NovelToon NovelToon

Menantu Sempurna

Bertemu

Jakarta, Kamis malam, September 2016, pukul 08.40 waktu setempat.

Panasnya udara Jakarta meskipun malam, membuat pemuda berwajah oriental itu gemar mengenakan kaos kutung yang sedikit gombrang. Celana jeans sobek-sobek menampilkan pribadi berandal, namun tetap ganteng berkarisma walaupun belepotan oli. Rambut gondrongnya acapkali diikatnya bergaya hun.

Kantong plastik berisi satu bungkus nasi padang, terayun-ayun di kiri tangan Samudra. Satu bungkus nasi untuk dirinya sendiri. Mada mengabari melalui pesan chat, tidak akan pulang ke bengkel malam ini atau mungkin lebih, karena suatu urusan yang katanya darurat sistem. Samudra malas bertanya lebih jauh. Biarkan saja seenak jidat kelakuannya si tengil itu.

Letak bengkel masih sekitar lima puluh meter dari jaraknya berjalan saat ini. Suasana mendadak sepi di sekitaran. Mentang-mentang ada konser gratis tanpa karcis sebuah band kenamaan di lapangan ujung, membuat semua orang tumpah ruah ke acara itu. Sayangnya Samudra tak tertarik ikut berdesakan demi wajah orang terkenal. Terlalu membuang waktu--pikirnya realistis.

“Nggak! Nggak mau! Jangan paksa aku!”

Teriakan itu samar tertangkap telinga Samudra. Langkah dihentikannya. Sepasang alis tegas saling bertemu membentuk kernyitan dalam. “Suara siapa tuh?” gumamnya bertanya--tak pada siapa pun. Dipasangnya telinga lebih menajam untuk memastikan bahwa ia tak salah dengar.

“Tolong! Aku gak mau ikut! Toloooong!”

Benar! Telinganya masih berfungsi dengan sangat baik--Samudra tidak congèan.

Gegas berlari setelah bisa memastikan arah teriakan yang ditangkapnya. Ternyata itu dari belakang bangunan kecil yang mengarah ke bagian palang pintu kereta api--warung rokok langganan Samudra--Tongkrongan si Kamprut, begitu namanya.

“Woooyy!! Ngapain lu?!” teriak lelaki muda itu seraya mengacungkan jari telunjuknya ke depan, di mana dua orang sedang melakukan tarik menarik antar lengan.

“Tolongin aku!”

Wujudnya jelas seorang gadis. Kakinya terseok maju dan mundur, berusaha melepas diri ingin berlari. Dia kembali berteriak meminta pertolongan menoleh ke arah Samudra. “Aku gak mau ikut dia!” Gadis itu terus meronta. Seorang pria terus saja menariknya masuk ke dalam mobil berjenis sedan.

Respon cepat Samudra, “Lepasin, Anjim!” Dia mendekat berjalan cepat. “Gua patahin tangan lu, mau?!” ancamnya mendadak sok jagoan.

“Apaan lu ikut campur?!” Pria berhidung pesek pemilik sedan menghardik Samudra seraya melepas kasar tarikan tangan wanita muda yang ia cekal. Wajah jeleknya terangkat angkuh menantang Samudra yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya. Sementara sang gadis beringsut takut menghampiri sebuah tiang listrik--berlindung di sana dengan gemetar.

BUG!

Hanya satu bogeman mentah kepalan tangan Samudra di rahangnya, pria pesek itu sudah tersungkur dengan hidung menciprat darah. “Sialan! Muka gua!” pekiknya seraya memegangi wajahnya yang dipastikan lebam membiru sebentar lagi. “Awas lu, ya!” Dia mengancam balik sembari merangkak mundur.

Samudra bergerak dengan tangan masih terkepal, seolah akan menghajar lagi.

“Ampun, ampun! Gua pergi!” Si pesek ketakutan, terbirit-birit masuk ke dalam mobilnya, lalu melaju secepat angin.

