NovelToon NovelToon

Alma3 Ratu Siluman

Akarmani 1: Mengintai Pasukan Kerajaan

*Api di Kerajaan Jintamani (Akarmani)*

Barisan panjang pasukan berseragam biru gelap keluar mengular dari dalam benteng Ibu Kota Kerajaan Jintamani. Pasukan itu dipimpin oleh para panglima yang duduk gagah di punggung kudanya masing-masing. Para panglima itu bisa dikenali dari model pakaiannya yang berwarna putih dengan asesoris tertentu di kepalanya. Keris yang menjadi salah satu senjatanya juga menunjukkan kedudukan mereka.

Ada ratusan pasukan berkuda, ratusan pasukan pemanah, ribuan pasukan bertombak, ribuan pasukan berpedang, pengangkut barang-barang, pendorong puluhan pedati yang mengangkut mesin-mesin panah, dan pengangkut lainnya.

Langsung sebut saja bahwa jumlah pasukan itu sebesar lima ribu prajurit. Setiap divisi membawa panjinya masing-masing dengan bendera utama berwarna dasar merah bergambar matahari bersinar.

Pasukan berkekuatan lima ribu prajurit itu dipimpin oleh seorang perwira yang bernama Panglima Surap Bentala. Ia membawahi empat panglima lainnya yang masing-masing memimpin pasukan berkuda, pasukan panah, pasukan tombak, dan pasukan pedang.

Jauh dari jalan yang di lalui pasukan Kerajaan Jintamani itu, ada dua orang yang bersembunyi di atas kerimbunan sebatang pohon asam. Sangat jelas bahwa mereka tidak mungkin terlihat dari kejauhan, terlebih posisi pohon berada di antara pepohonan besar yang lain di luar benteng Ibu Kota.

Dua orang yang memantau di atas pohon asam adalah seorang lelaki dan seorang wanita.

Si lelaki berbadan besar berotot tidak berbaju, tapi bercelana. Meski kulitnya hitam, tapi kekekarannya membuat badannya jadi tampan. Uniknya dia memelihara kumis tebal bermodel poni. Meski hanya pendekar kelas menengah ke bawah, tetapi dengan adanya kumis tebal, penampilannya lebih greget. Lelaki yang berusia tiga puluhan tahun itu bernama Debur Angkara, seorang pendekar desa pesisir yang ikut berpetualang jauh bersama seorang pendekar wanita belia nan sakti.

Si wanita masih sangat muda dan cantiknya menyegarkan. Ia mengenakan pakaian warna kuning gading. Ia bernama Ayu Wicara, gadis Desa Turusikil yang berkesaktian dangkal, tapi mendapat amanah dari ayahnya untuk ikut berpetualang menambah jam terbang.

“Rupanya sunat tantangan perangnya berhasil,” kata Ayu Wicara.

“Bukan sunat, tapi surat, Sayang,” kata Debur Angkara meluruskan dengan senyuman. Jika hanya berdua tanpa orang lain, pemuda garang tapi pemalu kepada wanita itu berani menyebut Ayu Wicara “Sayang”.

“Hihihi!” tawa Ayu Wicara malu-malu manja sambil memeluk lengan kekar Debur Angkara yang menyandang senjata berupa dua golok berwarna biru di pinggang belakangnya. Kalau di depan takut tersunat katanya.

“Eh eh eh! Jangan taril-tarik!” pekik Debur Angkara karena lengannya dipeluk tapi menimbulkan daya tarik, sehingga keseimbangan duduk mereka di dahan jadi oleng.

“Aaa!” jerit Ayu Wicara saat mereka berdua meluncur jatuh bersama.

Ketika jatuh itu, Debur Angkara sebagai seorang lelaki refleks melakukan perlindungan dengan langsung memeluk tubuh mungil Ayu Wicara, sehingga ketika menghantam bumi, Ayu Wicara jatuh beralaskan badan berotot kekasihnya itu.

Bdak!

“Aaakk!” erang Debur Angkara kesakitan. Pasalnya, punggungnya menghantam akar batang dari pohon asam itu.

“Kakang Bubur, kenapa kau?” tanya Ayu Wicara terkejut melihat abang sayang mengerang kesakitan.

