Arya bergegas menuruni anak tangga satu persatu. Dilihatnya jam tangan yang melingkar di tangannya. Dia sudah rapi menggunakan jas berwarna abu-abu yang senada dengan celananya. Rambutnya yang terlihat rapi karena habis dirapikan di Barber Shop terkenal langganannya.
Arya sangat gugup hingga dia melupakan sarapan paginya. Harusnya dia sudah datang ke rumah mempelai wanita untuk menjemput pengantin yang hari ini akan melaksanakan resepsi pernikahan di sebuah hotel mewah.
“Arya ... kamu gugup sekali, Nak?” sapa Bu Arni, ibu dari Arya.
“Ibu Arya ada pekerjaan, harusnya ini bukan kerjaan Arya sih, Bu. Tapi, empat sopir di kantor izin karena sedang sakit. Ibu tahu ‘kan, meski kota ini sudah sedikit aman, tapi pandemi katanya masih mengancam? Ya, sudah Arya liburkan sopir yang sedang sakit, sampai benar-benar sembuh total. Dan, hari ini Si Asep, yang harusnya mengantar pengantin, malah dia enggak berangkat. Mau siapa lagi kalau bukan Arya yang mengantarnya? Kemarin ada yang mau sewa mobil pengantin, sudah ditangani Asep, Asepnya malah sakit dan harus isolasi mandiri, Bu,” Jelas Arya dengan sedikit gugup, sambil menyesap kopi buatan ibunya.
“Jadi kamu yang mau jemput gitu?” tanya Pak Rozak, ayah sambung Arya yang sudah Arya anggap seperti ayah kandungnya sendiri.
“Ya, siapa lagi kalau bukan Arya, Pak? Lagian kantor juga sedang aman, ada Saiful yang bantuin,” jawab Arya.
“Arya ... kan masih banyak sopir lainnya?” ujar Bu Arni.
“Ibu ... sudah pada berangkat ke luar kota semua sopir yang lain, di kantor hanya ada Satpam, Saiful, dan Arya. Enggak mungkin Arya nyuruh Saiful jemput pengantin, dia belum bisa nyopir jauh-jauh, kan? SIM aja dia belum punya?” jelas Arya.
“Ya sudahlah, kamu hati-hati ya, Nak?”
“Ya ampun ibu ... paling ke Hotel terdekat sini saja kok? Lagian bapak juga pasti kenal dengan yang punya hajat?” ucap Arya.
“Siapa, Ar?” tanya Pak Rozak.
“Itu Pak Hermawan, pengusaha batik dari Pekalongan. Yang memiliki beberapa butik di sini khusus kain batik,” jawab Arya.
“Oh, iya bapak tahu, sepertinya dia juga punya beberapa ruko di Tanah Abang yang khusus jualan batik-batik asli dari Pekalongan. Semua karyawan Pak Hermawan juga kebanyakan orang pekalongan,” jelas Pak Rozak.
“Bapak kenal dengan orangnya?” tanya Bu Arni.
“Kenal nama saja, Bu. Dia kan konglomerat, anak semata wayangnya katanya model, baru lulus kuliah di Harvard University.” Jawab Pak Rozak.
“Keren ya, Pak?” ucap Bu Arni.
“Pak, Bu, Arya pamit dulu, ya? Sudah mau jam tujuh, takut kena macet, soalnya jam delapan harus sudah stay di Hotelnya,” pamit Arya.
“Ya sudah, hati-hati kamu, Ar. Jangan lupa nanti sarapan,” ujar Pak Rozak.
“Tenang, Pak. Di sana bakalan banyak makanan enak, kok,” ujar Arya.
Meski Arya juga seorang pengusaha muda yang sukses, dia tidak pernah gengsi untuk melakukan pekerjaan yang seharusnya sudah bukan pekerjaannya lagi. Memang dia dulu mantan driver travel luar kota, dan setelah mendapatkan modal dari penjualan tanah warisan Pak Rozak, Arya mulai mengembangkan usahanya. Dia mulai membuka rental mobil, lalu berkembang hingga dia memiliki armada lain, seperti jetbuz dan mobil lainnya untuk taksi online. Arya juga sudah memiliki taksi online atas namanya sendiri, yang dikelola bersama Pak Rozak. Meski ayah sambung, Pak Rozak dan Arya sangat akrab, dan sangat kompak mengembangkan bisnisnya mulai dari nol.
