Happy Reading...
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Perkenalakan namaku Zazila Ni'mah Maulidia, teman tamanku biasa memanggilku Zilla, sebenarnya bukan teman teman karna aku tidak begitu punya banyak teman, karna teman ku sedari kecil hanya Ning Afiqah Akmalia putri dari Gus Farid Hazmi dan Bunda Ikah serta kerabatnya yang sering berkunjung kesana, dan karna kemurahan hati beliau juga lah aku dapat berdiri di sini, di SMP Al- Ma'aly pusat bersama sama Ning Afiqah dan selalu menjadi bayangannya, itupun yang baru aku tau, karna mereka membungkusnya dengan kata beasiswa untuk ku.
Andai bukan karna kemurahan hati mereka tentu tidak akan mampu Nenek ku menyekolahkan aku, jangan kan untuk biaya sekolah, untuk makan sehari hari saja kami berdua kesusahan, lalu dimanakah kedua orang tua ku, mereka sudah berpisah saat aku masih umur 3 bulan, ibu ku sudah menikah kembali saat usiaku baru 7 bulan, itu menurut cerita Nenek ku bahkan sampai saat ini akupun juga belum melihat langsung wajah Ibu ku, Ayah ku juga sudah menikah kembali dan memiliki 3 orang anak yang ke semuanya laki laki. Hidup ini kadang terasa tidak adil buatku, saat aku melihat anak anak lain mendapat kasih sayang yang berlimpah dari orang tuanya, justru aku seperti anak yang terbuang dan tidak di inginkan, tapi semua limpahan kasih dari keluarga Ning Afiqah membuat ku kuat untuk menatap dunia, bahwa setiap orang kere seperti kami tidaklah di anggap rendah di mata mereka.
"Wong aji iku songko ilmune ora songko klambine.." ( orang berharga itu karna Ilmunya, bukan karna bajunya.) karna kata kata Bunda Ikah itulah yang membuatku selalu semangat untuk belajar dan menimba ilmu sebanyak mungkin agar kelak aku tidak di remehkan orang lagi, dan kata kata Bunda Ikah itu selalu terngiang di telingaku, banyak lagi kata yang sesungguhnya biasa tapi menurutku itu sarat akan makna.
Hidup di pinggiran pesisir pantai dengan Nenek yang sudah cukup renta serta di tambah dengan kemiskinan, tak jarang membuat ku di hina dan di caci oleh teman teman sebayaku, ya hidup ini sangat keras buat kami orang orang yang tidak memiliki harta, tapi dari dulu Nenek ku selalu menasehati ku bahwa "jangan pernah meminta minta selagi badan kita bisa berusaha" dan tangan kriput itu tak henti hentinya berusaha mengais rezeki untuk kami, menjadi penopang hidupku, menjadi tempat aku bersandar dan tempat ku mencurahkan segalanya, dan tempat ku mengadu segala gundah serta suka maupun duka hati ku.
Saat anak anak lain sibuk bermain dan belajar, aku juga sibuk belajar mengerti akan kerasnya hidup ini, berkeliling menjajakan Es Lilin buatan tetangga, atau tak jarang pula aku menyusul Nenek ku ke pabrik pembuatan ikan asin untuk membantu disana setelah Es habis terjual semua, pernah suatu hari waktu kami pulang dari pabrik, ada seorang anak yang memegang sneck, aku terus saja memandangnya sambil menelan ludah ku sendiri karna membayangkan betapa enak nya makanan itu, karna bagiku makanan seperti itu sungguh makanan yang sangat mahal.
"Apa kamu mau jajanan itu.." tanya nenek ku, aku tersenyum sebentar sambil berfikir..
"Enggak Mak, uangnya di tabung saja buat beli sepatu.." jawabku dengan masih mengulas senyum ke arah Emak, ya sudah cukup aku membuatnya bekerja keras demi menghidupi ku, demi menjaga cucu yang tidak di inginkan oleh anaknya sendiri, ya aku adalah anak yang terbuang dan mungkin saja terlupakan, Ayah ku telah berbahagia dengan istri baru dan ketiga anaknya, pada dasarnya Ayah ku baik padaku tapi karna kemlaratanya dia juga tidak bisa berbuat banyak untuk ku, dengan dia dan anak anaknya mau mengunjungi ku dan menganggap ku sebagai saudara, itu sudah lebih dari cukup, setidaknya aku tidak merasa benar benar di buang dan di tinggalkan begitu saja.
Bagaimana dengan ibuku, entah dimana dia, kata Nenek ku semenjak menikah lagi dengan seorang pria kaya yang berada di kota lain, dia belum pernah sama sekali menjenguk ku, terlebih menemui ibunya sendiri yakni Emak ku, dan setiap aku mendengarkan cerita dari Emak, itu seperti menjadi pupuk bagi hatiku yang telah menempatkan ibuku sebagai seorang yang tidak berhati, dan setiap harinya rasa benci itu semakin bertambah dan bertambah saat aku melihat anak anak lain yang begitu bahagia dalam pelukan ibu mereka..
Pernah suatu hari aku yang sedang sakit, begitu ingin di peluk oleh malaikat berhati lembut yang di sebut ibu, sampai sampai aku mengigau karna betapa memang aku sangat ingin merasakan kasih seorang ibu untuk ku yang tak pernah sekalipun aku dapati, dan pelukan itu benar benar datang pada ku saat Bunda Ikah dan Ning Afiqah datang untuk menjenguk ku, dan dengan tangan lembut, juga rasa keibuan yang begitu besar di curahkan untuk setiap anak anak yang belajar di tempatnya, membuat aku benar benar menyayanginya dan begitu dekat dengan putrinya yakni Ning Afiqah.
Dan disinilah aku saat ini, sudah tiga bulan belajar di SMP Al-Ma'aly pusat dengan Ning Afiqah, dan selalu menjadi bayanganya karna hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini untuk membalas semua kasih serta ilmu yang telah di berikan oleh keluarga Ning Afiqah padaku, dan setiap Jum'ah kang santri akan menjemput kami berdua untuk pulang, kenapa bisa begitu, ya jelas saja bisa karna Yayasan Al-Ma'aly merupakan satu lembaga juga yang di miliki oleh Gus Farid, dan setiap pulang aku punya kesempatan untuk setor langsung kepada beliau dengan Ning Afiqah yang sama sama berusaha menjadi seorang Hafidzoh sepertiku, dan beruntungnya mulai dari awal aku inggin Tahfidz aku sudah langsung di bawah bimbingan Gus Farid, atau Abinya Ning Afiqah, dan setiap pulang tak jarang aku akan menghabisakan waktu terbanyak ku dengan membantu Emak meskipun Emak sudah melarangku, tapi aku bersikeras tetap membantunya, karna hanya dialah harapanku dan juga semangatku dalam menjalani hidup..