“Pengecut lu, Jelek!” olok Samudra terkekeh-kekeh.

Setelah sedan itu benar-benar menghilang di kegelapan dan suasana kembali hening, Samudra berbalik badan untuk melihat keadaan gadis yang tadi diselamatkan. “Kamu gak apa-apa, 'kan?”

Gadis itu mendekat dengan kaki masih gemetar dan kedua tangan saling tertaut di depan perut. “Aku baik-baik aja. Makasih,” ucap pelannya sekilas mengangkat wajah melihat Samudra, lalu kembali tertunduk. Masih ketakutan rupanya.

“Sama-sama,” balas Samudra, lalu bertanya lagi, “Kamu dari mana? Ngapain di sekitar sini malem-malem?”

Suara lembut Samudra sepertinya cukup nyaman terdengar. Gadis itu menjawab dengan lancar “Aku lagi cari rumah temanku. Tapi gak ketemu dan malah nyasar ke sini.”

Kening Samudra berkerut lagi. “Trus cowok jelek tadi?” Seraya menyapu tampilan si gadis dari atas sampai ke bawah. “Gak keliatan kèk ulet keket.” Hatinya memberi nilai.

“Aku gak kenal! Dia tiba-tiba narik-narik aku buat ikut sama dia,” aku gadis itu.

Samudra mengangguk paham setelah berhasil mencerna. “Pasti ni cewek dikira terong-terongan gegara jalan sendiri. Di sini 'kan tempat biasa mangkal para belatung ugal-ugalan.”

Rumah Bengkel

“Duduklah,” kata Samudra seraya menaruh bungkusan nasi padangnya di atas meja.

Gadis yang beberapa saat lalu diselamatkannya dari pria hidung belang itu masih berputar-putar--mengamati sekitar kediamannya.

“Kamu kerja di sini?” tanya gadis itu, sekedar berbasa-basi. Ia mendudukkan diri pada sebuah kursi bersekat meja bundar di tengah-tengah yang menghalangi satu kursi lain di seberangnya.

Dengan satu gelas air di tangan, Samudra menjawab, “Bukan cuma kerja, tapi juga tinggal.” Lantas diberikannya gelas itu pada si gadis yang belum ia ketahui namanya, karena belum ada perkenalan antar keduanya secara khusus.

Gelas air putih sudah berpindah tangan. Kernyitan di dahi si gadis cukup kental menyikapi jawaban Samudra yang kini telah duduk berhadap-hadapan. “Tinggal di sini?” ulangnya terheran. “Di dalam bengkel?” sambung hatinya merenyih.

“Hmm," jawab singkat Samudra seraya membuka bungkusan nasi di atas meja. “Ayo makan," ia mengajak. “Tapi maaf, cuma ada satu bungkus aja.”

Gadis itu mengerjap lalu menggeleng. “Nggak. Kamu aja.”

“Yakin?” tanya Samudra memastikan seraya menatapnya. Gadis itu mengangguk cepat.

Aroma nasi padang berkuah gudeg dengan udang balado sebagai lauk, menyeruak ke penciuman, membuat Samudra tak tahan untuk segera melahapnya dengan semangat, tak peduli jadi tontonan satu pasang mata di depannya. “Ya udah, kalo gitu aku makan dulu.”

Seraya memegang gelas dengan dua telapak tangannya di depan dada, gadis itu menatap lekat Samudra yang sibuk dengan suap demi suap nasi ke mulutnya. Berdesir hatinya melihat pemandangan yang jujur saja ... itu pertama kalinya dia melihat. Entah apa alasannya.

 

Sepuluh menit kemudian ....

“Kamu mau pulang, biar kuanter?" tawar Samudra usai membereskan bekas makannya.

Gadis itu malah tergagap. “Ng-nggak! Rumahku jauh! Ja-jadi ... boleh gak, aku tidur di tempat kamu ini? Satu malem ini aja?” Kata ‘ini’ dia ucapkan panjang. Memohon dengan tangan terkatup rapat di depan wajah. “Besok pagi aku janji bakal pergi buat cari alamat temenku lagi!”

