NovelToon NovelToon

Pembantumu Jodohku

Gendis.

Isak tangis seorang gadis yang bernama Gendis di depan kuburan sang paman yang masih basah mengharu biru. Keadaan kuburan sangat sepi, karena para pelayat sudah pulang ke rumah masing-masing. Paman Jimin yang selalu menyayangi dan menjadi sosok pengganti sang ayah yang selama ini tidak pernah Gendis ketahui keberadaanya. Tetapi paman telah kembali ke peraduannya lebih dulu. Pupus sudah harapan Gendis kini, untuk menyibak tabir misteri siapa ayah yang sudah membuatnya terlantar.

Jika Gendis menanyakan kepada Ningrum sang ibu tentang siapa ayah nya, Ningrum selalu marah. Harapan Gendis untuk mencari keberadaan sang ayah kandas sudah. Saksi kunci satu-satu nya yang tahu keberadaan ayah biologis Gendis hanya paman Jimin, tetapi Tuhan rupanya menyayangi Jimin dan meninggalkan Gendis lebih dulu. Jimin sudah berjanji kepada Gendis, akan memberi tahu siapa ayah Gendis. Namun paman mencari waktu yang tepat, karena paman Jimin sudah diancam oleh Ningrum ibu Gendis, agar jangan membuka mulut.

Anak kelas tiga SMK yang tinggal 6 bulan lagi akan lulus itulah karena sang paman yang membiayai. Namun dengan kepergian paman Jimin yang begitu cepat, Gendis ragu. Akankah ia mampu untuk lanjut sekolah sampai lulus? Sementara Ningrum sang ibu selama ini seolah tidak pernah perduli kepadanya.

Tidak ada hentinya Gendis berdoa di depan gundukan tanah, dimana sang paman pria baik dan penyayang kini telah pergi untuk selamanya.

"Paman... semoga Tuhan bersamamu,"

Gendis menaburkan bunga dan menyiram gundukan tanah dengan air kendi sebelum akhirnya beranjak dengan langkah berat meninggalkan Jimin dalam peristirahatan terakhir nya.

Dengan langkah gontai, Gendis kembali pulang ke rumah. Rumah milik sang paman yang sudah ia tinggali semenjak ia kecil. Walaupun bukan rumah mewah namun rumah ini yang membuat Gendis tumbuh menjadi gadis yang berwajah cantik. Walaupun sang ibu memberi nama Gendis bukan berarti kulitnya coklat kemerahan seperti gula jawa, seperti arti nama Gendis yang artinya gula.

************

Tiga hari kemudian, Gendis tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan, ia harus bangkit kembali ke sekolah. Dengan seragam putih abu-abu rambut dikuncir kuda, menggendong tas rangsel, gadis itu keluar dari kamar.

"Kamu yakin? Mau melanjutkan sekolah Ndis?" tanya bu Ningrum yang baru selesai mandi.

"Gendis yakin Mak, aku harus bisa lulus sekolah, walaupun tanpa Paman," Gendis bersemangat menarik kursi usang yang sudah lapuk dimakan waktu, kemudian duduk berhadapan dengan bu Ningrum. Ia seruput teh manis dan singkong goreng untuk menu sarapan pagi yang sudah gendis masak setelah subuh tadi pagi.

"Jangan mimpi Ndis!" ketus Ningrum.

"Jangan begitu dong Mak... kalau berdoa untuk anak itu yang baik, karena doa Mak akan di kabulkan," tutur Gendis disela-sela mengunyah.

"Kamu harus menurut kata Mak, Ndis!" ketus Ningrum. "Lebih baik kamu berhenti sekolah, terus kerja sama Mak di rumah Tuan Daneswara, beliau sekarang sedang mencari pembantu" kata Ningrum.

"Nggak mau Mak, aku akan cari kerja yang lain saja, kalau sudah pulang sekolah, tapi jangan menjadi pembantu," tolak Gendis, jika ia bekerja menjadi pembantu bisa-bisa seharian, tentu tidak akan bisa bagi waktu untuk sekolah.

