NovelToon NovelToon

Misteri Di Desa Uwak

Kunang-Kunang

Matahari telah kembali pada persembunyiannya di ufuk barat menyisakan warna jingga yang lambat laun berubah warna menjadi hitam kelabu. Malam ini tidak nampak bintang-bintang di langit seperti biasanya hanya tersisa awan gelap yang menggantung menemani bulan, suara jangkrik mulai berdenging di sekujur persawahan samping rumah.

“Tampaknya malam ini akan turun hujan Wak."

Seorang anak remaja yang baru saja keluar dari dalam rumah dan langsung duduk bersila di samping orang yang dipanggilnya wak.

“Malam ini tidak akan turun hujan Nak Doni."

Wak Tuni menghembuskan asap rokok miliknya ke udara membuat kepulan abu-abu dan hilang diterpa oleh angin malam.

“Terus kenapa gelap sekali, Wak?"

Doni berbicara sambil memainkan ponsel pintar miliknya.

“Kalau bicara baiknya jangan liat yang lain, sopan sedikit Nak."

Wak Tuni menegur doni yang terlihat sibuk menggoyang-goyangkan ponsel pintar miliknya.

“Hehehe maaf Wak, di sini susah sinyal yah."

Doni terkekeh pelan dan menggaruk kepalnya yang tidak gatal kemudian memasukkan ponsel pintar miliknya itu ke dalam saku celananya.

“Haduh, dasar anak kota."

Wak Tuni menggelengkan kepalanya dan ikut terkekeh melihat cucunya itu.

Doni memang baru datang dari kota sehari yang lalu, doni datang ke desa tempat kakeknya tinggal bukan karena dirinya yang mau tapi karen dipaksa oleh kedua orang tuannya. Kata ayah dan ibunya, Doni harus merasakan yang namanya tinggal di desa mumpung sedang libur semester, selain itu juga Doni mengunjungi kakeknya Wak Tuni yang hidup sendiri setelah neneknya meninggal tiga tahun yang lalu agar tidak merasa kesepian.

Sebenarnya Wak Tuni sudah beberapa kali diajak untuk ikut tinggal di kota oleh anak-anaknya tapi Wak Tuni menolak dengan alasan tidak ingin tinggal jauh dari makam mendiang istrinya dan wak Tuni juga ingin meninggal di desa kelahirannya itu.

“Berapa lama kamu tinggal di sini nak?”

Wak Tunik mematikan rokoknya dan memperbaiki posisi duduknya mencari tempat sandaran untuk punggungnya yang sudah mulai membungkuk.

“Sekitar dua minggu Wak."

Doni menjawab dengan cepat, sebenarnya Doni memiliki waktu libur semester selama satu bulan penuh, tapi Doni tidak ingin berlama-lama tinggal di pedesaan terlebih di desa tempat tinggal kakeknya itu sangat sulit menemukan jaringan yang bagus untuk dia gunakan berkomunikasi dengan teman-temanya di kota.

“Dua minggu yah, pasti membosankan tinggal di desa selama itu. "

Wak Tuni kemudian terkekeh pelan sembari menatap cucu laki-lakinya itu.

“Wak, bisa baca pikiran orang yah hehehe."

Doni kemudian ikut terkekeh ia tidak menyangka kakeknya itu bisa tahu apa isi pikirannya. Sebenarnya Doni sedikit terkejut tidak menyangka mendengar perkataan dari kakeknya itu. Doni berfikir bahwa kakeknya akan memintanya untuk tinggal sedikit lebih lama karena baru kali ini dia datang berkunjung.

Keduanya lebih banyak diam daripada bercakap-cakap, Doni tidak bisa menebak atau mengerti jalan pikiran kakeknya itu sehingga dirinya tidak bisa memulai percakapan baru untuk mengakrabkan dirinya dengan kakeknya terlebih lagi wak Tuni, kakek Doni sepertinya pendiam dan tidak terlalu suka berbicara karena sedari tadi kakeknya itu lebih banyak diam dan melamun sambil menghisap rokoknya sendiri.

“Wak, ada kunang-kunang di sana!"

Doni berteriak girang menunjuk sebuah kebun yang berada tak jauh dari rumah kakeknya, di sana terlihat beberapa titik-titik kuning yang sedang melayang-layang. Ini pertama kalinya Doni melihat hewan bercahaya itu secara langsung.

