"Bu... aku berangkat dulu titip Vano!" pamitku ke Ibuku sambil mencium tangan Ibuku yang sudah semakin tua.
"Hati-hati Rin, nanti pulang jam berapa?" tanya Ibu.
"Mungkin habis duhur Bu, ini mau ke Pengadilan mengurus perceraianku" jawabku.
Waktu menunjukkan jam 8 pagi Arinda segera mengendarai sepeda motornya menuju Pengadilan Agama, hampir setahun Arinda tidak bertemu dengan suaminya, hatinya masih sangat sakit atas semua penghianatanya.
Tiba di Pengadilan agama Arinda segera menuju bagian informasi, ternyata suaminya sudah berada disitu menunggunya.
"Mas Ardi... sudah lama?" sapaku.
"Lumayan" jawabnya sekenanya.
"Rin bagaimanapun Vano nanti ikut aku" katanya kemudian.
"Apa....??" tanyaku dengan sangat terkejut.
"Enak saja kamu bawa Vano, gak bisa, aku gak mau vano ngikut-ngikut kelakuanmu" kataku.
"Kalo begitu perceraian ini akan aku gantung" katanya.
"Gak usah banyak omong kita ketemu di sidang nanti aku sudah malas ngomong begini sama kamu" sambil berlari meninggalkan Mas Ardi
Mas Ardi mengejarku dan meraih tanganku
"Lepaskan tanganku kamu sudah bukan muhrimku bukanya kamu sudah menceraikanku secara agama di depan keluarga besar kita" kataku dengan ketus
perlahan ardi melepaskan tanganku dan kami menuju bagian informasi.
Di bagian informasi terlihat ada beberapa orang yang bertanya, aku menunggu beberapa saat.
"Mbak... maaf mau tanya bagian pengajuan perceraian dimana?" tanyaku.
"Disana Bu" kata Mbak yang ada di bagian informasi sambil menunjuk sebuah ruangan.
"Terimakasih Mbak" jawabku dan menuju ruang pendaftaran diikuti oleh Mas Ardi.
Masuk ke ruang pendaftaran, disana terlihat ada dua bapak-bapak yang duduk di meja masing-masing.
"Assalamualaikum" sapaku.
"Waalaikumsalam" jawab seorang petugas
"Silahkan duduk Bapak Ibu, bisa kami bantu?" lanjutnya
Aku dan Mas Ardi duduk di kursi depan petugas tersebut.
"Maaf... kami mau mengajukan cerai syaratnya bagaimana?" Mas Ardi bertanya kepada petugas tersebut.
"Ini yang mengajukan siapa?" tanya petugas tersebut.
"Saya Pak" jawab Mas Ardi.
"Bawa ktp asli, foto copy ktp, kk asli, foto copy kk, surat nikah asli dan foto copy nya?" lanjut petugas tersebut.
"Iya bawa pak" jawabku sambil membuka tas mengambil map berisi berkas-berkas yang diminta.
"Bapak isi blanko ini dan alasan apa menceraikan istri Bapak?" tanyanya.
"Coba Bapak lihat apa yang kurang dari istri Bapak ini? cantik kan? mau cari yang bagaimana lagi?" kelakar petugasnya.
"Saya sudah tidak cocok lagi sama istri saya, sering bertengkar. Dia selalu curiga kalau saya keluar rumah" kata Mas Ardi.
"Rujuk lagi saja Pak, toh bertengkar itu bumbunya rumah tangga lagian rumah tangga Bapak Ibu ini masih berjalan 3 tahun jadi hal biasa menyesuaikan kebiasaan pasangan" nasehat petugas tersebut.
"Gak bisa Pak, saya gak bisa terus sama dia makan hati selalu" kataku.
"Makan hati bagaimana Ibu?" tanya petugas.
"Bagaimana gak makan hati Pak, coba bayangkan kalau Bapak jadi saya,
ini mantan suami saya kerja gak jelas itu masih bisa saya maklumi Pak, lah terus gonti-ganti perempuan gonceng sana sini perempuan apa gak sakit hati saya" kataku.