Kehidupan Arya mulai berangsur membaik setelah dia bertemu sosok laki-laki yang baik seperti Pak Rozak. Itu mengapa Arya setuju kalau Pak Rozak menikahi ibunya yang sudah lama sendiri, dan membesarkan Arya sendiri tanpa sosok laki-laki di sampingnya. Setelah lulus SMA, Pak Rozak menikahi ibunya Arya, dan kehidupannya berangsur membaik. Ekonomi keluarga Arya berhasil diperbaiki sedikit demi sedikit.
Arya melajukan mobilnya menuju kediaman keluarga Hermawan. Sesampainya di depan rumah Pak Hermawan, dia mengerutkan keningnya. Pintu gerbang di rumah megah itu hanya separuh yang terbuka. Di halaman rumah itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa mobil saja, seperti tidak ada hajatan sama sekali, mungkin karena acaranya nanti akan di gelar di balroom hotel. Dan di rumahnya hanya diadakan ijab qobul saja.
“Ah, masa iya mau ada acara pernikahan? Apa mungkin karena acaranya akan diadakan di Balroom Hotel? Tapi, meski demikian, biasanya tetap ramai di rumahnya? Aku kan tidak sekali dua kali mengantar pengantin?” Arya melirih sambil matanya terus menerawang halaman rumah mewah itu.
Arya melihat dua Satpam menghampirinya. Arya turun dari dalam mobilnya, dia pun penasaran, betul atau tidak ini rumah Pak Hermawan.
“Selamat siang, Pak? Ada yang bisa kami bantu?” tanya salah satu satpam tersebut.
“Selamat siang, Pak. Apa benar ini kediaman Pak Hermawan, yang kemarin memesan mobil pengantin?” tanya Arya pada Satpam rumah.
“Oh iya, betul, Pak. Tapi, acara akad nikahnya belum di mulai, Pak. Paling sebentar lagi, menunggu penghulu datang. Maklum musim kawin kali ya, Pak? Jadi penghulunya bergilir,” jawab Satpam tersebut.
“Ah, bisa jadi seperti itu, Pak. Jadi ini masih lama, Pak?” tanya Arya.
“Iya kayaknya, tapi gak tahu juga sih, Pak. Ini padahal sudah mau jam delapan, harusnya ijab qobul tadi jam tujuh. Apa mungkin penghulunya belum bangun?” jawab Satpam satunya dengan terkekeh.
“Bapak ada-ada saja, kalau kiranya masih agak lama, saya mau cari minuman dulu di mini market sana, Pak. Sambil menunggu, kan dari mini market itu kelihatan dari sini,” ucap Arya.
“Oh, baik, Pak. Silakan,” jawab Satpam tersebut.
Arya melajukan mobilnya ke mini market yang dekat dengan rumah Pak Hermawan. Dia membeli beberapa minuman dan roti. Baru kali ini dia meninggalkan sarapan di rumah karena buru-buru supaya tidak terlambat menjemput pengantin. Ternyata malah acara ijab qobulnya saja belum dimulai. Arya kembali masuk ke dalam mobil. Dia memakan roti yang ia beli tadi, dengan meminum susu uht rasa cokelat kesukaannya. Dia mengambil gambar roti dan susu itu dengan ponselnya, lalu ia kirimkan pada ibunya lewat Whatsapp.
“Bu, kalau tahu acaranya belum di mulai, tadi aku sarapan nasi goreng buatan ibu. Akhirnya Arya kelaparan gini, Bu.”
Arya menuliskan pesan tersebut pada ibunya. Ibunya adalah teman terbaik untuk Arya. Setiap hal apa pun dia pasti menceritakan pada ibunya, dia selalu jujur dan tidak pernah membantah ibunya sama sekali. Bahkan dia sampai rela putus dengan kekasihnya lantaran keluarga dari mantan kekasihnya menjelekkan ibunya. Arya paling tidak suka kalau ibunya disakiti oleh orang lain. Karena bagi Arya ibunya adalah segalanya untuk Arya. Tempat bercanda, bermanja, dan berkeluh kesah.