Sejenak Samudra menelisik. Dari penampilannya, gadis itu sangat amat sederhana. Setelan kemeja biru dipadu jeans longgar membalut tubuh yang sebenarnya cukup menarik dan cukup tinggi untuk kategori wanita Jakarta pada umumnya. Rambutnya berponi, dikuncir habis asal-asalan.

“Kamu kok ... liatinnya gitu?” tanya gadis itu, melihat Samudra yang tiba-tiba diam dengan tangan bersedekap penuh penilaian. Beringsut tubuhnya karena tak nyaman, juga ... sedikit takut!

Samudra mengerjap ringan. Satu tangannya pindah ke pinggang, dan lainnya menggaruk tengkuk yang mungkin saja tiba-tiba terasa gatal. “Ng-nggak! Gak kenapa-napa.” Kemudian kembali memasang sikap seperti biasa. “Emangnya kamu gak takut tidur di sini?”

“Kenapa takut?” Gadis itu balik bertanya dengan polosnya.

Samudra semakin bingung mengambil sikap.

“Ni cewek beggo atau gimana, sih? Kagak takut apa gua apa-apain? Mukanya 'kan lumayan cakep.” Ia tak habis pikir.

“Nggak! Di sini kadang ada suara-suara aneh aja kalo malem!” Pada akhirnya kelakar itu yang terlontar.

Lain dari perkiraan, gadis itu justru terlonjak bangkit lalu melanting memeluk lengan Samudra dengan raut takut. “Serius kamu? Tempat ini ada hantunya?!”

Kali ini Samudra berhasil dibuat terkekeh.

“Aku hantunya!” Seraya memoles singkat dahi berponi milik si gadis.

*

*

Pagi harinya.

Sepasang mata mengerjap-ngerjap, saat cahaya matahari di balik kaca tanpa gorden menembus wajahnya yang masih kusut.

Bangkit dengan satu telapak tangan bertumpu pada kasur, lalu menyeimbangkan tegak tubuhnya untuk duduk.

Cukup terkejut dan tersentak, ketika seorang pria didapatinya terlonjor tidur nyenyak di atas sebuah sofa tak jauh dari kasur single yang ditempatinya saat ini.

“Tuhaaaan. Gimana bisa aku tidur di tempat laki-laki yang bahkan gak aku kenal,” gumamnya seraya mengusap wajah. “Mati aku kalau sampe Papa tau!” Kemudian ditatapnya wajah yang terlelap di atas sofa, terpaku, lalu semakin lama semakin intens.

Jika dilihat-lihat dengan seksama, lelaki itu cukup tampan, ia mulai menilai dalam hatinya.

“Ngggg...?” Menelisik lebih dalam bahkan kepalanya sampai dimiringkan.

Ah, ralat! Bukan cukup tampan, tapi ... sangat tampan, bahkan nyaris sempurna.

Sepasang mata berbingkai bulu-bulu lentik, alis hitam lebat memayung tegas, hidung mancung mencuat lurus, bibir merah tak tebal tak juga tipis seakan melambai minta dikecup. Tanpa sadar bibir gadis itu berdenyut-denyut. Membayangkan bagaimana jika bibirnya dan bibir manis pria itu benar-benar bersentuhan.

“Oh, my God!” Ia tersenyum-senyum kegelian sendiri seraya menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

Di tengah-tengah fantasi konyol di pagi hari, tiba-tiba laki-laki di atas sofa yang menjadi objek pikirannya membuka mata. Membuat gadis itu sontak gelagapan--membuang pandang cepat-cepat 'tak ingin ketahuan. “Mati aku!” decit hatinya. Menepuk pelan jidat dengan wajah meringis, sadar akan kekonyolannya sendiri.

