“Kenapa kamu hanya diam dan duduk di sana? Apa kamu tidak akan melayaniku sebagai mestinya?” Suara pria terdengar pelan tapi mampu menusuk hingga ke jantung hingga membuat berdebar tak terkendali, suaranya berat dan penuh penekanan.
Pria bermata biru dengan titik cahaya itu memancarkan aura dingin, tatapannya begitu tajam bagai elang yang siap menangkap mangsa. Dia memandang gadis yang kini duduk di tepian ranjang, tertunduk dengan kedua tangan meremas ujung rok sebatas lutut.
Gadis berambut coklat itu semakin meremas ujung rok, kedua pundaknya sempat bergidik saat mendengar suara pria itu, kemudian memberanikan diri mendongak dan menatap pria yang berdiri di hadapannya. Dua bola mata berwarna coklat bening itu berkaca, meratapi nasib yang membawa dirinya dalam ruangan itu, tempat yang tak pernah sekalipun ada dalam angannya untuk didatangi.
“Saya pikir Anda berbeda,” lirih gadis itu dengan bibir gemetar. Bibir mungil tipis yang tampak begitu menggoda.
Pria itu menyeringai, kemudian maju satu langkah hingga berdiri tepat di hadapan gadis. Dia sedikit membungkukkan badan, mencondongkan kepala tepat di samping telinga gadis itu.
“Berbeda? Apa yang membuatmu berpikir aku berbeda? Untuk apa aku membayarmu, jika tak mendapatkan keuntungan. Apa kamu pikir aku seorang yang dermawan?” tanya pria itu seolah mengejek. Pria itu bisa mencium aroma wangi dari rambut gadis itu, rambut coklat sedikit ikal dan berkilau, sangat rapi menunjukkan jika terawat dengan baik, membuat pria itu sebenarnya tak yakin jika gadis itu menjual diri karena butuh uang.
Gadis itu menoleh, hingga kedua bola mata mereka saling bertemu. Tatapan mata berwarna biru itu tadinya diharap bisa menolongnya, mengeluarkan dari jurang di mana dia awalnya didorong ke sana. Namun, siapa sangka jika pria itu sama saja. Lagi pula, pria baik mana yang akan datang ke tempat pelacuran.
“Aku sudah membelimu dengan sangat mahal, jadi tugasmu hanya memuaskanku. Tanpa alasan, tanpa negosiasi,” bisik pria itu.
Pria itu mendorong tubuh gadis berwajah polos dengan mata berkaca itu hingga jatuh ke belakang, sebelum mengukung dan mengunci tubuh gadis itu agar tidak kabur. Kedua lutut bertumpu di kasur, tepat berada di sisi kanan dan kiri paha gadis itu, sedangkan dua telapak tangan bertumpu tepat di samping kepala sang gadis.
“Apa kamu benar-benar masih polos, seperti yang mucikarimu katakan?” tanya pria itu, menatap dua bola mata sang gadis bergantian.
“Apa jawaban saya akan memengaruhi keputusan Anda untuk melepas?” tanya balik gadis itu seolah tak takut dengan apa yang akan dilakukan pria itu.
Meski gadis itu dalam kondisi tertekan, serta jantungnya berdegup hebat karena rasa takut, tapi tak sedikitpun gadis itu memperlihatkan ketakutan itu atau dirinya akan semakin ditindas.
Pria itu tertawa mendengar gadis itu berani melempar balik pertanyaan yang dilontarkan, hingga tangan mengapit dagu gadis itu dan sedikit mendongakkan wajah sang gadis.
Gadis itu menatap pria itu dengan bola mata berkaca, tatapannya seolah memelas untuk dibebaskan. Namun, dia melihat mata berwarna biru itu sudah berbalut gairah, memandangnya seolah siap menerkam untuk memangsanya.
“Tidak akan! Aku sudah membelimu, jadi akan aku nikmati apa yang kupunya,” ucap pria itu.
Gadis itu tahu jika semua akan tetap berakhir seperti ini, harga diri juga kebanggaannya sebentar lagi akan lenyap karena orang-orang serakah yang menjerumuskannya ke lubang teramat dalam.
Pria itu mulai memagut bibir gadis itu, menyesap perlahan tanpa perlawanan. Gadis itu memilih diam, menerima takdir yang sebenarnya tak diinginkan.