“Ibu kan bilang, sarapan dulu, kamu malah gugup seperti itu. Sudah kamu hati-hati, nanti harus makan nasi kalau sudah di tempat acara.”
“Siap ibu ... I Love You ....”
“Love you too, Sayang ....”
Arya menaruh ponselnya di jok sebelahnya. Dia kembali menikmati roti dan susu uht rasa cokelatnya, sambil mendengarkan musik di dalam mobil. Tidak sengaja lagu yang menjadi kenangan dengan mantan kekasihnya yang bernama Naira itu terputar di daftar playlist.
“Nai, kamu baik-baik saja, kan? Bagaimana kabar kamu saat ini, Nai? Apa kamu sudah mendapatkan penggantiku? Tapi, aku rasa kamu belum mendapatkannya, kalau sudah, tidak mungkin seminggu sekali kamu menghubungiku?” Ucapnya melirih dengan memejamkan mata menikmati lagunya.
Ingatannya tentang Naira terus berputar di otaknya. Arya mengenang masa-masa indah dengan mantan kekasihnya yang sangat ia cintai, dan sampai sekarang pun masih ada cinta untuk Naira. Tapi, dia mengingat bagaimana ayah Naira yang mengolok-olok ibunya. Memang saat itu, Arya belum sesukses sekarang ini.
Di dalam rumah mewah milik Hermawan, perempuan yang sudah rapi berpakaian kebaya putih, mondar-mandir di dalam kamarnya. Santi Hermawan, putri semata wayang Hermawan yang hari ini akan menikah. Dia tidak bisa diam, terus mondar-mandir seperti setrikaan di dalam kamarnya sambil menelfon seseorang yang ia nantikan kedatangannya.
“Hallo, Fan! Please ... please ... kamu harus datang, Fano! Aku gak mau menikah dengan om-om itu. Kamu yang harusnya bertanggung jawab, bukan dia, Fano ... come on, Fano. Please ... ke sini jemput aku sekarang. Aku tidak mau menikah dengan dia, aku ingin kamu, kamu yang harus menikahiku, karena kamu yang menghamiliku, Fan!”
Santi sedikit mengeraskan suaranya, dan menegaskan pada Fano untuk bertanggung jawab atas perbuatannya. Ya, Santi kini tengah hamil anak Fano. Usia kandungannya sudah memasuki bulan keempat. Namun, sayang Fano tidak mau bertanggung jawab atas apa yang sudah Fano perbuat pada Santi.
“Santi, aku sudah bilang berkali-kali sama kamu, aku belum siap menikah, aku akan tanggung jawab tanpa menikahi kamu! Aku akan memberikan hak anakku, aku tegaskan sekali lagi sama kamu, aku tidak mau menikahi kamu, Santi! Silakan kamu menikah dengan orang itu, pilihan kedua orang tuamu, yang sudah dibayar untuk menikahimu. Aku pribadi, kalau aku dibayar pun, aku tidak akan menikahi kamu, aku belum siap untuk menikah! Kamu dengar itu?”
Fano terus menolak Santi yang meminta pertanggung jawaban Fano karena tengah menghamilinya. Fano belum ingin menikah, dia tidak mau ada ikatan yang resmi, yang nantinya akan mengekang kehidupannya.
“Fano, kamu sadar gak sih? Kamu itu yang menghamiliku!”
“San, kamu enggak sadar, posisi kamu bagaimana saat pertama kali denganku? Kamu sudah gak perawan, Santi! Bisa jadi sebelum sama aku kamu dengan laki-laki lain?”
“Astaga, Fano! Aku sudah hampir satu tahun jalan dengan kamu, kita sering melakukan itu, dan kamu tahu sendiri, selama aku jalan dengan kamu, aku tidak pernah berhubungan lagi dengan laki-laki lain! Cuma kamu, dan hanya dengan kamu, Fan! Lagian kamu kan udah tahu kalau aku udah gak perawan sebelum kita melakukannya? Kenapa sekarang kamu ungkit hal itu?!”