"Pokoknya Mak nggak mau tahu! Mulai besok, kamu harus ikut Mak bekerja! Walaupun kamu sekolah sampai setinggi apa, tetap saja! Ujung-ujungnya di dapur!" Pungkas Ningrum, kemudian beranjak meninggalkan Gendis.

"Maaak..." Gendis hanya bisa menarik napas sesak. Gendis menghabiskan sisa teh sebelum akhirnya berangkat ke sekolah.

Tanpa Gendis tahu Ningrum menatap langkah Gendis dari jendela. Air mata Ningrum bercucuran, menatap anak gadisnya hingga masuk angkutan umum.

Dengan berdesakan, Gendis numpang angkutan umum tidak lama kemudian tiba di sekolah. Ia berjalan pelan karena waktu masuk masih 10 menit lagi. Gendis membuka pintu kelas masih sepi, hanya terdengar derap sepatu miliknya. Ia segera duduk di kursi menurunkan tas, kemudian membuka risleting, ambil buku memeriksa tugas yang ia kerjakan selama tiga hari ini selama tidak masuk sekolah. Tugas sekolah yang selalu dikirimkan Ayu teman sekelasnya yang selalu baik kepadanya, agar tidak tertinggal pelajaran.

"Ndis..." Panggil Ayu yang baru saja tiba, lalu masuk duduk di sebelah Gendis sang sahabat.

"Kamu Yu" jawab Gendis segera menutup buku kemudian ngobrol dengan Ayu, membicarakan masalah tugas.

"Turut berduka cita Ndis, maaf ya, kemarin aku tidak bisa ikut Ibu aku taziah ke paman kamu," Ayu menatap sendu wajah sahabatnya. Ia tahu, Gendis pasti sangat kehilangan paman Jimin, karena hanya almarhum yang selalu ada untuk Gendis.

"Terimakasih Yu, doakan ya, semoga Paman aku di terima di sisi Tuhan," Gendis menunduk sedih.

"Aamiin..."

Obrolan mereka berhenti kala bel masuk berbunyi. Masuk guru pria yang bernama Damar, selaku wali kelas, kemudian menyampaikan materi pertama hingga tiba waktu istirahat.

"Gendis" panggil pak Damar, kala semua anak berhamburan untuk beristirahat.

"Saya Pak," Gendis berdiri di samping meja guru.

"Ikut saya ke kantor," titah pak Damar.

"Baik Pak" dengan perasaan campur aduk, Gendis mengikuti langkah pak Damar. Jika sudah di panggil ke kantor begini, sudah pasti urusan bayaran sekolah. Gendis harus menyiapkan tenaga dan pikiran bagaimana caranya agar bisa membayar tunggakan bayaran dan bisa melanjutkan sekolah.

"Ndis, kamu pasti sudah tahu mengapa kami memanggil kamu kesini" tandas pak Damar.

"Saya mengerti pak" Gendis mengangguk santun.

"Untuk itulah Ndis, ulangan semester akan di adakan seminggu lagi, jika kamu tidak segera melunasi tunggakan, kamu tidak akan bisa mengikuti ujian," pak Damar berbicara diplomatis. Sebenarnya pak Damar tidak tega menyampaikan ini karena Gendis masih berkabung, namun sebagai wali kelas, pak Damar hanya menjalankan amanat pihak sekolah.

"Saya akan berusaha Pak Damar,"

Gendis menutup pembicaraan karena sudah waktunya ikut pelajaran jam berikutnya.

**********

Jam pelajaran selesai Gendis bergegas menggendong rangsel. Namun sebelumnya ke toilet sekolah dulu salin baju. Mulai hari ini ia harus mencari kerja tanpa harus mengganngu sekolah.

"Ndis... kamu kenapa terburu-buru? Kita pulang bareng," Ayu mengejar Gendis dengan sepeda motor. "Terus... kenapa kamu ganti kaos?" cecar Ayu.

