"Ini...."
Saat aku membuka mata pemandangan yang menyambutku adalah langit-langit yang tak kukenal dan sangat ... klise?
Hmm? Apa ini? Aku bukan mati lalu bereinkarnasi ke dunia fantasi pedang dan sihir 'kan, ya?
Tapi ... ini jelas-jelas tempat yang sama sekali berbeda dari yang terakhir kulihat sebelum jatuh ke kasur dan tidur setelah mengirimkan naskah terakhir novelku.
.... Huh? Kasur? Tidur? Tunggu tunggu tunggu!
Aku segera bangun dari posisi berbaringku dan melihat ke sekitar ....
Ruangan sempit, perabotan reyot, lantai rusak, dinding retak dan atap berlubang. Jelas-jelas ini bukan kamarku. Tidak, ini mungkin saja kamarku—bukan, lebih tepatnya kamar pemilik tubuh ini.
Tidak tidak, fokus utamanya sekarang adalah kondisiku saat ini! Aku sungguh sudah mati dan bereinkarnasi ke tubuh menyedihkan ini?!
Awh, pipiku terasa sakit ketika kucubit. Jadi, aku sungguh mati dan bereinkarnasi?
Maksudku, penampilanku saat ini sama sekali berbeda dari yang dulu. Badanku sekarang terlihat lebih kecil dan kurus, dalam artian kerempeng. Terlebih lagi pakaian yang kukenakan hanyalah pakaian lusuh kotor yang tak nyaman dipakai.
Apa pemilik tubuh ini kekurangan gizi?
Hmm, dilihat dari keadaan sekitar sepertinya dugaanku tidak akan meleset jauh. Seorang manusia mustahil hidup di lingkungan seperti ini dengan tubuh sehat.
Aku penasaran terhadap paras tubuh ini tapi tidak ada cermin atau benda apapun yang dapat memantulkan bayanganku.
"Yah, meskipun demikian aku cukup yakin penampilan tubuh ini tidak akan terlihat bagus mengingat dia tinggal di tempat selusuh ini," gumamku setelah memperhatikan lingkungan sekitar.
Tapi, yah, kalau dilihat dari betapa lusuh dan berantakannya ruangan ini aku bisa mengambil kesimpulan bahwa aku bereinkarnasi menjadi anak lelaki remaja dari keluarga miskin.
Saat aku sedang berpikir mengenai keadaanku terdengar suara ketukan dan seseorang dari pintu, "Hei, keparat! Kau sudah sembuh atau belum?! Kalau sudah cepat bangun dan lanjutkan pekerjaanmu!"
Suara ini ... sepertinya aku mengenalinya.
Aku bangkit dari kasur keras dan membukakan pintu, lalu mendapati seorang pria—tidak, lelaki remaja yang nampaknya seumuranku, kecuali pakaiannya yang terlihat jauh lebih bagus dan bersih.
Lelaki tersebut memandangku dari atas ke bawah dengan dahi mengerut sebelum berkata, ".... Apa yang terjadi padamu? Kenapa rambutmu memutih?"
"Huh? Rambutku?" Aku spontan menyentuh rambutku tetapi aku tak bisa memastikan perkataannya.
Dia masih menatapku dengan ekspresi bingung namun itu hanya beberapa saat saja, dia lalu menendang perutku tanpa alasan sampai aku terjatuh ke lantai.
"Kalau kau sudah sembuh maka tidak ada alasan lagi untukmu bermalas-malasan!" Dia kemudian pergi seusai menendangku.
Huh? Apa-apaan anak ini? Dia tiba-tiba datang dan menggedor pintu sambil bertanya tapi dia juga tiba-tiba menendangku tanpa alasan jelas. Anak bangsawan dari mana dia?
.... Hmm? Bangsawan? Ah, karena pakaiannya terlihat begitu bagus dan rapi jadi aku tanpa sadar menganggapnya anak bangsawan, ya?