‘Jika hidup adalah sebuah pilihan, maka malam ini juga aku ingin sekali memilih mati.’
Gadis itu menitikkan air mata saat lumatann bibir itu semakin menggila.
Gadis itu meratap, kenapa hari yang harusnya membahagiakan baginya, malah membuat hidupnya hancur. Kepercayaannya dihancurkan begitu saja oleh orang yang sangat disayangi, sampai hati mendorongnya ke jurang gelap teramat dalam, hingga membuatnya takkan bisa bangkit lagi setelah ini.
Pria itu yang entah siapa namanya, mulai melucuti serta membuang serampangan pakaian gadis itu, sebelum dirinya sendiri melepas seluruh pakaiannya. Dia mengukung dan kembali melumatt bibir serta menjamah setiap inci kulit putih gadis itu. Pasrah adalah hal yang bisa dilakukan gadis itu, ingin pun melawan tapi untuk apa? Ketika dirinya keluar dari kamar itu, maka dirinya mungkin akan kembali didorong ke kamar lain. Hingga hidupnya tak memiliki pilihan, mau jalan ke mana pun, maka hasil yang akan didapatkan tetaplah sama—hancur.
“Kamu benar-benar, masih ….” Pria itu menjeda ucapannya, menatap sang gadis yang memejamkan mata dengan buliran kristal bening sedikit luruh dari ujung mata.
“Sepertinya aku tak sia-sia membayar mahal dirimu di pelelangan,” ucap pria itu penuh kesenangan.
Pria itu menembus bagian intim gadis itu, membuat gadis polos itu semakin memejamkan mata karena rasa sakit dan perih terasa menyiksa. Kini bukan hanya tubuhnya yang terasa sakit, tapi hatinya pun sudah hancur berkeping. Di mana kebanggaan itu sudah hilang selamanya.
**
Entah sudah berapa kali pria itu memacu serta menikmati tubuh gadis itu, memuaskan gairah yang seolah tak ada habisnya. Mendapatkan seorang gadis yang masih virgin sangatlah sulit, mungkin malam itu adalah malam keburuntungan untuk Morgan Bosley—pria yang tanpa sengaja membeli gadis perawan di sebuah tempat pelelangan pelacuran.
Morgan Bosley seorang pengusaha kaya, memiliki banyak perusahaan yang berdiri tak hanya di satu negara. Namun, kebiasaan buruknya soal bercinta dengan wanita bayaran seolah tak pernah bisa hilang, meski Morgan sudah memiliki seorang istri dan satu putri.
Morgan merasa terpuaskan malam ini, ditatapnya punggung gadis yang baru saja diajaknya bercinta berulang kali, menjamah tubuh gadis itu seolah tak membuatnya ingin berhenti. Ya, pengalaman Morgan terhadap gadis itu seolah seperti candu baginya, dia tak bisa mengendalikan gairah yang tak pernah padam, menuntut untuk terus memacu dan menikmati.
Dia naik ke atas ranjang, menyentuh lengan polos gadis yang meringkuk memunggungi dirinya.
Gadis itu bergedik saat telapak tangan besar itu menyentuh kulitnya yang halus. Dia sedang menahan rasa sakit di bagian intim juga hati. Gadis itu berharap Morgan segera pergi dan melepas dirinya sendiri. Dia lelah dengan semua keadaan yang ada, jika bisa lepas dari tempat itu, mungkin gadis itu ingin sekali menenggelamkan tubuh di laut dan tubuhnya tak lagi ditemukan siapapun.
“Kamu memberikanku pengalaman yang berbeda malam ini,” bisik Morgan di telinga gadis itu, lantas mencium lengan hingga leher sang gadis.
Gadis itu beringsut, napas hangat Morgan terasa menggelitik di telinga dan membuat bulu halusnya berdiri. Meski gadis itu menolak untuk menikmati sentuhan Morgan, tapi nyatanya tubuh mengkhianati hati dan terus memberikan reaksi lain. Dia tanpa sengaja terus mendesah ketika Morgan memberikan sentuhan di beberapa area sensitifnya, dia mencapai pelepasan berkali-kali karena ulah pria itu, membuat Morgan semakin bersemangat memacu tubuhnya.