“Kakang Debur, bukan Bubur,” kata Debur Angkara mengoreksi kekasihnya yang fitrahnya suka terpeleset kata.

“Iya, iya. Tapi kau kenapa?” tanya Ayu Wicara.

“Pinggangku serasa patah,” jawab Debur Angkara masih mengerenyit sakit.

“Ah tidak apa-apa,” kata Ayu Wicara sambil menarik tangan Debur Angkara agar bangkit berdiri. “Ayo kita kembali menemui Gusti Nenek Batu!”

“Nenek Ratu, bukan Nenek Batu,” ucap Debur Angkara meralat lagi sambil bergerak bangkit.

“Iya, ayo!” ajak Ayu Wicara.

Sepasang kekasih itu lalu berlari pergi. Mereka melewati medan yang cukup rumit karena memang area berhutan itu jarang didatangi oleh manusia.

Mereka berdua pergi memasuki hutan yang lebih lebat yang ada di luar Ibu Kota Kerajaan Jintamani. Namun, pada akhirnya mereka tiba di sebuah celah tebing batu yang ditutupi oleh tanaman rambat menyerupai tirai alam.

Plok plok plok!

Debur Angkara bertepuk tangan tiga kali.

Itu bukan tepukan untuk bermain sulap prok prok prok, tetapi itu kode.

Plok plok plok!

Tiba-tiba terdengar suara tepukan balasan yang terdengar jelas bersumber dari balik tirai tanaman rambat.

Tidak sampai sepuluh detik, tirai tanaman rambat tersibak oleh seorang lelaki berpakaian prajurit, baju warna hijau dan celana warna hitam.

“Silakan, Pendekar,” kata lelaki itu seraya menahan tirai tanaman rambat dengan tangannya agar tetap terbuka.

Debur Angkara dan Ayu Wicara segera masuk. Setelah keduanya masuk ke celah tebing, prajurit itu diam sejenak sambil memandangi daerah sekitar, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mengikuti kedua pendekar tersebut. Setelah dinilai aman, prajurit itupun masuk ke balik tirai.

Ternyata di balik tirai ada jalan yang diapit dua dinding batu lalu sampai kepada lahan berhutan yang ramai oleh aktivitas para prajurit yang berkemah. Selain prajurit berseragam hijau-hitam, ada pula para lelaki dan wanita yang berpakaian serba merah. Mereka memiliki sederet pisau warna merah di sabuk pakaiannya.

Debur Angkara dan Ayu Wicara langsung menuju ke sebuah tenda paling besar dari beberapa tenda yang dibangun.

Debur Angkara melaporkan kedatangannya kepada prajurit yang berjaga di pintu tenda. Salah satu dari dua prajurit yang berjaga pergi masuk ke dalam tenda. Tidak berapa lama, si prajurit kembali keluar dan mempersilakan pasangan pendekar itu masuk.

Di dalam tenda terlihat ada seorang wanita tua berambut putih, berkulit putih cerah dan berpakaian serba putih. Nenek itu sedang menghadapi sebuah meja kayu sederhana yang di atas banyak tumpukan batu yang ditata, sehingga membentuk sebuah pola sesuatu.

Bersama nenek yang adalah Ratu Warna Mekararum itu berdiri seorang wanita bertubuh indah. Keindahannya terlihat dari kelangsingan pinggang, besarnya pinggul dan sembulan dada indahnya yang tertutup ketat dengan pinjung warna hitam. Wanita berbaju hitam itu memiliki usia sekitar empat puluhan tahun. Sejumlah perhiasan menghiasi kepala dan tubuhnya. Dia adalah Adipati Lalang Lengir, yang saat ini berstatus sebagai Panglima Perang Pasukan Pembebas Jintamani.

“Sembah hamba, Gusti Ratu!” ucap Debur Angkara dan Ayu Wicara bersamaan sambil turun berlutut menghormat.

Ratu Warna Mekararum lalu berbalik menghadap kepada kedua pendekar tersebut. Adipati Lalang Lengir juga berbalik, membuat kecantikannya terlihat jelas dengan dandanan yang matang.