“Alah, omong kosong macam apa! Kalau pun itu memang anakku, aku juga tidak akan menikahi kamu. Aku ingin kebebasan, aku masih ingin senang-senang, karena menikah mungkin akan membuat aku terkekang. Sudah jangan ganggu hidup aku lagi. Menikah saja dengan lelaki bayaran itu! Jangan cari aku lagi!”
“Fano ... Fan ... Hallo! Hallo ....! Sialan, dimatikan lagi! Aku coba hubungi dia lagi! Sial sekali, nomornya sudah tidak aktif lagi! Aku gak mau menikah dengan siapa itu namanya? Om-om gila harta, aku gak mau! Lebih baik aku kabur, ya aku harus kabur dari rumah. Fix, kabur sekarang juga! Aku masih punya tabungan cukup banyak yang bisa aku gunakan untuk menghidupi diriku sendiri dan anak yang ada dalam kandunganku.”
Santi kabur dengan membawa pisau buah yang ia ambil di meja makan belakang. Beruntung semua orang berada di depan, tidak ada yang berada di belakang. Santi mengendap-endap, hingga akhirnya dia sampai di pintu gerbang belakang yang tidak dijaga oleh siapa pun, karena memang itu adalah pintu gerbang darurat di rumahnya.
Santi berlari, dia ke arah mini market yang terletak tak jauh dari rumahnya, dan tidak jauh juga dari pintu gerbang belakang. Beruntung penghulu sampai detik itu belum datang ke rumah Santi.
Santi menggedor jendela mobil pengantin tersebut dan meminta masuk ke dalam. Arya terjingkat karena dia masih membayangkan kenangan indah bersama Naira.
“Eh sudah selesai akadnya, Non? Maaf saya masih di sini sampai non ke sini?”
“Jangan banyak bicara, cepat buka! Aku mau masuk!” jawab Santi dengan suara meninggi.
“I—iya, Non. Maaf ini kok sendiri, mana mempelai prianya?”
“Jangan banyak tanya kamu! Jalan buruan! Mumpung semua orang belum tahu aku kabur!”
“Hah kabur?! Non ada-ada saja ini?”
“Jangan banyak bicara Pak Supir .... buruan atau aku bunuh diri di depan kamu!” Paksa Santi dengan mengarahkan pisau ke pergelangan tangannya.
“Eh, iya iya ....”
Arya terpaksa melajukan mobilnya menuruti Santi yang kabur dari pesta pernikahannya.
“Hei Pak Supir! Kamu ada kan nomor yang kemarin memesan mobil ini? Pasti kamu dikasih nomor telepon sama bos kamu, kan?” tanya Santi.
“Iya, punya, kenapa non?” jawab Arya.
“Cepat kamu telfon kontak itu, bilang saja kamu istrinya mau melahirkanlah, atau apalah? Terus bilang saja sama orang itu, suruh cari mobil lainnya saja, karena di rental mobil tempat kamu kerja sudah full, tidak bisa booking mobil lagi.” Santi memerintahkan Arya bicara seperti itu pada kontak yang kemarin memesan mobil pengantin di tempat Arya.
Arya melakukan semua perintah Santi, karena dia takut Santi bunuh diri di depannya. Arya menggeleng pelan saat melihat Santi dari pantulan kaca spion di atasnya. Santi terlihat masih kesal dan napasnya masih terlihat naik turun, dadanya juga kembang kempis karena menahan amarahnya.
“Sial sekali aku hari ini, udah gak sarapan, ditambah pengantinnya minggat! Aku harus gimana ini? Pasti aku kena kasus kalau begini?” gumam Arya.
Santi melepaskan sanggul kecil di kepalanya, dia merapikan rambutnya dengan jarinya. Beruntung di dasboar mobil Arya ada sisir, dia memberikannya pada Santi untuk merapikan rambutnya.
“Makasih!” ucapnya ketus.
“Iya, sama-sama. Ini non mau ke mana? Saya habis ini mau kerja lagi?” tanya Arya.