“Jangan ditunjuk-tunjuk nak, liat saja kalau mau, kau bisa menganggu nanti."

Wak Tuni menurunkan tangan Doni yang masih menunjuk karena ingin memperlihatkan apa yang dilihatnya itu kepada Wak Tuni.

“Memangnya siapa yang akan terganggu Wak? kita kan hanya tinggal berdua saja dan rumah warga di sini berjauhan jadi jika aku berteriak pun tidak akan ada orang yang akan terganggukan Wak?"

Doni menurunkan tangannya dan masih terus melihat ke arah di mana kunang-kunang itu berada.

“Kau ini benar-benar anak kota tidak tahu apa-apa, kau tidak cocok tinggal di tempat seperti ini."

Wak Tuni mengusap-usap kepala Doni dan terkekeh pelan.

“Kita ini tidak hidup sendiri, di atas bumi ini masih ada makhluk yang lain misalnya hewan, tanaman bahkan masih banyak hal-hal yang tak terduga yang bisa saja hidup di luar sana, kita hanya sebagiannya saja, hidup kita berdampingan dengan makhluk hidup lainnya jadi harus saling menghargai walaupun itu tak terlihat sekalipun.”

Wak Tuni memberi penjelasan sederhana untuk cucunya itu.

“Iya wak akan Doni ingat, Saya cuman terlalu bersemangat Wak, Saya baru pertama kali melihat kunang-kunang secara langung."

Doni berbicara sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu.

“Kamu mau mendengar cerita?”

“Apa wak?”

Doni mengubah posisi duduknya dan ikut bersandar pada dipan tempat wak Tuni bersandar dan keduanya kini menatap arah yang sama. Mereka berdua asyik melihat kunang-kunang yang berterbangan tak jauh dari tempat mereka duduk.

“Kau tau dibalik keindahan cahaya berwarna kuning keemasan yang dikeluarkan oleh kunang-kunang katanya merupakan makhluk jelmaan dari iblis, sebagian masyarakat di sini juga percaya bahwa kunang-kunang itu adalah kuku-kuku dari orang-orang yang sudah meninggal."

Wak Tuni bercerita dengan sesekali melihat ke arah sekitarnya.

“Toh itu kan cuman katanya wak belum tentu benar."

Doni hanya menanggapi cerita kakeknya seperti sebuah dongeng untuk menakut-nakuti anak yang nakal agar tidak keluar di malam hari.

“Pernah ada anak di desa ini keluar mencari jangkrik bersama teman-temannya untuk diadu, yah permainan itu sangat populer untuk ukuran anak desa di sini hehehe."

Wak Tuni terkekeh menghentikan ceritanya beberapa saat kemudian melanjutkannya kembali.

“Anak itu kemudian hilang, kata teman-temannya yang juga ikut mencari jangkrik anak itu melihat kunang-kunang dan berlari mengejarnya sampai sekarang anak itu belum di temukan."

“Tidak lapor polisi wak?"

Doni menegakkan badannya yang tadi duduk bersandar pada dipan.

“Warga di desa percaya anak itu hilang karena dibawa oleh makhluk halus katanya sia-sia kalau dilaporkan ke polisi hanya menghabiskan biaya dan tenaga, kamu sendiri percaya anak itu di bawah oleh makhluk halus?” Wak Tuni kembali terkekeh pelan.

“Doni sih tidak percaya sama yang begituan Wak, soalnya belum pernah lihat paling cuman nonton di TV, Uwak sendiri percaya?” Doni ikut terkekeh.

“Uwak percaya kalau makhluk seperti itu ada, tapi kalau sampai membawa kabur anak itu masih diluar nalar Uwak. "

“Sudah mau tengah malam Nak, ayo masuk!" Uwak Tuni menyadari bahwa malam sudah sangat larut ia kemudian menghentikan topik pembicaraannya dan mengajak Doni untuk masuk ke dalam rumah.

“Wak duluan saja nanti Saya menyusul, Saya masih mau lihat kunang-kunang dulu, jarang-jarang Saya bisa liat kunang-kunang secara langsung.”

