Adzan berkumandang menyeru umat muslim untuk segera menunaikan sholat subuhnya, beberapa orang mulai berjalan menuju masjid terdekat dari rumahnya. Sementara di tempat lain seorang perempuan menyapu pelan lengan atasnya yang terbuka, angin dingin terasa begitu menusuk kulitnya. "Tasya sekarang giliran kamu tampil ke depan," teriak salah seorang wanita memanggilnya dengan cukup kencang. Tanpa menjawab panggilan wanita itu, Tasya pun langsung ke atas panggung dan bersiap menari di hadapan banyak orang, terdengar cukup mencengangkan, tapi di sinilah Tasya tumbuh besar, pekerjaan yang satu-satunya ia miliki.
Tanpa Tasya sadari, seorang pria tampan memperhatikannya dari kejauhan, ia mendekatkan diri pada seorang wanita dan sedikit berbisik. "Mam, aku mau anakmu temani aku hari ini, apa bisa sekarang juga dikirim ke kamarku?" bisik pria itu, ia adalah Galih, pengusaha muda yang cukup sukses dan tentunya menjadi incaran para wanita.
Dengan wajah ketus wanita yang di panggil Mam itu langsung menggelengkan kepalanya. "Aku nggak kasih izin anakku untuk menemanimu ya, dia juga pasti nggak mau buat hal kayak gitu," jawabnya dengan tegas, ia adalah ibu kandung Tasya yang mendapatkan panggilan 'Mami' dari para konsumennya.
"Ayo dong Mam, aku mau dia buat malam ini, masalah harga berapa kali lipat pun bisa diatur," nada bicaranya pun kini sedikit terdengar memaksa, seakan apa yang ia inginkan harus terlaksana sekarang juga.
"Berani bayar berapa kamu maksa anak Mami untuk tidur dengan kamu? Sekali enggak, enggak ya, Tasya cuma penari di sini, lagian banyak juga kok anak-anak Mami yang lain, mau?" tawar Mami tak begitu bersemangat, ia selalu malas jika sudah ada pria yang melirik anak kandungnya. Galih yang merasa kecewa karena permintaannya tak diindahkan hanya mendengus kesal, ia langsung berdiri dari duduknya dan meninggalkan Mami yang selalu di dampingi bodyguard kesayangannya.
Waktu berlalu dengan cepat, Tasya terlihat sudah menghentikan tariannya dan turun, melihat itu Mami dengan cepat menghampiri Tasya dan mengusap rambut panjang anak satu-satunya itu dengan lembut. "Sayang, hari ini kayaknya banyak pelanggan yang suka sama tarian kamu, nggak sia-sia Mami naikin budget perawatan tubuh buat kamu, nanti kalo kamu mau—" ucapan Mami terhenti saat tangan Tasya menyapu pelan rambutnya yang sedang di sentuh Mami, wajah perempuan itu tampak tak senang dengan pujian yang berikan Mami.
"Aku cape Mam, jam 3 masih harus tari lagi, aku istirahat dulu ya," jawabnya dengan tak bersemangat.
Mami yang mengerti suasana hati anaknya sedang tidak baik-baik saja hanya tersenyum kecil, ia melirik ke arah Galih yang rupanya sedang duduk di depan seorang Bartender yang tengah meracik. "Kamu mau kerja yang nggak cape? ini cuma sebentar sayang, cuma temenin laki-laki itu, dia pengusaha ternama, dia berani bayar berapa pun asal kamu mau temenin dia malam ini," bisik Mami sambil memberikan kode menggunakan matanya pada Galih. "Mami janji nggak akan ngelarang lagi kamu buat libur tari, kamu mau apapun Mami turuti."
Seperti yang sudah di duga sebelumnya, mata Tasya mulai mendelik, tatapan tajam kini ditampilkan Tasya seperti biasanya. "Mami! Aku nggak mau ya bahas masalah ini lagi, ini udah ngelanggar batas perjanjian yang udah kita buat!" jawab Tasya memperingati, terlihat jelas jika ia kini sedang marah besar atas bujukan Mama nya sendiri.
