"Nabila! Astaga!"
Suara seorang lelaki menggelegar di ruang kerja milik Bima Sultan Andaksa alias Bisulan, putra sulung Kurap dan Panu. Lelaki itu tampak kesal ketika seorang gadis muda hampir seusianya, sudah berhasil membuat meja kerjanya berantakan.
"Maaf, gue enggak sengaja sengaja, Sul." Gadis itu nyengir seolah tanpa rasa bersalah. "Upss, maaf. Maksudnya aku tidak sengaja, Tuan Bisul."
Sultan mendengkus kasar. "Kamu bilang tidak sengaja? Kamu itu benar-benar sangat ceroboh! Satu lagi, jangan memanggilku seperti itu selama di kantor."
Sultan merasa begitu gemas dan ingin sekali merem*s gadis itu. Namun, itu tidak mungkin karena Nabila—putri pertama Arga dan Zahra—adalah gadis kesayangan Rasya alias Kurap.
"Memang aku ceroboh," ujar Nabila santai. "Kata Papa Arga, aku memang sangat ceroboh seperti Mama Zaenab," imbuhnya disertai kekehan.
Sultan berdecak keras. Menatap gadis itu penuh kekesalan. Ia tidak habis pikir dengan mamanya yang bersikukuh menjodohkan dirinya dengan gadis seceroboh Nabila. Padahal, Sultan sudah memiliki gadis tambatan hati meskipun ia masih merahasiakannya dari siapa pun.
Tidak ingin makin merasa kesal, Sultan memilih untuk menghempaskan tubuhnya di kursi dan memijat pelipis untuk mengusir rasa pusing yang tiba-tiba terasa. Penyakit yang selalu datang mendadak jika ia berada di dekat Nabila.
"Apa yang harus aku kerjakan, Tuan Bisul?" tanya Nabila tidak peduli sorot mata Sultan yang sudah menajam kepadanya.
"Bisakah kamu berbicara dengan baik? Ini di kantorku dan kamu hanyalah sebatas bawahanku. Jadi, berbicaralah yang formal dan sopan!" protes Sultan. Ia geram jika Nabila sudah memanggil dengan panggilan kesayangan dari Mama Kurap.
Namun, bukannya takut atau menjauh, Nabila justru berdiri di samping Sultan bahkan ia sengaja mendekatkan tubuhnya hingga dadanya hampir menempel lengan Sultan. Beruntung, Sultan bisa cepat menyadari dan segera menyingkir.
"Jangan ganjen! Jangan genit!" protesnya lagi. "Kamu itu seorang gadis yang harus menjunjung tinggi harga diri."
"Ih, aku 'kan cuma mendekat sedikit. Kenapa kamu itu selalu sensi padaku." Nabila memundurkan tubuh dan mengedipkan mata. Memasang wajah memelas untuk menarik simpati Sultan. Namun, hal itu justru membuat Sultan kembali berdecak kesal.
"Makanya kamu menjauh, jangan dekat-dekat. Jika kita berdekatan, tensi darahku selalu naik." Sultan kembali mendorong tubuh Nabila. Namun, kali ini Nabila hampir saja terjengkang karena ia berada dalam posisi tidak siap.
"Bodoh!" umpat Sultan berusaha menahan tubuh Nabila agar tidak membentur lantai.
Kedua orang itu pun saling bertatapan. Posisi itu persis seperti dalam adegan di sinetron. Bahkan, samar-samar Nabila bisa mendengar bisikan cie-cie dari makhluk tak kasat mata di sekitar mereka.
"Aku memang bodoh karena sudah mencintaimu," ucap Nabila. Namun, sepersekian detik selanjutnya Nabila merintih karena pantatnya pada akhirnya berhasil membentur lantai.
Sultan pun kembali duduk tanpa merasa bersalah sedikit pun. Bahkan, ia tidak membantu Nabila sama sekali. Tidak peduli meskipun Nabila sudah menghentakkan kaki walaupun ia masih dalam posisi duduk di lantai.
"Bantu aku," rengek Nabila. Mengulurkan tangan dan memasang wajah memelas.
"Dasar menyebalkan!"