Kesampingkan itu, kalau dia memang seorang bangsawan maka tidak heran dia memperlakukanku begitu kasar dan dari penampilan serta kondisiku saat ini.
Aku tak akan heran jika aku adalah budak atau anak haram dari keluarga bangsawan ini.
Aku bangkit dari posisi terduduk di lantai dan mulai berjalan keluar ruangan lusuhku, lalu ....
"Oh ... jadi, aku sungguh budak atau anak haram seorang bangsawan?"
Mau dilihat bagaimanapun rumah—kediaman ini bisa disebut mansion, rumah besar. Ini mirip seperti tiga sampai empat gedung supermarket digabung dan ditumpuk jadi satu.
Aku sebagai seorang penulis novel pas-pasan yang tinggal di apartemen murah merasa terintimidasi oleh ukuran rumah ini saja.
Kekuatan bangsawan memang mengerikan ....
Ah, sebaiknya aku segera berangkat dan melanjutkan pekerjaanku sebelum dia kembali marah dan menendangku lagi.
Aku harus membersihkan rumah dan memasak .... Tunggu, kenapa aku tahu apa yang harus kukerjakan? Apa ini ingatan sang pemilik tubuh yang tersisa? Atau hanya ingatan otot?
.... Percuma jika kupikirkan terus-terusan. Mungkin lebih baik jika aku mengingat kembali ingatan si pemilik tubuh secara perlahan sambil mengerjakan pekerjaanku.
Aku pun melangkah memasuki kediaman raksasa tersebut dan berniat memulai pekerjaanku, lalu seorang gadis yang mengenakan pakaian pelayan bergegas mendatangiku ketika menyadari keberadaan diriku.
Gadis tersebut langsung memelukku, "Fain, kau sudah sembuh? Badanmu tidak apa-apa? Apa masih ada yang terasa sakit?"
Fain? Itu nama pemilik tubuh—tidak, itu namaku?
"Aku sudah sembuh, kok, Gisele. Maaf telah mengkhawatirkanmu." Kata-kata itu tanpa sadar terlontar dari bibirku.
Gisele itu nama gadis ini, ya? Hmm, nampaknya ingatan sang pemilik tubuh lama, Fain, merespon kebingunganku dan menjawab dengan sendirinya.
"Benarkah? Kau sudah jatuh sakit seminggu—ada apa dengan rambutmu?! Kenapa berubah jadi putih?!" Dia berseru keras seusai menyadari kelainan pada rambutku.
Lambat sekali dia sadarnya.
Aku menggaruk pipi sambil memasang senyum canggung menanggapi seruannya, "Maaf, aku juga tidak tahu kenapa tapi ada satu hal yang jelas ...."
Aku kemudian mengatakan bahwa aku kehilangan hampir seluruh ingatanku, termasuk identitas serta namaku sendiri. Aku juga berkata aku berhasil mengingatnya karena itu hanya sebagian ingatan yang terlintas sesaat di kepalaku.
"Huh? Sungguh? Kau tak ingat siapa aku ataupun dirimu sendiri?" Gisele menatap mataku dengan pandangan tidak percaya.
Aku mengangguk pelan menjawab pertanyaan tersebut.
Gisele menghela nafas sejenak kemudian menepuk kepalaku, "Namamu Alfain, seorang anak ... dari kepala bangsawan ini."
Jadi, aku sungguh anak haram seorang bangsawan?! Itu terdengar jelas dari jeda perkataannya barusan!
"Dan aku salah seorang pelayan di kediaman ini, Gisele," katanya melanjutkan sembari mengusap kepalaku lembut dengan tatapan penuh kasih serta senyum lembut, "Apa aku masih ada di ingatanmu?"
Ah, tangan lembut dan senyuman hangat ini tidaklah asing, namun juga terasa baru bagiku.
Apa ini efek ingatan lama dari tubuh ini dan baruku yang tumpang tindih? Semua terasa aneh.
".... Sepertinya begitu. Aku merasa tak asing tapi juga terasa baru."