"Sudah Emak bilang, belajar saja yang rajin, ngaji yang pinter, ben dadi wong seng aji.."
kata Emak ketika aku menyusulnya di tempatnya bekerja sambil membalik bakal ikan asin yang masih di jemur.
"Enggak apa apa Mak,Zilla sudah belajar tadi sama Ning Afiqah, juga sudah setor sama Gus Farid..." jawab ku sambil tangan ku cekatan ikut membalik bakal ikan asin itu,
tangan kriput itu tiba tiba memukul bahuku dengan keras..
"Mak mu ini wong kere, tidak bisa memberimu harta yang berlimpah setidaknya dengan memberimu kesempatan untuk belajar dan dengan memberimu kesempatan untuk meraup ilmu sebanyak banyaknya itu juga sudah menjadi warisan yang Emak tinggalkan nanti.." katanya dengan berapi api..
"Enggeh Mak, Zilla ngerti dan suatu saat nanti pasti Zilla akan menjadi yang seperti Emak inginkan.." jawab ku sambil mencium pipi kriput yang penuh kringat.
"Sudah sana kembali ke Ndalem Ning Ikah.."
"Nanti sore, Bunda Ikah sedang pergi ke rumah orang tuanya, baru saja berangkat." jawabku masih dengan tangan ku bekerja untuk membantu meringankan pekerjaanya..
Selalu akan seprti ini setiap aku kembali kerumah, rumah..?, apa pantas ini di sebut rumah?? tentu saja tidak karna ini lebih terlihat seperti gubuk bukan rumah, dengan ukuran 6X10 meter persegi, berdindingkan bambu yang di anyam, berlantaikan tanah,dan hanya di bagi menjadi 3 ruangan saja, tapi dari semua ruangan yang berada di tempat tinggal kami,ada satu ruangan yang sangat aku sukai yakni tempat dimana wanita renta itu selalu bersujud di sepertiga malamnya untuk mendo'akan ku, mengadukan semua kegundahan hatinya kepada sang pencipta yang tidak pernah terlahir kepada siapapun.
Kemlaratan tidak membuatnya lupa bahwa ada yang maha kaya, yang akan senantiasa memberinya jalan untuk segala kesusahanya.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Saat matahari sudah tergelincir ke ufuk barat, ku ayunkan langlah ku menyusuri tambak untuk sampai ke Ndalem Gus Farid, disanalah tempat ku menimba Ilmu dan tempatku juga mendapat kasih sayang dari seorang Ibu,
langkah kecil ku selalu akan terhenti disatu tempat yang sangat aku sukai, di bawah pohon Asem yang umurnya mungkin jauh lebih tua daripada aku, dan satu satunya pohon yang berada di antara hamparan tambak, disini sunset akan terlihat sangat indah, dan setiap aku berangkat akan selalu berhenti sebentar disini untuk mengagumi senja yang keindahanya hanya sesaat saja itu, entah kenapa aku begitu menyukai senja disini di saat sinarnya jatuh menerpa riak riak air tambak, sehingga seperti butiran kristal yang mengkilap dan menyilaukan mata saat memandangnya, ya keindahan senja mengajarkanku bahwa keindahan itu sifatnya hanya sementara dan menunggu kedatanganya memerlukan kesabaran, seperti kehidupan ku saat ini yang akan terus berlanjut untuk mendapatkan keindahan di kemuduan hari.
Setelah puas menikmati keindahan senja kembali ku ayunkan kaki ku menuju tempat tujuanku semula, dan melalui pintu belakang aku memasuki tempat ku mengais barokah dari keluarga Ning Afiqah saat adzan Mahrib berkumandang, akan berulang ulang seperti ini dari dulu, dan kali ini aku tersentak dengan seseorang yang sedang berdiri di samping pintu dan dia sama terkejutnya sepertiku, ku pandangi dari atas hingga bawah penampilan nya, ku ingat ingat akan wajahnya tapi tidak juga aku dapati ingatan tentang dia, apa mungkin Santri baru, tapi apa yang dia lakukan disini dengan tas masih berada di punggungnya, setelah cukup lama kami saling memandang aku tersadar dan segera menutup pintu di belakang ku seraya berkata..
"Mau kabur ya Kang..??"
"Enggak.." jawabnya
"Kalau enggak mau kabur kenapa ada disini Mahrib begini, lagian kenapa bawa tas segala, pasti juga Santri baru ya.." cerocosku dan dengan sigap segera menghalangi pintu yang berada di belakang ku dengan tubuhku.
"Suka suka saya, lagian siapa kamu, datang datang langsung nyerocos.." jawabnya
"Sudah Kang kembali saja ke Asrama, kalau enggak saya triak lo.."
"Minggir enggak" katanya dengan sedikit mendorong tubuh ku untuk menyingkir dari pintu..
"Kok dorong dorong sih, beraninya sama perempuan.."
"Berisik banget sih jadi cewek, udah hitam dekil crewet lagi.." katanya,sontak saja mendengar ucapanya itu aku langsung berteriak karna sangking sebelnya, meskipun apa yang di katakanya merupakan kebenaran dan aku sangat sadar akan hal itu, tapi aku tetap merasa sangat sebal mendengarnya, ya kulitku memang sangat exsotic khas gadis pinggiran pantai, tidak sebersih kulit Ning Afiqah dan karna itulah aku di Al-Ma'aly pusat selalu di panggil dengan bayangan Ning Afiqah..
"Kang Ikhsannnn..., ada Kang Santri mau kabur.." teriak ku saat melihat sekelibat bayangan kang Ikhsan di dekat pintu dapur Ndalem, sontak kang Ikhsan yang mendengar teriakan ku langsung melangkah menuju ke arah kami..
"Weekkk.." kataku sambil menjulurkan lidahku ke arah Kang Santri baru itu, dan pergi meninggalkanya saat Kang Ikhsan sudah sampai di antara kami..
