"Mmmmmhhh!"
Terdengar suara jeritan seorang laki-laki yang tertahan akibat bibirnya dilumat dengan ganas oleh gadis di depannya.
Sebetulnya laki-laki itu bisa saja menghindar dari sang gadis dengan dress merah pendek itu dan pergi.
Ya... Jika saja tangan dan kakinya sedang tidak diikat di kursi.
Gadis itu melepaskan tautan bibirnya. Ia tersenyum puas sementara sang lelaki yang terlihat terengah-engah dengan keringat yang mengalir di dahi.
Gadis itu tersenyum miring, "Baru kali ini gue merasakan bibir cowok yang senikmat ini."
"L–lo gila! Lepasin gue, Kak!"
Ya. Mereka adalah sepasang kakak-beradik.
Sang gadis menghela napas lalu geleng-geleng kecil. Kakinya mulai melangkah memutari sang adik yang tengah duduk di kursi. Tangan nakalnya mulai meraba-raba pipi serta dada adiknya itu.
"Gue tanya sama lo. Kalau lo belum makan dua minggu, dan lo liat ada daging sapi di depan mata lo, apa yang akan lo lakuin?" tanya sang gadis.
Adik laki-lakinya berpikir sejenak, "E–entahlah. Makan daging itu?"
"Exactly. Gue pun sama. Ada makanan lezat di depan gue, masa gue nolak?" Gadis itu kembali menyunggingkan senyumnya.
Gadis itu memberikan tatapan lapar pada lelaki dengan kemeja putih yang seluruh kancingnya sudah terbuka menampilkan pemandangan yang amat sangat indah.
Dengan suara ketukan pelan dari heels hitam yang dipakainya, gadis itu melangkah semakin dekat pada sang adik tepat di depan wajahnya.
Bahkan hidung mereka nyaris–tidak. Sudah bersentuhan.
Jemari gadis itu mulai menjelajahi tubuh sang adik dan berhenti pada dada bidang lelaki itu. Senyuman miring lagi-lagi terbit di bibir sang gadis dengan mata yang tak teralihkan dari wajah lelaki dengan rambut kecokelatan itu.
"Jujur sama gue. Lo juga menikmati ini, kan?"
"Kak... Please... Lo–"
"Sshhh... Jangan berisik. Semakin lo banyak omong, semakin besar keinginan gue untuk menyantap lo."
Lelaki itu menelan ludahnya takut. Sementara sang gadis? Tak perlu ditanyakan lagi. Tangan gadis itu kini mulai meraba-raba perut atletis milik sang adik.
Keringat dingin dapat gadis itu rasakan kala ia menyentuh dan sesekali mencubit kecil perut adiknya itu. Alih-alih rasa jijik, justru hal itu yang semakin membuat sang gadis terangsang.
Jemarinya bergerak ke bawah dan semakin bawah. Sang gadis dapat melihat lelaki itu menutup matanya, dengan perut yang naik-turun dengan cepat akibat napasnya yang terengah-engah.
Gadis itu tersenyum. Sepertinya sang adik sudah tahu jari-jarinya akan berakhir di bagian mana.
Bawah dan semakin bawah, tangan gadis itu tak berhenti menjelajahi seluruh tubuh milik 'santapan' lezat di hadapannya ini hingga akhirnya....
...gadis itu terbangun.
Gadis dengan kaus hitam bergambar gitaris tengkorak itu mengucek matanya sembari membuang napasnya gusar.
"Sial."
Ia meregangkan tangan dan kepalanya sembari mengusap lalu melirik pada ponselnya dan terlihat angka '06:13' di sana.
Gawat. Ratu Keabadian yang biasa dipanggilnya 'Mami' pasti mengamuk.
"Zoya sayang...."
Mata gadis dengan nama Zoya itu membulat sempurna. Dugaannya ternyata benar. Suara mengerikan itu berhasil membuat bulu kuduknya merinding.
"Zoya... Mami masuk nih."
Jangan tertipu dengan suara lembut dan kata-kata halusnya. Karena sebagai bukti, tempo hari saja Zoya telat bangun dan menemukan koleksi jaket kulitnya sudah berada di tempat sampah dengan keadaan yang sudah tak tertolong.
Tidak. Jangan sampai itu terjadi lagi.
*Braakk!!!
Suara bantingan pintu itu terdengar jelas dan menampilkan sosok emak-emak berdaster merah muda dengan motif bunga-bunga kuning sedang tersenyum lebar.
Zoya baik-baik saja melihat itu, sampai ia menyadari bahwa sang mami tengah memegang erat sebuah pisau dapur di tangan kanannya.
Alice—maminya—berjalan mendekati sang putri, "Hai, cantik... Baru bangun? Mau sekolah, gak?"