“Bangunlah!” perintah Ratu Warna Mekararum.

Debur Angkara dan Ayu Wicara segera bangkit. Mereka merasa gembira karena bisa bertindak seperti utusan sungguhan untuk seorang ratu, meski seorang ratu yang terbuang.

“Pasukan Kerajaan Jintamani sudah keluar dari benteng Ibu Kota, Gusti Ratu,” lapor Debur Angkara.

“Bagus, kita tinggal menunggu laporan Remuk Pusaka dari perbatasan luar Ibu Kota,” kata Ratu Warna Mekararum kepada Adipati Lalang Lengir. Lalu perintahnya, “Siapkan pasukan untuk pergi ke depan benteng Ibu Kota. Aku dan pasukan Pisau Merah akan menyusup melalui jalan rahasia yang tembus ke dalam Istana.”

“Baik, Gusti Ratu,” ucap Adipati Lalang Lengir patuh. (RH)

Akarmani 2: Pasukan Jintamani Tiba

*Api di Kerajaan Jintamani (Akarmani)*

Lembah itu berada di utara Alas Tiga Air. Lembah dan hutan saling menyambung menjadi satu.

Pada sisi selatan lembah, tepatnya di luar hutan, ada sebuah tenda yang dibangun. Tenda itu tidak tertutup, tetapi terbuka yang didirikan di atas delapan tiang kayu dan beratap selembar kain berwarna biru terang, sehingga jika dilihat dari jauh sudah terlihat menarik.

Di bawah tenda hanya rerumputan tanpa ada karpet permadani, yang ada hanya sepotong kayu besar berbentuk silinder.

Pada potongan kayu yang diletakkan berposisi tidur, duduk dua orang wanita cantik yang usianya tidak begitu jauh.

Gadis yang paling tua masih terbilang belia dengan usia enam belas tahun, tapi memiliki perawakan yang cukup bongsor. Ia mengenakan pakaian serba hitam dengan jubah hitam dan baju hitam, tapi tidak dengan kulitnya yang putih bersih bak warna susu segar. Rambutnya terurai panjang hingga punggung. Wajahnya memiliki kejelitaan yang high quality. Dijamin, setiap lelaki yang memandangnya pasti jatuh hati, minimal jatuh hati di dalam jantung. Ia adalah Alma Fatara yang berjuluk Dewi Dua Gigi, tokoh utama dalam kisah kita bersama.

Gadis kedua juga memiliki paras yang begitu memikat dengan hidung bangir dan bibir bawah yang model belah, memberi daya tarik tinggi bagi mata para lelaki pemuja kecantikan. Namun sayang, gadis itu dua tahun lebih muda dari Alma Fatara, artinya usianya sekitar empat belas tahun. Tubuhnya yang tidak sebongsor Alma Fatara membuatnya terlihat masih ingusan, meski saat itu ia tidak ingusan. Dia bernama Ning Ana, seorang gadis dari Desa Bungitan yang nekat kabur dari keluarganya karena ingin ikut mengembara bersama rombongan Alma Fatara.

Ning Ana telah menambah pengalaman dan wawasan keduniapersilatannya. Kini ia bukan lagi gadis desa. Ia telah melihat banyak kematian, bahkan ia pernah terjun di dalam perang. Kini pun dia akan terlibat dalam perang yang mungkin sebentar lagi akan tergelar. Padahal, dia hanyalah gadis biasa yang awalnya tidak mengerti ilmu kependekaran. Namun kini, jiwa pendekar telah ia miliki sejak ikut dengan Alma Fatara, terlebih ia sempat berguru di Perguruan Pisau Merah dalam beberapa hari.

Mereka tidak hanya berdua. Di belakang mereka ada dua orang lelaki besar yang berdiri seperti algojo.

Lelaki pertama adalah seorang lelaki gemuk berperut gendut. Ia mengenakan baju bagus warna hijau daun dan celana warna hitam. Kepalanya diikat dengan kain hijau pula. Di lehernya ada selingkar kalung rantai warna perak setebal jari kelingking. Maklum orang kaya yang di kampungnya dikenal dengan istilah “kaum bersandal”. Ia bernama Magar Kepang. Sebelum ikut berpetualang bersama Alma Fatara, statusnya adalah Kepala Desa Iwakculas, orang terkaya dari tiga desa nelayan di Pantai Parasemiris.

