membuka kedua matanya pelan. Kedua retinanya menangkap sosok pemuda yang tengah menatapnya dengan sorot marah.

"Lo mau mati? "

suara khas pria mengisi telinganya yang tengah berdengung, mata Adellia mulai mengabur. Dadanya juga berdetak kencang. Adellia menunduk, air matanya mengalir membasahi pipi.

"Gue pengen mati"

isaknya sembari meremas jas pemuda yang menyelamatkanya. pria itu melindungi kepala adellia dengan lengannya.

"Hiks, dunia nggak biarin gue hidup. Kalau bukan karena lo, gue bakal temuin eyang lebih awal, gue juga bisa mati tanpa merasakan sakit lagi."

Adellia menangis terisak. Ia memukul dada pria yang berada di depannya

"Gue pengen mati hiks. "

"lo Sinting?"

Umpatan itulah yang Terakhir Adellia dengar. Karena setelah itu, kedua matanya tertutup sempurna.

Juanda.

Menjauh dari jangkauanmu lebih menyiksa daripada menjauhi semesta. Hatiku yang berperan dan bayangmu yang tidak pernah mau hilang. Semesta, apa kau bisa meleburkan benciku pada dia si pemberi luka?

🌜🌜🌜🌜

Pyar!

       Adellia menutup kedua telinganya kencang. Tangisnya merebak tanpa dia sadari.

"Mah, Papa nggak sengaja lakuin semua itu!"

Suara Papanya berhasil menembus celah celah pintu kamarnya.

"Tidak ada yang namanya nggak sengaja Pa!Mama melihat semua itu sendiri!"

Mamanya menimpali tak kalah berteriak.

"Jadi maunya Mama kayak gimana? Mama mau kita pisah? Mama mau papa pergi dari sini?! "

Adellia melebarkan kedua matanya. Jadi ini keputusan akhir yang Papanya pilih dalam setelah tiga jam perdebatan. Adellia berdiri, dia dengan tergesa membuka pintu kamarnya lantas menghambur ke pelukan Mamanya.

"apa yang Papa katakan Ma? "

Adellia menghapus kasar air matanya sambil menatap sosok malaikat yang kini tampak berantakan dengan mata sembabnya.

Mamanya membelai lembut surai hitam Adellia sambil mengecupnya lama.

"Saya sudah capek menghadapi kelakuan kamu,"

Ujar Sinta sembari menatap suaminya. Adellia tersentak, dia lekas menarik ujung baju Sinta agar wanita itu mengalihkan atensinya.

"Ma-"

"Mama mau cerai."

Deg!

Dada adellia mencelos.

"Apa yang Mama katakan barusan! "

Adellia mengguncang bahu Sinta dengan kasar sambil terisak. Namun Mamanya itu hanya menatapnya dalam diam sambil membiarkan Adellia menumpahkan segala rasa kesalnya.

"Papa nggak mau ninggalin Adellia kan? Papa masih tetap disini sama Adellia kan?"

Matanya yang memerah menatap sang Papa dengan wajah memelas, Namun Papanya malah menggeleng sembari memasang sorot pilu.

Adellia mengamit lengan pria paruh baya itu, dia tak akan berhenti memohon sampai Papanya meminta sang Mama untuk kembali menarik kata-katanya.

"Tidak Adellia, Papa tak bisa terus mempertahan hubungan ini. "

Adellia menggeleng kencang.

"Enggak Pa! Papa pasti bisa! Cepetan bilang sama Mama kalau Papa nggak mau pisah. Bilang sama Mama kalau Papa masih mau bersama!"

Katakan saja bahwa Adellia egois, dia tidak akan peduli dengan hal itu.Adellia hanya ingin Papa dan Mamanya kembali seperti semula. Keluargannya kembali utuh seperti sebelumnya.

"Tidak Adellia."

Papanya menjawab sehalus mungkin. Sampai tiba-tiba tangan Adellia ditarik paksa oleh Mamanya.

"Jangan egois Adellia, kamu sudah besar. Seharusnya kamu mengerti dengan keadaan ini! "

"*Apakah Adellia harus pura-pura nggak papa Ma? "

"Justru karena Adellia sudah besar! Adellia tahu semua ini. Walau Adellia terkadang berlagak nggak pernah mendengar apa saja umpatan kalian, Adellia tahu semuanya Ma! Apa salah kalau Adellia meminta kehidupan layak dan kasih sayang yang cukup? Adellia muak ma! Hiks, Adellia nggak mau terus-terusan hanya jadi boneka dibalik pintu dan bersembunyi lalu muncul di esok harinya dengan pura-pura nggak peduli,"

"ADELLIA MUAK MA! ADELLIA BENCI SAMA KALIAN*! "

Plak!

*Bagus, Mama menamparnya. Dimana lagi Adellia dapat menemukan malaikat tak bersayapnya jika Mamanya saja berubah menjadi monster dalam hidupnya?

Adelia menyentuh pipi merahnya, matanya melebar terkejut dan semakin lama air matanya menderas*.

"ADELLIA BENCI MAMA!"