"Sapa tau suamimu tukang ojek Bu jadi bisa ganti-ganti orang yang dibonceng" kata petugas itu.
Dalam hati nih bapak kebangeten banget deh hmmmm.
Mas Ardi hanya diam saja tanpa kata entah apa yang ada dalam pikiranya.
"Mas... maaf ini aku buka disini kalau tidak kita tidak bisa berpisah bukanya kamu yang menginginkan berpisah dan mau seneng-seneng sama perempuanmu tanpa bertengkar denganku setiap hari" kataku.
Dia hanya menganggukkan kepalanya.
"Pak biar saya yang mengajukan gugat cerai bila alasan suami saya ini tidak Bapak terima.
Pak... saya punya anak, anak itu masih usia 3 tahun anak ini saja nyaris tidak dia nafkahi apalagi saya dan saya satu tahun ini sudah pisah rumah jadi selama satu tahun lebih ini sudah tidak ada nafkah batin juga dia tidak memberi nafkah istri hampir selama kami menikah bisa ditanyakan langsung sama dia" ceritaku.
Sambil menghela nafas panjang aku melanjutkan cerita.
"Bapak tau...dibelakang saya dia main perempuan dan itu saya tau sendiri dia memilih perempuan tua itu daripada saya dan anaknya apa yang saya pertahankan dari rumah tangga ini kalau bukan perceraian" lanjut ceritaku.
Petugas tersebut mendengarkan ceritaku dengan seksama dan berkata "Bisa bu dijadikan alasan saya tulis ya" kata petugas tersebut.
Aku dan Mas Ardi diam menunggu petugas tersebut mengetik berkas pengajuan cerai kami.
"Pak kalau anak ikut saya bagaimana?" tanya Mas Ardi di sela-sela petugas mengetik berkas kami.
"Sepertinya berat tapi nanti silahkan dibicarakan waktu sidang" jawab petugas.
"Bapak lbu silahkan ini ditandatangani di bagian sini dan sini" petugas tersebut menyodorkan kertas ke kami sambil menunjuk tempat yang harus kami tanda tangani.
"Silahkan ibu bapak menuju ruangan di depan untuk membayar biaya pendaftaran" kata petugas.
Dalam hati Alhamdulillah... semoga segera lepas dari laki-laki ini.
Bergegas aku dan Mas Ardi meninggalkan ruangan tersebut menuju loket pembayaran
sambil menunggu dipanggil petugas loket.
Aku duduk bersebelahan dengan mas ardi sambil melihat banyaknya orang yang mendaftar sidang cerai dari muda sampai tua ada, dalam hati entahlah apa yang terjadi dalam rumah tangga mereka apakah sama yang mereka rasakan seperti yang aku rasakan entahlah tiba-tiba Mas Ardi mengejutkan lamunanku.
"Rin biar aku yang bayar walaupun kamu yang mengajukan kan sudah kesepakatan kita dulu" katanya.
Aku hanya mengangguk saja.
Dalam pikiranku hanya ingin lepas dari laki-laki ini dan membesarkan anak penuh kasih sayang tidak ada dalam pikiranku untuk menikah lagi setelah ini, aku hanya ingin bekerja berkarir membesarkan anak yang pasti kedepannya aku jadi ayah juga bunda.
Tapi...bagaimana kalau hak asuh anak diambil dia? tak terasa air mata hampir jatuh dari kelopak mataku, aku menunduk sambil mengusap air mata dengan jilbabku.
Terdengar suara dari loket memanggil namaku.
"Arinda Widya Arini"
Petugas loket memanggil namaku dan bergegas aku menuju loket diikuti oleh Mas Ardi.
"Ini uangnya" kata Mas Ardi memberikan sejumlah uang untuk membayar biaya perceraian kami.