"Emang kalo gak sekolah boleh?" tanya Zoya dungu.
Sementara Alice mengangguk-angguk kecil, "Boleh...."
Zoya lagi-lagi dibuat kaget oleh sang mami karena ternyata tak hanya satu, tapi ada dua pisau yang dibawa oleh maminya itu.
"Gak mau sekolah, ya...?" Alice menggesekkan kedua pisau yang dipegangnya. Melihatnya, Zoya buru-buru berdiri dan memposisikan tangannya di depan kening seolah sedang hormat pada bendera.
"Oke. Otw kamar mandi, Mi. Sumpah."
...(•~•)...
Selesai memakai seragam putih-abu miliknya, Zoya menjinjing tas hitamnya dan keluar kamar. Namun gadis itu malah salah fokus pada kamar yang berada tepat di depan kamarnya.
Pintu kamar itu tampak agak terbuka dan memperlihatkan seorang laki-laki berseragam sama dengannya.
Laki-laki itu terlihat sedang bercermin sambil menyemprotkan parfum pada tubuhnya yang masih TERLIHAT JELAS karena kancing dari seragamnya masih terbuka.
Untuk sejenak, Zoya berpikir apa yang sedang dilihatnya ini benar-benar adiknya atau hanya sesosok hantu tampan yang menyamar?
Zoya jadi teringat sesuatu....
Seorang gadis kecil dengan rambut kepang dua tengah asyik bermain boneka di halaman rumahnya sendirian.
Ya. Tak ada anak lain yang mau menemani gadis itu bermain karena alasan 'Gak mau! Kepala sama kaki bonekanya malah dipotong-potong sama Zoya!'
Tetapi gadis kecil yang kerap disapa Zoya itu tak peduli. Ia terus saja memutilasi boneka-boneka yang ia mainkan menjadi beberapa bagian menggunakan pisau 'mainan'-nya yang ia dapat dari dapur.
"Zoyaaa!!!"
Teriakan nyaring dari seorang wanita itu berhasil mengalihkan perhatiannya. Zoya terkejut saat wanita itu memeluk dan menggendongnya.
"Ah, i miss you saurrrrrr much!!!" Wanita berambut pirang itu menggoyang-goyangkan Zoya di pangkuannya.
"Hai, mum."
Zoya menyapa wanita itu dengan tatapan datar. Namun bocah sembilan tahun itu membalas pelukan hangatnya sembari tersenyum.
Walaupun memang terkesan abai, tak bisa dipungkiri bahwa ia sangat merindukan Alice alias wanita yang sudah menjadi ibunya sejak dua minggu yang lalu.
Ya... Setelah beberapa hari menikah dengan ayahnya, Alice malah pergi ke negara asalnya di Belanda dengan alasan yang bahkan tidak Zoya ketahui.
"Ada siapa, Zoy?" sang ayah—Revan—keluar dari rumahnya dan melihat Alice sedang berpelukan dengan sang putri.
"MY WIIIFEEEE!!!" teriak Revan girang lalu ikut berpelukan.
"Eiittss... Kali ini, kita pelukannya berempat," ujar Alice.
Wanita itu tersenyum dan menatap Zoya, "There is someone you have to meet, Zoya."
Sementara Zoya, gadis itu hanya memberikan tatapan bingung sebagai respons.
"Come out, darling!"
Setelah teriakan itu keluar dari Alice, muncul sesosok bocah laki-laki dari balik mobil yang tadi dikendarai Alice. Bocah dengan turtleneck putih itu berjalan dengan kikuk seraya memainkan jemarinya.
Sampai di dekat mereka, bocah itu langsung memeluk kaki Alice dan bersembunyi di belakang wanita itu.
"My Broo!!! Was'up, boy??" sapa Revan ramah. Tapi Zoya malah mendengus sebal.
Jadi... hanya dia yang tak tahu siapa bocah ini?
"Zoya... here's your little brother."
Zoya membelalakkan matanya, "Little brother?!"
...-TO BE CONTINUED-...
Zoya terbelalak, "Little brother?!"
Zoya tertawa saat mengingatnya. Sudah sekian tahun, dan kesekian kalinya hal itu terlintas di kepalanya, awal pertemuannya dengan sosok laki-laki bernama Liam Angelo—yang kerap ia panggil Lilo—itu selalu berhasil membuat Zoya tersenyum.
"LO NGINTIP YA, KAAKK?!!"
Nah, sepertinya kalau yang ini hal yang membuat Zoya ingin membunuh Lilo sekarang juga. Karena jujur saja, suara adik laki-lakinya itu nyaris membuat kupingnya mati rasa.
Zoya dapat melihat Lilo mengancingkan kancing seragamnya dengan terburu-buru. Mungkin karena malu, mengingat Zoya masih berdiri di depan pintu kamar Lilo yang terbuka.