Orang kedua bertubuh tinggi besar dengan badan yang lebih berotot dari Debur Angkara si kumis poni. Ia masih muda dengan umur di bawah tiga puluh tahun. Ia bertelanjang dada dan hanya bercalana warna hitam. Ada sebilah keris bagus warna hijau gelap yang terselip di sabuknya. Senjata itu bernama Keris Petir Api. Adapun ia sendiri bernama Garam Sakti. Sebelum ikut Alma Fatara, jabatannya adalah Pendekar Desa Iwakculas.

Sekedar bocoran, Garam Sakti adalah kekasih Ning Ana, anak perempuan yang suka nekat, termasuk nekat mencintai seorang Garam Sakti yang usia dan besar tubuhnya memiliki margin yang lebar darinya. Meski Garam Sakti telah menolak cinta Ning Ana karena takut dituding melakukan eksploitasi terhadap gadis di bawah umur, tetapi gadis kecil itu tidak peduli, dengan dalih sudah cinta setengah hidup.

Alma Fatara dan ketiga sahabatnya itu sedang menunggu kedatangan pasukan dari Kerajaan Jintamani yang mereka undang untuk datang berperang di lembah tersebut.

“Alma, apakah tidak sebaiknya kita memasak sesuatu dulu untuk dimakan?” usul Magar Kepang yang adalah seorang lelaki tanpa bekal ilmu beladiri sedikit pun. Kekuatannya adalah uang. Dialah yang membiayai perjalanan Alma Fatara sejauh ini.

“Usul yang bagus, Paman Magar. Laksanakan!” Yang menjawab bukannya Alma Fatara, tetapi Ning Ana sambil menengok kepada Magar Kepang yang usianya sudah separuh baya.

“Hahahak!” tawa Alma Fatara meledak mendengar sahutan Ning Ana, membuat gigi ompongnya terlihat jelas.

Rupanya julukan Dewi Dua Gigi bermakna dewi yang kehilangan dua gigi atas depannya.

“Tapi, sepertinya pasukan musuh sudah tiba, Paman,” kata Alma.

Mereka lalu melemparkan pandangan ke ujung lembah nun jauh.

Awalnya yang mereka lihat adalah beberapa kibaran bendera dan panji, menyusul kemunculan kepala-kepala prajurit pasukan berkuda. Semakin mendekat, maka semakin banyak manusia yang berjalan di dalam barisan. Jumlahnya sudah pasti ribuan. Tepatnya lima ribu prajurit.

Pasukan berwarna biru gelap itu dipimpin oleh lima panglima dengan panglima utama bernama Panglima Surap Bentala.

Kemunculan mereka secara utuh di ujung lembah membuat Magar Kepang, Garam Sakti dan Ning Ana merasa ciut. Membandingkan jumlah mereka berempat dengan lima ribu kekuatan prajurit ditambah kuda-kudanya, apalah yang bisa dibanggakan.

Namun, sangat berbeda dengan Alma Fatara. Mau berapa ribu pun jumlah pasukan musuh, itu tidak membuatnya gentar sedikit pun. Ia bahkan tersenyum melihat kemunculan musuh yang datang dengan barisan pasukan berkuda yang gagah di sisi depan.

Magar Kepang dan Garam Sakti memang sudah pernah melihat kehebatan Alma Fatara dalam menghancurkan satu pasukan kerajaan, tapi tetap saja mereka sedikit gemetar.

“Ning Ana, majulah sebagai utusan. Sampaikan kepada pemimpin pasukan itu untuk menyerah dan tunduk atas perintah Ratu Warna Mekararum. Jika tidak mau, mereka akan dihancurkan sehancur-hancurnya!” perintah Alma Fatara.

“Si-si-siap!” ucap Ning Ana tergagap, menunjukkan ketakutannya.

“Jangan takut. Utusan tidak akan disentuh oleh senjata dan pukulan!” kata Alma Fatara.