Ku langkahkan kaki ku langsung menuju musholla khusus putri yang terletak di samping kanan Ndalem tersebut, dan dengan cekatan aku langsung bergabung dengan teman teman yang lain setelah mengambil wudhu terlebih dahulu.
Kami merupakan Santri kampung atau santri yang hanya datang pada sore hari dan akan pulang saat habis ngaji subuh, lumayan banyak juga jumlah kami dan aku termasuk yang paling lama karna sedari kecil aku sudah ngaji disini bersama Ning Afiqah, dan sudah seperti saudara bagi Ning Afiqah..
Setiap aku melihat Ning Afiqah bertutur, maka akan semakin besar rasa kagum yang aku bingkai untuk Bunda Ikah, karna sebagai ibu beliau sangat sabar dan penyanyang terhadap anak anaknya, dan tak jarang pula limpahan kasih juga akan sampai pula padaku yang hanya orang luar saja, sungguh jika di izinkan aku memilih juga meminta dulu ketika di Lauhil mahfudz orang yang akan ku sebut Ibu untuk ku, tentu aku akan meminta seorang yang penuh kasih juga berhati lembut seperti Bunda Ikah, namun apalah dayaku, aku terlahir dari seorang ibu yang tidak menginginkan aku sebagai anaknya, dan menganggap ku sebagai bentuk dari kegagalan hidupnya.
###
Hai Hai ketemu lagi sama Emak Maydina..
Kisah Zilla mungkin akan sedikit banyak menyerempet dengan kehidupan Afiqah, karna secara tidak langsung Zilla juga tumbuh besar bersama Afiqah, selamat membaca semoga suka..
By: Ariz kopi
@maydina862
Happy Reading...
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
"Mbak Zill.. di panggil Bunda Ikah di ndalem.."
kata salah satu teman yang sesama belajar di sini..
"Enggeh mbak Mina, maturnuwun" jawab ku dan langsung menuju Ndalem, biasanya setiap habis Isya' kami akan di antar kembali oleh kang Santri ke Al-Ma'aly pusat, karna kegiatan belajar mengajar untuk santri akan di mulai besok setelah subuh, dengan sedikit bergegas aku menuju Ndalem lewat pintu samping yang akan langsung tembus di dapur, tapi bukan dapur khusus yang di miliki Bunda Ikah.
"Mbak Lala, gendong.." kata Gus Ali, begitu melihat kelibatku, Gus Ali dengan ku sudah seperti saudara sendiri, karna sedari bayi aku sering mengedongnya dan sering mengahabiskan waktu bersama sama, Gus Ali tumbuh menjadi anak yang sangat lucu juga tampan sekaligus sangat cerdas, kenapa aku bisa bicara seperti itu, karna di usianya yang masih 3 tahun dia sudah banyak hafal surat surat pendek dan soal ketampananya tidak usah di ragukan lagi, karna kedua orang tuanya juga sangat rupawan di samping berahlaqul karimah. Sungguh melihat keluarga mereka rasanya aku juga suatu saat punya mimpi memiliki keluarga yang harmonis seperti mereka meskipun aku tidak pernah tau persis rasanya di cintai oleh seorang Ibu seperti apa, tapi jika di izinkan nanti tentu aku ingin menjadi seorang ibu yang baik untuk anak anak ku, dan mencurahkan semua cinta untuk mereka agar tidak merasakan hal yang serupa seperti ku.
"Mbak Lala Gendong.." ucap Gus Ali lagi sambil menarik rok yang ku pakai, ketika aku tidak langsung meraih tubuh kecil itu dalam dekapan ku.
"Enggak ahh, Mas Ali ngompol.." candaku dengan sedikit mundur dari tempatku..
"Mbak Lala nakal, Ali udah enggak ngompolan"
"Masak sih, kemarin dulu waktu Lala masih tidur bareng di ompolin.."
"Kemarin dulu, sudah lama, Ali sudah gede sekarang, sudah mau sekolah.."
"Iya,iya baik, sudah gede, tapi masih minta gendong.."
"Itu karna Ali kangen Mbak Lala." jawabnya dengan langsung menarik tangan ku untuk minta gendong belakang, aku hanya bisa tersenyum sambil jongkok untuk menggendongnya, lalu aku masuk ke dalam dengan santainya seperti biasanya saat memasuki Ndalem,
"Mbak Zilla, di tunggu Abi di ruang tamu" kata Ning Afiqah saat berpapasan di pintu..
"enggeh Ning, tapi tadi katanya di timbali Bunda, Ning.." jawab ku
"Iya, Bunda juga ada di sana, Mas Ali turun, kasihan Mbak Lala capek gendong sampean"
jawab Ning Afiqah..
"Mboten nopo nopo Ning," jawab ku
"Mbak Lala kan kuat, enggak kayak Kakak yang suka capek.." jawab Gus Ali dengan semakin mengeratkan pegangan tanganya di leherku..
"Ayo Mbak Lala.."
"Kemana, Mbak Lala mau ketemu sama Abi juga Bunda.." jawabku, sambil berjalan melanjutkan ke tempat tujuan ku yakni ruang tamu
"Mbak Lala tidur sama Ali hari ini ya.."
"Enggak bisa kan Mbak Lala sama Kakak sebentar lagi berangkat.."
"Kenapa setiap pulang cuma sebentar sebentar, enggak lama lama, jadi enggak bisa main sama Mbak Lala, enggak ada yang ngambilin jambu sama Asem lagi dari pohonya langsung, juga enggak ada yang nemenin mancing di sungai.." kata Gus Ali dengan mengabsen seluruh kegiatan kami sebelum aku belajar di Al-Ma'aly pusat, jiwa pecicilanku seakan ingin kembali meraskan berpetualang di pinggiran sungai menagkap ikan kecil kecil atau naik ke pohon Asem di tengah jalan tambak sampai di dahan yang paling ujung dan akan sangat memaju adrenalin ketika angin kencang tiba tiba meniupnya, dan tubuh kecil ku akan ikut melambai lambai bersama dengan ranting.
"Mas turun, biarkan Mbak Lala kemari.." kata Bunda Ikah begitu aku sampai di pintu ruang tamu, dan mata nakalku langsung tertuju seseorang yang tengah duduk di sebrang Gus Farid, dengan wajah di tekuk, dan juga beberapa kang Santri bagian keamanan.
"Bukanya kang Santri yang mau kabur tadi.." gumam ku sembari menurunkan Gus Ali dari gendongan ku dan dengan segera dia berlari ke arah Bunda Ikah..