“Hey, kamu kenapa?” Samudra--dia bertanya seraya mengangkat tubuhnya untuk duduk. Mengucek mata yang masih membayang khas bangun tidur.

“Ah, aku gak apa-apa!” kilah gadis itu. “Cuma kebelet. Mau tanya kamu di mana toiletnya, tapi gak berani bangunin.”

“Oh,” respon Samudra. “Dari pintu itu, kamu belok kanan. Dari sana ada keliatan pintu warna biru paling pojok. Nah, itu kamar mandinya.” Ia menjelaskan dengan suara serak diiring gerakan tangan.

Gadis itu mengangguk paham, lalu bergegas bangkit dan keluar.

Samudra ikut bangun. Segelas air yang ditampungnya dari dispenser, lalu diteguknya.

Sementara di kamar mandi, si gadis itu menatap sekeliling dengan senyuman, mulai dari lorong yang tadi ia lewati hingga berakhir di depan cermin dalam ruangan.

Lelaki itu memang terlihat urakan, tapi semua yang ada di bangunan rumah bengkel ini, nampak rapi juga mengkilat. Cukup kritis soal kebersihan, dia lagi-lagi bertingkah seperti juri, sok-sok'an memberi nilai.

“Huhhfftt!” Ia menepis pikirannya yang mulai menjalar ngalor dan ngidul. “Mending aku mandi,” putusnya kemudian.

Beberapa saat setelahnya, dia keluar dengan keadaan tubuh yang sudah segar dibalut pakaian yang sama. Kembali masuk ke dalam rumah yang juga satu bagian dengan bengkel di depan sana.

Di ambang pintu, gadis itu kembali terdiam. Kamar sudah dalam keadaan rapi.

“Mau sarapan?” Samudra tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya dengan satu piring berisi macam-macam gorengan.

“Ah, iya. Makasih.” Lagi-lagi gadis itu salah tingkah.

“Ayo!” Samudra mengisyaratkan dengan kepala--mengajak gadis itu ke meja makan yang hanya terdiri dari dua kursi saja.

Di atas meja sudah tersaji dua gelas teh dengan asap masih mengepul.

Samudra mulai melahap makannya tanpa beban. Tanpa sadar, sikap cueknya itu lagi-lagi mencuri perhatian si gadis yang duduk kaku di hadapannya.

“Abis sarapan, aku mandi dulu. Baru kuanterin kamu keliling cari alamat.”

Ocehan Samudra ditanggap tergagap lagi-lagi, ”Oh, a-anterin?!”

Bantu Mencari

“Aku ... panggil aja aku Glo!”

Samudra menyikapi jawaban pertanyaannya itu dengan anggukan kecil. “Ou, oke, Glo. Dan kamu, boleh panggil aku ... Sam.”

Gadis yang mengaku bernama Glo itu balas tersenyum. “Sam. Oke.” Mengacungkan jempolnya ke depan wajah.

Tak banyak percakapan setelah itu. Sepasang ban motor cruiser milik Samudra sudah menggelinding menggerus jalan.

Orang-orang sekitar tongkrongan yang dilewati Samudra, bersorak-sorak melihatnya membonceng seorang gadis--gadis lain lagi maksudnya. Samudra bukan bujangan jomblo, dia memiliki kekasih yang cukup cantik. Dan pemandangan yang hadir hari ini, menambah asumsi para tetangganya, bahwa dia bukanlah seorang goodboy.

'Kan tamvan! Sayang kalo gak manfaat!

Demikian hanya ditanggapi senyuman ringan Samudra seraya mengacungkan jempol ke arah orang-orang, atau lebih tepatnya; sedikit pamer dan mengolok kejombloan mereka.

Glo nampak malu-malu di balik punggung berjaket army yang Sam kenakan. Tersipu membuang wajah cukup tak nyaman.

Samudra memutuskan mengantar Glo berkeliling mencari alamat rumah temannya yang dimaksud, menutup sejenak usahanya tanpa beban. Tugas lelaki itu cukup menumpuk sebenarnya. Terlihat dari beberapa motor servisan yang teronggok dengan organ berantakan di dalam bengkel, tercampak begitu saja demi menolong seorang gadis antah berantah.