“Kenapa kamu hanya diam, hm?” tanya Morgan, tangan mengusap rambut kusut gadis itu.
“Apa saya bisa pergi sekarang?” Hanya ucapan itu yang kini keluar dari bibir gadis itu, tak ada hal lain yang bisa dibanggakan, bisa memuaskan dan memberikan pengalaman berbeda bukanlah kemauannya.
Morgan terkejut mendengar permintaan gadis itu, seolah tak senang karena gadis itu ingin lepas darinya. Banyak wanita dari kotanya ingin bercinta atau sekedar tidur di ranjang yang sama dengan Morgan, lantas kenapa gadis ini malah ingin pergi meninggalkannya?
Morgan tak senang mendengar ucapan gadis itu, hingga dirinya menarik lengan gadis itu dan membuatnya terlentang menghadap ke arahnya. Morgan melihat wajah sendu gadis itu, tatapannya begitu sayu tapi juga teduh. Melihat cara gadis itu memandangnya, membuat jantung Morgan berdebar tak terkendali.
“Ada apa denganku?” Morgan bertanya-tanya dalam hati.
Gadis itu masih menatap Morgan, tak ada air mata lagi di wajah karena semua seolah sudah mengering seiring hatinya yang mati. Perlakuan orang yang menjerumuskannya, kemudian paksaan Morgan yang tak ada habisnya.
“Chloe, namamu Chloe, ‘kan?” tanya Morgan ketika ingat nama yang disematkan pada gadis itu.
“Chloe sudah mati,” lirih gadis bernama Chloe itu dengan bibir bergetar. Dia takkan sanggup lagi mendengar orang memanggilnya dengan nama itu.
Morgan tersenyum miring, sadar jika gadis itu hanya masih syok karena mahkota berharganya baru saja direnggut olehnya. Namun, bukankah itu bukan salah Morgan, salah gadis itu berada di atas panggung dan ditawarkan dengan harga yang bisa Morgan jangkau. Meski bukan Morgan yang membeli dan menikmati tubuhnya, pasti akan ada pria mesum lain yang akan memiliki gadis itu, malah mungkin akan semakin mengerikan dari Morgan.
Chloe memejamkan mata, rasanya begitu lelah dan tubuhnya begitu lemas. Namun, kelopak matanya urung saat Morgan menyentuhkan permukaan bibir mereka. Dia melihat pria itu kembali memagut bibirnya.
“Lagi? Apa pria ini tak lelah? Tubuhku sudah remuk bagai sebuah patung yang dihancurkan, ditempa, lantas dihancurkan lagi,” bisik Chloe dalam hati.
Morgan melepas pagutan bibir, kemudian menatap Chloe yang sudah memandangnya.
“Jadilah milikku, maka hidupmu akan terjamin. Takkan ada yang menjamahmu selain aku, serta kamu masih bisa hidup normal di antara orang-orang,” ujar Morgan seolah menjadi miliknya adalah pilihan satu-satunya untuk gadis itu.
Chloe tersenyum miris, bukankah nasibnya sangat buruk. Menjadi milik pria itu artinya menjadi budak pemuas ranjangnya, bukankah sama-sama tubuhnya akan dipermainkan tanpa henti. Sungguh andai bisa, Chloe ingin mati hari ini saja.
“Sama-sama menjadi sebuah mainan, apa bagusnya,” lirih Chloe. Matanya hampir tertutup, dia sudah lelah akan hidup ini.
Morgan melihat Chloe yang memang kelelahan, mungkin dirinya sudah memperlakukan gadis itu dengan kasar dan berulang kali tanpa henti, sekarang kini membiarkan gadis itu beristirahat adalah hal yang baik.
“Tidurlah, setelah kamu membuka mata, maka kamu hanya akan menjadi milikku,” bisik Morgan, sebelum kemudian mencium kening Chloe.
Morgan bukanlah seorang psikopat ranjang yang suka bercinta sambil melakukan kekerasan. Dia hanya senang bermain-main untuk memuaskan hasratnya, tidak ada yang tahu apa sebenarnya yang diinginkan pria itu, hanya saja Morgan kali ini sepertinya begitu tertarik dengan Chloe, hingga berniat menjadikan gadis itu simpanannya.
Melihat Chloe yang terpejam dan terlelap dalam damai, Morgan menarik selimut untuk menutupi tubuh polos gadis itu. Dia lantas turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu kamar.