"Aku mau cari kerja Yu, Pak Damar tadi, memanggil aku agar melunasi tunggakan uang sekolah." tutur Gendis, setelah paman sakit selama 6 bulan, bayaran sekolah membengkak karena tidak dibayar.

Ayu mengerti tentang masalah apa yang dialami sahabnya. Tentu Ayu dengan senang hati mengantar Gendis untuk mencari kerja, hingga tiba disalah satu steam mobil, Gendis minta diturunkan dari motor.

"Ndis... ini kan tempat kerja pencucian mobil almarhum Paman kamu? Kamu yakin akan melamar bekerja disini? Ini pekerjaan laki-laki loh" cecar Ayu.

"Tenang saja, sebaiknya kamu pulang Yu, terimakasih ya," Gendis melambaikan tangan kepada Ayu, sebelum akhirnya masuk ke dalam pemilik usaha pencuncian mobil.

"Permisi Ko" kata Gendis, kepada koko.

"Ndis... kamu mau apa kesini? Bukankah paman Jimin sudah meninggal?" tanya koko, ia sudah mengenal Gendis, karena Gendis sering mengantar makan siang untuk paman Jimin ketika masih bekerja di tempat itu.

"Ko, saya mau melamar bekerja disini untuk menggantikan paman saya,"

"Apa kamu bisa Ndis? Ini kan pekerjaan laki-laki" dahi koko berkerut.

"Tenang saja Ko, koko bukanya sering lihat saya membantu paman" Gendis meyakinkan.

Dengan berbagai pertimbangan koko menerima Gendis bekerja di tempat itu.

Gendis mengamati mobil mewah yang baru datang, tentu milyaran rupiah harganya.

"Nah... ini tugas pertama aku, semangat... semangat Ndis," gumam Gendis. Ini tugas Gendis yang pertama kali akan mencuci mobil tersebut.

"Brak!

Tampak sang pemilik mobil keluar setelah dibukakan pintu oleh sang supir.

"Bisa saya bantu Tuan" Gendis tersenyum manis, membuat pemuda tampan pemilik mobil mewah membuka kaca matanya, menatap lekat wajah Gendis.

*******

Ayo kita berpetualang dengan Gendis semoga suka cerita ini. ❤❤❤.

Menjalani dunia baru.

"Ada yang bisa saya bantu Tuan?" tanya Gendis tersenyum manis membuat pemuda tampan itu pun akhirnya membuka kaca mata nya, menatap lekat wajah Gendis.

"Saya cuci mobilnya Tuan..." Gendis menghindari tatapan mata pemuda itu, pergi mengait selang dan perlengkapan untuk mencuci mobil. Gendis menyemprotkan air membasahi mobil sebelum akhirnya melumuri kanebo dengan sampo mobil dengan lincah menggosok mobil.

"Heh! Kamu ini perempuan kok petakilan! Kalau sampai mobil tuan saya lecet, kamu mau tanggung jawab!" sinis supir. Sementara pria yang dipanggil tuan, tidak mau berpaling dari wajah Gendis.

"Tenang Mase... dijamin mobil Tuan Anda, tidak akan kenapa-napa, dan sudah pasti akan saya buat kinclong seperti wajah saya," Gendis tertawa tanpa menatap sang supir. Tanganya sibuk menggosok-gosok bagian depan mobil.

"Nggak! Saya harus lapor bos kamu. Enak saja! Memang tidak ada karyawan laki-laki apa, sampai mempekerjakan wanita yang belum tentu bisa bekerja!" supir terus mengomel. Namun Gendis tidak perduli, ia justeru ambil kursi menggosok mobil bagian atas perlahan agar tidak tergores. Sang pria tampan tersenyum kecil tanpa Gendis sadari.

"Selesai..." Gendis tersenyum menatap hasil kerja kerasnya.

Pria tampan gagah berwibawa berjalan ke arah Gendis. "Ini buat kamu" ucapnya lembut menyodorkan uang merah.