"Mbak Zilla, kemarilah duduk di samping saya.." ucap Bunda Ikah.
"Enggah Bunda.." aku menuruti perkataan Bunda Ikah dan duduk di samping beliau dengan Gus Ali berada di pangkuan Abinya sekarang..
"Mbak Zilla, tadi bagaimana kejadianya.." tanya Gus Farid padaku dengan nada lembut tapi cukup tegas, aku diam sesaat memandang ke semua arah terutama ke arah Bunda Ikah..
"Ndak apa apa katakan saja.." kata Bunda Ikah
"Begini, tadi saya baru datang lewat pintu belakang dan kebetulan saya ketemu dengan Kang Santri itu di samping pintu, dengan membawa rensel dan kemudian sempat berdebat sedikit lalu saya lihat Kang Ikhsan langsung saya berteriak memanggil Kang Ikhsan.." ucapku dengan lancar dan aku tau pandangan mata Kang Santri yang mau kabur itu menghujam tajam ke arahku..
"Itu tidak benar jika saya ingin kabur, saya hanya hendak melihat lihat di belakang Pesantren.." jawab kang Santri baru itu
"Kalau enggak mau kabur kenapa bawa bawa tas segala.." jawab ku
"Zill.. rendahkan nada suara mu, dan turunkan pandangan mu, itu kurang bagus bagi perempuan.." ucap Bunda Ikah..
"Enggeh Bunda.." jawab ku dan langsung menundukan pandanganku serta mengunci rapat mulutku meskipun sangat ingin sekali aku duel dengan Kang Santri baru itu, yang sudah jelas jelas mau kabur tapi banyak alasan yang di kemukakan..
"Jadi Kang Huda, sebenarnya apa yang hendak sampean lakukan tadi.." tanya Gus Farid ketika semua sudah diam..
"Saya hanya ingin melihat lihat di luar Pesantren, sepertinya bagus sekali buat objek Foto, karna saya menyukai Fotografi.." jawabnya dengan lantang sembari tanganya membuka tas yang tadi dia bawa dan tampaklah beberapa tas kecil di dalamnya, aku sendiri tidak tahu apa isi dari tas kecil tersebut tapi ku lihat ke arah Gus Farid yang tersenyum tipis menandakan kelegaan.
"Kang Huda, tapi sampean tetap salah, karna hendak keluar tanpa pamit, juga membawa barang barang yang bukan kebutuhan di Pesantren.." ucap Gus Farid.
"Tapi saya menyukai Fotografi, katanya di Pesantren tidak menghalangi hobi dan justru akan mempermudahnya,.."
"Iya itu benar, jika sampean taat pada peraturan, sudah seminggu sampean disini saya belum pernah bertatap muka dengan sampean untuk menyetorkan hafalan, atau sekedar untuk Binadhor sehabis Isya', jadi untuk sementara peralatan Foto sampean saya sita sampai sampean hafal beberapa surah surah yang Kang Ikhsan tunjukan." ucap Gus Farid masih dengan nada lembut tapi tegas juga.
"Kenapa begini, ini tidak adil sekali, lalu apa hukuman buat dia.." katanya dengan menunjuk ke arahku..
"Kenapa aku.." jawabku dengan langsung meninggikan suaraku..
"Iya kamu, kamu juga dari luarkan.." jawabnya..
"Saya memang setiap ha.."
"Zill, sudah pergi sana siap siap, sekalian bilang sama Mbak Afiqah suruh siap siap kang Halim akan mengantar kalian sebentar lagi.." Potong Gus Farid dan langsung mamandang lurus ke arahku,
"Enggeh Bi.." jawabku dengan langsung melunakan suaraku, itulah aku yang akan meluank begitu sudah Bunda Ikah atau Gus Farid yang bicara, pada dasarnya suaraku lantang dan keras akan sulit aku kendalikan ketika sudah berhadapan dengan sesuatu yang mengusik ku, bahkan Bunda Ikah sudah sering sekali menasehati ku akan hal ini, "Jadilah wanita yang lembut, karna itu juga merupakan sebaik baiknya Ahlaq seorang wanita, jika kamu hanya berilmu tanpa berakhlaq, atau berahlaq tanpa berilmu itu seperti orang buta tanpa tongkat.." dan setiap ucapan Bunda Ikah akan selalu terpantri dalam dalam di hatiku, tapi dalam prakteknya itu sulit sekali, jangankan meniru sikap Bunda Ikah, untuk meniru sikap Ning Afiqah saja susah sekali, dan diam diam ketika sedang di depan cermin basar yang berada di sekolahan aku sering sekali belajar berdiri sambil berjalan seperti Ning Afiqah, atau menirukan gaya bicaranya yang lembut, tapi yang ada aku malah ngakak sendiri karna postur tubuhku yang persis kayak kuli, dengan lengan sedikit kekar dan kapal kapal di hampir semua permukaan tangan ku sungguh membuat aku tidak punya nyali untuk mengikuti gaya seorang Ning seperti Ning Afiqah.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Aku berjalan keluar dari ruang tamu setelah pamit dengan Bunda Ikah juga Gus Ali tentunya, dan tidak mau lagi mendengarkan apa yang di katakan oleh Kang Santri baru itu yang terus saja menyampaikan keberatanya akan penyitaan kameranya.
Dan dengan langkah santai aku menuju ke kamar yang aku tinggali dengan Ning Afiqah sedari kecil dulu, di Asrama samping Mushalla, sesampainya di sana aku melihat Ning Afiqah sudah beberes barang barangnya, dan aku hanya bisa tersenyum dengan mengaruk garuk kepalaku saja, memang Ning Afiqah adalah contoh yang sangat nyata bisa ku lihat dari keberhasilan Bunda Ikah mendidiknya, sangat mandiri dan tidak pernah meminta bantuan selagi dia bisa mengerjakan semuanya sendiri, meskipun dia adalah seorang Ning, yang biasanya cendrung apa apa menyuruh santrinya untuk mengerjakan pekerjaanya, bahkan di Al Ma'aly pusat dia tidak pernah merepotkan Santri lain untuk mengurusi pekerjaanya, atau menunjukan kekuasanya sabagai anggota keluarga Al Ma'aly, alih alih seperti itu justru dia lebih suka di kenal dengan Santri biasa tanpa embel embel Ning di depanya.
dan mungkin inilah yang di maksud dengan Bunda Ikah bahwa Ahlaq itu harus berada di atas Ilmu, karna ahlaqlah yang menjadikan manusia lebih beradap.