Walaupun berdecak kesal, tetapi Sultan tetap membantu Nabila untuk bangkit berdiri. Setelahnya, ia berusaha kembali fokus pada layar komputer meskipun Nabila berusaha mengganggunya. Melihat Sultan yang sedang dalam mode serius, Nabila pun memilih duduk di kursinya dan mulai fokus mengerjakan pekerjaannya.
Mangku purel neng karaokean. Ndemek pupu terus munggah neng Semeru. Mangku purel dudu ....
Mereka terkejut dengan bunyi ponsel Nabila yang menggema sangat keras. Dengan gegas, Nabila segera menerima panggilan itu, sedangkan Sultan benar-benar merasa geram kepadanya.
Diam-diam, Sultan berusaha menguping pembicaraan Nabila yang sangat lirih. Ia merasa begitu penasaran. Ia berpura-pura fokus lagi ketika Nabila sudah selesai menelepon.
"Bisakah kamu mengaktifkan mode silent ketika sedang bekerja? Suara ponselmu benar-benar sangat menganggu!" suruh Sultan.
"Ish, bilang saja kalau kamu merasa tersindir dengan lagu ini, 'kan? Mangku purel neng karaokean." Nabila justru bangkit berdiri dan berjoget mengikuti irama lagu tadi yang baru saja diputarnya lagi.
Sultan memijat pelipis sambil menggeleng berkali-kali. "Ya Tuhan. Aku bisa gila kalau di dekat dia terus. Aku harus protes ke mama setelah ini," gumamnya.
"Ma ... Mama!" teriak Sultan saat baru saja masuk ke rumah mewah milik orang tuanya.
"Kenapa, sih?" Rasya yang kala itu sedang sibuk menonton televisi, segera memalingkan wajah menoleh ke arah putranya. "Ini bukan di hutan, Sul. Kecilkan suaramu itu."
Sultan tidak menyahut, ia justru menghempaskan tubuhnya di atas sofa, tepat di samping Rasya.
"Aku mau protes sama Mama!" Sultan bersedekap, tetapi Rasya hanya melirik sekilas lalu kembali fokus menonton sinetron.
"Protes apa? Sepertinya mama sedang tidak membuat kebijakan baru," timpal Rasya santai.
"Aku menolak dengan keras dijodohkan dengan Nabila, Ma. Dia itu bukan tipeku banget," keluh Sultan. Ia bersandar secara kasar dan ikut menonton siaran televisi itu.
"Memangnya kenapa? Nabila itu udah cantik, baik, anak sahabat mama pula. Dia itu tipe calon menantu idaman," puji Rasya hingga membuat Sultan berdecak kesal.
"Idaman Mama, tapi bukan idaman aku. Lihatlah seperti di sinetron itu. Karena dijodohkan, lakinya akhirnya selingkuh. Emang Mama mau kalau aku nikah dengan Nabila Kadal itu—"
"Nabila Kanesh Dalila, bukan Kadal." Rasya menginterupsi.
"Ish, sama aja. Kanesh Dalila kalau disingkat Kadal," ucap Sultan tak mau kalah.
"Terserah kamu deh, Sul. Mama capek kalau harus debat sama kamu. Yang terpenting keputusan mama tidak bisa diganggu gugat. Kamu harus menikah dengan Nabila titik! Tidak pakai koma apalagi spasi!" ujar Rasya tegas.
"Aku menolak dengan keras, Ma! Bagaimana kalau aku tetap menikah dan nanti aku akhirnya selingkuh. Aaaahhh sakit, sakit." Sultan memegang telinganya yang sedang dijewer cukup kuat oleh Rasya.
"Kamu berani sekali berpikiran sampai sejauh itu. Kalau sampai kamu selingkuh, lihat saja mama tidak akan segan-segan memberi kamu pelajaran! Kalau kamu nyakitin Nabila, mau ditaruh di mana muka mama nanti di depan Tante Zaenab! Ha!" omel Rasya. Melepaskan jeweran itu.
"Ditaruh di mana aja boleh, Ma." Sultan bergegas bangun sebelum Rasya kembali menjewer telinganya.