“Ke mana saja, mampir dulu ke ATM, aku mau kuras semua uangku, dan membuang ATM ini, supaya aku gak dilacak oleh orang rumah!” pinta Santi.
“Jangan gitu, Non? Semua masalah pasti ada jalan keluarnya kok? Jangan asal kabur gitu?” tutur Arya.
“Gak usah ceramah deh, Pak! Udah cepetan, berhenti di depan ada ATM, aku pinjam tas kamu sini, buat ambil uangku!”
“Lagian ambil uang di ATM kan ada batasnya, Non?”
“Iya juga sih, tapi gak apa-apa, yang penting aku bisa cari tempat persembunyian!”
“Memang mau ke mana?”
“Kita ke Pekalongan saja! Aku penasaran katanya keluargaku dari sana, tapi aku malah enggak pernah ke sana!” jawab Santi.
“Lagian kenapa mesti kabur sih, Non? Pekalongan itu jauh, Nona?!”
“Gue dijodohin dodol! Mana mau gue dijodohin sama om-om? Pacar gue saja lebih ganteng! Jangan banyak omong deh! Nurut aja sama aku, aku bayar kamu! Antar aku ke pekalongan, cari rumah buat persembunyian!” ucap Santi ngegas.
“Oh gitu? Ya sudah sini aku ambilin saja, non tunggu di sini, sekalian aku lepas bunga-bunga di mobil supaya gak tahu ini mobil ada pengantin yang lagi minggat!”
“Ambil semua kalau bisa, kalau enggak ya maksimalnya saja berapa. Pinnya xxxxxx jangan sampai salah!”
“Siap!”
Arya berpikir sejenak, kenapa dia mau-mau saja disuruh perempuan yang belum tahu siapa namanya, dan minta kabur ke Pekalongan. Gila dari Jakarta ke Pekalongan berapa jam sendiri? Dia belum konfirmasi dengan Saiful orang kepercayaannya di kantor, dan juga belum pamit dengan kedua orang tuanya.
“Kalau aku tinggalin tuh orang, salah gak ya? Tapi, kalau aku menurutinya, aku harus bilang apa sama ibu dan bapak? Masa aku bohong sama mereka?” gumam Arya dengan melepaskan bunga yang menghiasi mobilnya.
Arya akhrinya bilang dengan Saiful, dengan alasan ada tamu dari keluarga besar Hermawan ada yang minta di antar pulang ke Pekalongan. Dan, dia pun beralasan yang sama dengan kedua orang tuanya. Tidak tahu kenapa dia merasa kasihan dengan perempuan yang belum ia kenal itu.
Arya memberikan tas miliknya yang berisi uang Santi yang baru ia ambilkan di ATM. Santi mengambil dan menghitungnya, jumlahnya benar, sesuai dengan slip penarikan yang Arya selipkan di dalamnya.
“Nih bayaran untuk bapak, cukup untuk mengantarkan aku ke Pekalongan kan, Pak?” Santi memberikan uang pada Arya.
“Gak usah, Non. Simpan saja untuk biaya hidup non selama kabur. Lagian non ini beneran mau kabur? Mau di Pekalongan? Non, lebih baik non itu selesaikan masalah non dulu?” tutur Arya.
“Iya yakin, udah bapak gak usah khawatir. Bapak akan aman kok, gak usah takut kena kasus bawa minggat pengantin cewek!” jawab Santi.
“Beneran ya, Non? Jangan bawa-bawa nama saya nantinya?”
“Iya, tenang saja, Pak. Udah ini terima saja uangnya!”
Arya tidak tahu harus menerima atau tidak, tapi kalau tidak menerimanya, kelihatannya menyepelekan orang yang mau ngasih rezeki pada dirinya. Arya menerimanya, tapi sepertinya uang itu terlalu banyak untuk mengantarkannya ke Pekalongan.
^^^^
Di kediaman Hermawan, semua belum tahu kalau Santi kabur dari rumah, yang asisten pribadi Hermawan tahu Cuma mobil pengantin tidak jadi menjemput, karena istrinya mau melahirkan, dan terpaksa asistennya memesan mobil pengantin di tempat lainnya. Sedangkan Arya, dia langsung mengembalikan uang pembayaran sewa mobil dari asisten Hermawan.