"Mbak Zill, sudah selesai.." ucap Ning Afiqah dan membuyarkan lamunan ku tentang dia.
"Enggeh Ning,.." jawab ku kikuk..
"Mbak Zilla selalu, sudah saya bilang jangan panggil pakai Ning juga,.."
"maaf Ning, ehh maaf Mbak Fika.." ucapku sambil menyambar tas usang ku yang juga pemberian Ning Afiqah tentunya.
ya tentu saja itu tas bekas Ning Afiqah, jika baru aku tidak mungkin mau menerimnya karna itu akan membuatku seperti pengemis yang hanya meminta minta, susungguhnya tanpa meminta Bunda Ikah sudah pasti akan dengan senang hati membelikanya untuk ku, tapi nyatanya Bunda Ikah juga sangat memahami sikap juga sifatku yang tidak mau di kasihani, atau tidak mau menerima apapun tanpa aku mengerjakan pekerjaan sebagai imbalanku, karna bagiku meskipun kemelaratan hidup yang kami jalani tidak akan membuat kami menjadi orang yang miskin hati, dan berjiwa peminta minta.
"Mbak Zilla sudah pamitan sekalian sama Mak Mar tadi.." tanya Ning Afiqah
"Sudah Mbak Fika, tadi Emak dapat Upah lebih, jadi bisa buatkan sambal kesukaan Mbak Fika,.." jawabku dengan menunjukan bungkusan kecil di plastik yang terletak di atas meja.
"Mak Mar selalu seperti itu, seharusnya uangnya bisa di tabung saja.."
"Itu kan cuma sambel teri mbak Fika, tidak akan sebanding dengan apa yang telah keluarga sampean berikan kepada kami untuk balas budi,.."
"Mbak Zilla, tidak ada balas budi di antara kita karna kita adalah sahabat, dan bagi saya dengan mbak Zilla selalu bersama saya itu sudah sangat kebahagiaan yang tak ternilai dari saya, karna telah banyak belajar dari sampean.." jawab Ning Afiqah dengan senyum yang sangat tulus..
"Trimakasih mbak Fika karna sudah menjadikan saya sebagai sahabat sampean.."
"Iya sama sama, ya sudah saya tak pamitan ke Abi juga Bunda, mbak Zilla tadi sudah pamit kan..??"
"Sudah Mbak Fika, nanti kalau saya masuk lagi Mas Ali rewel lagi.."
"Iya, Mas Ali adiknya Mbak Zilla bukan adik saya.." jawab Ning Afiqah sambil tersenyum sedikit lebar lalu mengangkat tasnya dan beranjak pergi.
"Mbak Zilla tunggu di depan saja nanti saya langsung ke depan.." lanjutnya setelah berada di pintu, lalu melangkah meninggalkan aku setelah mendapat jawaban dariku.
Setelah tak berapa lama aku juga ikut keluar dari kamar dan menuju ke depan untuk menunggu Ning Afiqah juga Kang Santri yang akan mengantar kami ke Al Ma'aly pusat. Sesampainya di depan tampak suasana lengang karna Kang Kang sedang berada di Mushalla untuk mengikuti kegiatan seperti biasa setelah seharian tadi libur, aku menendang nendang kerikil sambil berdendang seenak hatiku sendiri, karna jujur saja jika orang lain mendengar suaraku pasti akan pingsan di buatnya, karna sangking merdunya suaraku, alias kebalikanya dari itu, serak serak becek tanah liat lah pokoknya, bisa bayangkan sendiri kan..🤭🤭🤭🤭
"Auow..." triakku ketika dengan tiba tiba ada yang melempar ku dengan kerikil sebesar biji salak mengenai tepat kepalaku, sembari menggosok gosok kepalaku aku mencari sekeliling namun tidak ada orang, lalu aku tertawa sedikit keras karna membayangkan krikil yang aku tendang tadi mengenai diriku sendiri, lalu aku melanjutkan aktifitasku kembali dengan kembali bersenandung, tapi sudah tidak menendang batu lagi.
"Auow.." lagi lagi lemparan kerikil kecil mengenai kepalaku tapi juga punggung ku, kali ini aku sadar pasti ini kelakuan orang jahil kepadaku, maka dengan segera aku bergerak kesana kemari mencari kira kira dimana orang itu bersembunyi, dan pandangan ku tertuju pada teras kamar kang Santri dan benar saja disana dapat kulihat punggung seseorang yang tengah berjongkok..
"Woy..." teriak ku sembari mendorong punggung orang tersebut, dan karna sangking kagetnya dia sampai terjatuh
"Gubrak..." aku ngakak tak henti henti melihat dia yang sedang nyungsep, salah sendiri ngerjain aku, saat dia sudah bangun dan berbalik kearahku aku kaget di buatnya, lagi lagi kang santri baru itu tadi..
"Kamu tuh apa apaan sih, main dorong dorong aja.." katanya dengan nada marah..
"Bukanya situ yang cari gara gara duluan.." jawab ku tak mau kalah..
"Kenapa aku mesti cari gara gara sama kamu, kurang kerjaan banget, ketemu kamu aja sudah sial di tambah mesti cari gara gara sama kamu, dasar Keling.."
"Apa apa kamu bilang, sial, saya yang sial ketemu kamu, sudah enggak mau ngaku kalau salah malah ngatain orang lagi.. huh.." ucapku dengan sudah meninggikan suaraku, entah kenapa bertemu dengan orang ini dari tadi bawaanya mau emosi saja dan melupakan nasihat Bunda Ikah bahwa wanita itu harus lembut.
"Siapa yang ngatain, memang bener kamu Keling.." jawabnya dengan senyum jahat,
"Sudah sana pergi jauh jauh dari saya, enggak sudi di deketin sama orang kayak kamu." katanya lagi dengan mengibaskan tanganya mengusirku..
"Dasar otak udang,.."ucapku sambil berlalu dari hadapanya..
"Apa kamu bilang, aku cukup cerdas dengan otak ku dasar Keling.."
"Apa, segede gitu masih mau hafalan surah surah pendek, apa itu yang namanya cerdas.."
"Kayak kamu pinter aja.."