Usaha pencarian cukup menemui kesulitan, karena nomor teman yang dimaksud Glo masih belum juga bisa dihubungi dari kemarin. Sayangnya hanya nama wilayah yang diketahui Glo, tanpa diberi nama alamatnya secara detail.

Puluhan orang sudah ditanyai, bahkan hingga anak-anak dan manula. Tak satu pun tahu nama orang yang disebutkan Glo.

Alhasil mereka hanya muter-muter gak jelas ngabisin bensin.

“Kita berenti dulu, deh. Aku pengen ngopi,” kata Samudra. Glo mengiyakan dengan suara kecil.

Tak nyaman membuat susah orang, wajah Glo jelas kentara merasa bersalah. Ia menunduk memainkan jari-jarinya yang berkeringat. Cruise Samudra mulai melaju perlahan lalu berhenti tepat di depan sebuah gerai kopi tradisional di pinggir jalan, berseberangan dengan sebuah resort besar milik sebuah keluarga ternama di Jakarta.

Glo turun lebih dulu, ada raut aneh ditunjukkan wajahnya, namun tak disadari Samudra. Pemuda itu menyusul setelah motornya terparkir baik.

“Kopi hitam jangan terlalu manis, Pak.” Samudra mulai memesan. “Glo, kamu mau minum apa?”

“Aku air mineral aja!” Satu botol ukuran sedang yang tertata di atas meja diambil Glo.

Sam hanya mengangguk lalu duduk berdampingan dengan gadis itu di sebuah bangku panjang di depan gerai.

“Silakan kopinya, Bang.”

Si bapak pemilik gerai menyodorkan pesanan Samudra yang lantas diterima pemuda itu dengan senyuman.

“Terima kasih, Pak.” Kopi panas diseruputnya pelan penuh penghayatan.

Glo, usai meneguk minumnya, ponsel di tangan dimainkan berputar-putar. Wajahnya menatap jalanan dengan raut masam.

Samudra yang paham ekspresi itu lantas bertanya, “Belum bisa dihubungi?”

Pandangan Glo tertarik kepadanya lalu menggeleng. “Belum.”

Satu telapak tangan Samudra naik menepuk pundak Glo yang terlihat mulai putus asa. “Sabar, ya.”

Dan ternyata hal sederhana itu berhasil membuat Glo sedikit tersetrum. Seulas senyum tersabit manis dengan anggukan. “Makasih.”

Samudra balas tersenyum, kemudian balik mengarah pada kopi yang baru disesapnya sedikit saja.

Namun baru gelas itu naik dan hendak menyentuh bibir, rengrengan mobil mewah juga beberapa motor melewati jalanan lebar di depan gerai mencuri perhatian pemuda itu.

Kepalanya meliuk mengikuti untaian mobil sama seperti Glo ataupun si bapak pemilik gerai dan lainnya yang kebetulan berada di sana.

Namun satu di antara mobil itu sepertinya sangat menarik perhatian Samudra. Ia bahkan beranjak dari duduknya untuk mengamati lebih dekat. Glo melihatnya dengan kening berkerut.

Bukan tanpa alasan. Mata Samudra menangkap sosok yang amat dia kenali, melalui kaca mobil bagian depan yang tak terlalu gelap.

“Lussi,” gumamnya. Alis tebal di atas mata saling bertemu dalam kerutan. “Masa iya dia, sih?” kicaunya tak cukup yakin. Gegas dirogohnya ponsel di saku celana, mencari satu nama kontak untuk kemudian ia hubungi.

Panggilan tersambung, namun belum ada jawaban. Samudra kembali mengulang mengetuk icon telepon berwarna hijau, seraya bolak-balik tatap ke arah gerbang tinggi resort. Pasalnya, mobil-mobil itu masuk ke dalam sana.