Begitu membuka pintu, Morgan langsung disambut oleh dua orang bodyguard kepercayaannya. Keduanya langsung membungkuk saat melihat Morgan.
“Anda sudah selesai? Kita harus berangkat ke bandara,” ucap salah satu bodyguard.
“Tunda dulu!” perintah Morgan.
Morgan menoleh ke dalam di mana Chloe tidur, lantas menatap dua bodyguardnya. “Kalian pergilah ke mucikari yang menjualnya, katakan padanya jika aku menginginkannya hanya untukku. Jadi, bayar berapapun yang wanita itu inginkan agar aku bisa membawanya,” perintah Morgan.
Dua bodyguard Morgan saling tatap, mereka bingung akan perintah bosnya itu. Kenapa Morgan ingin menjadikan gadis itu miliknya, bukankah jika ingin bisa datang lagi lalu memesan gadis itu lagi.
“Kenapa kalian diam?” tanya Morgan tak senang saat dua bodyguardnya malah diam seribu bahasa saat dirinya memberi perintah.
“Anda akan membawa gadis itu?” tanya balik bodyguard memberanikan diri.
“Apa kalian keberatan?” Morgan menatap tajam pada dua anak buah yang berani meragukan keinginan dan perintahnya.
Dua pria bertubuh tegap dan berpakaian serba hitam itu menggeleng cepat, takut jika Morgan sampai marah. Mereka lantas memilih pergi dari sana untuk menemui wanita yang menjual Chloe, untuk membeli sepenuhnya gadis itu.
Setelah kedua anak buahnya pergi, Morgan pun kembali masuk. Ditatapnya Chloe yang masih memejamkan mata, hingga Morgan berpikir untuk membersihkan diri selagi menunggu anak buahnya membeli Chloe sepenuhnya untuk dirinya. Morgan saat ini masih sangat tergila-gila pada Chloe, ingin menjadikan gadis itu miliknya untuk sekarang dan takkan membiarkan pria lain menyentuhnya. Sebab itulah Morgan ingin membeli Chloe, jika suatu saat dirinya bosan, maka saat itulah Morgan akan melepas dan membiarkan Chloe hidup sesukanya.
Chloe mendengar suara pintu tertutup. Dia lantas membuka mata, sejak tadi Chloe memang tak tidur dan mendengar semua pembicaraan antara Morgan dan bodyguard-nya. Menjadi milik Morgan, menjadikan dirinya alat pemuas nafsu pria itu kapan saja, Chloe tak mau menjadi budak Morgan.
Chloe membuka mata, melirik ke pintu kamar mandi yang tertutup dan mendengar suara gemiricik air. Morgan sudah menyuruh bodyguard untuk menemui wanita yang menjual Chloe, itu artinya di depan tak ada penjagaan. Mereka berada di hotel dekat dengan tempat Chloe dilelang, artinya gadis itu bisa kabur karena hotel tak dijaga ketat seperti tempat di mana dirinya dilelang tadi.
Sekuat tenaga Chloe mengangsurkan kaki, menahan sakit teramat perih di bagian inti tubuhnya yang terkoyak karena perbuatan Morgan. Dia lantas membalut tubuh dengan selimut karena pakaiannya sudah terkoyak tak berbentuk. Chloe bertekad harus pergi dari sana, lepas dari Morgan juga dari tempat pelacuran, jika tak bisa lepas dari keduanya, maka Chloe akan memilih lepas dari hidupnya—mati.
**
Chloe berhasil keluar dari kamar dengan hanya memakai selimut yang membalut tubuh, dia berjalan sedikit tertatih melewati setiap tangga karena tak mungkin baginya naik lift di mana para tamu hotel pasti akan yang banyak menggunakan fasilitas itu. Chloe keluar dari hotel lewat pintu belakang gedung, di tempat yang memiliki pencahayaan minim itu Chloe bisa bernapas dengan benar, menarik dan mengembuskan napas berulang kali.
Namun, tanpa Chloe sadari, ada sepasang mata yang sedang mengawasi dirinya. Seorang pria dengan rokok menyala di sela jarinya itu mendekat ke arah Chloe yang menunduk karena sedang mengatur napas.
“Kamu baik-baik saja?” tanya pria itu dari balik kegelapan.