"Suka suka saya.." jawabku meniggalkannya namun belum sempat aku jauh, dia sudah melemparku dengan buku yang tadi dia pegang, dan sontak saja itu membuatku marah dan langsung mendatanginya lagi melempar buku tepat di mukanya dan pertengkaranpun tak dapat di elakan, dan membuat kegaduhan dengan suaraku yang meninggi di sertai dengan serangan yang membabi buta ke arahnya, hingga tak kami sadari sudah banyak Kang Santri yang melihat ke arah kami..
"Zilla...."
#####
Bersambung dulu yahhh..
see you, salam cinta dari Emak..
Love Love Love..
💖💖💖💖💖💖
By: Ariz kopi
@maydina862
Happy Reading...
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
"Zilla.." panggil Bunda Ikah dengan suara yang meninggi, dan baru kali ini aku mendengar Bunda Ikah sampai meninggikan suaranya, dengan segera aku menghentikan gerakanku dan tepat pada saat itu juga sebuah tamparan mendarat di pipiku, tamparan yang lumayan keras tapi aku tidak bisa membalasnya karna pandangan mata Bunda Ikah yang menyiratkan kekecewaan terhadapku, dan dengan perlahan aku berjalan mendekat ke Bunda Ikah dengan membenarkan baju ku serta kerudungku yang sudah tak beraturan, tanpa sepatah katapun Bunda Ikah pergi meninggalkan tempat itu dan langsung masuk ke dalam rumah, aku terus mengikutinya meski aku sangat takut jika Bunda Ikah akan marah, terlebih akan kecewa terhadapku.
"Maaf Bunda.." kataku lirih sembari bersimpuh di samping Bunda Ikah yang tengah duduk di sofa,
"Duduklah disini.." kata Bunda Ikah dengan menepuk tempat di sebelahnya, aku bergegas bangun dan duduk di sampingnya.
"Kenapa sampai seperti itu, sudah sering Bunda bilang jadilah seorang perempuan yang lembut, yang santun.." katanya dengan menarik tubuh kecilku dalam dekapanya, aku hanya bisa diam dan merasakan detak jantung Bunda Ikah yang sedang menahan amarah, disinilah letak keistimewaan bunda Ikah yang tidak pernah di miliki orang lain, selalu dan selalu menasehati dengan cinta kasih.
"Jika bukan kata kata Bunda yang kamu ingat, setidaknya ingatlah bahwa ada Qur'an di dalam jiwa mu, agar itu bisa menjadi tolak ukur bahwa Qur'an yang kamu jaga itu tidak hanya di lisan saja melainkan sampai di dalam hati.." lagi lagi aku hanya bisa diam, amarah di hatiku menguap dengan ucapan Bunda Ikah, bahkan perih di pipiku karna tamparan kang Santri baru itu juga tidak lagi aku rasakan, karna perih di pipiku tidak akan sebanding dengan perih di hatiku saat Bunda Ikah telah benar benar kecewa dan menjauh dariku.
"Lihat pipimu, apa ini sakit.." kata Bunda Ikah sembari melepaskan pelukanya dan menyentuh pipiku..
"Tidak Bunda, hanya sakit seperti ini tidak kan apa apa buat Zilla.." jawabku dengan memaksakan senyum..
"Apa benar itu tidak sakit.." kata Ning Afiqah yang dari tadi hanya diam..
"Benar Ning, maaf, benar Mbak Fika,.."
"Ya sudah kalian siap siap, biar Bunda panggil kang Halim,.."
"Bunda, Zilla minta maaf, Zilla janji akan menjadi wanita yang lembut nanti.." kataku dengan memegang tangan Bunda Ikah dengan kedua tangan ku.
"Berubahlah karna kamu, bukan karna bunda yang menyuruhmu, tancapkan di hati dengan sedalam dalamnya, bahwa ada Qur'an di jiwamu, jadi ahlaqmu juga harus yang Qur'ani.." kata Bunda Ikah kemudian melangkah menjauh dari kami, ku pandangi kepergian Bunda Ikah sampai hilang di balik pintu..
"Mbak Zill, apa benar enggak sakit pipinya..??" tanya Ning Afiqah..
"Ahh, hanya tamparan kayak gini enggak terasa buat saya Mbak Fika,.." jawab ku dengan senyum sumringah, ya.. bagi ku sakit tamparan kayak gini tidak sebanding dengan kerasnya kehidupan yang harus aku dan Emak jalani setiap hari, karna kemlaratan yang senantiasa membuat diri kami jadi sasaran hinaan serta cacian dan itu lebih perih dari sebuah tamparan di pipi, tapi aku tepatlah aku yang tidak pernah mengeluhkan sesak serta sakit hati atas cacian mereka, terlebih mengeluh terhadapNYA atas segala ni'mat kehidupan yang di berikan kepada kami.
"Kak, mbak Zilla, sudah di tunggu kang Halim.." kata Bunda Ikah begitu muncul kembali di pintu.
"Enggeh Nda.." jawab kami bebarengan dan segera langsung berdiri dari tempat kami..
"Kami berangkat Bunda, Assalamu'alaikum.." kataku dengan mencium tangan Bunda Ikah dengan takdzim..
"Belajar yang rajin, jangan lupa janji Mbak Zilla tadi sama Bunda.."
"Insya'Allah Bunda, Zilla tidak akan lupa.." kataku lalu melangkah menjauh dari Ning Fika juga Bunda Ikah, dari tempatku berdiri dapat kulihat Ning Afiqah yang sedang berada dalam pelukan Bunda Ikah dan dengan lembut tangan Bunda mengusap kepala Ning Afiqah dengan kasih serta dapat ku lihat juga bahwa selalu teriring do'a untuk Ning Afiqah di setiap lekuk bibir Bunda Ikah, perih itu kembali mengiris ketika aku menyaksikan pemandangan ini setiap akan kembali ke Al- Ma'aly dan rasa iri juga ikut menelusup di sanubari, andai saja aku tidak di tempa dengan kehidupan yang sangat keras tentu kerinduan sekaligus kebencian terhadap dia yang ku sebut Ibu akan membuatku meraung mengeluarkan segalanya lewat air mata, tapi sesungguhnya ada kalanya aku benar benar merindukanya dan ingin sekali merasakan bagaimana syahdunya berada dalam dekapan hangatnya seperti Ning Afiqah dalam dekapan Bunda Ikah, namun itu seperti aku sedang berenang dalam pusaran air yang menarik ku dalam arus yang tidak tau akan membawaku kemana jika aku terseret bersamanya, dan di saat aku benar benar tidak mampu lagi menahan genagan air di sudut mataku, maka aku akan berlari di tengah tambak dan menaiki pohon Asem, menagis sembari melafalkan hafalanku dengan tersedu sedu untuk mengalihkan segala rindu juga benci yang bercampur baur jadi satu. Dengan nafas berat aku memalingkan pandangan ku dari Bunda Ikah juga Ning Afiqah, karna itu akan membuat ku semakin menggali lubang kebencian terhadapnya yang tak pernah ku temui, dan dengan berat pula ku langlahkan kaki ku menuju teras lalu mendudukan diriku di pagar, dan sempat aku melihat kang Santri baru itu sedang di hukum oleh Kang Santri keamanan.