"Bentar Bu ada kembalianya" kata petugas.
"Nanti ada petugas kami yang mendatangi Ibu ke rumah setelah itu baru dimulai sidangnya ditunggu ya..." jelas petugas.
"Kira-kira sidangnya kapan ya Mbak?" tanyaku.
"Perkiraan tanggal 8 mei bila ada mundur nanti dikabari" jelasnya.
"Iya terima kasih" jawabku sambil membawa bukti pengajuan cerai serta uang kembalian dan aku melangkah meninggalkan pengadilan agama.
Ketika akan memasuki area parkir.
"Rin ayo makan dulu" pinta Mas Ardi.
Aku hanya mengikutinya dari belakang tanpa kata -kata dalam hati andai kamu bisa bersikap baik begini sama aku dan jadi laki-laki setia gak mungkin kita kesini, kita bisa membesarkan Vano bersama.
"Oh iya ini kembalian uang tadi" kataku sambil menyodorkan sejumlah uang.
"Mamu kasih ke Vano saja" jawab Mas Ardi.
"Gak perlu daripada nanti Vano kamu ambil" jawabku dg nada marah.
Tiba di kantin Pengadilan agama.
Aku mengambil makan ayam dan sayur sop dan pesen minum teh hangat, sebenarnya aku sudah tidak nafsu makan tapi sudahlah anggap saja menghormati dia, mungkin ini juga terakhir kali aku makan bersama dia hanya berdua, Mas Ardi mengambil nasi sayur asam ikan bandeng dan es teh.
Setelah makan kami meninggalkan Pengadilan agama pulang menuju rumah masing-masing.
Adzan subuh berkumandang serasa membangunkan setiap insan dari mimpinya
setelah sholat subuh aku menyiapkan segala kebutuhanku dan bekal kebutuhan si kecil selama sehari di penitipan anak.
Pagi jam 7 aku sudah siap menuju tempat kerjaku bersama anak gantengku Vano karena aku tidak mau merepotkan kedua orang tuaku untuk mengurus anakku jadi setiap hari Vano ikut bersamaku, saat aku bekerja Vano di penitipan anak yang lokasinya tidak jauh dari tempat kerjaku.
"Bu Pak berangkat dulu, Vano salim sama Mbah uti juga Mbah kung ya" pintaku sama Vano, Vano dengan tangan mungilnya mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan kedua orang tuaku.
Aku berjalan menuju sepeda motorku sambil menggendong Vano dengan gendongan ransel di depan, menaruh tas di depan dan mensetater sepeda motor matik, tangan Vano melambai-lambai sambil berkata "dada dada" kepada kedua orang tuaku sambil tertawa, sungguh menggemaskan anak ini batinku.
Sepanjang perjalanan menuju kantor adalah hal yang selalu kurindukan, bagiku setiap hari ditemani anak dengan celotehannya yang menggemaskan, walaupun lelah letih sedih dengan segala problema kehidupanku tapi tak kurasakan ketika melihat senyum manis Vano.
Sampailah di penitipan anak segera aku turun dari sepeda membuka pintu penitipan anak kubuka gendongan ransel, Vano masih tertidur lelap tak tega untuk membangunkanya akhirnya kubiarkan tidur beralaskan gendongan ransel.
"Bu Via nitip Vano ya, nanti jam 4 saya jemput kalau ada apa-apa tolong saya dikabari" pesanku.
"Iya Bu Rinda" jawab Bu Via
Kulangkahkan kakiku keluar dari penitipan anak menuju tempat kerjaku, masih setengah jam lagi masuk kantor batinku ke kantin dulu untuk sarapan pikirku.
Sepeda kukendarai menuju kantin sudah banyak lalu lalang karyawan baik karyawan pabrik maupun kantor yang sudah datang.
"Mbak Yah... biasa pecel ya sama susu jahe nanti dibawa ke ruanganku ya!" pesanku ke mbak Yah penjaga kantin tempatku kerja.