"Lain kali ketuk dulu atau apa, kek." Lilo cemberut dengan kedua tangan menyilang di dada, seolah menutupi badannya dari sang kakak.
Zoya mendengus, "Gak usah ditutupin, lebay. Gue udah liat semua lekuk tubuh lo dengan jelas di mimpi gue tadi."
Lilo mengerjap, "Hah? Apaan? Lo ngomong sesuatu, kak?" Lelaki yang memang terkadang budeg itu menatap Zoya bingung.
Zoya menghela napasnya panjang, "Gue bilang... bacot. Cepet turun. Gue lebih baik denger suara las jam tiga pagi dibanding harus dikasih konser gratis sama Mami," kata Zoya dengan wajah datar.
"Oh, oke-oke. Duluan, gue nyusul bentar lagi," ucap Lilo seraya berlari dan kembali masuk ke kamarnya.
Dan saat itulah muka datar Zoya lenyap, digantikan dengan ekspresi salbrut alias salting brutal. Ia sendiri tak tahu mengapa pipinya mendadak terasa hangat.
"Sialan. Ada ya orang se-cakep itu?"
...(•~•)...
"Loh, kak? Mami sama papi mana?" tanya Lilo yang baru saja turun dari kamarnya lalu duduk di samping Zoya yang sedang melahap makanannya.
Dan Zoya hanya menunjukkan isi pesan singkat dari Alice tadi sebagai respons dari pertanyaan Lilo barusan.
Mami Syantique
Cinta-cintaku, sarapan di meja dihabisin yaaaa... Kalo saat mami pulang dari toko dan makanannya gak habis, kalian yang habis.
Mami Syantique
Paham, sayang?
Lilo bergidik ngeri saat membacanya. Ia langsung meraih piring berisikan nasi goreng itu dan mulai memakannya.
Walau tak menatapnya langsung, Zoya bisa tahu bahwa Lilo sempat meliriknya beberapa kali. Sepertinya laki-laki itu hendak bicara sesuatu, namun ragu.
"Jadi... gimana keadaan lo di sini?"
Akhirnya bibir merah muda mengkilapnya itu mengucapkan beberapa patah kata barusan. Tapi... Serius? Sekian detik yang lelaki itu habiskan untuk melirik Zoya, dan adiknya itu hanya mempertanyakan hal klise yang diucapkan oleh hampir semua orang untuk memulai pembicaraan?
Menyedihkan.
Zoya menoleh ke arah Lilo lalu membuang napas, "You've tried your best."
Dan Lilo malah terkekeh pelan, "Gak mudah tau buat nyari topik."
Ya... Sebetulnya Zoya paham. Pasti susah memulai topik sama orang yang dikenal, namun sudah lama tak berjumpa, karena sebenarnya Zoya dan Lilo pun belum pernah bertemu lagi sejak lelaki itu memasuki masa-masa SD karena sang adik harus bersekolah di Kanada.
Dan tahun ajaran baru ini di mana Lilo mulai masuk ke ranah penyiksaan yang disebut masa 'SMA', entah apa yang membuat laki-laki berambut pirang itu mau satu sekolah bersama Zoya.
Tapi persetan saja bagi Zoya. Apa pun alasannya, sekarang ia dan Lilo satu rumah dan tak ada hal yang bisa membuat mereka jauh. Jadi rasa suka Zoya ini tidak akan terasa menyiksa lagi.
Apa? Kurang jelas? ZOYA. SUKA. LILO.
Zoya tak mau menjadi orang dungu yang terus-menerus memberikan kode klise berharap Lilo menyadari perasaannya.
Zoya tidak akan pernah memberikan Lilo kode apa-apa, atau pun jujur tentang perasaannya. Karena, ya....
...untuk apa?
Toh dari status saja sudah menjadi benteng penghalang yang besar bagi Zoya untuk memiliki Lilo. Lagi pula Zoya tak berharap lebih.
Zoya hanya menyukai Lilo, dan itu cukup.
"Biasa-biasa aja, sih," ucap Zoya.
Lilo berhenti makan dan menatap Zoya bingung, "Maksudnya?"
"Tadi lo nanya keadaan gue di sini, dan gue jawab biasa-biasa aja. Ada masalah?" Zoya menaikkan sebelah alisnya dengan ekspresi angkuh.
Lilo geleng-geleng kepala, "Kirain sekian tahun bisa mengubah mulut lo jadi agak lembut. Ternyata tetep aja kayak silet, ya."
"Thanks. Gak ada perubahan yang banyak terjadi sama lo juga. Selain kulit lo yang semakin mirip mayat, semuanya sama aja." Gue tersenyum lalu lanjut makan.