Penghulu baru datang pukul 08.45WIB. Sudah sangat lama mundurnya, hingga kedua orang tua Santi tidak menghiraukan Santi di kamarnya. Mereka panik karena penghulu tidak kunjung datang. Mereka tidak memedulikan Santi di kamarnya, karena mereka pikir Santi di kamar aman-aman saja, toh Santi sudah menyetujui pernikahannya dengan laki-laki yang mereka bayar untuk menjadi pengganti Fano.
Halimah, istri Hermawan, yang tak lain mamanya Santi, bergegas memanggil Santi di kamarnya, karena penghulu sudah datang, dan akad nikah akan segera di mulai. Halimah masuk ke dalam kamar Santi, tapi dia tidak mendapati Santi di kamarnya. Dia mencari anaknya di dalam kamar mandi, pun tak mendapati Santi di dalam kamar mandi. Halimah melihat secarik kertas di atas meja rias Santi, dia mengambilnya dan membaca tulisan yang tertulis di secarik kertas tersebut.
‘Maafin Santi, Ma, Pa .... Santi pergi saja dari rumah. Santi gak mau menikah sama laki-laki pilihan mama dan papa. Fadli tidak mau tanggung jawab. Santi memilih dan memutuskan untuk pergi dari rumah, maafin Santi. Suatu saat nanti Santi pasti kembali, jangan khawatirin Santi ya, Ma, Pa? Santi sayang mama, papa. I Love you so much.’
“Pa ... papa ....!” Halimah keluar dan teriak memanggil suaminya dengan membawa secarik kertas tersebut.
“Ada apa, Ma? Teriak-teriak kenapa sih?!” jawab Hermawan dengan sedikit panik.
“Pa ... Santi kabur!”
“Kabur?! Kenapa dia bisa kabur?”
“Mama juga gak tahu, mama masuk kamarnya dia sudah gak ada, jendela kamar masih utuh dikunci, dia kabur lewat mana sih? Ini dia ninggalin surat ini, Pa. Hp nya saja ditinggal di kamar,” ucap Halimah.
Halimah memberikan surat dari Santi pada suaminya. Hermawan menyut dengan kasar, lalu membacanya.
“Dasar bocah tidak tahu diri! Sudah mempermalukan aku karena hamil duluan, sekarang mau menikah malah kabur!” Hermawan meremas kertas tersebut dan membuangnya.
“Lalu bagaimana, Pa? Ayo cari Santi, Pa. Mama takut dia kenapa-napa, apalagi dia lagi hamil?” ucap Halimah dengan tersedu-sedu menangisi Santi yang kabur dari rumah.
“Yuda, panggil satpam ke sini!” titah Hermawan pada Yuda, orang kepercayaannya, sekaligus asisten pribadinya.
“Baik, Tuan!” jawabnya dengan tegas.
Hermawan menemui laki-laki yang ia bayar untuk menikahi putrinya, dia memohon maaf atas semua yang terjadi secara tidak sengaja. Memang dirinya lalai memperketat penjagaan Santi. Hermawan dan Halimah meminta maaf pada laki-laki tersebut dan semua keluarganya yang sudah hadir untuk menyaksikan akad nikah mereka.
Semua dibatalkan oleh hermawan, balroom yang sudah ia sewa juga harus dibatalkan. Semua dibatalkan tanpa terkecuali. Kedua Satpam yang menjaga rumah Hermawan menemuinya, bersama dengan Yuda.
“Ujang, Toni, kalian itu bagaimana sih? Apa kalian tidak melihat Santi keluar rumah?!” tanya Hermawan.
“Kami tidak melihat, Tuan. Kami jaga di pos depan dari tadi, tidak ada Non Santi keluar dari rumah,” jawab Ujang. “Benar kan, Ton? Kau juga tak lihat Non Santi pergi?” tanya Ujang.