"Bisulan!" Suara Rasya begitu melengking. Sultan mencebik kesal setelahnya.
"Bisakah Mama tidak memanggilku seperti itu? Aku merasa itu bukanlah panggilan, melainkan sebuah kutukan," protes Sultan.
"Masa bodo! Pokoknya kamu harus persiapkan diri karena bulan depan, kamu akan menikah dengan Nabila!" kata Rasya tegas.
Bola mata Sultan membulat penuh. "Mama yang benar saja. Aku tidak mau!" tolaknya mentah-mentah.
"Mama tidak peduli karena semua ini sudah dibahas sebelumnya oleh kedua keluarga. Jadi, kamu hanya bisa mengiyakan tanpa meminta pertimbangan," ucap Rasya. Tersenyum puas.
"Ma ...." Sultan memasang wajah memelas.
Ku menangis, membayangkan betapa kejamnya diriku atas diriku.
Soundtrack sinetron itu terdengar sangat pas. Membuat Rasya ingin tertawa, sedangkan Sultan langsung bergegas ke kamar membawa turut serta kekesalan yang ia rasakan.
Brak!
Sultan menutup pintu cukup keras hingga membuat pelayan yang sedang membersihkan sekitarnya pun terjengkit karena terkejut. Setelahnya, Sultan masuk dan langsung menghempaskan tubuhnya secara kasar di atas ranjang.
"Pokoknya aku harus cari cara agar pernikahan ini batal. Aku tidak mau menikah dengan wanita yang tidak aku cintai. Dasar mama kolot! Mama pikir ini zaman Siti Nurbaya yang masih harus dijodoh-jodohkan, ish! Menyebalkan!" gerutu Sultan.
Namun, ia dibuat tersentak ketika ponselnya sudah berdering cukup keras. Bibirnya mencebik ketika melihat nama sang mama tertera di layar. Dengan terpaksa, Sultan menerima panggilan tersebut karena jika sampai ia menolaknya, sang mama akan memberikan hukuman yang terkadang jauh dari perkiraan.
"Ada apa, sih, Ma?" Sultan merasa lesu.
"Cepat turun. Om Arga dan Tante Zaenab sudah datang bersama bidadari cantik, si Nabila."
"What! Mama yang benar saja!" Sultan sungguh merasa sangat kesal.
"Tentu saja. Ingat, Sul. Terlambat sepuluh menit maka papamu akan memberi hukuman untukmu," kata Rasya menakuti.
"Menyebalkan!" Sultan mematikan panggilan tersebut secara sepihak. Ia terus menggerutu sambil bergegas turun.
Ia sungguh sangat terpaksa melakukan ini. Kalau memang benar dirinya akan menikah dengan Nabila segera mungkin. Maka ia akan membuat Nabila menderita atas pernikahan seperti dalam novel-novel itu.
Hahaha. Bisul tertawa jahat.
"Ya Tuhan, Ra. Gue emang kagak salah milih lu jadi besan. Berkah banget gue bisa punya anak mantu cakep kayak Sultan," puji Zahra. Begitu antusias melihat Sultan yang berjalan mendekat. Apalagi ketika putra sulung Rasya tersebut bersalaman dengannya.
"Awas lu, Zae. Kalau sampai ada kasus kayak yang viral itu, menantu selingkuh dengan mertua. Gue bejek-bejek elu, Zae." Tangan Rasya saling merem*s bahkan giginya pun sampai bergemerutuk. Membuat Zahra yang melihatnya memasang wajah malas.
"Pikiran lu kejauhan, Ra. Mana mungkin hal itu terjadi. Gini-gini akal gue masih sehat kali. Lagi pula, gue punya suami satu aja kagak habis-habis dan kewalahan ngadepinnya. Apalagi kalau tambah, bisa patah pinggang gue Ra," celetuk Zahra. Tidak peduli meskipun Arga sudah berdeham keras. Wanita yang masih terlihat cantik itu merasa tidak ada yang salah dengan ucapannya.
"Sudahlah, mendingan sekarang kita bahas apa yang sebelumnya sudah kita rencanakan," kata Pandu menengahi perdebatan itu.