***
Selesai bekerja, Tasya tak langsung pulang menuju rumahnya, ia menghentikan mobilnya di depan sebuah pedagang kaki lima yang menyediakan meja untuk makan di tempat, rasa lapar yang tiba-tiba saja terasa membuatnya langsung turun dari mobil dan memesan seporsi makanan.
Ketika sedang menunggu, Tasya memperhatikan jalanan yang tidak terlalu sepi di waktu subuh, beberapa orang terlihat berjalan menuju sebuah masjid yang lokasinya cukup dekat dengan tempat di mana Tasya sedang duduk. Perlahan Tasya menarik nafasnya dalam, orang-orang tampak ramai memasuki masjid dan hal itu tentu saja membuat hati kecil Tasya sedikit terusik, ia pun muslim, tapi mengapa ia tidak pernah menginjakkan kakinya di masjid? bagaimana rasanya beribadah bersama-sama seperti itu di saat dirinya tak pernah sedikit pun diajarkan oleh Mami-nya sendiri, adapun ceramah yang tak sengaja ia dengar melalui televisi selalu di matikan oleh Mami.
"Sekelam apapun masa lalu kita, selagi kita masih bernyawa, kita tetap berpeluang menjadi ahli surga. Jangan pernah berputus asa untuk berubah dan mencari ampunan dari Allah Yang Maha Esa." Kata-kata itu tak sengaja Tasya dengar dari seorang pria yang lewat di depannya, ia cukup muda dan sepertinya seumuran dengan Tasya, pemuda itu memiliki senyum yang indah, suara lembut dan tampak kasih sayang yang berlimpah dalam dirinya, terlihat dari beberapa remaja laki-laki yang mengelilinginya sambil mengajukan banyak pertanyaan seraya berjalan menuju masjid.
***
Guys semoga kalian suka ya, cocok juga dibaca buat nemenin puasa kalian nanti😍 Btw cerita ini terinspirasi dari film drama Malaysia yang keren banget😭
Keesokan harinya, Tasya kembali datang ke tempat makan di dekat masjid, hanya saja kali ini ia datang tidak terlalu subuh, pukul 7 pagi. "Bu, mau pesen gudeg satu sama teh anget manis satu ya," ucap Tasya sambil duduk dan mengeluarkan ponselnya.
Tak berapa lama Ibu penjual pun mengantarkan pesanan Tasya dengan senyuman ramah. "Ini ya Mbak makanan sama minumannya," jawab Ibu tersebut dan kembali mengerjakan pesanan beberapa orang yang tengah mengantri.
Senyum Tasya sedikit mengembang saat mencium aroma masakan yang begitu menggoda perutnya, ia mengambil sendok dan saat Tasya akan menyuapkan makanannya sebuah suara berhasil menghentikan aksi Tasya, suara yang sepertinya pernah Tasya dengar dan membuat pandangannya melirik sedikit kearah sumber suara.
"Assalamualaikum Bu, saya pesen yang seperti biasa ya," ucapnya dengan ramah, senyuman yang membingkai indah pada wajah tampan itu mungkin membuat semua orang langsung merasa sejuk. Dia adalah seorang laki-laki yang dikenal rendah hati, baik, ustadz muda, tampan, mapan dan tentunya berasal dari keluarga terhormat yang kental dalam agama. Dia adalah Azam, seorang laki-laki yang tak pernah lelah mengisi ceramah pagi dan disinilah tempat makan kesukaannya.
"Waalaikumsalam, eh ustadz Azam, boleh, silahkan duduk dulu," sahut sang penjual dengan sangat ramah.
Laki-laki bernama Azam pun mengangguk dengan pelan. "Baik Bu, terima kasih ya," ucapnya dengan lembut.