Gisele tertawa kecil menanggapi balasanku, "Apa itu? Begitukah caramu menghiburku yang patah hati telah dilupakan olehmu?"
Huh? Patah hati? Tidak tidak, patah hati yang dimaksud ini pasti hanyalah perasaan sedih karena terlupakan oleh diriku. Jangan salah mengartikan kalimat barusan dengan hal lain, Fain.
Itulah mengapa kau tidak pernah mendapatkan kekasih selama 25 tahun satu kali pun sebelumnya.
Tapi ... perasaan seperti ini sesekali tidak buruk juga.
Jika dilihat dari pengalaman 25 tahun di kehidupanku sebelumnya kapan terakhir kali kepalaku diusap seperti ini? SD? SMP? Aku sudah lama melupakan perasaan ini.
Setelah beberapa lama Gisele menyudahi usapan di kepalaku dan meraih tanganku.
"Fain, aku tahu semua terasa begitu aneh bagimu yang kehilangan ingatan, tapi ayo mulai bekerja." Dia kemudian menarik dan menuntunku menyusuri lorong dengan senyum lembut nan cerah. "Kalau kau tidak bekerja maka kau bisa dihukum oleh tuan—tidak, ayahmu, lho."
Hmm? Barusan dia mau berkata 'tuan', 'kan? Itu artinya aku, seorang anak haram dari ayahku, diperlakukan sebagai pelayan atau malah lebih buruk lagi, budak?
Yah, aku kurang lebih bisa menebaknya dari perlakukan si lelaki tadi yang nampaknya adalah suadaraku dari darah ayahku secara resmi, sih. Aku tidak akan terkejut.
Tapi, baiklah, meskipun fakta ini cukup mengguncangku, melihat senyum manis nan lembut Gisele membuat semangat dan motivasiku terpacu.
Jika ini sungguh kenyataan dan bukan mimpi maka aku hanya bisa menerimanya.
Lagipula, bereinkarnasi ke dunia fantasi seperti ini merupakan impian setiap penulis fantasi, bukan?
Meski aku tak tahu seperti apa dunia fantasi tempat tinggal baruku ini, tapi mau tak mau aku harus menjalaninya.
Aku yakin keajaiban mengulang kehidupan seperti ini tidak akan terulang lagi, jadi aku harus hidup sepenuh hati di dunia baru ini! Camkan kata-kataku!
Sudah tiga hari semenjak aku bangun di dunia ini dan sungguh semua ini bukanlah mimpi. Jika ini mimpi aku pasti akan bangun setidaknya setelah tidur tiga hari, tapi bukan, ini bukan mimpi.
"Ah ... capek ...." Aku membenamkan wajahku ke dalam bantal keras yang tak nyaman dipakai.
Daripada bantal ini lebih seperti sekam bekas padi atau gandum yang dibungkus dengan karung. Aku tidak bisa menyebut bantal ini sebagai bantal.
Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku hari ini dan matahari juga sudah terbenam, jadi aku kembali ke gudang yang kusebut sebagai kamar.
Yep, ini adalah kamarku, kamar resmi seorang anak haram.
Sial, Gisele dan pelayan lain saja bisa tinggal di kamar normal yang tersedia di kediaman, kenapa malah aku yang anaknya justru diusir ke gudang seperti ini?! Bukankah itu tidak adil?!
Yah, bukannya aku ingin Gisele tidur di tempat lusuh ini sementara aku tinggal di kamar bagus, tapi bahkan kamar tukang kebun kediaman ini saja lebih baik daripada kamarku.
Ini menyedihkan.
Kesampingkan keluhanku, sudah tiga hari semenjak aku bangun di dunia ini dan terdapat beberapa informasi yang berhasil kudapat sejauh ini.
Pertama, mengenai identitas penuhku. Aku adalah Alfain Ardenheim, anak haram dari Gustav von Ardenheim dan seorang pelayan yang telah meninggal 4 tahun lalu, ibuku.