“Enggak, Pak. Sumpah, saya gak lihat. Kami Cuma di depan, di pos jaga keamanan, dan bukain gerbang kalau ada yang mau masuk,” jawab Toni.
“Kamu juga gak lihat, Yud?” tanya Hermawan.
“Dari tadi saya kan di sini, Pak. Saya tidak lihat Non Santi,” jawab Yuda.
“Panggil semua ART di rumah! Sekarang!” Titah Hermawan pada Yuda dengan wajah garang.
Keluarga besan sudah pulang, mereka hanya dibayar, jadi tidak masalah tidak jadi menikahi Santi, yang terpenting semua sudah dibayar lunas oleh Hermawan.
Semua ART di rumah Hermawan berkumpul di depan Hermawan. Hermawan menanyakan satu persatu ART-nya, tapi mereka semua tidak tahu ke mana perginya Santi, bahkan perias Santi pun tidak tahu soal Santi, karena setelah merias wajah Santi dan memakaikan kebaya, dia langsung keluar dari kamar Santi, karena ia rasa sudah beres semuanya.
Hermawan mengepalkan telapak tangannya. Dia sudah tidak tahu harus bagaimana lagi. Hermawan akhirnya tahu, lewat mana Santi pergi, karena Toni melihat gerbang belakang tidak tergembok. Semua menyimpulkan Santi kabur lewat gerbang belakang.
“Sial! Anak tidak tahu diri!” murka Hermawan.
“Lalu bagaimana, Tuan?” tanya Yuda.
“Biar, biar dia pergi semaunya! Saya sudah tidak peduli dengan anak yang tidak tahu diri itu!” jawab Hermawan.
“Pa ... jangan seperti itu dong! Kita harus cari Santi, Pa?!” Halimah dengan ngotot meminta suaminya mencari putrinya.
“Ini nih! Kamu selalu saja manjain dia! Jadi dia seperti ini! Memalukan, anak tidak tahu diuntung!” sarkas Hermawan.
“Tuan, alangkah baiknya, memang harus mencari Non Santi, Tuan. Kasihan, non kan sedang hamil?” ujar Yuda.
“Bos Yuda, apa mungkin Non Santi sama mobil pengantinnya? Sampai sekarang kan mobil itu gak datang lagi?” ucap Ujang.
“Heh ...! Kamu itu dodol apa gimana sih, Jang! Jelas-jelas tadi Bos Yuda bilang, mobil pengantinnya diganti, yang tadi itu yang udah ke sini terus beli minuman ke mini market, istrinya mau melahirkan, lagian tadi saja orangnya pamit kok? Kamu gak ingat atau amnesia sih, Jang?” ucap Toni.
Arya memang kembali ke rumah Hermawan, bilang dengan kedua satpam, kalau istrinya mau melahirkan. Setelah menelefon Yuda, Arya kembali ke pos satpam untuk pamit dengan satpam, agar dirinya tidak dicurigai.
“Oh iya, ya ... tadi tuh orang pamit, terus tadi udah ada mobil pengantin lagi?” ucap Ujang.
“Dasar dodol!” tukas Toni.
“Sudah kalian jangan ribut! Kalian boleh kembali bekerja lagi!” titah Hermawan pada kedua Satpamnya.
Hermawan tidak tahu harus bagaimana. Semua sudah hancur berntakan. Dia juga tidak tahu harus mencari tahu ke mana Santi pergi. Rasanya juga kecewa sekali pada putri semata wayangnya yang sudah mempermalukan dirinya.
Halimah masih duduk dengan menangisi Santi yang tidak tahu ke mana perginya. Percuma saja meminta suaminya bertindak untuk mencari putrinya, pasti suaminya kekeh dengan kemauannya, tidak ingin mencari Santi. Mungkin karena masih dikelabuhi oleh amarah, jadi Hermawan menolak mencari Santi.
^^^
Pukul 15.00 WIB, Arya dan Santi sudah sampai di Pekalongan. Mereka dari tadi hanya saling diam. Arya tidak lagi tanya-tanya soal Santi lagi, bahkan mereka juga belum sempat kenalan satu sama lain.