"Terimakasih Tuan... alhamdulillah, Tuan ternyata baik tidak seperti supir Anda itu," Gendis melirik supir yang sedang meneliti mobil barang kali ada yang tergores.

"Apa kamu bilang?!" sungut supir yang kira-kira berumur 20 tahun itu.

"Gito... mari kita berangkat" titah pria tampan itu memperingatkan supirnya yang bernama Sugito agar jangan bersikap kasar.

"Baik Tuan..." Sugito segera membukakan pintu untuk tuan nya setelah masuk, mobil mewah itu pun berlalu.

"Alhamdulillah... rezeki anak sholeh," Gendis membolak balikkan uang merah sebelum akhirnya memasukkan ke dalam saku celana. Gendis kemudian lanjut kerja hingga sore hari, bisa menyelesaikan mencuci mobil sebanyak lima mobil. Satu mobil ia tidak mendapat honor banyak hanya mendapat rp 10 ribu, tetapi Gendis bersyukur.

Sebelum magrib, Gendis pulang ke rumah sambil berjalan ia bernyanyi kecil. Uang 150 ribu akan ia berikan mak nya, 50 ribu, selebihnya akan ia kumpulkan untuk bayaran. Gendis akhirnya tiba di rumah, karena rumahnya tidak terlalu jauh dari tempat itu.

Sampai di dalam rumah, Gendis mendapati sang ibu sedang menonton televisi.

"Assalamualaikum..." Gendis menyandak telapak tangan Nigrum kemudian menciumnya.

"Waalaikumsallam..."

"Kamu darimana sampai jam segini baru pulang?! Cuma alasan kan? Kamu sekolah? Paling kamu keluyuran!" Ningrum menatap sinis wajah Gendis.

"Mamak... Gendis itu pulang sekolah langsung kerja Mak, lihat ini" Gendis merogoh kantong dan mengeluarkan hasil kerja kerasnya selama 4 jam. Gendis memberikan uang biru untuk mamaknya.

"Kerja apa kamu?!" Ningrum mencabut uang cepat dari tangan Gendis.

"Aku kerja menggantikan paman Jimin Mak" tutur Gendis. Namun, Gendis tidak menceritakan jika ia di sekolah dipanggil wali kelas, karena harus melunasi tunggakan uang sekolah.

"Nggak usah sok-sok-an, kamu! Pakai acara kerja sambil sekolah. Mamak sudah menemui istri Tuan Daniswara, mulai besok pagi kamu harus kerja sama mamak! Titik!" Ningrum tidak mau dibantah.

"Maaak... aku mau kerja di tempat pencucian mobil saja, biar aku bisa tetap sekolah Mak," rengek Gendis air mata nya menggenang di pelupuk.

"Tidak! Jika kamu tidak mau menurut, siap-siap saja kamu akan kehilangan Mak," tegas Ningrum.

"Maksudnya apa Mak?" Gendis berdiri di depan Ningrum yang sudah berniat pergi dari tempat itu.

"Tidak usah banyak tanya, jika kamu ingin Mak kamu ini tetap hidup!" ketus Ningrum sambil berlalu.

Gendis pun akhirnya beranjak ke kamar menjatuhkan tubuhnya di kasur lepek. Ia benamkan wajahnya di atas bantal, tubuhnya bergetar karena tangisnya pecah. Pupus sudah harapannya agar bisa menamatkan sekolah SMK, dan mendapatkan ijasah.

Gendis merasa iri dengan Ayu dan juga teman-teman yang lain, mereka begitu disayangi kedua orang tuanya apa lagi ibu, tapi mengapa semua itu tidak pernah Gendis dapatkan? Gendis tidak ingin apapun hanya ingin sekolah tetapi mengapa sulit sekali. Selama 30 menit Gendis menangis begitu mendengar adzan maghrib ia segera beranjak keluar dari kamar, mandi di kamar mandi dekat dapur kemudian shalat maghrib tentunya.