Sentak Adellia lantas berlari pergi, dia tak menyangka kalau Mamanya begitu tega.

Adellia tersentak terkejut saat sensasi dingin menyentuh dahinya. Dia dengan paksa ditarik ke alam sadar. Adellia meringis karena rasa ngilu mendera badannya.

"Lo dirumah sakit"

Sebuah suara bariton menginterupsi, Adellia menoleh. Disampingnya, lelaki tampan dengan garis rahang tegas dan tangan bersidekap dada menatapnya nyalang. Jas hitam dan kemeja putihnya mengingatkan Adellia pada kejadian di jalan.

"Ngapain lo nyelametin gue? "

Adellia melontarkan pertanyaan itu sembari mengalihkan pandangannya ke atap rumah sakit yang putih bersih, matanya menatap kosong.

  

"Padahal sedikit lagi gue bisa lepas,"

"Kenapa? Hiks, kenapa lo harus selametin gue disaat gue pengen pergi dari dunia ini? "

Tanya Adellia lirih. Air matanya jatuh begitu saja.

"Tidak gratis."

Adellia berjengit kaget, kedua netranya menatap pria tampan yang tengah mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tangan pria itu mengetuk gagang kursi secara berirama.

"semuanya nggak gratis. "

"lo-"

"Besok setelah sembuh, lo harus bayar utang budi lo sama gue. Jangan harap bisa bernafas lega setelah lo hancurin rencana yang udah gue susun matang-matang."

"Lo nggak ikhlas? "

"Nyonya Adellia Alexa Agantara,"

Adellia mengerjab.

Bagaimana bisa pria bersetelan jas itu mengetahui namanya?

Adellia menggelengkan kepalanya. Hal itu tak penting, yang terpenting sekarang adalah tatapan mata si pria yang menajam dan aura yang seakan menghitam memenuhi ruangan. Nafas Adellia tercekat, pasokan udara dalam dadanya terasa menipis berkali lipat.

"jangan berpikir untuk kabur"

.

.

.

Pria beralis tebal dengan tinggi proposional menatap rekanya tajam. Rencana yang gagal membuat moodnya jungkir balik hari ini. Pria itu menghempaskan map yang berada dalam genggamanya kasar.

Sialan! Lagi dan lagi semua rencananya tidak bisa berjalan dengan mulus.

"Atur kembali."

"Siap Pak."

"Cari informasi mengenai cewek tadi."

Reza Mahardian Laksamana, seorang sekertaris yang menganggap hidupnya tidak beruntung karena berada ditengah kehidupan Juanda Legarvin Fernandita. Namun ia tak mampu mengelak, berkat keberadaan Juanda sebagai sahabatnya, hidup Reza tak terlalu abu-abu.

"Adellia Alexa Agantara. Anak dari bapak Alve, pengusaha besar yang perusahanya telah menjamah berbagai negara. Putri dari Nyonya Sinta, pemilik butik terkenal yang hanya mampu didatangi oleh golongan kelas atas. Sekolah di SMA SANJAYA, umur-"

Brak!

Reza berjengit kaget karena tiba-tiba saja Juanda berdiri. Rahang Juanda mengeras, kedua tangannya terkepal erat. Juanda menarik nafasnya lantas membuangnya pelan, dia masih merasa sensitif terhadap apapun yang berhubungan dengan musuh bebuyutan, termasuk sekolah elite bernama SMA Sanjaya. Juanda menghempaskan tubuhnya ke kursi, dia memijat pangkal hidungnya sembari memejamkan kedua matanya rapat.

"Za,"

Reza mengerti, saatnya berganti mode teman. Reza menarik sembarang kursi lantas menggeretnya menuju tempat Juanda.

"Apa?"

"Gue benar kan Za?"

"Ngomongnya yang banyak dikit bisa? Gen lo batu semua sih."

Juanda menghembuskan nafasnya kasar.

"Yang gue lakuin selama ini benar kan Za?"

Reza mengernyit, otaknya selalu diajak berpikir keras setiap kali berada di samping Juanda.

"Lo kan kompeten banget Juan, mana pernah lo salah,"

"Soal gue sama dia. Gue emang benci sama dia Za. Banget,"

"Tapi-"

Sejenak Juanda menarik nafasnya, sudut hatinya berkata kalau perbuatannya tidak layak dibenarkan. Namun otaknya menolak pemikiran itu, Juanda berhak membalaskan semua kesedihannya. DIa tidak salah!

"Gue bener kan Za?"

Reza memasang senyum kecil, tangan kanannya menepuk bahu Juanda berirama.

"Apapun yang lo pilih gue dukung bro. Lo tahu kan kalau gue selalu dibelakang lo?"

"Thanks Za."

Reza mengangguk lantas berdiri dari duduknya. Dia mengambil map yang tadi dilempar Juanda, lantas menatap Juanda serius.

"Ada tugas lagi?"

Juanda tersenyum miring, kepalanya menatap luar jendela yang menampilkan pemandangan kota.

"Temani cewek yang berpikir kalau hidupnya nggak berharga. Jangan biarkan dia kabur sebelum membalas semua perbuatannya."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!