“Siaaap!” teriak Ning Ana keras sambil berdiri untuk mengusir rasa gentarnya.

Dia menggenggam gagang pisau merahnya yang ada terselip di pinggang. Ia tarik napas panjang sambil menatap tegar ke arah pasukan nun jauh di ujung lembah.

“Semangat, Ning Ana!” ucap sang kekasih, Garam Sakti memberi semangat.

Ning Ana yang sudah membulatkan tekad dan mengusir kegentarannya, lalu berlari maju menuju ke arah pasukan besar yang terus bergerak lebih memasuki lembah.

“Gusti Panglima, di mana pasukan musuh?” tanya Panglima Gigir Sluduk kepada Panglima Utama Surap Bentala.

“Jangan lengah, sepertinya ini adalah perangkap. Perhatikan dengan teliti daerah sekitar!” seru Panglima Surap Bentala kepada keempat panglima bawahannya.

“Ada anak yang datang,” kata Panglima Gigir Sluduk. Lalu perintahnya, “Siap panah!”

“Tahan! Itu pasti anak pembawa pesan!” seru Panglima Surap Bentala mencegah.

Sang panglima lalu mengangkat tangan kanan memberi tanda agar pasukan berhenti.

“Panglima Gigir, temui utusan itu, dengarkan apa maunya!” perintah Panglima Surap Bentala.

“Baik, Gusti Panglima!” ucap Panglima Gigir patuh.

Dia lalu menggebah kudanya yang kemudian berlari kencang menyongsong kedatangan Ning Ana yang datang dengan berlari seperti anak kambing yang menerobos rerumpuntan lembah.

Tidak berapa lama, Ning Ana menghentikan larinya seiring tibanya sang kuda panglima di depannya.

Saat itu, jantung si gadis tanggung berdebar-debar. Namun, dia berusaha tampil berani. Dia jelas tidak mau terlihat takut di hadapan musuh. (RH)

Akarmani 3: Perang Kuda

*Api di Kerajaan Jintamani (Akarmani)*

Panglima Gigir Sluduk yang gagah duduk di atas kuda perangnya menatap tajam kepada gadis belia dua tombak di depannya.

“Siapa kau, Gadis Kecil?” tanya Panglima Gigir.

“Jangan panggil aku Gadis Kecil, Paman! Aku adalah utusan ….” Perkataan Ning Ana terputus sejenak. Dia berpikir. Lalu lanjutnya dengan lantang, “Aku utusan dari Dewi Dua Gigi!”

“Dewi Dua Gigi? Hahaha!” tawa Panglima Gigir. “Maksudmu perempuan cantik yang giginya tinggal dua?”

“Siapa kau, Paman?” tanya Ning Ana lantang. Dia mulai bisa menguasai diri dan perasaannya.

“Aku adalah Panglima Gigir Sluduk!”

“Hihihi!” tawa Ning Ana, memaksakan diri untuk tertawa. “Maksudmu, panglima yang giginya suka menyeruduk?”

Mendelik marah Panglima Gigir didefinisikan seperti itu.

“Kurang ajar! Mana pasukan Ratu Warna Mekararum yang ingin berperang?” gusar Panglima Gigir.

“Sesuai apa yang kalian lihat. Itulah pasukan Gusti Ratu Warna Mekararum. Sebagai utusan, aku menyampaikan agar kalian semua menyerah dan tunduk kepada Gusti Ratu Warna Mekararum. Jika tidak, kalian semua akan kami hancurkan!” ujar Ning Ana dengan kata-kata yang lancar.

“Hahaha!” tawa Panglima Gigir. “Bocah tidak tahu nasib. Kembalilah. Aku akan mengirim pasukan pencabut nyawa sebagai jawabannya!”

“Kalian akan menyesal dan menjadi hantu gentayangan tidak punya kehormatan!” teriak Ning Ana.

Gadis cantik belia itu segera berbalik lalu lari terbirit-birit sambil menengok ke belakang, khawatir dia diserang.

“Hahaha …!” tawa Panglima Gigir terpingkal-pingkal melihat Ning Ana yang ketakutan setelah itu.

Dia kemudian memutar balik kudanya dan menggebahnya pulang ke arah barisan.