Setelah selesai magrib Gendis ke dapur membuka kulkas yang di belikan paman beberapa tahun yang lalu mencari apa yang akan dimasak malam ini.

Begitulah Gendis, ia tidak pernah seperti teman-teman yang menikmati masa remaja jalan-jalan dan lain sebagainya. Gadis cantik itu selain sekolah, membantu paman mencuci mobil juga melakukan tugas rumah tangga. Toh Gendis tidak pernah mengeluh.

***********

Pagi hari setelah subuh seperti biasa Gendis akan memasak.

"Selesai memasak, kamu tidak boleh sekolah, siap-siap jam 6 kita harus sudah sampai di kediaman Daniswara," Ningrum mengejutkan Gendis.

"Iya... terserah Mak saja" Gendis sudah tidak mau membantah lagi, semalam ia sudah merenung. Gendis tahu, mak nya tipikal orang yang tidak mau di bantah. Gendis hanya bisa berdoa semoga nyonya Banuwati berhati baik, Gendis akan minta ijin melanjutkan sekolah. Toh ia bisa mengerjakan pekerjaan rumah setelah subuh dan pulang sekolah.

Setelah menggoreng singkong sisa kemarin, Gendis sarapan bersama Ningrum.

"Jika kita bekerja disana nanti, kita pasti akan makan enak setiap hari Ndis, Mak bosan makan singkong terus" gerutu Ningrum.

Tapi Gendis lebih baik makan singkong terus Mak, daripada harus putus sekolah seperti yang Mak mau.

Selesai sarapan Gendis berangkat ke kediaman tuan Daniswara.

********

Jam setengah tujuh keluarga kaya raya yang baru tinggal di kota ini selama satu bulan sedang berkumpul di meja makan. Tuan Daniswara adalah pengusaha susu hasil produksi dari peternakan sendiri sampai export ke manca negara. Yakni perusahaan Daniswara group. Tentu Daniswara mempuanyai cabang usaha di berbagai kota, hingga sering pindah dari kota satu, ke kota yang lain.

"Bagaimana sekolah kamu yang baru Ratri?" tanya Daniswara kepada Gayatri anak gadis semata wayangnya.

"Biasa saja Pa, tidak ada bedanya dengan sekolah yang lama, tapi kalau pindah-pindah terus begini kan, harus menyesuaikan lagi" jawab Gayatri cemberut.

"Yang sabar Ratri... dengan begitu... kamu kan menjadi banyak teman Nak..." nyonya Banuwati menjawab.

"Permisi Nyonya..." Gendis yang membawa minuman dengan nampan menghentikan perdebatan.

"Siapa kamu?!" ketus Gayatri, tiba-tiba di rumah nya ada wanita cantik melebihi dirinya.

"Ini pembantu kita Ratri, dia seumuran sama kamu, berarti kamu punya teman di rumah ini," tutur Banuwati lembut, ia tersenyum menatap Gendis.

Gendis mengangguk santun lalu meletakkan minuman susu segar dengan rasa berbeda. Putih untuk tuan Daniswara, rasa buah untuk nyonya Banuwati, dan yang terakhir coklat untuk Gayatri.

"Huh teman! Pembantu!" ketus Ratri. Ketika Gendis meletakkan susu di depan nya.

"Ratri... kamu tidak boleh bersikap seperti itu, bukankah Mama sering katakan manusia sama derajatnya di hadapan sang pencipta," nasehat Banuwati bijak.

"Gendis... jangan ambil hati ucapan anak saya ya Nak,"

"Tentu tidak, Nyoya..." jawab Gendis.

Tuan Daniswara tidak menimpali dan juga tidak mau menatap Gendis. Beliau segera menyeruput susu murni hasil produksi dari sapi perah miliknya salah satu usahanya.

Cethat, chetat, chetat.

Suara sandal Ningrum yang berjalan membawa menu sarapan pagi ke meja makan. Wajah Ningrum berubah pucat kala sudah mendekati meja makan.