Ya... Sebetulnya, Zoya tak sepenuhnya berkata jujur. Memang betul bahwa Lilo semakin terlihat putih bersih dari sebelumnya.
Tapi perubahannya tidak hanya itu. Poni rambutnya yang dulu turun sampai menutupi dahi, kini terangkat ke atas dengan gaya yang sedikit acak-acakan.
Sial. Benar-benar selera Zoya.
"Lo sendiri? Gimana rasanya sekolah di luar negeri?"
Sepertinya Zoya salah menanyakan hal itu pada orang bule-nya secara langsung.
"Perasannya sama persis kayak lo sekolah di sini. Biasa-biasa aja."
"Tapi ya enaknya di sana gue masuk jam delapan pagi. Makanya tadi gue telat bangun karena kaget di sini jam masuknya lebih pagi ternyata." Lilo melanjutkan.
Keduanya tertawa kecil. Zoya baru mengetahui ternyata bule juga bisa kesiangan, ya.
"Jadi lo milih sekolah di Kanada daripada di sini?"
Lilo berpikir sejenak, "Hmmm... Mungkin? Karena walaupun di sana gak ada soto ayam, atau gorengan, seenggaknya di sana gak ada seorang kakak yang rambutnya mirip kunti yang selalu nakutin gue."
Lilo tertawa-tawa puas sambil lanjut makan, sementara Zoya yang terbelalak. Apa tadi katanya? Rambut mirip kunti??
Kalian bisa hina apa pun dari Zoya. Tulisan mirip ceker ayam, kaki seperti gajah, atau muka mirip babi, Zoya tak peduli. Tapi....
Tak ada yang boleh me-roasting rambutnya.
"Lo harus bersyukur di sana gak ada sosok kakak yang selalu berusaha untuk ngebunuh lo tiap hari." Zoya menodongkan garpu ke depan wajah Lilo yang kini terlihat bergetar takut.
Laki-laki itu mengangkat kedua tangannya, "Ampun, kak! Bercanda gue astaga."
Zoya mendengus dingin. Kemudian Lilo–
"BOOMBAYAH!!!!"
Haaahh... Tadinya Zoya tak mau mengenalkan orang yang satu ini. Tapi, ya... Kenalkan, bapak-bapak berjas hitam yang sedang menari-nari itu Revan, babeh-nya.
Entah sedang mengecek bagian mana, yang jelas Revan tengah melihat-lihat kap mobil sambil asyik berjoget bahkan sesekali teriak tak jelas.
"YA YA YA BOOMBAYAH!!"
Lihat, kan?
"Mobil sudah ready, ma' bestiee!! It's time to go to school!" Revan menghampiri Zoya dan Lilo yang masih berada di meja makan.
"It's time to go to jail. That's the correct one, dad." Zoya bergumam sembari mengikat tali sepatunya.
"Ayolah, darling. Adikmu aja semangat sekolah di hari pertamanya. Right, boy?" Revan melirik Lilo yang mengacungkan jempolnya, "Pastinya, Pi!!"
Ppfftt... Omong kosong. Baiklah. Zoya akan menunggu Lilo berada di sekolahnya selama lima menit. Gadis itu akan memberikan sebuah tepuk tangan jika sang adik masih bisa waras.
Dan setelah sekian drama pagi-pagi yang mereka lakukan, Zoya dan Lilo sudah siap untuk berangkat. Tapi keduanya malah kompak berhenti di depan pintu.
"SIAPA YANG KALI INI DUDUK BARENG PAPI, HMMMM???"
Mereka dapat mendengar teriakan Revan barusan yang sudah berada di mobil. Zoya dan Lilo sontak saling bertatap lalu buru-buru membuka pintu mobil bagian belakang.
"Waktu MPLS kemarin gue duduk di samping Papi, Kak! Sekarang giliran lo!" teriak laki-laki itu.
"Thanks, tapi asal lo tau gue yang harus denger semua ocehan papi di dalam mobil selama lo gak ada. Sekarang, giliran lo yang harus mengganti tahun-tahun penderitaan gue itu."
Tidak berlebihan saat Zoya bilang 'tahun-tahun penderitaan'. Karena saat kalian merasakan satu mobil sama Revan, Zoya tak bisa menjamin telinga kalian masih bisa berfungsi normal atau tidak.
"Lo itu kakak. Ngalah kek sama adeknya!" Lilo memekik.
"Justru karena gue kakak, gue rela lo duduk di pinggir Papi."
"Dan kewarasan gue jadi taruhannya? Gak makasih." Lilo membuang mukanya. "Gimana kalo suit? Yang kalah–"
"Yang kalah jual diri?" Zoya memotong.