Aku tidak tahu cerita lengkapnya tapi Gisele mengatakan ibuku meninggal karena cacar dan secara mengejutkan seminggu sebelum aku mati dan bereinkarnasi, Fain yang asli didiagnosa cacar oleh dokter sehingga aku dibiarkan untuk mati oleh ayahku di ruangan ini.
Aku tahu ini terdengar kejam namun mengingat ini adalah dunia fantasi klasik yang berlatar abad pertengahan, kemajuan teknologi dan pengetahuan dalam berbagai bidang tidak semaju dunia modern sehingga obat untuk cacar belum ditemukan di dunia ini.
Tingkat kematian oleh cacar di dunia ini mencapai 90% sehingga membiarkanku terisolasi di ruangan ini merupakan pilihan tepat mengingat cacar adalah penyakit yang mudah menular.
Dan mengingat sifat saudaraku yang belakangan kutahu bernama Leonard von Ardenheim, sifat ayahku ternyata tidak jauh berbeda.
Barbar dan tak peduli terhadapku yang merupakan 'kesalahan'nya sehingga tak ingin membuang banyak uang untuk membelikanku obat dan menelantarkanku di tempat ini untuk mati.
Gisele dan pelayan lainnya juga tidak boleh mengurus secara langsung, jadi mereka hanya boleh membawakan makanan sampai di pintu, namun menurut pengakuan orangnya sendiri, Gisele sempat menyelipkan obat yang dia beli di makananku.
Walaupun dia mengatakan obat itu sebenarnya hanyalah ramuan penambah stamina murah yang bisa dibeli di kota tak jauh dari sini.
Sungguh, Gisele itu amat sangat teramat baik, ya. Aku bisa jatuh cinta kepadanya jika terus begini.
Kedua, keluarga Ardenheim yang secara biologis juga keluargaku merupakan bangsawan bergelar Viscount.
Kudengar dari Gisele gelar Viscount adalah gelar kebangsawanan peringkat 2 dari bawah. Paling rendah ada Baronet dan Baron, kemudian disusul oleh Viscount. Keluarga Ardenheim berada satu tingkat di atas Baron.
Ada pula tingkatan di antara gelar-gelar ini seperti Viscount V atau Viscount II.
Kalau tak salah nomor lima paling rendah dan tertinggi adalah nomor satu. Nomor ini merujuk pada tingkatan pangkat serta kewenangan yang dimiliki seorang bangsawan.
Dalam kasus Ardenheim, atau tepatnya ayahku, Gustav von Ardenheim merupakan bangsawan Viscount II yang berarti dia adalah Viscount paling berpengaruh nomor dua di antara bangsawan bergelar Viscount lainnya secara pangkat dan kewenangan.
Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menaikkan peringkat ini karena Gisele sendiri hanyalah rakyat jelata yang tak tahu banyak tentang kebangsawanan, jadi mau tak mau aku harus angkat tangan dari topik ini.
Lalu, nomor tiga ....
"Ehm .... Kak Gisele, bisa tolong jelaskan mengapa kau berada di kamarku?" Aku bertanya kepada sosok gadis pelayan yang tengah duduk di kursi bobrok sambil merajut sesuatu.
"Hmm? Aku tidak boleh menghabiskan waktuku di sini?"
"Bukannya tidak boleh tapi ...." Aku menunjuk ke dinding, atap, serta lantai yang berlubang di mana-mana. "Apa kamu tak terganggu dengan keadaan gudang reyot ini? Memangnya kamu nyaman duduk di kursi tua yang hampir tak layak pakai itu?"
Gisele tertawa kecil mendengar balasanku. "Kalau hanya itu tidak masalah. Lagipula, aku sudah sering bermain ke sini jauh sebelum kamu jatuh sakit, tahu. Aku sama sekali tak terganggu."
Huh? Kau nyaman-nyaman saja dengan semua ini? Gadis yang aneh.
Ketiga, Gisele merupakan gadis aneh yang entah mengapa hampir selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi dan mengurusku seperti seorang kakak—tidak, mungkin lebih tepatnya seperti ibu.