Praaangg....!!!

Nampan dalam pegangan Ningrum terlepas dari tangan.

******

Nahlo... kenapa ya? Ningrum sampai kaget begitu?

Orang di masa yang lalu.

Praaannggg...

"Nampan dalam genggaman Ningrum lepas dari tangan. Matanya membelalak kaget ketika menatap pria angkuh yang duduk di kursi sebelah Banuwati, yang tak lain adalah tuan Daniswara. Empat manusia yang berada disitu menoleh cepat termasuk Gendis.

"Ningrum..."

"Mamak..."

Banuwati dan juga Gendis mendekati Ningrum yang masih bengong seperti sapi ompong.

"Kamu kenapa Rum?" tanya Banuwati. Sementara Gendis segera berjongkok memunguti Roti tawar bakar yang akan dijadikan teman minum susu.

"Tidak apa-apa Nyonya... maaf, tangan saya kesemutan, saya akan buatkan yang baru," jawab Ningrum hendak berlalu.

"Ah! Dasar nggak becus kerja! Baru kerja pertama sudah membuat ulah!" Sewot Gayatri.

"Ratri..." Banuwati menatap putrinya agar jangan bersikap kasar terlebih Ningrum orang yang lebih tua.

Sementara Ningrum merasa hatinya sakit mendengar perkataan Gayatri.

"Tidak apa-apa Nyonya... Non Ratri wajib marah, karena saya tidak becus kerja," Ningrum kemudian berlalu kembali ke dapur.

"Aahh... jadi terlambat kalau begini! Minggir!" Gayatri menabrak lengan Ningrum hingga sempoyongan.

"Maaf Non, Non boleh memarahi saya, tapi tolong jangan memarahi Mak saya," Gendis tentu sedih melihat ibu nya dimarahi walaupun perlakuan Ningrum selama ini tidak baik kepadanya.

"Diam kamu Gendis! Jangan ikut campur!" Ningrum justeru tidak suka mendengar Gendis melawan Nona mudanya.

"Ningrum... kamu ini sama anak sendiri kenapa kasar?" tanya Banuwati.

Gayatri mendengus kesal kemudian berjalan ke halaman luas menemui supir, gadis bertampang judes itu berangkat ke sekolah.

Sementara di meja makan suasana masih menegang, tuan Daniswara tidak sepatah katapun berbicara. Ia kemudian meninggalkan susu yang baru diminum seperempat disusul Banuwati, sarapan pagi pun gagal total.

"Pa... kalau masih lapar aku buatkan roti terus dimakan di kamar ya..." kata Banuwati lembut.

"Sudahlah Ma, Papa sudah tidak selera makan" jawab tuan Daniswara kemudian mengenakan pakaian yang sudah disiapkan sang istri. "Sebaiknya memang kamu pecat saja! Pembantu itu Ma, cari yang lain saja!" ketus Daniswara.

"Loh... Papa kenapa sih... kok malah mengurusi pembantu?" Banuwati terkejut mendengar suaminya ikut campur masalah pembantu biasanya suaminya tidak pernah perduli.

"Mama tahu kan! Baru saja kerja sudah membuat keributan di meja makan!"

"Iya-iya... tadi kan Ningrum sudah bilang Pa... tanganya kesemutan, lagian kan Dia sudah minta maaf... Papa jangan-marah dong... nanti darah tinggi nya naik" ujar wanita setengah baya yang cantik dan anggun itu. Seraya memasangkan dasi sang suami.

"Papa berangkat Ma" Daniswara mencium pipi istrinya.

"Iya... hati-hati, Pa.." Banuwati menatap langkah cepat kaki suaminya, sampai keluar dari kamar dan menutup pintu.

Daniswara hendak berangkat ke kantor ketika melewati dapur menghentikan langkahnya, menatap Ningrum. Ningrum menumpahkan tangis meraup wajahnya dengan air wastavel, ia tidak tahu jika tuan Daniswara memperhatikan dirinya.