Zahra dan Rasya pun saling mengiyakan.
"Jadi, kapan tanggal pastinya? Biar aku bisa segera menyiapkan kartu undangan." Pandu menatap Arga dan mereka berdua saling melempar senyum.
"Pa, aku belum memberi persetujuan. Kenapa sudah dibahas sampai tanggalnya?" Sultan merengek, tetapi hal itu tidak mengubah keputusan mereka. Bahkan, mereka tidak peduli dan menganggap Sultan seperti makhluk tak kasat mata. Hihihi.
"Bagaimana kalau tanggal dua puluh bulan depan. Masih ada waktu satu bulan dan sepertinya itu cukup untuk menyiapkan semuanya," usul Arga.
Pandu menatap Rasya sangat lekat sambil mengusap dagu. Seolah memberi kode agar wanita itu memberikan sarannya. Tentu saja, Rasya begitu antusias. Termasuk Zahra dan Nabila yang merasa senang.
Bukan tanpa alasan, sejak kecil Nabila sudah sangat mengagumi sosok Sultan bahkan menempatkan nama lelaki itu di tempat yang spesial di lubuk hatinya. Itulah sebabnya, ia tidak pernah merasa takut apalagi marah meskipun Sultan selalu bersikap ketus dan memarahinya. Bahkan, Nabila menolak untuk meneruskan perusahaan milik sang kakek dan lebih memilih untuk menjadi asisten Sultan.
"Pokoknya aku mau mengajukan banding!" Sultan bangkit berdiri hingga mengalihkan perhatian semua orang.
"Sul, kamu pikir ini di pengadilan? Jangan bercanda!" Pandu mulai menaikkan satu oktaf nada bicaranya.
"Pa, aku tidak bercanda. Kalian yang bercandanya kelewatan." Sultan hendak pergi dari sana, tetapi langkahnya urung ketika Nabila sudah mencekal tangannya cukup kuat. Sultan pun menoleh dan mendengkus kasar ketika bertatapan dengan gadis itu. "Apa!"
"Ish, jangan galak-galak. Gue cuma mau ngomong sama lu, tapi jangan di sini," kata Nabila setengah berbisik.
"Mau ngomong apa? Jangan bilang—"
"Berisik!" Nabila langsung menarik tangan Sultan dan menjauh dari mereka semua. Pergi ke taman belakang yang sudah sepi, tetapi ketika baru sampai di sana, Sultan dibuat heran oleh Nabila yang kembali masuk ke dalam rumah.
"Lu mau ke mana, oe! Kadal!" teriak Sultan.
Nabila membalikkan badan. "Gue lupa belum pamitan sama mereka. Lu tunggu situ dulu. Jangan pergi-pergi! Kalau sampai lu pergi gue bakal bikin burung lu itu merasakan sunat kedua kali," ancam Nabila sambil berkacak pinggang.
Sultan hanya diam. Dalam hati ia sangat merutuki gadis itu. Walaupun merasa kesal, tetapi Sultan justru menuruti perintah Nabila untuk tetap berada di taman belakang yang bersebelahan dengan kolam tersebut. Ia menunggu gadis itu dengan harap-harap cemas.
Bahkan, beberapa kali Sultan melirik jam tangan. Padahal Nabila baru pergi beberapa menit yang lalu, tetapi kenapa ia merasa gadis itu bergitu lama.
Mungkinkah ini yang dinamakan rindu? Jangan rindu, berat. Cukup berat badanku aja yang berat. Haha.
Merasa jengah, Sultan pun bangkit dan hendak pergi dari taman itu, tetapi langkahnya terhenti ketika melihat Nabila yang sedang berlari ke arahnya.
"Lu mau ke mana, Sul? Awas kalau lu mau kabur!"
Byuurrrr!!
Saking tidak hati-hatinya, Nabila justru terpeleset dan jatuh tercebur ke dalam kolam. Sultan yang terkejut pun tidak langsung menolong dan justru mematung di tempatnya.
"Bego'! Tolongin gue, Sul! Dasar Bisulan!" umpat Nabila menyadarkan Sultan dari lamunan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!