“Sepuluh prajurit berkuda, maju dan bunuh mereka semua!” teriak Panglima Gigir Sluduk memberi perintah.

Sepuluh prajurit berkuda segera bergerak keluar dari barisan dan kemudian melaju kencang mengejar Ning Ana yang berlari layaknya anak perempuan biasa.

Melihat kedatangan sepuluh prajurit berkuda yang sudah menghunuskan pedangnya, Ning Ana berubah panik, meski jaraknya masih terbilang jauh.

“Kakak Almaaa …!” teriak Ning Ana sekencang-kencangnya.

Dia terus berlari sambil sering menengok ke belakang. Sepuluh prajurit berkuda itu semakin mendekat.

“Hahahak …!” tawa Alma Fatara melihat kepanikan Ning Ana.

“Hahaha …!” tawa Magar Kepang dan Garam Sakti pula.

“Kakang Garam, apakah kau tidak ingin menolong kekasih mungilmu itu?” tanya Alma kepada Garam Sakti yang sudah sah menjadi kekasih Ning Ana yang masih di bawah umur. Namun, zaman gila seperti sekarang ini, cinta dua pasangan itu tidak ada yang melarang.

“Baik!” sahut Garam Sakti.

Garam Sakti lalu berlari cepat dan sesekali berlari di udara untuk menunjukkan kependekarannya. Dia berlari bermaksud menyongsong tubuh Ning Ana.

Setelah Garam Sakti cukup jauh maju, barulah Alma Fatara berlari mengejar lelaki besar tidak berbaju tersebut.

“Kakaaang!” teriak Ning Ana.

Ketika Garam Sakti sudah sampai di depannya, Ning Ana cepat melompat tinggi yang langsung disambut peluk oleh Garam Sakti. Adegan yang begitu romantis di saat genting berbahaya itu begitu membahagiakan Ning Ana.

Sementara itu, dari belakang Garam Sakti berkelebat sosok Alma Fatara yang melewati atas kepala keduanya.

Sezt sezt sezt …!

Sambil berlari di atas ujung-ujung rumput lembah, Alma Fatara melesatkan sinar-sinar kuning emas melengkung tipis berulang-ulang menyambut kedatangan sepuluh prajurit berkuda.

Set set set …!

Bleduk! Bleguk!

Sinar-sinar dari ilmu Sabit Murka itu memangkas kaki-kaki berotot para kuda yang berlari kencang. Kuda-kuda itu tersungkur seketika melempar para penunggangnya ke rerumputan tanah lembah.

Seiring kuda-kuda yang menjadi bangkai dan para prajurit yang terjatuh berusaha bangkit berdiri, sosok berjubah hitam Alma Fatara telah tiba di antara mereka.

Tus tus tus …!

“Akh! Ak! Akk …!”

Alma Fatara hanya melakukan gerakan tubuh di antara para lelaki itu dengan tangan yang tidak aktif, tetapi para prajurit itu berjeritan dengan tubuh mengejang menahan sakit. Mereka ditusuk oleh senjata yang tidak bisa mereka lihat, yaitu seutas benang merah tipis yang bernama Benang Darah Dewa. Cukup satu tusukan yang melubangi dada dan jantung.

Terkejutlah Panglima Utama Surap Bentala dan pasukannya melihat sepuluh prajurit berkuda tumbang hanya dalam sekali pertemuan.

“Lima puluh pasukan berkuda, majuuu!” teriak Panglima Utama gusar.

“Majuuu!” teriak salah satu panglima kepada pasukan berkuda.

Maka sebanyak lima puluh prajurit berkuda menggebah kudanya beramai-ramai untuk menyerbu Alma Fatara yang berdiri diam di tengah lembah dengan jubah dan rambut berkibar-kibar.

Dalam perjalanannya, pasukan kuda itu membentuk formasi melengkung dengan maksud mengepung Alma dari tiga per empat arah mata angin. Jadi dalam formasi itu, ada dua kuda yang berposisi paling ujung.

Swiit!