Daniswara bergegas ke luar tanpa berniat menyapa Ningrum. Sampai di halaman, tuan menatap Gendis yang sedang menyapu halaman. "Gendis..." panggilnya.

"Saya Tuan..." Gendis meletakkan sapu kemudian berjalan cepat menghampiri pria yang masih tampan itu.

"Umur kamu berapa?" selidik tuan menatap lekat wajah Gendis yang menatapnya juga. Pria dan wanita yang berbeda generasi itu saling pandang.

"Umur saya hampir delapan belas tahun Tuan..." Gendis menjawab lembut.

"Loh... berarti kamu sepantar dengan Gayatri, seharusnya kan kamu masih sekolah?"

"Benar Tuan... hari ini saya ijin, jika Nyonya membolehkan saya akan melanjutkan sekolah," Gendis menjawab hati-hati.

"Memang kemana ayah kamu? Kenapa mengijinkan kamu bekerja, saat usia sekolah?" cecar Daniswara.

"Saya tidak tahu siapa Bapak saya Tuan, sejak kecil saya hanya tinggal bersama Mamak dan Paman, tetapi baru seminggu ini Paman saya meninggal." Gendis sedih kala mengingat paman.

Deg.

Dada Daniswara berdegup kencang, ia merasa ingin tahu lebih lanjut siapa Gendis. Dengan langkah berat ia segera menghampiri mobilnya yang sudah ada supir di dalam. Tampak mobil sudah dinyalakan siap berangkat. Mobil pun melaju cepat hingga tiba disalah satu kantor pusat, tempat produksi susu dan juga makanan yang lain.

Daniswara pun berjalan munuju lift menekan tombol nomor lima.

"Selamat pagi Tuan Danis..." sapa Wadaana sekretaris tuan Daniswara, yang biasa dipanggil Ana.

"Selamat pagi" jawabnya dingin sembari masuk ke ruangan. Pria berusia 45 tahun itu pun segera duduk di kursi Ceo kebesaranya, bersandar di kursi goyang memejamkan mata. "Benarkah Gendis adalah anakku? gumamnya.

Flashback on.

Dini hari Daniswara yang biasa dipanggil Danis pulang dalam keadaan mabuk. Ia sedih karena harus memutuskan hubungannya dengan sang pacar yang berasal dari luar negeri. Danis dipaksa menikah dengan wanita yang bernama Banuwati. Dan yang membuat Danis kesal adalah; pernikahannya akan dilakukan esok hari. Padahal Danis baru saja pulang dari luar negeri melanjutkan kuliah s2 disana. Lagi pula Danis belum pernah tahu seperti apa wajah calon istrinya.

"Laura..." rancau Daniswara.

"Tuan muda..."Ningrung terkejut setelah membuka pintu tuan mudanya yang baru di rumah itu selama dua hari jatuh menimpa tubuh Ningrung. Ningrum selaku pembantu rumah tangga di rumah itu belum mengenal tuanya, sebab Daniswara berada diluar negri selama dua tahun, sedangkan Ningrum mulai bekerja di rumah nyonya Ajeng setahun yang lalu.

"Mari Tuan" Ningrum berusaha membantu tuanya memapah tubuh Danis yang sempoyongan mengajaknya ke kamar, menidurkan disana. Setelah menyelesaikan tugasnya Ningrum berniat kembali.

"Laura..." Daniswara menarik tangan Ningrum hingga jatuh ke dada bidang pria yang berbau alkohol menyengat.

"Tuan... jangan..." pekik Ningrum, karena terjadi hal yang tidak diinginkan malam itu.

Keesokan harinya Danis bangun dari tidurnya meraba ranjang di sebelah, mencari Laura. Tetapi ranjang di sebelah tidak ada siapapun. Ia pindai ranjang noda merah telah menempel di kasur.