"Iya Bu segera kesana" jawabnya dengan semangat.
Sepeda kuparkir ke tempat parkir khusus karyawan kantor dan aku naiki tangga menuju lantai dua dimana tempatku kerja berada.
"Hai Nia" sapaku ke teman kerjaku yang juga sahabatku.
"Tumben ceria kamu Rin ada apa?" tanyanya kepo.
Sambil menuju meja kerjaku, aku menyalakan komputer dan kujawab
"Kepo banget masak teman seneng kamu gak suka, emang kamu suka ya kalo aku nangis sedih terus? bisa-bisa air mataku habis sapa coba yang akan donor air mata ke aku?" omelku, disambut oleh tertawanya Nia dan akupun ikut tertawa.
Kubuka file di komputerku dan mulai mengecek satu persatu data
tiba-tiba mbak Yah datang membawa makanan pesananku segera aku makan sarapan karena pagi gak sempat untuk sarapan.
"Nia... ini kenapa ya pemasaran kok turun nilainya ya? Pak Farid apa sudah tau kalau bulan ini ada penurunan pemasukan? padahal bulan depan ada rencana untuk menaikkan gaji karyawan" kataku.
"Kayaknya belum tau Rin jawab Nia.
Aku berdiri dan berjalan menuju kantornya Pak Farid sambil membawa beberapa map sampai di depan kantor pintu Pak Farid kuketuk pintunya beberapa kali dari dalam terdengar suara.
"Masuk..." segera kubuka handel pintu dan aku masuk menuju meja Pak Farid, "Ada apa Rinda" tanya Pak Farid.
"Maaf Pak ini saya mau melaporkan omzet perusahaan bulan ini ada penurunan bagaimana bulan depan? kan mau ada kenaikan gaji untuk karyawan" jelasku.
Pak Farid segera membuka lembar demi lembar laporan data dariku kemudian mengangkat telp untuk menelpon seseorang.
"Rinda kamu tetap disini dulu tunggu sebentar setelah ini ada rapat disini" pinta Pak Farid.
"Iya Pak" jawabku sambil tersenyum.
Beberapa menit kemudian Mas Anton, Mas Ridwan dan Mbak Farah datang ke kantor Pak Farid kami duduk di ruang rapat dipimpin Pak Farid.
"Anton bagaimana kinerja produksimu bulan ini kenapa mengalami penurunan?" tanya Pak Farid
"Maaf Pak Farid bulan ini memang hasil tangkap ikan dari nelayan menurun diakibatkan oleh gelombang tinggi jadi nelayan tidak banyak yang berani melaut" jelasnya.
"Ridwan bagaimana dengan permintaan pasar akan ikan laut ini?" tanya Pak Farid lagi.
"Permintaannya banyak pak tapi bagaimana lagi kalau stock ikan kita berkurang" jelasnya.
"Farah kondisi keuangan perusaahaan bagaimana bisakah untuk menaikkan gaji karyawan bulan depan? perusahaan sudah mengumumkan kalau ada kenaikan gaji kalau tidak dinaikkan apa gak demo semua karyawan?" tanya Pak Farid kemudian.
"Kalau untuk bulan depan bisa Pak tapi bulan selanjutnya tidak menjamin bila stok ikan kita berkurang terus" jelas Farah.
"Pak bagaimana kalau perusahaan ini tidak hanya mengolah ikan laut saja tapi ikan air tawar juga?" usulku.
"Maksudmu bagaimana Rinda?" tanya Pak Farid.
"Begini Pak daerah sini kan banyak petambak ada udang, gurami, lele, bandeng bagaimana kalau ikan tersebut juga dikenalkan?" jelasku kemudian.
"Bagus Rinda idemu akan saya kaji lagi" jawab Pak farid dan rapat selesai.
Aku meninggalkan kantor Pak Farid bersamaan dengan Mas Anton, Mas Ridwan dan Mbak Farah
Tiba di kantor.
