NovelToon NovelToon

30 Days With You

Bab 1. Gavin Alexander Wijaya

Breaking News hari ini,

Gavin Alexander, CEO perusahaan Terrajaya Corp berencana meluaskan lahan perusahaannya yang berada di lokasi kawasan industri Grand Tulip. Dari sumber terpercaya yang kami minta keterangannya siang ini, di lokasi ini akan dibangun sebuah kantor besar Terrajaya Corp di mana nantinya CEO Gavin Alexander Wijaya akan berkantor di sana.

Namun yang menjadi kendala, di atas lahan kosong tersebut terdapat satu rumah tinggal yang sudah lama berdiri dan dihuni banyak anak-anak panti juga beberapa orang tua jompo. Menurut keterangan yang kami peroleh dari salah satu penghuni panti, mereka akan tetap bertahan di rumah itu dan menolak ganti rugi yang sudah ditawarkan oleh pihak perusahaan.

Sampai berita ini diturunkan, pihak perusahaan terkait terutama CEO Gavin Alexander Wijaya menolak untuk dimintai keterangannya.

▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎

“Kau tahu apa yang harus dilakukan sekarang!” Nathan Wijaya mematikan televisi dan menyimpan remote tv ke atas meja di depannya. Pandangannya kini lurus menatap Gavin keponakannya yang hanya tersenyum dan tampak santai menanggapi berita yang baru saja tayang itu.

“Apa Paman ingin Aku menerima tawaran wawancara itu dan memberitahu pihak media tentang apa yang sebenarnya terjadi pada rumah itu?” ucap Gavin sembari mengangkat bokongnya, berdiri lalu berjalan mendekati Nathan dan duduk di sebelahnya.

“Kau tahu bukan itu masalahnya,” sahut Nathan dengan kening berkerut, menatap tajam wajah keponakannya itu.

“Lalu apa masalahnya, Paman?” tanya Gavin lagi tanpa memalingkan wajah, ia merebahkan kepalanya sejenak pada sandaran kursi di belakangnya dan memejamkan matanya perlahan.

“Rumah itu hanya masalah kecil, Aku sudah menyiapkan ganti rugi yang sangat besar dan memberi mereka tempat tinggal yang sangat layak. Aku yakin mereka tidak akan bisa menolaknya,” ucap Gavin percaya diri.

“Masalahnya si pemilik rumah tidak mau pindah dari sana, meski sudah diberikan penjelasan oleh pengacara perusahaan kalau rumah yang ia miliki itu sudah dijual oleh pamannya yang terlibat judi dan masalah penggelapan dana perusahaan.” Sahut Nathan gusar.

“Bukankah dengan adanya masalah itu, akan jauh lebih mudah untuk mengatasinya. Pemilik rumah itu tidak mungkin mampu membayar ganti rugi uang perusahaan yang sudah dipakai pamannya,” ucap Gavin seraya menguap lebar tanpa berusaha menutupinya, sejurus kemudian ia menautkan kedua tangannya ke atas dada, lalu duduk dengan berselonjor kaki.

Semalam ia pulang larut malam, setelah berpesta pora dengan dua sahabatnya Ryan dan Damian diselingi dengan olah raga malam dengan wanita molek yang sengaja dibawa Ryan untuk meramaikan acara. Matanya terasa lengket karena rasa kantuk yang mendera, dan tadi pun harus bangun pagi-pagi sekali untuk menemui Nathan di kantornya.

“Apa Kau benar-benar tidak punya hati, sedikit saja rasa empati pada mereka. Kelakuan pria brengsek itu yang sudah membuat banyak anak-anak kecil di rumah itu menangis karena harus keluar dari rumah mereka dan tidak tahu harus pindah dan tinggal di mana.”

Gavin mengerjapkan matanya, ia benci harus berdebat dengan pamannya. “Kenapa Paman harus pusing dengan masalah ini, perusahaan sudah memberikan solusi terbaik dengan memindahkan mereka ke tempat yang layak huni dan memberi mereka fasilitas rumah sewa selama satu tahun ke depan. Dan semua itu perusahaan kita yang membayarnya.”

“Aku hanya tidak bisa melihat anak-anak itu menangis sedih, meratapi rumah tinggal mereka selama ini.” Nathan mengembuskan napasnya, “Kenapa Kau harus melakukannya, membeli lahan yang jelas-jelas dihuni anak-anak panti dan menempatkan mereka di tempat yang jauh dari orang-orang yang mereka kenal selama ini!”

“Semua sudah sesuai kesepakatan, Aku menyediakan lahan tempat tinggal yang baru untuk mereka semua. Yang lebih luas dengan banyak kamar, tanpa perlu berdesakan lagi seperti rumah mereka sebelumnya. Ada fasilitas kendaraan bus milik perusahaan yang khusus disediakan untuk masyarakat umum yang bisa mereka pakai, gratis tanpa harus keluar biaya. Tidak ada yang dirugikan dalam hal ini.”