"Ya ampun... bukankah saat ini aku sudah tidak berada di luar negri? Tentu tidak ada Laura, lalu siapa wanita yang aku tiduri tadi malam? Daniswara berbicara sendiri, mengingat tadi malam telah melakukan hal yang tidak terpuji. Ia menyingkirkan selimut, melemparkan ke sembarang arah.

Puk!

Sebuah ikat rambut berwarna hitam jatuh ke kasur.

"Inikan ikat rambut Ningrum yang dikenakan tadi sore, itu artinya aku telah... tidaaaakkk" pekik Danis di dalam kamar. Pria itu segera beranjak dari kasur mengenakan pakaian kemudian keluar dari kamar.

"Ningrum..." Daniswara mencari Ningrum ke dapur, dan seisi rumah, bahkan sampai memberanikan diri membuka kamar Ningrum, namun tidak ada Ningrum disana.

"Buk. Buk. Buk" Daniswara meninju tembok.

"Anis... kenapa kamu belum mandi? Jam 10 nanti kita harus datang ke mempelai wanita" kata Ajeng mama Daniswara. Saat ini masih jam lima pagi para kerabat belum ada yang datang.

"Ningrum kemana Ma?" tanya Daniswara tidak menyahut perkataan mamanya, justeru menanyakan Ningrum. Tidak perduli tanganya perih karena memar.

"Ningrum? Kenapa kamu mencari Dia?" dahi mama Ajeng berkerut.

"Tidak Ma, aku minta dibuatkan kopi" Daniswara beralasan yang masuk akal.

"Biar Mama yang nyuruh Ningrum, sekarang kamu bersiap-siap," titah mama Ajeng.

"Iya Ma" Daniswara segera mandi dengan tubuh lemas tidak bersemangat. Ia menyesal karena minuman laknat itu telah menghancurkan masa depan Ningrum. Selesai mandi sebelum berpakaian Daniswara kembali ke dapur mamun tetap saja tidak ada Ningrum.

"Mama... Ningrum sudah buat kopi belum?" Daniswara ingin segera bertemu Ningrum dan akan menanyakan apa yang terjadi.

"Ningrum kabur Nis, Mama cek lemarinya kosong, ada apa anak itu! Sedang repot begini malah pergi tidak memberi tahu!" omel mama Ajeng.

Daniswara dan juga mama Ajeng berhenti membahas Ningrum, karena keluarga mama Ajeng satu persatu datang ke rumah itu dan menjadi ramai.

Jam delapan pagi Daniswara bersama keluarga hendak berangkat ke kediaman mempelai wanita. Sebelum berangkat, Daniswara mengerling ke sekeliling rumah, namun Ningrung seperti hilang ditelan bumi. Dua mobil beriringan menuju rumah Banuwati dan pernikahan pun dilaksanakan.

Flashback off.

Daniswara menarik napas sesak, melonggarkan dasi sedikit. Ia yakin, bahwa Gendis adalah putrinya. Ia ambil handphone menghubungi asisten namun tidak diangkat kemudian, menghubungi Wadaana.

"Saya Tuan" belum ada lima menit Wadaana sudah masuk.

"Panggil Arga" titah Daniswara. Argadinata adalah asisten pribadi Daniswara.

"Baik Tuan..." Wadaana mengetuk ruangan Arga yang berada di sebelah ruangan Daniswara, tidak lama kemudian keluar.

"Ada apa An?" tanya pria 26 tahun itu.

"Tuan memanggilmu" Wadaana menjawab lalu mendahului Arga.

Arga segera menutup pintu ruangannya kemudian menghampiri bos. "Saya Tuan" Arga sudah berdiri di depan Daniswara.

"Duduk" perintah Daniswara. Arga segera duduk berhadapan dengan Daniswara menatap wajah bos nya, tergambar jelas bahwa tuanya sedang tidak baik-baik saja.

"Ga, tolong selidiki pembantu di rumah saya, yang bernama Gendis," perintah Daniswara tidak pakai basa basi.

"Baik Tuan"

************

"Nah-nah, benarkah Gendis putri Daniswara? seperti keyakinan pria kaya itu?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!