"Ngaco! Yang kalah duduk di pinggir Papi. Gimana?" Mata kebiruan milik Lilo itu menatap Zoya.
Gadis itu mengangguk setuju, "Gue mau liat seberapa payah bocah amatiran macam lo main suit."
Mereka berdua pun memulai permainan. Dan saat membuka mata, Zoya melihat tangan Lilo mengepal membentuk batu, sementara tangannya membentuk gunting.
"F*ck...." Zoya mengumpat.
"Well, lo kalah dari bocah amatiran macam gue. Sayonara, Kak...." Lilo menaruh dua jarinya di ujung alis sambil memasang wajah menyebalkan.
Tetap ganteng sih kalau kata Zoya.
Gadis itu mendengus pasrah lalu masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Revan yang nampak terkejut.
"Demi apa yang duduk di pinggir papi sekarang ini kamu, Zoy? TBL TBL TBL!! TAKUT BANGET LOCHH!!"
Sekarang mengerti kan mengapa Zoya bilang duduk di samping Revan itu adalah suatu penderitaan?
"Hmmm mari kita liat ada pernak-pernik apa aja yang bisa dipake supaya kamu menikmati perjalanan ini...."
"NAH! Ini dia!" Revan mengeluarkan pengharum mobil beraroma jeruk, dan beberapa boneka unicorn warna-warni untuk Zoya mainkan supaya tidak bosan sepanjang perjalanan.
Lucu juga. Ternyata Revan masih berpikir bahwa putrinya yang sudah menginjak kelas tiga SMA ini masih berusia lima tahun.
"Dan ini, Zoy. Mami yang ngasih buat kamu. Katanya biar muka kamu seger dikit. Dan hasilnya pasti bakal bagus sih kalo kata Papi. Percaya, deh!" seru Revan sambil menyodorkan bedak ke arah Zoya.
Ya. Bedak.
Dan percayalah. Saat Revan bilang 'bagus', berarti hal 'bagus' itu adalah hal yang paling mengerikan di dunia.
"Pengharum ruangan sama boneka-boneka ini udah cukup menyiksa, Pi. Jangan sampe sel penuh merkuri yang disebut make-up itu ada di muka aku."
Revan menaikkan kedua bahunya, "Sure. Yang penting kamu nyaman."
Mobil melaju, dan Revan mulai menyalakan musik. Untuk yang satu ini, sepertinya Zoya tidak terlalu terganggu karena ia memang sedang membutuhkan musik yang–
"HIT YOU WITH THAT DDU-DDU-DDU!!!!"
Ya Tuhan. Zoya mau nangis....
...(•~•)...
"Lilo, inget ya. Jadi anak rajin, kerjain tugas, nurut sama guru. Dan yang paling penting...."
"Berbaur sama temen. Siap, Pi!" Lilo melanjutkan, dan Revan mengangguk-angguk di dalam mobil.
Kemudian Revan melirik Zoya, "Dan Zoya–"
"Jangan tawuran, jangan racunin guru, jangan kunciin temen di kamar mandi dan jangan bawa anjing rabies ke ruangan kepsek...."
"...Got it, Pi." Zoya tersenyum.
Revan mengangguk paham sambil menghapus air mata bahagianya, "Ternyata anak-anak Papi udah gede, ya. Kalo gitu semangat belajarnya! Fighting!!"
Setelahnya, Revan pergi bersama mobilnya dan meninggalkan mereka berdua di gerbang sekolah.
"Lo serius pernah ngelakuin hal yang dilarang Papi tadi?" tanya Lilo sambil berjalan beriringan bersama Zoya menuju lapangan.
Gadis itu terkekeh, "Enggak, lah... Belum."
"So... Lo inget kan kelas lo yang mana? Adios." Zoya mengambil ancang-ancang untuk pergi tapi tangannya malah ditarik oleh banjingan menggemaskan satu ini.
"T–temenin gue ke kelas, ya?" Lilo memohon. "Dan ngabisin tiga menit dua puluh detik gue buat itu? Nope." Zoya menolak.
"Ish ayo dong! Lo itu kakak! Masa gak mau nemenin adeknya? Ya? Mau, ya?"
Zoya tak habis pikir. Lelaki itu memohon-mohon dengan ekspresi sok imut seperti itu. Apa ia tidak malu oleh otot-ototnya yang besar itu?
Walaupun sialnya Lilo memang imut.
Zoya mendengus, "Lo menganggap gue kakak cuma di saat-saat begini... Cepetan."
"YEES!!!" girang Lilo sambil mengekori sang kakak yang berada di depannya.
Sampai di ambang pintu kelasnya, Zoya menghentikan langkahnya. "Gue akan pura-pura gak denger saat lo minta yang aneh-aneh lagi."