“Non kita mau ke mana dulu ini? Ini kita sudah masuk kota Pekalongan,” tanya Arya.
“Aku lapar, Pak,” jawab Santi.
“Kita cari rumah makan dulu, ya? Non mau makan apa?” tanya Arya.
“Serah bapak deh, kasihan anak saya di perut belum makan dari pagi, Cuma makan roti sisahan bapak saja nih, sama susu uht yang tadi bapak beli!” jawab Santi.
“Eh tadi non bilang apa? Anak non di perut? Maksud Non gimana?”
“Ya aku lagi hamil, Pak. Ini masalahnya, kenapa aku mau dikawinin sama om-om itu. Tuh om-om dibayar papa, buat ngawinin aku, karena pacarku gak mau tanggung jawab,” jelas Santi.
Arya menggeleng tidak percaya dengan apa yang diucapkan Santi. Bagai jatuh tertimpa tangga juga. Dia tidak sengaja bawa kabur wanita yang tengah hamil tanpa suami.
“Astaga ... kenapa ada-ada saja kejadian kek gini sih?” Arya berkata lirih sambil memijit keningnya.
“Kenapa gitu raut wajah bapak? Udah gak usah bingung, makasih udah nganter aku kabur sejauh ini. Penting aku bisa lepas dari om-om itu. Mending aku urus anak sendiri, daripada nikah sama om-om,” ucap Santi.
“Eh, non mikir gak sih?! Non ini sedang hamil, dengan entengnya non mau apa-apa urus sendiri?”
“Emang aku salah kalau mau begitu? Udah jangan sok khawatir, mending cari nasi padang deh, aku pengin makan rendang. Terus tar kita cari hotel dulu, lalu besok temani saya lagi cari perumahan,” ucap Santi.
Arya tidak mengerti dengan perempuan yang duduk di jok belakang itu. Di mana pikirannya, sedang hamil malah main kabur, jauh pula? Sudah begitu mau urus dirinya sendiri.
“Ya sudah kita cari rumah makan padang,” ucap Arya.
“Oke, agak cepat ya, Pak? Kasihan si utun sudah kelaparan!” ucap Santi.
“Non kalau aku boleh kasih saran nih, ya? Non tadinya terima saja non nikah sama orang itu, toh dia dibayar. Kalau nanti anak non lahir, non bisa kan cerai gitu sama tuh orang?” ucap Arya.
“Nah nih orang? Kalau dia minta macam-macam gimana? Rugi banget gue disentuh sama orang yang gak gue cinta!” tukas Santi.
“Kan dia dibayar, Non? Tinggal non terus bayar dia saja supaya dia gak nyentuh non?” ucap Arya.
“Ya gak bisa lah! Kalau dia nafsu gimana? Terus merkosa aku gimana? Posisi aku istrinya lho? Kan gak lucu istri diperkosa suaminya!” ucap Santi.
“Ya sudah sekarang terserah non, asal saya gak diseret-seret aja soal ini. Saya hari ini dan besok nurutin non, setelah itu, saya tidak mau berurusan lagi dengan non!”
“Oke, gak masalah!” jawab Santi santai.
“Udah jangan tanya-tanya terus ah, nih si utun sudah kelaparan!” tukas Santi.
“Siap, Non!” jawab Arya semangat.
Arya juga sebenarnya memiliki rumah peninggalan eyangnya di Pekalongan. Rumah yang sudah menjadi hak milik Arya dari dulu, tapi dia sama sekali belum pernah mengunjunginya, hanya di rawat oleh orang suruhannya saja.
“Apa aku bawa dia ke rumahku saja yang di sini, ya? Tapi, nanti asisten di rumah bisa jaga rahasia ini gak ya? Kan kalau dia di rumahku, ada mbak penjaga rumah, jadi bisa sekalian di jaga olehnya? Bisa gak ya dia tutup mulut masalah ini? Kalau dia enggak hamil sih gak masalah aku turunin tuh orang di mana saja? Masalahnya dia sedang hamil, masa aku tega membiarkan wanita hamil sendiri? Ada-ada saja hidupku ini! Ketemu orang hamil gagal kawin pula?!” gumam Arya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!