Doni terkekeh sendiri melihat dirinya yang begitu antusias dengan kunang-kunang yang dilihatnya tadi.

“Baiklah, kalau kamu masuk nanti jangan lupa kunci pintunya!”

Wak Tuni beranjak dari tempat duduknya dan melangkah masuk ke dalam rumah meninggalkan Doni yang masih sibuk melihat kunang-kunang di teras rumah.

“Kenapa cerita kunang-kunang seseram itu yah padahal kunang-kunang sudah jelas hanya sejenis serangga dan muncul saat musim kawin dan cahaya miliknya itu bertujuan untuk menarik lawan jenisnya." Doni bergumam pada dirinya sendiri.

Doni mengeluarkan ponsel pintar miliknya, ia berniat ingin mengabadikan gambar kunang-kunang yang dilihatnya itu.

“Cekrek."

“Cekrek."

Setelah puas mengambil gambar Doni kemudian beranjak dari tempatnya duduk karena hendak masuk ke dalam rumah.

“Krekk". Terdengar suara ranting patah dari arah samping rumah membuat Doni sedikit penasaran siapa yang malam-malam begini masih berkeliaran di luar rumah.

“Wak... Wak... Uwak?”

Doni terus memanggil kakeknya mengira yang menginjak rating itu adalah kakeknya, tapi tidak ada suara sautan sama-sekali hanya suara jangkrik yang sesekali menyela.

Doni semakin penasaran ia menyalakan senter dari ponsel miliknya dan berjalan dengan hati-hati menuju samping rumahnya.

“Tap.. tap... tap."

Terdengar lagi suara langkah kaki yang samar-samar terdengar tapi tak terlihat ada seseorang di sekitar rumah.

“Ngeong."

“Ah, cuman kucing rupanya. ”

Doni bernafas lega melihat seekor kucing yang lari saat dirinya mendekat.

“Doni.”

“Aaaaa!"

...

...

Note

Halo!

Sebelum kalian membaca lebih lanjut author mau kasih tau beberapa informasi, bahwa dalam novel ini masih sangat banyak kekurangan dan kesalahan baik pada alur, pemilihan kata, ataupun kesalahan dalam pengetikan jadi jika nantinya kalian kecewa dan merasa tidak puas silahkan ditinggalkan dan bagi kalian yang merasa terhibur selama menikmati.

Terimakasih.

Stay Healthy

💙💙💙

Gambar Aneh

“Doni."

“Aaaaa!”

Doni berteriak, terkejut mendapati seseorang yang secara tiba-tiba memanggil namanya.

“Kamu kenapa malam-malam malah keluyuran keluar?”

“Ah, Uwak!” Doni menoleh dengan cepat mencari tahu siapa yang menegurnya itu.

“Aku kira tadi Uwak ada di sini." Doni mengelus kasar dadanya karena masih terkejut.

“Loh kok, Kamu bagaimana sih? bukannya Uwak tadi masuk ke dalam rumah duluan."

“Tapi itu.... "

“Sudah ayo masuk! sudah tengah malam."

Belum sempat Doni menuntaskan ucapannya Wak Tuni sudah menariknya masuk ke dalam rumah.

“Clekk."

Wak Tuni mengunci pintu kemudian berjalan menyusuri seluruh jendela memeriksa satu-persatu apakah semua jendela sudah terkunci atau tidak dan berjalan masuk ke dalam kamarnya.

“Sudah malam Nak, Kamu cuci muka dan kakimu sebelum tidur, Uwak tidur duluan yah."

“Iya Wak." Doni masuk ke dalam rumah dan ia masih terbayang-bayang dengan kejadian yang membuatnya hampir mengalami serangan jantung.

Setelah mendengar perintah dari kakeknya Doni segera masuk ke dalam kamar mandi, dan mengambil gayung yang terbuat dari buah bilah, yang sudah dibuat sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai gayung untuk mengambil air, Doni mencuci mukanya dan kedua kakinya seperti yang wak Tuni katakan. Setelah mencuci muka dan kakinya Doni segera meninggalkan kamar mandi dan segera masuk ke kamar dan naik ke atas tempat tidurnya dan perlahan-lahan melelapkan kedua matanya.