Dia berkata dia berjanji kepada mendiang ibuku untuk membantu dan merawatku jika terjadi apa-apa terhadap ibuku, tapi ini sedikit kelewatan. Dia terlalu menempel padaku.
Gisele bahkan sempat hendak menemaniku tidur beberapa kali tapi aku selalu menolaknya.
Kenapa aku menolaknya, katamu? Tentu saja karena berbahaya!
Tidak mungkin aku bisa tidur dengan tenang jika berada di satu ranjang atau satu ruangan bersama gadis cantik seperti Gisele! Justru yang ada malah sesuatu di dalam diriku akan bangun!
.... Omong-omong tentang Gisele yang cantik, aku penasaran apakah dia sebagai pelayan juga bertugas untuk ... kau tahu, 'itu', loh.
Ditekan oleh rasa penasaran kuat aku pun menanyakan hal itu kepada Gisele dengan malu-malu namun dia malah tertawa menanggapiku.
"Maaf, Fain, aku tak menyangka kau menanyakan itu." Gisele berkata setelah selesai tertawa, "Memang benar ada tugas seperti itu dalam pekerjaan ini—"
"Jadi, maksudmu kau juga melayani ayah seperti ibu?!" Aku spontan memotong Gisele.
Gisele menggeleng pelan membalasku. "Tidak, aku tak mengambil tugas tersebut."
"Terdapat hukum tertentu yang melarang bangsawan menyentuh pelayan mereka secara bebas. Hal ini membutuhkan izin dari kedua belah pihak dan jika salah satu pihak tidak setuju sementara pihak lain bersikeras, maka dia akan terkena sanksi."
"Terutama bagi bangsawan, dia akan terkena sanksi hukum seperti penurunan pangkat dan hukum sosial yang dapat membuat bangsawan lain menjauhinya." Gisele menjelaskan tanpa menghentikan kegiatan merajutnya. "Sampai di sini paham?"
"Begitukah? Bukankah sang tuan bisa mengancam akan memecatnya jika dia tidak setuju?"
Gisele terlihat berpikir sejenak sebelum mengangkat suara sekali lagi. "Memang terdapat beberapa kasus serupa namun jika ketahuan maka bangsawan tersebut akan langsung diturunkan satu gelar lebih rendah."
Ah, jadi misalkan Gustav, ayahku memaksa Gisele untuk melayaninya di malam hari, jika ketahuan maka gelarnya akan turun menjadi Baron, ya? Itu melegakan.
.... Tidak, ini bukan seperti aku menyukai Gisele dalam artian romantis. Ini lebih seperti kepedulian terhadap seseorang yang telah mengurus dan membantuku selama ini.
Tiga hari belakangan ini entah berapa kali aku dibantu oleh Gisele karena hilangnya ingatanku—atau setidaknya itulah yang kuberitahukan kepadanya.
Yah, bohong jika aku berkata tidak keberatan jikapun dia secara sukarela melayani Gustav seperti ibuku yang berakhir melahirkanku—atau Fain yang asli lebih tepatnya—tapi, aku juga tidak berhak mengomentari pilihannya jika itu yang dia inginkan.
"Omong-omong, Fain, bagaimana dengan skill Cleaning-mu? Ada kemajuan?"
...
....
.....
Skill? Cleaning?
"Skill? Cleaning? Apa itu?" Aku bertanya sambil memandang wajah Gisele dengan heran dan tatapan tak percaya.
"Ah, benar juga, kamu lupa ingatan, ya. Maaf." Gisele tertawa kecut sebelum menjelaskan mengenai skill dan Cleaning yang sempat dia maksud.
Yah, bukannya aku sepenuhnya tak tahu tentang skill mengingat aku juga cukup sering bermain game RPG sebagai referensi novelku dan pelepas penat di kala senggang di kehidupan laluku, tapi ... dunia ini mempunyai sistem skill seperti itu, ya?
Aku baru tahu.