"Iya-iyaaa... Makasih, bye!" Lilo masuk ke kelasnya dengan memegang kedua sisi tas punggungnya.
"Ppfftt lucu...."
"Eh, kak!"
Sontak Zoya buru-buru menghilangkan senyumnya dan kembali memasang wajah datar.
"Kenape?"
"Tadi gue nemu ini di tas. Buat lo aja."
Lilo menaruh sebatang permen lolipop rasa stroberi ke tangan Zoya lalu kembali masuk ke dalam kelasnya.
Sementara Zoya hanya menggeleng pelan sambil menghela napas panjang melihat apa yang sang adik berikan barusan.
Zoya berjalan sedikit, dan membuang permen itu ke tempat sampah sembari tersenyum hambar.
"Bocah naif yang malang."
...-TO BE CONTINUED-...
Dengan bungkus makanan ringan di tangannya, Zoya melangkah menuju kantin karena memang waktu istirahat sudah tiba.
Tapi entah kenapa gadis itu tiba-tiba berhenti dan menghela napas gusar.
"Lo penguntit yang bener-bener buruk. Keluar."
Bahkan tanpa menoleh sedikit pun, Zoya tahu Lilo tengah mengikutinya sedari tadi. Mungkin bahkan saat Zoya keluar dari kelasnya Lilo sudah berada di belakangnya.
Dan Lilo, laki-laki itu keluar dari balik pot tanaman dan berjalan ke arah Zoya dengan kikuk.
"Ngapain lo ngintilin gue?" Zoya melemparkan tatapan dinginnya. "Tadi nyasar. Gue kan belum tau seluk-beluk sekolah ini. Hehe...." Lilo tertawa palsu.
Zoya membuang napasnya panjang, "Lilo...."
"Lo belum punya temen. Iya, kan?" lanjut gadis itu. Sementara sang adik terlihat memajukan bibirnya seolah malas untuk memulai topik ini.
"Ayolah, Kak... Gue baru di sini. Gue masih beradaptasi sama lingkungan dan orang-orang di sini," ucap Lilo.
"Semua kelas sepuluh juga baru di sini. Tapi mereka bisa aja tuh punya banyak temen. Dan lagi, emang waktu MPLS kemarin lo sama sekali gak interaksi sama orang?" tanya Zoya tak habis pikir.
Lilo menggeleng dengan polosnya, "Enggak."
Zoya geleng-geleng kepala dibuatnya. "Kehidupan sosial lo emang udah gak tertolong lagi, Lil."
"Kak... Gue janji bakal punya temen dan punya dunia gue sendiri. Tapi buat sekarang, gue ngikut lo dulu, ya? Ya?" Seperti biasa, Lilo mengeluarkan jurus andalannya yakni memohon dengan wajah imut.
Dan seperti biasa juga, hati Zoya dibuat jedag-jedug melihatnya. Ya walaupun wajahnya tetap menunjukkan ekspresi dingin, tapi wajah Lilo itu berhasil membuat perasaannya terapung, terjungkal dan tersmekdon.
"Apa pun asal lo gak berisik."
Lilo mengepalkan tangannya bahagia, "WIII!! MAKASIH, KAK! LO BAIK BANGET SUMPAH MAU NANGIS GUE!"
Zoya mendengus, "Biasa aja, babi! Belum lima detik lho gue larang lo buat berisik. Adek siapa sih lo?"
"Gue? Adiknya Zoya Anastasia yang cantik, baik dan kece-nya kelewatan ini! Yok ke kantin, kak! Laper gue."
"Hm...."
Batin Zoya berontak, Setan. Ni anak gak aman buat jantung gue.
...(•~•)...
"Wow, wow, wow... Siapa nich?"
Seorang laki-laki datang sambil menatap Zoya dan Lilo yang tengah duduk sembari menyantap makanan mereka.
Laki-laki yang ditemani seorang gadis itu terduduk persis di depan Zoya dan Lilo yang kini mulai mengalihkan fokusnya dari makanan.
"Cowok mana yang bakal jadi korban lu kali ini, Zoy?" Laki-laki dengan topi itu menatap Zoya.
Zoya mengernyit, "Ngawur. Dia–"
"Berhubung gue dan Zoya ini bestie, jadi cowoknya Zoya, cowoknya gue juga." Bergantian, kali ini giliran sang gadis yang berbicara.
Sementara Lilo, laki-laki itu hanya dapat terdiam dan menyimak perkataan barusan seperti orang dungu.
"Mereka siapa, kak?" bisik Lilo kemudian pada Zoya. Dan Zoya menoleh, "Sialnya... penghuni-penghuni Tartarus yang mirip manusia ini temen gue."
Lilo sempat terdiam sebelum mengangguk paham.