Matahari telah keluar dari tempat persembunyiannya di timur dan perlahan-lahan menyinari permukaan bumi dengan cahayanya dan mengganti malam menjadi pagi yang menyejukkan. Membangunkan sebagian makhluk hidup untuk memulai aktifitasnya untuk hari ini.

“Uwak, Uwak, Uwak!"

Seorang anak perempuan berumur tujuh tahun berteriak-teriak memanggil Wak Tuni, karena tidak mendapat jawaban dari si pemilik rumah akhirnya ia menyerbu masuk ke dalam rumah Uwak Tuni dengan memeluk bakul kecil di tangan mungilnya.

“Uwak ada di belakang rumah, Ratna!"

Wak Tuni segera menyabut saat mendengar Ratna datang, sebelum anak kecil itu berteriak lebih keras lagi dan membuat kegaduhan.

Mendengar suara si pemilik rumah anak perempuan itu kemudian berlari menuju ke arah pemilik suara.

“Uwak, Ratna bawa ubi rebus untuk Uwak. Mamak Ratna masak banyak ubi rebus pagi ini."

Ratna berbicara sambil menyodorkan bakul kecil yang sedari tadi dipeluknya agar tidak tumpah saat berlari.

“Terimakasih banyak Ratna." Wak Tuni mengambil bakul yang diserahkan Ratna padanya.

“Ratna pilih ubi yang paling besar untuk Uwak loh."

“Wah, iya terimakasih banyak Ratna kamu semakin pintar sekarang." Wak Tuni terkekeh mendengar ucapan Ratna dan mengelus lembut kepalanya.

Ratna tersenyum sumringah mendengar pujian yang dilontarkan Wak Tuni untuknya, yang memang sudah ia tunggu-tunggu dari tadi.

“Ayo masuk!" Wak Tuni berjalan masuk ke dalam rumah menuju dapur, mengambil wadah untuk ubi rebus yang diberikan Ratna untuknya, setelah mendapat wadah yang dirasa cocok Wak Tuni segera memindahkan ubi yang dibawa Ratna dan meletakkannya di atas meja kemudian menutupnya dengan tudung saji.

“Wak, siapa yang masih tidur di kamar wak?"

Ratna berbicara sambil terus melirik seorang anak laki-laki yang masih tertidur di dalam kamar yang dekat dengan dapur itu.

“Itu cucu Uwak dari kota."

“Kok, masih tidur sih Wak? inikan sudah siang."

“Maklum dia baru pertama kali tinggal di desa."

“Oh, di kota orangnya bangun siang-siang yah Wak?" Ratna mengangguk-angguk mengerti.

“Sebenarnya tidak semuanya juga, mungkin hanya sebagian saja, di desa juga tidak semuanya yang bagun pagi kan."

Wak Tuni terkekeh mendengar celoteh Ratna yang ceplas-ceplos.

“Kenapa tidak dibangunkan Wak? katanya tidur pagi itu bikin pelupa loh. "

“Semalam dia begadang nanti juga bagun sendiri. Nah, ini tempatmu sampaikan sama mamak mu terimakasih banyak." Wak Tuni berbicara sambil menyodorkan bakul tempat ubi yang dibawa oleh Ratna tadi.

“Siap wak!" Ratna memberi hormat pada wak Tuni, ia sudah seperti tentara yang siap turun ke medan perang untuk bertempur.

“Wak, apa Ratna boleh kenalan sama cucu uwak?"

“Boleh tap... ."

“Siap terimakasih Wak. "

belum sempat Wak Tuni menyelesaikan ucapannya, Ratna sudah berlari masuk lebih dulu ke dalam kamar tempat Doni tidur.

Ratna berlari masuk ke dalam kamar melihat sosok anak laki-laki yang masih tertidur pulas di atas kasur. Ratna kemudian berjalan berjinjit-jinjit mendekati Doni.

“Teengg, Teenngg, Teenngg. Salam kenal anak kota!"

Ratna memukul-mukul bakul yang dipegangnya tepat di atas telinga Doni dan berlari keluar kamar secepat yang ia bisa, meninggalkan rumah Wak Tuni dan pulang ke rumahnya.

Doni yang mendengar suara berisik secara tiba-tiba terperanjat bangun, pandangannya masih kabur karena baru bangun dari tidur, nyawanya masih belum terkumpul sepenuhnya.