"Ayo Mbak Zilla,.." kata Ning Afiqah dengan menepuk bahuku, dan membuatku sedikit tersentak kaget di buatnya..
"Enggeh Mbak Fika,.."jawabku dengan mengikuti langkah Ning Afiqah di belakangnya persis seperti bayanganya, sebelum kami masuk ke dalam mobil sempat ku lihat dari ekor mataku bahwa dia sedang memandang ke arah ku dengan tatapan penuh dendam sekaligus tatapan benci, tapi aku tidak sama sekali meresponsnya dan malah semakin menundukan kepalaku seperti yang di lakukan Ning Afiqah..
Mobil berlahan lahan meninggalkan pelataran Pesantren,dan membelah jalan yang kini sudah rame oleh rumah rumah penduduk semenjak kehadiran Pesantren milik Gus Farid, dulu suwaktu aku masih kecil jalanan ini sangatalah sepi, dan minim penerangan tapi kini sudah semakin bersolek, dan berbenah sesuai zaman dan mengikutinya pula. Dari begitu banyak rumah yang kini sudah berdinding bata dan megah megah sesuai taraf peningkatan kehidupan masyarat miskin di sekitar sini, ada satu rumah yang dari aku kecil hingga kini tetap saja seperti itu, ya itu adalah tempat tinggalku dengan orang satu satunya yang mencintaiku, rumah reot itu kini semakin reot, dan setiap aku menatap wajah tua yang semakin keriput termakan usia itu, semangatku untuk membuatnya bahagia berkobar seperti bara api yang terkena tetesan minyak tanah, bahagianya adalah preoritasku kelak, menjadi seorang yang berguna dan di pandang layaknya dengan teman teman sebayaku adalah merupakan mimpinya, dan dialah satu satunya cinta juga nafas dalam diriku, tak dapat ku bayangkan jika suatu saat nanti aku harus kehilanganya tanpa ada tangan lain yang akan mengenggam tanganku untuk kuat seperti dia..
🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Waktu berlalu kian cepat tak terasa sudah setahun lamanya aku berada di Al-Ma'aly pusat,dan setelah penerimaan raport siang tadi kami semua akan di pulangkan ke rumah kami masing masing karna masuk jadwal libur,dan juga merupakan liburan panjang untuk para santri juga siswa sekolah itu artinya setelah masuk nanti aku juga Ning Afiqah sudah masuk kelas 8, dan dapat ku pastikan jika kang Santri otak udang itu tidak pulang untuk libur maka pastinya aku dan dia akan terus bertengkar nanti, jangankan kami dapat bersama dalam waktu yang lama, selagi ketemu pas aku pulang di hari Jum'ah saja bisa berantem berkali kali setiap papasan, apa lagi nanti jika libur Pesantren di mulai, aku sendiri tidak tau kenapa aku dan dia bisa seperti ini, apa mungkin karna pertemuan pertama kami setahun lalu yang di landasi oleh kesalah pahaman membuat kami tidak ingin saling mengenal satu sama lain dan sudah membekas juga di hati kami masing masing bahwa kesialan akan ada jika kami saling bertemu, pada dasarnya sikapku dengan kang Santri lain baik bahkan cendrung sangat baik terlebih yang sudah cukup lama di sana aku akan menaruh hormat yang lebih kepada mereka seperti hormatku kepada keluarga ndalem, karna mereka yang mengenalku lebih lama akan faham betul dengan sikap ku yang hanya rame di mulut saja, maka dari itu sebisa mungkin aku memilih agar tidak berpapasan denganya, namun justru saat aku sangat menghindarinya yang terjadi malah aku secara tidak sengaja bertemu denganya di luar pesantren kadang juga kami secara tidak sengaja bertemu di sekitar pohon Asem, itu dikarnakan dia juga menyukai sunset sama seperti ku, dan spot foto untuk sunset yang terbaik ada di sekitar pohon Asem tempat ku bersembunyi selama ini, dan kini aku harus rela berbagi tempat dengannya yang langsung di klaim sebagai tempat favorit baginya, dasar orang yang aneh seaneh nama yang di sandangnya. Aku tau namanya secara tidak sengaja ketika dia masih menggunakan seragam sekolah SMK yang lumayan favorit karna terletak di Kecamatan dan terkenal dengan sekolahan mahal, di tag namanya tertulis A.Huda Pucang Anom, aku rasa dia memang benar benar dari keluarga yang berada karna dari pakaian juga barang barang yang dia punya lumayan bagus meskipun aku tidak tau brand sama sekali, terlebih pada peralatan Foto yang dia miliki.
Mobil berlahan masuk ke pelataran Pesantren saat habis Asar, dan dapat kulihat di teras sedang berkumpul beberapa keluarga dari Gus Farid juga Bunda Ikah, karna nampak jelas di mataku teman teman kecilku sedang berdiri di samping Bunda Ikah, yakni ada Kakak Dahlia yang semakin cantik seperti Bunda Ikah, juga ada Mas Hafidz yang sudah tumbuh menjadi remaja seperti kami juga tidak kalah tampan dengan Ayahnya tentunya, tunggu, tunggu dulu, Tampan, dapat kosa kata dari mana aku kata Tampan, apa aku sudah masuk puber..??.
Dengan malu aku langsung merendahkan pandangan ku dari Mas Hafidz saat menyadari atas pemikiran liar yang muncul dengan sendirinya itu. Kami turun dari mobil tepat saat mobil yang di supiri oleh Kang Halim berhenti di garasi, dan dengan senyum riang Ning Afiqah langsung berlari menghampiri kakak Dahlia menubruk tubuh tinggi semampai,aku ikut tersenyum ke arah mereka dan secara tidak sengaja mataku yang nakal ini bertemu pandang dengan mata Mas Hafidz yang tengah memandang ke arah ku sembari mengangkat tas milik Ning Afiqah yang baru saja di turunkan oleh kang Halim.