Dan menurut penjelasan singkat Gisele, skill merupakan kemampuan atau kekuatan yang diberikan oleh para dewa sebagai anugerah dan penghargaan atas pencapaian tertentu.
Gisele mengatakan skill sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari.
"Sebagai contoh, kamu tahu mengapa aku sangat pandai dalam membersihkan kediaman? Itu karena skill Cleaning-ku sudah mencapai level 7." Gisele membusungkan dada—besarnya—sembari berkata demikian.
"Heh, ternyata ada sistem semacam itu, ya. Aku baru tahu." Aku mengangguk pelan segera mengerti maksud Gisele. "Omong-omong, bagaimana cara memeriksa skill dan levelnya?"
"Kamu hanya perlu berkata dalam hati 'aku ingin melihat status' atau sesuatu yang bermakna sama."
.... Sudah? Begitu saja?
Itu lebih mudah dari yang kupikirkan. Kupikir aku bisa mencobanya.
Aku ingin melihat statusku sendiri!
Sepersekian detik sesudahnya sebuah layar semi transparan muncul di depan wajahku dan tertulis ;
---
Alfain Ardenheim / Male
Servant (3) / 14 tahun
Str : 2, Vit : 2, Agi : 1, Dex : 4, Mag : 2, Wis : 7, Luk : 10
---
.... Status lemah macam apa yang kumiliki ini? Dan lagi, apa-apaan 'Servant' ini? Kelas atau pekerjaanku? Apa ini normal?
Tidak, abaikan dulu status lemahku, aku perlu fokus ke skill.
Skill, huh? Ah, ini dia.
---
Skill : Cleaning (2), Cooking (4)
Extra Skill : Translation (1)
Unique Skill : Authority of Author (1)
---
Hmm, angka di dalam kurung ini levelnya, ya? Apa aku bisa melihat deskripsi skillnya lebih jelas?
Cleaning (2) ; meningkatkan kemampuan membersihkan debu dan noda.
Cooking (4) ; meningkatkan kemampuan memasak.
.... Sudah? Begitu saja? Deskrispi macam apa ini? Sama sekali tidak niat!
"Ehm, Cleaning-ku level 2 dan Cooking level 4." Aku berucap melaporkan hasil penglihatanku kepada Gisele.
"Level dua? Hmm, tidak begitu berkembang, ya." Gisele mengusap dagunya sejenak menanggapi laporanku. "Tapi, biarpun Cleaning belum terlalu bagus namun Cooking level 4 itu tidak buruk juga. Tak heran masakanmu lebih enak dari biasanya."
"Benarkah? Apa skill bisa mempengaruhi kehidupan dengan cara seperti itu?"
Maksudku, itu terdengar aneh dan tidak logis.
Gisele tersenyum kecut menatapku. "Yah, aku juga tidak begitu paham mengapa dan bagaimana tapi begitulah cara kerja dunia ini."
Cara kerja dunia ini, huh? Kalau perlu jujur setelah mengetahui hal ini aku merasa dunia ini menjadi lebih mirip seperti game, meski aku sepenuhnya yakin bahwa dunia ini bukanlah game.
Jikapun ini adalah game aku kurang yakin mengingat sensasi menyentuh objek terasa begitu nyata dan realistis. Aku bahkan sempat merasakan sakit dan kelelahan luar biasa setelah bekerja keras selama tiga hari berturut-turut.
Dan juga, seingatku di dunia modern lalu game VR juga belum tercipta sehingga hal ini jelas mematahkan kemungkinan bahwa dunia ini merupakan game.
Lagipula, jika dunia ini hanyalah game semata maka mustahil Gisele terlihat begitu hidup dan menenangkan saat aku melihat dan berbicara dengannya.
Aku yakin itu seratus persen.
Omong-omong tentang game ....
"Oh, ya, Gisele, apa perbedaan Skill, Extra Skill, dan Unique Skill?" Aku bertanya selagi memandang layar semi transparan yang memperlihatkan daftar skillku.