Sambil menunggu, Alma Fatara memasang kuda-kuda dengan tangan kiri diangkat lurus ke belakang. Tangan dengan telapak terbuka itu menyedot angin yang banyak, membuat pakaian jubah Alma Fatara mengembung, seperti balon gas, seolah-olah pakaian itu tidak memiliki lubang angin. Itulah yang tidak masuk diakal.

Ketika puluhan pasukan berkuda itu mendekat dan hendak mengurung, tiba-tiba Alma berlari cepat ke samping, mengincar kuda paling ujung. Lucunya, kondisi pakaian Alma yang tetap mengembung seperti balon gas, membuatnya terlihat menggemaskan.

“Pong pong pong …!” teriak Alma Fatara dengan tubuh yang melesat cepat dari pergerakan kuda.

Wusss!

Ketika posisi tubuhnya berada di samping kuda terujung, Alma Fatara menghentakkan tangan kanannya.

Maka segulung angin dahsyat berembus menderu menghempas beberapa kuda terujung. Serangan angin itu membuat kuda-kuda yang terdampak berlari miring karena dorongan angin. Hasilnya, lari kuda yang tidak terkendali membuat mereka menabrak beberapa rekan kuda lainnya.

Akibatnya, beberapa kuda jatuh bersama penunggangnya.

Target yang mampu keluar dari kepungan membuat para prajurit lainnya segera mengubah arah laju kudanya.

Ternyata para kuda itu bergerak cepat juga dan dalam waktu singkat sudah mengepung Alma Fatara yang menjadi kecil di tengah-tengah kuda yang berlari berseliweran. Para prajurit itu bergantian melintas mencoba menyarangkan pedangnya ke tubuh wanita cantik jelita itu.

“Sayang sekali, gadis sejelita ini harus kami cincang.”

Itulah salah satu kata hati para prajurit itu ketika melihat dengan jelas kecantikan Alma Fatara yang tergolong masih berusia belia.

Namun, penilaian mereka menjadi berubah ketika melihat keganasan Alma Fatara yang di balik kecantikannya ada maut yang sangat berbahaya.

Bagaimana tidak berbahaya, jika Alma Fatara yang seorang wanita dan seorang diri bisa membuat pasukan berkuda yang lima puluh ekor dengan lima puluh prajurit jadi kocar kacir.

Tak tak tak!

Set set set!

“Aak! Akk! Akk …!”

Para prajurit berkuda itu hanya bisa terkejut dan berujung jeritan, ketika mereka membacok Alma Fatara yang menangkis dengan kedua tangan yang ternyata kebal. Para prajurit itu harus berjeritan saat kedua sisi telapak tangan Alma berubah menjadi senjata setajam pedang, yang membeset dan memotong bagian tubuh para prajurit yang bisa dijangkau.

Selain itu, kedua ujung pusaka Benang Darah Dewa melakukan serangan tersendiri kepada kuda-kuda yang dijangkaunya, membuat para hewan tunggangan itu meringkik keras dan menjadi liar. Ada yang melempar penunggangnya, ada yang membawa kawin lari penunggangnya, dan ada yang mengajak jatuh bersama, yang jelas tidak ada yang mengajak ngopi bersama.

Menyaksikan lima puluh prajurit berkudanya dibuat kocar kacir dan hancur, Panglima Utama Surap Bentala hanya bisa mendelik dan gemetar halus. Entah gemetaranya karena terkejut, atau takut, atau karena saking marahnya.

“Meski penantang kita hanya satu orang, tetapi dia adalah pendekar sakti yang hebat,” kata Panglima Utama. “Ini adalah jebakan!”

“Apa yang harus kita lakukan, Panglima Utama?” tanya Panglima Gigir Sluduk.

“Panglima Gigir, pimpin semua pasukan berkuda kembali ke Ibu Kota!” perintah Panglima Utama.

“Baik, Panglima!” jawab Panglima Gigir Sluduk.

Panglima Gigir Sluduk lalu memajukan kudanya, kemudian berbalik hadap.

“Pasukan berkuda, ikut aku!” teriak Panglima Gigir Sluduk kepada pasukan berkuda.

Maka seluruh pasukan berkuda yang jumlahnya sekitar tiga ratus itu segera bergerak mengikuti kuda Panglima Gigir Sluduk. (RH)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!