"Rin tadi hapemu bunyi berkali-kali aku gak berani angkat nanti lah someone mu" goda Nia.
"Ngawur saja kamu Nia, ini saja proses belum selesai bisa-bisa Vano diambil dia, aku gigit jari" kataku.
Kuambil hp dari dalam tas ku dan kubuka ada panggilan dari nomer asing
Kutelpon balik nomer asing tersebut beberapa kali akhirnya dijawab juga
"Hallo..." sapaku.
"Hallo" dari seberang sana suara laki-laki
"Maaf ini dengan siapa tadi telpon ke nomerku ini ya" tanyaku.
"Ini dengan Arinda Widya Arini ya?" tanyanya.
"Iya betul ini dengan siapa?" tanyaku balik.
"Bu Arinda ini dari Pengadilan Agama tadi ke alamat Ibu, rumah Ibu tertutup kata tetangga Ibu sedang bekerja, bisa kita ketemu hari ini Bu?" jelas pria tersebut.
"Oh iya pak bisa, saya bekerja di daerah jalan mayjend sungkono bisa ketemu di daerah sekitar situ sekitar jam dua belasan lebih ya waktu saya istirahat" pintaku.
"Oke bu" jawabnya dan telpon aku tutup.
"Hayooo siapa?" goda nia.
"Orang pengadilan mau ketemu aku untuk tanda tangan berkas kamu mau ikut nanti menemuinya?" tanyaku.
"Oke" jawab nia.
Waktu menunjukkan jam 12:15 aku dan Nia turun ke bawah menuju parkir sepeda motor, mengendarai sepeda motor menuju pintu keluar sambil menggonceng Nia menuju rumah makan dekat dengan tempatku bekerja untuk bertemu dengan orang dari Pengadilan Agama sekalian makan siang.
Sampailah di rumah makan tempat kami bertemu dan kuhampiri seorang pria sendiri dipojokan.
"Maaf masnya dari Pengadilan Agama?" tanyaku
"Iya ini Bu Arinda ya?" tanyanya.
Aku dan Nia duduk didepan pria tersebut
pria itu mengeluarkan map dari tasnya dan membuka di depanku.
"Bu ini ya pengajuan cerainya bisa ditandatangani disini dan ini untuk ibu bawa ke Pengadilan tanggal 8 mei jam 9 pagi di ruang sidang 2 ya" jelasnya.
"Oh iya Mas terima kasih ya saya pamit dulu" kataku sambil berdiri dari tempat dudukku dan menuju kasir untuk memesan makanan
selesai makan aku dan Nia kembali ke kantor tempat kami bekerja untuk melanjutkan pekerjaan kami.
Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore segera aku Nia dan Winda menuju masjid kantor menunaikan ibadah sholat ashar berjamaah setelah sholat ashar kami kembali ke kantor lagi bersantai dan membereskan pekerjaan-pekerjaan kantor sambil menunggu waktu pulang setengah jam lagi.
Menuju penitipan anak.
"Assalamualaikum" ucap salamku.
"Waalaikumsalam" jawaban dari dalam.
Kulepas sepatuku dan membuka pintu,
Vano melihatku dan berlari memelukku menciumku serasa lelah bekerja terobati semua terimakasih ya Allah Engkau anugerahkan anak laki-laki kepadaku yang selalu mengerti kondisiku memberi semangat hidupku, kupeluk kucium dan kugendong anakku melepas rindu sehari tidak bertemu.
"Bu Via, Bu Ana bagaimana Vano sehari ini nakal ya? atau rewel?" tanyaku
"Biasa Bu anak kecil ya begitulah" jawab Bu Ana
"Tadi Vano tidur siang Bunda" kata Bu Via
"Ya sudah Bu saya pamit pulang dulu" sambil membawa tas bekal Vano dan bersalaman dengan Bu Ana, Bu Via dan Bu Rika.
"Terima kasih Bu telah menjaga Vano" ucapku.