"Skill adalah skill yang bisa didapatkan oleh siapapun melalui usaha, bakat, dan kelas." Gisele menjelaskan. "Kelasmu sekarang adalah Servant, bukan? Maka dari itu kamu mempunyai skill Cleaning dan Cooking."
"Begitu." Aku mengangguk. "Bagaimana dengan Extra Skill?"
"Extra Skill itu seperti skill khusus pemberian dari para dewa yang tertarik atau menilai dirimu apakah pantas diberi skill secara langsung oleh mereka." Gisele melanjutkan penjelasannya. "Selama kamu pantas maka dewa akan memberkahimu sebuah skill berbentuk Extra Skill."
"Kamu mendapatkan Extra Skill, Fain?" Gisele bertanya seusai menjelaskan.
"Begitulah."
Aku menjelaskan mengenai Translation kepada Gisele sebisa mungkin setelah memeriksa deskripsinya.
Translation (1) ; dapat menerjemahkan beberapa bahasa asing menjadi bahasa yang dikuasai oleh pengguna hingga tahap tertentu.
Gisele bertepuk tangan setelah mendengarkan deskripsi Translation-ku, "Wah, selamat, Fain! Masa depanmu terbuka lebih lebar dengan adanya skill ini! Kamu bisa menjadi penerjemah, sejarawan, bahkan sampai diplomat! Itu skill yang sangat berguna!"
Tentu saja sangat berguna. Mungkin jika tidak ada skill ini maka aku mungkin tak akan bisa mengobrol dengan Gisele saat ini.
"Lalu, Unique Skill?" Aku lanjut bertanya.
Gisele meletakkan alat rajutnya sejenak di pangkuan sebelum berkata. "Aku belum pernah melihat langsung orang yang mempunyai Unique Skill tetapi kudengar jenis skill ini amatlah unik dan langka."
Aku bisa menebak dua bagian ini mengingat 'unik' pastilah 'langka' namun 'langka' belum tentu 'unik'. Aku paham perbedaan keduanya.
"Menurut kabar angin, Unique Skill adalah jenis skill yang tiap skillnya hanya ada satu di dunia dan tidak akan ada pemilik skill serupa sampai pengguna skill ini mati." Gisele terlihat kesulitan menjelaskan ini kepadaku.
Hmm, aku bisa sedikit banyak memahami makna Unique Skill ini.
"Jadi, intinya sebuah skill jenis Unique Skill hanya satu-satunya di dunia sampai pemiliknya mati? Sebuah skill eksklusif?" tanyaku meminta konfirmasi.
Gisele mengangguk pelan namun terlihat tidak sepenuhnya yakin terhadap jawabannya sendiri. "Maaf, Fain. Aku tidak begitu paham tentang Unique Skill dan hanya sekedar mengetahui rumornya semata."
"Ah, Kak Gisele tidak perlu meminta maaf." Aku menggelengkan kepala menolak permintaan maaf tersebut. "Aku hanya ingin tahu bukan ingin membuat kak Gisele merasa bersalah atau semacamnya."
"Kalau kamu tidak keberatan maka aku akan bersikap demikian pula." Gisele mengangguk pelan membalas tanggapanku sebelum bangkit berdiri bersama rajutannya. "Ah, hari sudah larut. Aku harus kembali ke kamarku sendiri."
"Jaga kesehatanmu dan jangan tidur terlalu malam, ya, Fain." Gisele melambai dan melangkah keluar dari gudang—kamarku sembari membawa lantera, meninggalkanku bersama sepercik api merah kecil menari di atas sumbu lilin.
Aku membalas lambaian Gisele yang berjalan semakin jauh menuju rumah besar ayahku.
Setelah Gisele pergi aku kemudian merebahkan badanku di atas kasur kerasku sambil bergumam, "Unique Skill, ya?"
Aku kembali membuka layar skill dan kali ini memusatkan pandanganku pada satu-satunya Unique Skill yang kumiliki.
Authority of Author ... skill macam apa dirimu?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!