"Assalamu'alaikum.. " sapa ku dan langsung menyalami mereka semua, termasuk dengan Kakak Dahlia dan hanya mengangguk sembari mengangkat tanganku sebatas dada untuk Mas Hafidz, aku tidak tau dengan kecanggungan yang tiba tiba muncul ketika mata kami kembali bertemu, mungkin karna kami sudah setahun ini tidak pernah bertemu, karna setahun ini Mas Hafidz mengenyam pendidikan di Pesantren di luar kota, dan setahun perubahan Mas Hafidz membuat aku canggung mungkin karna juga perubahan fisiknya yang semakin memperlihatkan kerupawananya atau mungkin kami sekarang yang sudah tumbuh sedikit dewasa dan mengenal hukum hukum agama jadi kami mengerti batasan kami sebagai seorang yang bukan mahram, padahal waktu kecil dulu kami tergolong yang paling dekat di banding dengan yang lainya, dan tak jarang Mas Hafidz akan ikut pulang ke rumah ku, agar aku tidak meninggalkanya saat dia sedang datang kemari.
"Ayo masuk.." kata kata Bunda Ikah menyadarkan dari lamunan ku, dengan senyum tipis aku ikut masuk dengan membawa masuk serta tas baju milik Ning Afiqah, aku hanya menjadi penonton di tengah banjir kerinduan di antara saudara yang selama setahun itu tidak bertemu, dan seolah melupakan keberadaan ku di antara mereka, sebenarnya aku juga rindu, sebenarnya aku juga ingin ikut mengobrol bersama mereka namun aku lebih baik memilih diam karna aku hanya sebuah bayangan bagi mereka, setelah cukup lama aku disana menjadi pendengar serta ikut meraimakan obrolan mereka dengan tawaku, aku mulai beranjak dari tempat itu saat semua sudah mengeluarkan benda ajaib dari kantong masing masing,karna pada saat mereka asik dengan dunia mereka maka tidak akan ada tempat bagiku disana, karna aku tidak memiliki benda yang sama seperti yang mereka miliki dan disinilah aku merasa seperti orang asing bagi teman teman kecil ku dulu, jangankan untuk memiliki benda seperti itu untuk membayangkan itu saja jelas aku tidak berani.
Setelah berpamitan dengan Bunda Ikah, aku melangkahkan kaki ku menuju pintu belakang tentu dengan mengendong tas ku, karna liburan kali ini aku akan fokus membantu Emak bekerja, melihat kesehatan Emak yang tidak begitu baik saat setengah bulan lalu aku pulang sedikit banyak membuatku berfikir jika harus tetap disini tanpa membantu tangan renta itu mencari rezeki buat kami, hal yang sangat aku takuti jika harus membayangkan adalah saat Emak harus pergi meninggalkan aku disaat aku belum bisa membuatnya bahagia. Tidak akan ada yang tahu memang batas usia dari manusia karna tidak juga yang datang dulu akan pergi lebih dulu, karna semua itu adalah ketetapan dariNYA, namun harapanku saat itu datang kepada kami mudah mudahan dalam kondisi yang Husnul Khotimah, dan membawa Islam serta Iman kami sebagai tebusan atas pertanggung jawaban kami disana.
"Mbak Zill, Mbak Zilla.." panggil sebuah suara berat dari belakangku dan itu membuat langkahku langsung terhenti dibuatnya, kuputar badanku dan dapat kulihat sosok rupawan Mas Hafidz tengah berdiri di depanku dengan sebuah bungkusan kecil di tanganya..
"Ini untuk sampaean mbak Zill, mudah mudahan suka.." katanya dengan menyodorkan bungkusan kecil itu kearahku tanpa berani menatapku, sungguh sikap yang sangat manis sekali..
"Apa ini Mas Hafidz.." kataku sembari menerima bungkusan itu..
"Hanya hadiah kecil, untuk teman ku.." jawabnya namun dengan mengangkat sedikit kepalanya dan pandangan kami bertemu kembali, kerinduan akan senyumanya terobati karna saat itu senyuman mengembang dari bibir kami berdua..
"Dhemmmm...." sebuah deheman keras membuat kami sontak langsung membuang pandangan ke asal suara tersebut, dan dengan santainya dia langsung melanglah kearah kami sembari berucap..
"Dasar Keling, minggir, kayak enggak ada tempat buat pacaran, apa mau ku laporkan sama keamanan biar sekalian di hukum, tapi sayangnya aku bukan orang yang suka ngadu kayak kamu" katanya sembari membuka pintu di sampingku lalu melangkah pergi begitu saja. Apa dia bilang, seenaknya sendiri bilang kalau kami pacaran, dasar enggak sopan banget batin ku ngedumel sendiri.
"Maaf Mas Hafidz, dia baru satu tahun disini jadi tidak tau sampean.." ucapku karna merasa tidak enak dengan ucapan Kang Anoman itu.
"Tidak apa apa mbak Zill.."
"Trimakasih hadiahnya Mas, saya permisi dulu, Assalamu'alaikum.." ucapku
"Wa'alaikumussalam.." jawabnya dan dengan jawaban salamnya kami saling berbalik dari tempat kami dan melangkah pergi meninggalkan tempat itu, belum jauh langkah ku meninggalkan benteng tinggi menjulang itu ketika dengan tiba tiba sebuah suara mengagetkan aku dari belakang, dan membuat semua barang yang aku pegang terjun bebas ke tanah, di sertai dengan bunyi gedubrak dari tubuhku yang ikut jatuh tersungkur ke tanah karna tersandung oleh batu di depanku, tawa terbahak bahak langsung terdengar jelas di telingaku tak perlu aku menoleh ke arahnya, aku sudah tau dengan jelas siapa pemilik suara jelek yang senang sekali mengusili ku setahun belakangan ini,
"Anomannnnnn....." triak ku tanpa menoleh atau berdiri dari tempatku jatuh aku sudah lebih dulu berteriak memanggil nama orang yang super ngeselin dalam hidup ku setahun belakangan ini,...
####
mau tau keseruan berantemnya Zilla dan kang Huda alias Anoman,.. lanjut di part berikutnya..
salam sayang selalu dari Emak..
Love Love Love...
💖💖💖💖💖💖
By: Ariz kopi
@maydina862
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!