“Tumben gak diangkat,” celotehnya mulai gusar. Sepasang kakinya berjalan bolak-balik seraya terus memainkan ponsel.

Satu kontak lain dihubunginya, dan itu adalah Mada.

“Halo, Mad!”

Suara malas dan serak Mada di seberang telepon menandakan pemuda itu masih dalam mode ‘terpaksa sadarkan diri’. “Lu kemaren anterin Lussi sampe mana? Beneran nyampe bandara, 'pan?” cecar Samudra.

“Ampe depan pesawatnya malah!” sahut Mada sekenanya.

“Gua serius, Kampret!” Mata Samudra lagi-lagi menoleh ke arah resort.

“Gua juga serius,” hardik Mada tak mau kalah. “Elah! Kagak percayaan amat lu ama gua!” Suara lelaki itu menjelas. Segenap ruhnya mungkin sudah terkumpul.

“Lu tungguin dia ampe pesawatnya mau terbang?!” tanya Samudra lagi.

“Umm ... kagak sih, Sam.” Mada cengengesan. “Tar gua jatuh cinta sama pacar lu, kalo natap dia lama-lama ampe ngilang dibawa pesawat.” Terdengar cucuran air kran di dekatnya. Mungkin dia haus, atau mencuci muka.

Samudra mengerang kesal. “Setan satu ini!”

“Gua serius, Samudra!” semprot Mada. “Tu pacar lu gua anterin ampe duduk manis di korsi tunggu. Abis 'tu baru gua tinggal," jelasnya. “Lagi ngapa, sih, Sam?!”

“....” Samudra terdiam. Gerbang tinggi itu lagi-lagi dipandangnya dengan wajah keruh, sementara ponsel masih menempel di telinga. “Tapi mata gua gak mungkin salah,” gumamnya.

“Lu kata apa, Sam?!”

Pertanyaan Mada di seberang tak dihirau Samudra. Panggilan ditutupnya lalu memasukkan ponsel kembali ke dalam saku. Dihampirinya Glo yang masih tak paham dengan tingkahnya. “Kita pergi!" ajaknya pada gadis itu, lalu mengeluarkan dompet. “Kopi sama air mineralnya berapa, Pak?”

Si bapak gerai menyahut cepat, “Lima belas rebu aja, Bang!”

Pecahan tepat diberikan Samudra, lalu menarik tangan Glo untuk segera beranjak meninggalkan tempat tersebut.

Cruise kembali dipacunya dengan Glo yang sudah bertengger di jok belakang. Helm bahkan tak sempat mereka kenakan, saking tergesa kelakuan Samudra.

Wajah Glo meringis takut. Motor itu dipacu Samudra seperti turbo. “Hey, hati-hati!” teriaknya mengingatkan, namun tak digubris lelaki itu. Di depan sana--melewati penyekat jalan, Samudra memutar balik ke arah sebelumnya.

Ternyata gerbang tinggi resort tadi yang dituju lelaki itu. Motor dihentikannya dan parkir di sembarang tempat. Glo yang terkejut turun cepat-cepat.

Samudra sudah berjalan ke depan menghampiri seorang satpam. “Maaf, Pak, mau tanya.”

“Ya, Mas!” sahut satpam setengah baya terhalang jeruji gerbang.

“Di dalem ada acara apa, ya?” tanya Samudra. Glo sudah berdiri di sampingnya.

“Oh, itu!” Telunjuk satpam mengarah ke dalam. “Acara pertunangan, Mas.”

Samudra mengangguk tipis, kemudian bertanya lagi, “Kalau boleh tau, tunangan siapa ya, Pak? Soalnya tadi di salah satu mobil, saya kayak ada yang kenal.”

Kening Pak Satpam berkerut-kerut. Disapunya penampilan Samudra dari atas hingga ke bawah.

Menyadari dirinya sedang diamati, Samudra lantas berkata bernada jengah, “Tinggal dijawab aja, Pak!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!