Ketika Azam berjalan mencari bangku yang kosong, tanpa sadar matanya menatap seorang perempuan yang terlebih dahulu sedang memperhatikannya, perempuan itu langsung memalingkan wajahnya dan menyuapkan nasi ke dalam mulut. Azam yang sedikit terpana pada kecantikan perempuan itu langsung menunduk pelan, kembali melanjutkan jalannya duduk di bangku tepat di belakang perempuan tadi. 'Astagfirullah, kenapa aku malah terus terbayang perempuan tadi.' Azam bergumam di dalam hatinya, ia tidak biasanya seperti ini, namun Azam dengan cepat menghilangkan pikiran tersebut, ia kembali fokus pada rencana kegiatan untuk bulan puasa nanti.
Sedangkan Tasya, dalam pikirannya dia sudah mulai ingat akan laki-laki bernama Azam tadi, dia adalah orang yang kemarin subuh Tasya dengar kata-katanya, kata-kata yang membuat Tasya langsung berpikir jauh akan agama dan kehidupannya. Tasya berharap ada seseorang yang baik hati dan tulus mau melepaskan Tasya dari kehidupan yang gelap ini, memberikan Tasya ketenangan dan mendapatkan cahaya baru untuk Tasya tetap semangat dalam menjalani hidup, ia sudah muak dengan tarian dan tatapan mata pria di dalam club, tangan-tangan nakal yang selalu saja ada yang berani menyentuhnya tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu. "Aduh, kenapa ngehayal yang nggak mungkin sih!" desis Tasya sambil memukul kepalanya pelan, ia melihat jam di ponselnya dan kembali melanjutkan sarapannya. "Mending aku buru-buru makan, Mami bisa marah kalo keluar rumah lama-lama," gumam Tasya pelan.
Tanpa disadari Tasya, Azam yang duduk dibelakang Tasya pun memperhatikan gerak-gerik Tasya yang tampak berbincang sendiri dan entah mengapa senyuman Azam mengembang karena melihat hal itu. "Permisi Ustadz, ini Gudeg Ayamnya." Suara itu membuat fokus Azam teralihkan, ia mulai makan dengan tenang dan saat beberapa suapan masuk Azam melihat perempuan di depannya berdiri hendak membayar.
Kening Azam sedikit berkerut samar saat melihat perempuan itu tampak kebingungan, dia terlihat beberapa kali mengobrak-abrik tas kecilnya. "Nggak ada EDC atau scan ya Bu? Atau transfer bisa?"
Seketika Azam berdiri dari duduknya, ia berjalan mendekati perempuan itu dan tersenyum pada Ibu penjual. "Biar saya yang bayar Bu, nanti gabung ke Bill ya," ucap Azam.
"Eh, nggak usah, transfer bisa kan Bu?" tanya Tasya yang terkejut karena Azam tiba-tiba membantunya.
"Aduh, anak ibu yang punya kartu debit, tapi ibu nggak tahu nomor rekeningnya Mbak," jawab ibu itu dengan nada tak enak.
"Udah nggak apa-apa Bu, biar saya aja, nanti di total ya."
Saat Azam hendak pergi kembali duduk di bangkunya, Tasya memanggil Azam dengan cepat. "Ustadz nggak usah, biar aku cari ATM di deket sini, sebentar ya Bu," ucap Tasya yang hendak bergegas pergi, namun Azam kembali menoleh.
"Nggak apa-apa, kamu bisa bayar kapan saja kalo kamu mau, lagi buru-buru kan?" tanya Azam.
Tasya yang terlanjur tak enak karena sudah membuat ibu penjual menunggu keputusan akhirnya menganggukkan kepalanya. "Kalau gitu besok aku bayar ya, di tempat ini dan di waktu yang sama juga, gimana?" Tanya Tasya.
Azam mengangguk sambil tersenyum lembut. "Boleh, besok kita ketemu lagi di sini," jawab Azam dengan sopan.