Chloe sangat terkejut mendengar suara pria, hingga kaki secara spontan mundur dan kedua tangan menggenggam erat selimut yang menutupi tubuh. Chloe tak bisa melihat dengan jelas wajah pria itu, hanya saja suaranya terdengar lembut dan cukup menenangkan. Namun, meski begitu Chloe tetap harus waspada, jangan sampai ada iblis lain di tempat itu yang akan memanfaatkan tubuhnya.
Pria itu menatap Chloe, dari balik kegelapan mata itu memancarkan cahaya yang indah, seolah siap menghipnotis yang melihat. Dia melangkah mendekat, membuat Chloe bergerak mundur. Hingga kaki yang bertelanjang, menginjak kerikil dan membuat Chloe jatuh ke tanah.
Pria itu bergegas berjongkok saat melihat Chloe terjatuh, membuat gadis itu gemetar ketakutan.
“Apa yang terjadi padamu?” tanya pria itu dengan suara lembut, tatapan pria itu penuh rasa iba pada Chloe.
Bibir Chloe bergetar, suaranya tersekat tak mampu mengucapkan kata-kata. Hingga hal yang dilakukan pria itu membuat Chloe terkejut, pria itu melepas mantel yang dikenakan dan memakaikan ke tubuh Chloe yang berbalut selimut.
“Jangan sampai ada yang melihatmu seperti ini, atau mereka akan seperti singa lapar yang akan memangsamu,” ucap pria itu.
Chloe terus menatap wajah pria itu, apakah dia tidak bermimpi bertemu dengan pria yang ada di hadapannya saat ini. Pria itu mampu menasihatinya, tapi apakah pria itu juga tak tertarik dan berniat menjadikannya santapan.
“Teri-ma ka-sih,” ucap Chloe terbata.
Pria itu tersenyum, hingga suara panggilan membuatnya menoleh ke belakang punggung Chloe.
“Marcel!” Suara pria lain terdengar meneriaki sebuah nama.
Pria yang bersama Chloe mencebik, lantas menatap Chloe yang sejak tadi tampak begitu ketakutan.
“Bersembunyilah, akan aku buat mereka tak sampai melihatmu. Saat ada kesempatan, pergilah jika ingin pergi,” ucap pria itu sebelum kemudian berdiri dan bersiap meninggalkan Chloe.
Malam ini Chloe bagai sedang ditunjukkan dengan berbagai macam orang dan sifatnya, ada yang buas seperti serigala lapar, ada yang begitu lembut dan bahkan tak tertarik untuk memanfaatkan kondisinya, ada pula yang ternyata baik di depan dan setelah itu menjerumuskannya.
Dua tahun kemudian.
Suara gemerincing bel yang dipasang di atas pintu terdengar, seorang wanita bertubuh tak terlalu tinggi dengan rambut coklat yang diikat rapi tampak melangkah masuk. Pakaian yang melekat di tubuhnya begitu pas hingga menampakkan bentuk tubuh yang sangat indah, bagai sebuah biola yang lengkap dengan setiap lekukan yang tercipta.
Wanita itu memperhatikan ruangan yang dilalui, merasa aneh karena tempat itu sepi tak seperti biasanya. Dia lantas berjalan ke salah satu pintu yang ada di ujung ruangan itu, hingga betapa terkejutnya wanita mendengar suara teriakan dari dalam.
“Selamat ulang tahun!” Beberapa gadis dan pria, tampak bertepuk tangan menyambut kedatangan wanita itu. Salah satu dari mereka tampak membawa kue berukuran sedang, semua orang itu tersenyum ke arah wanita yang baru masuk.
Chloe Jovanika Light, gadis yang dua tahun lalu mengalami keterpurukan dan kehilangan kehormatan, kini menjadi wanita anggun yang begitu dikagumi oleh karyawannya. Tidak ada yang tahu bagaimana wanita itu menghadapi tahun-tahun setelah kejadian itu, yang jelas Chloe Jovanika Light pergi dari negara yang menjadi tempat kelahirannya, kemudian tinggal di sebuah kota kecil untuk menghapus semua kenangan pahit dalam hidupnya, menghapus nama yang diberikan orangtuanya, dari Chloe hanya menjadi Jova.