Doni mengusap-usap matanya berusaha mencari tahu siapa yang tega membangunkannya dengan cara bar-bar seperti itu. Samar-samar dilihatnya sosok anak kecil yang berlari keluar dari kamar.

“Makhluk cebol macam apa itu?"

Doni mengerjapkan matanya beberapa kali berusaha membuat dirinya sadar sepenuhnya.

Kini kesadaran Doni sudah terkumpul sepenuhnya, Doni turun dari atas tempat tidurnya dan berjalan ke arah dapur dilihatnya Wak Tuni yang tengah sibuk menambal beskom yang bocor dengan plastik yang sudah dibakar terlebih dahulu, setelah plastiknya meleleh dengan cepat wak Tuni menempelkannya pada permukaan ember yang bocor dan menunggunya sampai dingin.

“Kenapa harus ditambal? Uwak kan bisa beli yang baru saja."

Doni berjalan mendekati tempat air minum dan menuangkannya ke dalam gelas kemudian meminumnya sampai air yang diisikan tadi ke dalam gelas habis.

“Kau sudah bangun rupanya, kalau masih bisa digunakan kenapa harus beli yang baru."

Wak Tuni terkekeh melihat wajah Doni yang masih berantakan karena baru bangun.

“Oh iya Wak, apa Wak tidak lihat makhluk cebol dan membawa bakul? Tadi Doni liat pas baru bangun."

“Hahaha, maksudmu Ratna?"

“Oh, jadi itu orang ya Wak, Doni kira makhluk astral, tadi tiba-tiba muncul di kamar orang."

“Itu Ratna, anaknya ibu Wati rumahnya termaksud paling dekat dengan rumah Uwa jadi sering datang ke sini.”

“Tadi ke sini ngapain wak?"

“Bawa ubi rebus, kamu pergilah mandi kalau sudah makanlah ubi rebus yang di bawah Ratna tadi sebagai sarapan, Uwak simpan di meja."

“Iya Wak."

Setelah Doni mandi dan makan ubi rebus yang dibawah oleh Ratna tadi pagi Doni berjalan ke luar dan duduk di bawah pohon mangga depan rumah Wak Tuni, sambil menghirup udara segar pedesaan. Sementara Wak Tuni sendiri sudah pergi ke kebun saat Doni mandi tadi.

Karena bosan sendiri akhirnya Doni masuk ke dalam kamar yang ditempatinya tidur, mengambil ponselnya dan mencoba login pada semua akun media sosial miliknya, Doni berulang kali mencoba masuk tapi terus gagal karena jaringan yang ada di desa sangat buruk, akhirnya Doni hanya membuka galeri melihat-lihat foto hasil jepretannya semalam.

“Apa ini?"

Salah satu gambar hasil jepretannya semalam menarik perhatiannya.

Di gambar itu terlihat sosok seperti manusia tengah berdiri di tengah semak-semak menatap ke arahnya. Doni men-zoom gambar di ponselnya itu untuk memastikannya dan benar saja terlihat sosok mirip manusia berdiri di tengah semak-semak, matanya yang berwarna merah nanar menatap ke arahnya, badannya terlihat sangat besar dan memiliki bulu di sekujur tubuhnya.

“Makhluk aneh apa ini?"

...

...

Titik Awal

“Makhluk aneh apa ini?" Tanya Doni pada dirinya sendiri.

“Semalam aku duduk di sini dan makhluk aneh ini berdiri di sana."

Doni beranjak dari posisi duduknya menuju tempatnya semalam mengambil foto dan mulai menelusurinya, ia mencoba untuk mencari tahu makhluk apa yang ikut eksis di dalam kamera ponselnya itu.

Kini Doni tengah melangkahkan kakinya mendekati pinggiran hutan yang di tempati oleh kunang-kunang dan makhluk berbulu aneh yang dilihatnya semalam. Doni telah sampai di semak-semak tempat makhluk berbulu yang dilihatnya di dalam foto ia memposisikan tubuhnya mirip seperti makhluk aneh di foto, dan berdiri menghadap ke teras rumah.

“Jadi, semalam aku di awasi makhluk aneh dari sini yah." Gumam Doni saat berada di tengah semak-semak.