"Assalamualaikum" salamku.
"Waalaikumsalam" jawab Bu Via dan Bu Ana.
"Hati-hati bunda" kata mereka.
Dalam perjalanan Vano bilang.
"Bunda minta beli mainan mobil" rengeknya.
"Vano... Bunda gak ada uang sama sekali
bulan depan ya" pintaku sambil memelas.
"Vano minta sekarang Bunda" rengeknya sambil menangis dalam gendonganku.
Dalam hati Ya Allah murahkan lancarkan rejeki hamba ini tak terasa aku menitikkan air mata, Vano masih saja menangis merengek minta beli mainan.
Selama ini memang ayahnya tidak peduli dengan Vano dia sibuk dengan urusanya sendiri.
Aku berhenti di pinggir jalan karena Vano terus menangis dan meronta.
"Vano...maaf sekali Bunda benar-benar tidak punya uang, ini uang cukup untuk susu Vano, Vano apa gak mau minum susu?" kataku menjelaskan.
"Kalau Vano minta mainan sekarang lusa tidak bisa beli susu mau? bunda gajian masih lama" kataku.
Vano diam saja mendengarkan perkataanku kupeluk kucium Vano dengan lembut sambil berkata.
"Maafkan Bunda ya Vano belum bisa membelikan mainan untuk Vano"
"Bunda kalau bulan depan janji ya" tanyanya.
"Insyaallah Vano doakan Bunda dapat uang banyak bisa nyenengin Vano" kataku.
Tiba dirumah jam setengah 5 sore
memanaskan air untuk mandi Vano.
Aku mandikan Vano sambil bercanda bergurau serasa beban berat hilang lenyap dengan melihat vano tersenyum.
Seminggu telah berlalu tanggal 8 mei yang kunantikan.
Vano hari ini tidak di Penitipan anak tapi sama orang tuaku yang kebetulan hari ini lagi santai dirumah dan aku kemarin juga sudah minta ijin sama pak Farid untuk tidak masuk kerja.
Di Pengadilan agama duduk sendiri menunggu panggilan sidang kutengok kanan kiri depan belakang tidak ada ayahnya Vano
setengah jam berlalu belum ada panggilan juga akhirnya aku menuju kantin untuk membeli air minum dan kembali ke ruang tunggu sidang.
Tak lama kemudian pengeras suara memanggil namaku.
"Arinda Widya Arini dan Ardiansyah Ma'ruf mohon masuk ke ruang sidang dua"
Kupandangi di sekelilingku tidak kutemukan wajah mantanku dalam benakku sudahlah kalau tidak datang segera kulangkahkan kakiku menuju ruang sidang hati dag dig dug tangan bergetar Ya Allah ampuni dosa hamba ini lancarkan urusan hamba ini doaku.
Di dalam ruang sidang.
"Ibu Arinda" tanya orang yang di depanku.
"Ya betul Pak" jawabku.
"Bapak Ardiansyah mana?" tanya orang yang di depanku.
Aku terdiam dan menggelengkan kepala.
"Tidak tau Pak tidak ada komunikasi dengan saya" jawabku.
"Bagaimana sidang bisa dimulai" tanya Pak jaksa ke orang disebelahnya, dan yang disebelahnya menganggukkan kepala.
"Bu Arinda apa sudah benar-benar ingin berpisah dengan Bapak Ardiansyah?" tanya beliau.
"Iya Pak" jawabku dengan bergetar suaraku karena gugub
"Ini Bapak Ardiansyah tidak menandatangani berkas perceraian yang dikirim kesana berarti Pak Ardiansyah tidak mau bercerai" kata Pak jaksa
Deg rasa hatiku ya Allah... apa mau lelaki ini.
"Pak... mohon untuk dilanjutkan proses perceraian ini" pintaku.
"Saya dengan suami sudah pisah rumah selama satu tahun dan selama itu dia tidak pernah mengunjungi anaknya apalagi menafkahi anaknya tolong dilanjutkan ya Pak! sudah tidak ada harapan lagi bagi saya untuk meneruskan rumah tangga ini" lanjutku.