Jova kini memiliki sebuah salon kecantikan, merintis usahanya itu sejak satu tahun yang lalu dan kini sudah berkembang pesat karena pelayanan dan hasil pekerjaan di salon itu sangat memuaskan. Banyak wanita maupun pria yang datang ke sana, mulai dari menengah ke bawah dan ke atas, semua dilayani dengan baik.
Kini Jova menatap satu persatu karyawannya, tak menyangka jika mereka akan memberikan kejutan untuk dirinya di hari yang sebenarnya tak ingin diingat.
“Sudah kubilang jangan membuat kejutan, kenapa kalian melakukannya, hm? Apa kalian tidak kerja dengan membiarkan meja depan kosong?” tanya Jova sambil menunjuk keluar, bicara dengan hati-hati dan lembut meski merasa dadanya terasa sesak mengingat hari ulang tahunnya.
“Kami hanya ingin merayakan hari spesialmu, Nona.” Salah satu karyawan mencoba menjelaskan.
“Benar sekali, hari ini juga genap satu tahun kami di sini bekerja denganmu, apa Nona marah kami melakukan ini?” tanya salah satu karyawan wanita yang memegang kue.
Jova menatap satu persatu karyawannya, hingga kemudian menghela napas kasar, sebelum tatapan tertuju pada salah satu pria yang berdiri di belakang para karyawannya itu. Jova menatap pria itu, sepertinya tahu siapa yang menjadi biang kerok acara kejutan itu.
Pria yang berdiri di paling belakang tersenyum, sebelum kemudian mengedikkan bahu seolah tahu jika Jova melempar pertanyaan kepadanya. ‘Kenapa membiarkan mereka membuat kejutan.’
Para karyawan Jova menundukkan kepala, seolah takut jika Jova marah pada mereka.
“Baiklah, hanya kali ini kalian boleh merayakannya. Setelah ini, tolong jangan lakukan lagi,” ucap Jova yang tak tega melihat para karyawannya bersedih.
Tujuh karyawan Jova itu terlihat begitu senang karena Jova tak marah, hingga kemudian gadis yang membawa kue mendekat, menyodorkan kue dengan lilin berbentuk angka dua dan tujuh, menandakan jika Chloe Jovanika Light kini berumur dua puluh tujuh tahun.
Jova pun terpaksa meniup untuk menyenangkan hati karyawannya, bagaimanapun mereka juga sudah berusaha membuat kejutan kecil itu untuknya. Begitu api lilin padam, semua orang bertepuk tangan dan berteriak kencang. Mereka meminta Jova memotong kue itu, sebelum kemudian membagi dan memakannya.
Joya tersenyum melihat tingkah karyawannya yang seperti anak kecil, lantas berjalan mendekat ke arah pria yang sejak tadi berdiri di bagian paling dalam ruangan itu.
“Kamu puas berhasil memprovokasi mereka untuk mengadakan kejutan, hm?” tanya Jova seraya menatap wajah pria itu.
Pria itu merengkuh pinggang Jova, sebelum kemudian mendaratkan sebuah kecupan di bibir wanita itu.
“Selamat ulang tahun, sayang,” ucap pria itu kemudian.
“Edmund! Sudah kubilang jangan cium sembarangan dan jangan mengucapkan kalimat itu!” protes Jova, kemudian melirik karyawannya yang sedang asyik menikmati kue.
Edmund Fergie adalah pria yang ada di dalam hidup Jova selama dua tahun ini, pria yang paling tahu bagaimana perjuangan wanita itu untuk bertahan sampai sekarang.
“Kenapa?” tanya Edmund seolah menggoda Jova.
Jova mencebik kemudian memukul pelan lengan pria itu. “Untuk ciuman aku bisa memaafkan, tapi ucapan itu, kamu tahu kenapa aku tak mau mendengarnya,” ujar Jova menjelaskan.
Edmund menatap dua bola mata Jova, melihat akan rasa trauma itu masih melekat ketika hari ulang tahun wanita itu tiba.
“Maaf, aku pikir kamu sudah melupakannya setelah dua tahun,” ucap Edmund penuh penyesalan.
Jova tersenyum getir, sebelum kemudian menggelengkan kepala pelan untuk menanggapi ucapan Edmund. “Ingatan itu takkan pernah terlupakan, Edmund. Takkan pernah.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!