Doni menyilangkan kedua tangan di dadanya dan mulai berfikir, bola mata Doni berusaha menyusuri seluruh tempat itu kemudian ia menemukan jejak-jejak kaki di tanah, Doni membungkuk untuk melihat jelas jejak kaki yang ditemukannya itu. Jejak kaki yang dilihat Doni berukuran kecil dan terlihat baru saja tertempel di tanah.

“Jejak kakinya kok kecil yah, padahal di dalam foto badannya besar apa makhluk ini punya kelainan ya."

Doni bergumam dan memindahkan tangan kananya di bawah dagunya sedangkan tangan kirinya masih bersilang di depan dadanya.

“Apa yang kau lakukan di wilayahku, anak kota!"

“Uwaaaa." Doni berteriak karena terkejut mendengar suara yang entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja muncul dan menegurnya.

“Brukk."

“Apa yang kau lakukan di wilayah kekuasaanku HAHAHA. "

Doni kembali mendengar suara cempreng yang berusaha disangar-sagarkan oleh seseorang, sontak Doni terkejut dibuatnya dan terjatuh ke belakang karena tersandung akar pohon dan semak-semak.

Doni sepenuhnya terlentang di atas tanah karena terjatuh, dia melihat anak perempuan yang sedang asik bergelantungan di atas pohon.

“Hahahaha, dasar penakut!"

Anak perempuan yang dilihat Doni perlahan-lahan turun dari atas pohon kedua tangannya memegang dahan pohon dan kaki kanannya bergantian dengan kaki kirinya mencari pijakan untuk turun dari pohon setelah merasa dekat dengan permukaan tanah anak perempuan itu melompat turun dan berjalan mendekati Doni. Doni sendiri yang masih berbaring telentang di atas tanah memperhatikan gerak-gerik anak perempuan yang baru saja melompat turun dari pohon.

“Kau nyaman, tidur di sana anak kota?"

Anak perempuan yang baru turun dari pohon tersebut berjalan mendekati Doni dan membungkukkan badannya tepat di atas wajah Doni yang masih terlentang di atas tanah.

“Jadi itu jejak kakimu ya? dasar setan kecil, cebol pula."

Doni berusaha bangun dari tanah dan membersihkan pakaiannya dari debu yang menempel dengan cara di tepuk-tepuk.

“Brukk." Doni kembali terjatuh kali ini dirinya tersungkur ke depan karena didorong dari belakang saat berusaha berdiri.

“Sembarang panggil orang cebol, kamu tuh yang ketinggian dasar anak kota!"

Anak perempuan itu berbicara sambil menyilangkan tangannya di dadanya dan membuang wajahnya ke samping.

“Dasar aku kok malah didorong lagi, faktanya kamu memang cebol kok, nah satu lagi namaku bukan anak kota, Aku punya nama tahu."

Doni kembali berusaha berdiri dan kali ini menepuk-nepuk pakaian bagian depannya untuk membersihkan tanah yang menempel pada pakaiannya.

“Namaku Ratna namamu siapa? Kamu dari kota mana? naik apa ke sini?"

Ratna mengulurkan tangannya, memperkenalkan dirinya dan memberikan pertanyaan beruntun pada Doni.

“Kamu ini belum kenal sama orang sudah main serang pake pertanyaan saja."

Doni berjalan meninggalkan Ratna mengabaikannya yang masih mengulurkan tangan kanannya.

“Eh, kok aku malah ditinggal aku kan lagi perkenalan. Oi, namamu siapa?"

Ratna mempercepat langkah kakinya menyusul Doni yang sudah jauh meninggalkannya di depan.

“Aku mana mau kenalan sama anak nakal kayak kamu."

Doni mempercepat langkahnya agar Ratna tidak bisa menyusulnya.

“Oi, Oi. anak kota!"

Ratna memilih berlari untuk menyusul langkah kaki Doni yang semakin bertambah cepat.

“Aku minta maaf."

Ratna berteriak meminta maaf, Ratna telah menyerah untuk mengejar Doni yang sudah terlalu jauh di depannya, Ratna memegang kedua lututnya berusaha menstabilkan nafasnya yang sudah tidak beraturan karena berlari.

“Apa katamu? coba ulangi lagi!"