Pak jaksa melihat-lihat berkasku lagi dan berbisik-bisik dengan disebelahnya.
"Iya Bu sidang bisa diteruskan lagi Ibu bisa mengikuti sidang lagi setelah dua minggu lagi, nanti jadwal sidang akan dikirim ke Ibu" katanya.
Sidang ditutup suara palu terdengar diketuk tiga kali.
Segera kumeninggalkan ruang sidang dengan hati jengkel.
Kuambil hp dari tasku mau menelpon Mas Ardi
"Kamu dimana sekarang?" tanyaku dengan nada marah.
"Aku di parkiran Pengadilan agama jawabnya
maksudmu apa dengan tidak mau tanda tangan berkas? kamu pikir aku mau balik lagi sama kamu? sudah lelah aku hidup denganmu, sudah lelah aku kau sakiti mau apalagi kamu dengan hidupku?" ocehku.
"Kamu segera ke parkiran aku tunggu disana" jawabnya.
Segera kumatikan telponku dan menuju parkiran Pengadilan agama dari jauh kulihat mantanku duduk di kursi panjang dan aku menghampirinya.
"Maumu apa?" sungutku.
"Duduk dulu" katanya.
"Gak usah" jawabku dengan ketus.
"Rin... Vano tak bawa ya?" katanya.
"Gak boleh enak saja kamu bawa terus diurus sama perempuanmu kamu pikir aku gak bisa ngurus anak apa? terus setiap hari Vano lihat bapaknya pulang bawa perempuan beda-beda? itu maumu? kamu bangga begitu? mau kamu tunjukkan ke anakmu?" kataku dengan emosi.
Rasanya ingin kulempar apa saja ke mukanya yang seperti tak berdosa, mimpi apa aku ini hidup sekali di dunia bertemu dengan lelaki macam ini.
Segera kulangkahkan kakiku menuju sepeda motorku yang kuparkir disana dan keluar meninggalkan Pengadilan agama dengan hati dongkol gak perduli dia mau ngomong apa yang penting sidang ini sukses dan dilanjut dua minggu lagi.
Setelah keluar dari pengadilan agama aku pergi menuju toko untuk membeli kebutuhan selama sebulan, sesampainya disana kubeli beberapa susunya Vano, pampers dan lain sebagainya dan segera kubayar ke kasir
susu dan lain sebagainya selama sebulan sudah di kardus dalam hati Alhamdulillah semoga berkah kulihat isi dompetku tinggal beberapa uangku dan masih ada di atm beberapa ratus semoga cukup sampai gajian nanti.
Sesampainya di rumah, kulihat vano tertidur pulas di kamar kucium lembut pipinya yang cubi, waktu menunjukkan pukul satu siang.
"Bu Vano tadi gak rewel ya?" tanyaku ke Ibu.
"Iya sering tanya kapan kamu pulang" jawab Ibuku.
"Bagaimana tadi sidangnya?" tanya Ibu.
"Ya begitulah Bu dua minggu lagi sidang lagi membawa dua saksi" jawabku.
Aku tidak pernah bercerita seperti apa proses perceraianku dan permasalahanku kepada kedua orang tuaku, aku tak mau mereka jadi kepikiran dan sakit.
"Kamu sudah makan Rin?" tanya Ibu.
"Belum Bu" jawabku.
"Makan dulu!" pinta Ibu.
"Iya Bu tak sholat duhur dulu" kataku.
Setelah sholat duhur aku menuju meja makan kulihat Vano masih terlelap tidur, setelah makan kubaringkan tubuhku disamping Vano dan berbisik di telinganya
"Jadi anak pinter dan sholeh ya nak!" sambil mengecup keningnya.
Kalau bisa berkata aku lelah dengan kehidupanku ini, biarlah aku yang merasakan sendiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!