Masih merasa bingung dengan kebaikan Azam, Tasya pun memberanikan diri untuk bertanya. "Kita nggak saling kenal, kenapa kamu tolong aku? Apa kamu percaya sama orang yang belum kamu kenal?" Tanya Tasya sedikit ragu.
"Belum kenal ataupun sudah kenal, jika saya bisa menolong pasti akan saya tolong, terlepas orang itu jujur atau tidak, itu kembali pada dirinya," jelas Azam dengan lembut.
Tasya pun mengangguk pelan, senyumnya dengan perlahan mengembang. "Kalau begitu makasih ya, semoga besok aku nggak ada halangan untuk ke sini," jawab Tasya seraya pamit lalu keluar dari warung makan tersebut.
Selama di perjalanan pulang, Tasya terus saja membayangkan sosok Azam, pria itu benar-benar lembut dan baik hati seperti dengan apa yang dia bayangkan pada awalnya. "Laki-laki idaman, ya Allah aku mau laki-laki seperti itu buat jadi imam di hidupku," gumam Tasya pelan tanpa sadar.
Namun beberapa saat kemudian, Tasya menghembuskan nafasnya pelan, rasa tak bersemangat mulai kembali dia rasakan. "Aduh! Apaan sih Tasya, kalau mikir jangan kejauhan, kamu ini cuma perempuan yang lahir untuk dunia malam, mana ada laki-laki sesempurna tadi yang mau jadiin kamu sebagai istrinya," gerutu Tasya yang mulai sadar dengan khayalannya sendiri.
Sesampainya di rumah, Tasya memarkirkan mobil dan turun, saat kakinya baru saja menginjak lantai rumah, Mami terlihat keluar dari dalam rumah dengan tatapan yang sinis. "Dari mana aja kamu jam segini baru pulang? Udah Mami peringati ya setiap pulang dari Bar langsung ke rumah, jangan keluyuran nggak jelas," ucap Mami dengan nada tak suka.
"Aku abis cari sarapan Mam, di deket—"
"Aduh Tasya, tolong ya jangan sembunyiin apapun dari Mami, kamu pikir Mami bisa dibodohi? Di rumah ini ada sarapan buat kita semua, mau apa cari sarapan di luar? Sekali lagi kamu bohong, Mami usir kamu dari rumah!" pekik Mami dengan jari telunjuk yang diarahkan pada wajah Tasya.
Tasya hanya bisa menghembuskan nafasnya pelan, ia sudah bosan dengan makanan diet di rumah ini, menjaga bentuk tubuh yang ideal agar bisa menarik perhatian setiap pengunjung bar membuat Tasya muak, apalagi para perempuan yang bekerja dengan Mami membuatnya sakit mata, rumah ini dipenuhi oleh orang-orang yang tak Tasya kenali. "Mana berani Tasya bohongi Mami, tadi Tasya beneran cuma sarapan."
Mami menatap Tasya dengan penuh selidik, ia berdecak pelan lalu mengibaskan tangannya ke arah belakang. "Pergi sana istirahat, lain kali jangan pake mobil sesuka kamu lagi."
Mami Tasya sebenarnya adalah seorang ibu yang baik, akan tetapi hidupnya berubah drastis saat mengalami kekecewaan yang begitu besar di masa lalu, ia di khianati oleh mantan suaminya sendiri. Mami sudah berkorban banyak untuk mempertahankan rumah tangganya, tetapi faktor ekonomi membuat suaminya lebih memilih pergi dan hidup bahagia bersama perempuan yang lebih kaya pilihan orangtuanya. Saat itu Mami harus seorang diri merawat kehamilannya yang menginjak usia 8 bulan, kehidupan keras membuatnya bertekad jika uang dapat mengubah semuanya, hingga seorang teman Mami mengulurkan tangannya dan meminta Mami untuk melanjutkan pekerjaan gelap di sebuah Bar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!