Sementara gadis berambut ombre bleach itu mendekat pada Lilo, "Haiiii! Lo baru, ya? Belum pernah liat soalnya. Ngomong-ngomong pasti keturunan bule, ya? Soalnya keliatan sih. Terus gimana caranya lo bisa jadi korban–pacarnya Zoya? Lo–"
"Dia adik gue, Nay."
"H–hah? Oke. Gak jadi kalo gitu."
Gadis itu—Nayla—langsung mengubah ekspresinya. Yang semula terlihat tertarik, kini Nayla seolah tidak mau dekat-dekat dengan Lilo. Ya... alasannya hanya satu.
Nayla tak mau memiliki kakak ipar macam Zoya.
"Kenalin, cowok paling keren, paling kaya, pokoknya si paling-paling di sekolah ini." Kini giliran laki-laki bertopi hitam itu yang hendak memperkenalkan dirinya.
"Termasuk cowok paling bego, paling narsis, dan paling norak seantero sekolah." Zoya santai memakan camilannya.
Laki-laki itu mencebik lalu kembali menatap Lilo, "Gue Jerry."
"Gak usah nanya di mana si Tom, karena ini nih. Tom-nya ada di pinggir gue," lanjut Jerry sembari melirik Nayla.
Dan Nayla meresponsnya dengan senyuman geram, "Makasih lho udah nyebut gue Tom. Karena gue bisa nyakar dan gigit lo kapan aja."
"Utututuuu takut... Cakar aja. Lagian kuku lo bantet semua. Gak akan kerasa–AAWWW!!"
Jerry memegangi tangan kanannya yang kemerahan setelah dicakar oleh kuku-kuku lentik dan berwarna-warni milik Nayla.
"Makanya punya mulut tuh difilter. Ngocor terus heran." Nayla geleng-geleng kepala sambil mencomot makanan milik Zoya.
Beralih dari Nayla, Jerry mulai fokus pada Lilo yang kini tengah bermain ponsel. Lelaki itu mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya dan menyodorkannya pada Lilo.
"Sebagai welcome gift dari gue."
Zoya langsung merebutnya, "Thanks."
"Gue ngasih buat adek lo Zoy astaga...." Jerry tak habis pikir dengan keserakahan Zoya. Dan Zoya hanya menaikkan sebelah alisnya sebagai respons, "Gak ada gunanya ngasih yang beginian ke anak cupu kayak dia."
Lilo melirik Zoya sinis, "Rese."
"Lo gak ngerokok?" tanya Jerry yang sedikit terkejut. Dan Lilo menoleh lalu menggeleng kecil, "Enggak, bang."
Jerry mengerjap, "Ebuset... Gue dipanggil abang. Berasa punya adek aja."
Sedangkan Nayla menghela napasnya panjang sembari menatap Lilo. Gadis itu menopang dagunya, "Udah baik, ganteng, gak ngerokok, sopan lagi. Paket komplit pokonya. Kekurangan lo cuma satu sih...."
"...lo adiknya Zoya."
"Lo naksir sama adek gue yang bahkan takut kalo ketemu cewek ini?" Zoya geleng-geleng, "Ke rumah sakit sana," lanjut Zoya—alias kakak yang suka pada adiknya sendiri—dengan santai.
Dan Lilo mendengus sebal mendengarnya. Mengapa kumpul-kumpul di jam istirahat ini jadi seperti pembukaan aib baginya?
"Btw kita belum tau nama lo, boy," ujar Jerry pada Lilo kemudian.
Lilo, laki-laki itu sedikit tersentak lalu tersenyum kecil, "Lilo, bang."
Zoya terdiam melihatnya. Senyuman ini... Zoya kerap melihat Lilo tersenyum. Tapi kenapa imannya selalu saja oleng kala bibir merah muda itu menerbitkan senyumnya?
"Lilo? Kok kayak minuman? Minuman yang cokelat itu loh! Yang dua rebuan! AHAHAHAHAH... HAHA.. Haha... Ha...." Nayla melirik pada Zoya yang kini tengah menatapnya tajam.
"Bercanda, Zoy... Suer."
Zoya lalu menyingkirkan jaket oranye yang dipakai Lilo dan menarik badge nama dari lelaki itu.
Tentu saja Lilo dibuat kaget oleh tindakan kakak perempuannya itu. Apalagi saat Zoya menarik badge-nya, laki-laki itu bisa merasakan tangan Zoya menyentuh dadanya dengan jelas.
Zoya masih memegang badge di seragam Lilo, "Namanya Liam, sat. Yang kayak merk minuman itu panggilannya."
"Widiihhh gagah juga nama lo, cil. Ada bule-bulenya gitu. Kayak gue." Jerry mengacungkan jempolnya.