Doni yang mendengar permintaan maaf dari Ratna menghentikan langkah kakinya dan berbalik menuju tempat Ratna berdiri.

“Apa katamu tadi aku tidak dengar!"

Doni berpura-pura tuli dan memegangi telinganya untuk mendengar ucapan dari Ratna.

“Aku bilang aku minta maaf! "

Ratna berjongkok dan menundukkan kepalanya lesu karena kelelahan.

“Apa salahmu?"

Doni menyilangkan tangannya di dadanya berusaha bersikap tegas.

“Memang apa salahku?"

Ratna mendongak menatap Doni, bingung mendengar ucapan Doni padanya.

“Oh, jadi kamu tidak tahu salahmu apa yah, terus kenapa kamu minta maaf?"

Doni memalingkan mukanya berpura-pura marah agar Ratna mau mengakui kesalahannya.

“ Iya, iya, Ratna salah."

“Jadi, apa salahmu?"

“Aku salah sudah membuat kegaduhan tadi pagi.”

Ratna kembali menunduk lesu dan mengorek-korek tanah yang ada di depannya dengan ranting yang baru saja dipungutnya.

“Terus apa lagi?”

“Aku salah karena membuat kegaduhan tadi pagi, aku juga salah karena sudah menjahili, aku juga salah karena tadi mendorong dua kali sampai dua kali jatuh ke depan dan ke belakang."

“Good, anak baik. Tapi jumlah jatuh dan arahnya tidak usah kamu sebutkan juga kali."

Doni berjongkok di depan Ratna dan menepuk-nepuk punggungnya sendiri.

“Punggungmu kenapa? sakit?"

Ratna bingung melihat tindakan Doni yang berjongkok di depannya itu.

“Naiklah ke punggungku, Aku akan menggendongmu pulang."

“Benarkah? Boleh?”

Ratna berdiri kegirangan karena akan di gendong oleh Doni.

“Boleh, naiklah!"

Doni mengiyakan dan kembali menepuk punggungnya mempersilahkan Ratna naik.

Ratna tidak menyia-nyiakan kesempatannya itu dan tanpa ragu-ragu memanjat naik ke atas punggung Doni. Kemudian keduanya berjalan pulang menuju rumah.

“Jadi siapa namamu?”

“Namaku Doni."

“Doni, cucunya Wak Tuni?”

“Hoi, panggil aku yang sopan aku lebih tua darimu tau."

“Baiklah.. baiklah." Ratna menghela napas panjang.

“Nah sekarang coba ulangi."

Doni menghentikan langkahnya, fokus ingin mendengar ucapan dari Ratna.

“KAKAK DONI!! cucunya Wak Tuni yah? "

Ratna berteriak sekencang-kencangnya di telinga kiri Doni, kemudian segera melompat turun dari punggung Doni.

“Dasar setan kecil!"

Doni mengumpat dan memegang telinganya yang berdenging akibat ulah Ratna yang berteriak tepat di daun telinganya.

Tiba-tiba mata Doni menangkap sesuatu dari tempatnya berdiri, Doni melihat benda asing berwarna merah berkilat-kilat terkena cahaya matahari yang sudah mulai meredup, batu itu terletak diantara bebatuan lainnya di jalan setapak yang dilaluinya. Doni berjalan mendekati batu itu kemudian berjongkok untuk mengambilnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi, melihatnya tepat di bawah sinar matahari yang sudah hampir tenggelam.

“Apa itu?" Ratna berjongkok di dekat Doni dan ikut mengamati batu yang sedang dipegang oleh Doni.

"Entahlah, mungkin cuman manik-manik yang tercecer, ayo kita harus segera pulang sudah mau malam."

Setelah puas mengamati batu yang di temukannya, Doni menaruh batu itu di saku celananya dan segera mengajak Ratna pulang karena matahari sudah mulai tenggelam.

Keduanya berjalan pulang ke rumah, di perjalanan mereka bertemu dengan dua orang laki-laki paruh baya, yang satu bertubuh tinggi tegap serta berkulit agak hitam dan yang satunya memiliki tubuh kerempeng dengan wajah lancip. Doni berpura-pura tidak melihatnya dan terus berjalan berusaha tidak berurusan dengan orang asing.

“Hey nak!"

...

...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!