"Bedanya, dia beneran bule. Kalo lo, bule rambutnya doang. Udah gitu kuning lagi warnanya. Iihhh," cibir Nayla.
"Iya, deh. Rambut gue emang gak sebagus rambut yang cuma bule di bawah doang dan mirip rambut jagung kayak lo." Jerry cekikikan di akhir kalimatnya.
"Sumpah nyebelin banget. Ini style namanya, norak!" teriak Nayla sebal dan Jerry berlagak mengangguk, "Jadi style bagus rambut cewek sekarang yang kayak sapu lidi gini?"
Jerry elus dada, "Untung bukan cewek."
"Wah beneran ngajak ribut. SINI LO!!!!" Nayla menjambak dan memukul-mukul Jerry geram, dan Jerry hanya meresponsnya dengan tertawaan jenaka.
Apa kabar Zoya dan Lilo? Ya... untungnya mereka masih waras setelah melihat pertunjukan The Real Tom and Jerry barusan.
Zoya melirik Lilo, "Lo tau seberapa beruntungnya lo gak kenal sama tuyul-tuyul ini?"
Zoya kembali memakan camilannya. Namun mata gadis itu salah fokus pada dada Lilo yang tak sengaja ia pegang tadi.
Pentilnya keras juga, batin Zoya.
...(•~•)...
Pukul tujuh malam lewat enam menit ini, Revan, Alice dan Zoya serta Lilo tengah santai memakan menu makan malam mereka dengan ditemani puding buah sebagai makanan penutup.
Ralat. Hanya Revan, Alice dan Lilo yang sedang menyantap makanan mereka. Karena Zoya, gadis itu malah asyik sendiri bermain ponsel dan membiarkan piringnya yang masih penuh begitu saja.
"Dimakan dong, Zoy. Nanti keburu dingin," ucap Revan yang akhirnya gerah dengan kelakukan sang putri.
Zoya yang rupanya sedang menonton sebuah film horor pun cekikikan kecil, "Bentar lagi, Pi."
"Zoy... Mau makan, gak?"
Zoya terbelalak saat kali ini adalah suara Alice yang didengarnya. Gadis itu cepat-cepat menyimpan ponselnya dan mengambil piringnya.
"Aku abisin sampe ludes, Mi." Zoya mengacungkan jempolnya.
Keempatnya pun kembali fokus pada makanan masing-masing. Setidaknya sampai Alice menatap Lilo.
"I hope your first day in the school today was great, Lilo. Isn't it?" tanya Alice.
Lilo berhenti makan seketika dan menatap Alice dengan agak terkejut.
"What **** that you expect from this kid, mum?" Malah Zoya yang menjawab pertanyaan Alice barusan.
Ekspresi menyebalkan yang gadis itu tunjukan saat ia melirik Lilo sukses membuat sang adik cemberut kesal.
"Seru kok, Mi. Orangnya baik-baik. Mungkin aku bisa bergaul lebih baik di sini." Lilo menjawab.
Revan menggeleng, "No, no... Singkirkan kata 'mungkin' itu. Kamu harus yakin bahwa kamu pasti bisa bergaul. Usaha kamu bakal sia-sia kalo kamu sendiri aja gak yakin."
"Iya, Pi. Lilo janji bakal berusaha buat punya temen sendiri dan punya pergaulan sendiri."
Alice tersenyum, "Mami harap kali ini kamu bener-bener bisa memenuhi janji kamu sendiri."
Lilo tertunduk. Laki-laki dengan sweater berwarna toska terang keunguan itu memainkan jemarinya dengan bibir yang maju.
"Emang pernah ya Lilo main-main?" Lilo masih memainkan jari-jarinya.
Duh... Perut gue pusing. Lucu banget. Kayang dah gue lama-lama, batin Zoya meronta-ronta.
"Bukan gitu maksudnya, kami harap kamu bisa punya orang-orang yang memahami keadaan kamu di luar sana. Jagoan papi kan ganteng, baik, ramah. Harus punya banyak pasukan, dong!" seru Revan yang membuat Lilo semula terlihat murung kini mulai tersenyum.
"Lilo pasti punya temen dan pertemanan yang baik," kata Lilo kemudian. Revan malah menggebrak meja tiba-tiba, "Gitu dong optimal!"
"Optimis, Pi," koreksi Alice.
"Nah iya itu."
Lilo tertawa kecil, "Tapi ya... sebelum itu Lilo kan punya kak Zoya."
Zoya berhenti makan. Gadis itu tersentak mendengarnya.
"...Iya gak, kak?"
"Boleh. Uang jajan lo jadi gaji gue, ya," ujar Zoya sambil melanjutkan makannya.
Lilo cemberut, "Ngelunjak."
...-TO BE CONTINUED-...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!