Gavin menegakkan punggungnya, kini menatap wajah pamannya. “Apa paman tahu bagaimana mereka tinggal saat ini? Rumah itu sangat kecil dan banyak kerusakan di sana-sini, tapi dihuni banyak orang. Hanya ada empat kamar dan mereka harus berbagi tempat tidur, bahkan satu ranjang bisa ditempati dua sampai tiga orang anak.”

“Aku tidak sekejam apa yang orang pikirkan, Paman. Aku juga masih punya hati, dan Aku memberi nilai sepadan untuk setiap transaksi yang Aku lakukan!” pungkas Gavin.

“Mereka yang tidak mengenalmu dengan baik akan beranggapan kalau Kau memang seorang CEO yang kejam. Demi kepentingan pribadi, tega membeli lahan yang potensial hanya untuk memperluas kantormu saja. Mengesampingkan nasib anak-anak panti yang miskin dan hidup susah selama ini.”

Mendengar itu, seketika rahang Gavin mengeras. “I don’t care anything they talking about behind Me. This is my own company, dan Aku berhak membuat keputusan tanpa campur tangan atau intervensi dari siapa pun!” ( Aku tidak peduli apa pun yang mereka bicarakan di belakangku. Ini perusahaanku sendiri )

“Tapi Aku peduli, Aku pamanmu dan Aku pula yang membesarkanmu!”

“Paman, berhenti bersikap seolah Aku anak kecil yang harus terus dijaga dan diawasi.”

“Tidak bisakah Kau bersikap manis dan lebih ramah sedikit saja, dan membuat mereka berhenti memandang buruk dirimu?” pinta Nathan dengan sorot mata memohon.

Gavin bergeming, namun tak urung ia membalas tatapan pamannya itu. “Apa yang Paman ingin Aku lakukan?”

Mata lelaki di hadapannya itu berbinar, “Kau bisa berbuat hal-hal baik pada masyarakat sekitar tempat tinggalmu, yang mungkin saja tidak pernah melihatmu apalagi mengenalmu dengan baik. Berbagi dengan warga miskin, membantu anak-anak panti asuhan lainnya. Dan satu lagi, berhentilah bermain-main dengan wanita-wanita yang sering Kau temui bersama para sahabatmu itu. Temui dan dapatkan hati seorang wanita baik-baik. Bila perlu bawa wanita itu pada Paman, dan dengan senang hati Paman akan menikahkan kalian.”

“Jadi Paman menginginkan Aku melakukan hal-hal baik pada orang-orang sekitarku, lalu menemui seorang wanita baik-baik dan berkencan dengannya?” Gavin menautkan alisnya.

“Tepatnya bukan berkencan, tapi menikahi wanita baik-baik.”

Gavin manggut-manggut mengerti, bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Ia bisa melakukan semuanya dengan mudah, memberi banyak sumbangan tanpa harus turun tangan sendiri karena ada anak buahnya yang melakukannya.

Menemukan wanita baik-baik, sekali lagi itu bukanlah hal sulit untuknya. Ia bisa dengan mudah mendapatkannya. Siapa yang bisa menolak pesona seorang Gavin Alexander, CEO Terrajaya Corp yang memiliki paras tampan, sukses, kaya raya, dan embel-embel lain di belakangnya.

Bila pamannya tak berkenan dengan wanita pilihannya, ia bisa menyewa seorang wanita muda untuk menjadi kekasihnya dan berperan sebagai wanita baik-baik, tentu saja dengan imbalan yang sepantasnya.

“Baik, demi Paman akan Aku lakukan!”

Hanya untuk satu bulan ke depan sampai waktu dimulainya pembangunan gedung baru kantornya, ia akan bersikap baik dan menemukan ‘wanita baik-baik’ sambil meredam berita buruk tentang dirinya.

🌹🌹🌹

Bab 2. Amanda Putri

Amanda Putri atau yang akrab dipanggil Ami, sedang berada di serambi depan rumahnya berdiri mengawasi adik-adiknya yang sedang bermain.

Ia bersantai sejenak ketika tiba-tiba pak Jamal, petugas pos keliling di desanya itu datang dengan sepeda motor tuanya memasuki pekarangan rumahnya. Seperti biasa, lelaki paruh baya yang masih terlihat sehat itu datang mengantarkan surat untuknya.

“Biasa, Neng. Saya hanya menjalankan tugas, barusan tadi ada titipan surat dari sekolahan.” Ucap pak Jamal mematikan mesin motornya, lalu melangkah turun dan bergegas menaiki anak tangga rumah Ami.

Pak Jamal lalu menyerahkan beberapa lembar amplop surat ke tangan Ami yang langsung menyimpannya ke atas meja. Ami menghela napas, dari tulisan di pojok atas surat itu Ami sudah bisa menebak kalau isi surat itu adalah tagihan uang sekolah adik-adiknya.

“Iya, Pak Jamal. Terima kasih, Saya mengerti kok.” Jawab Ami sambil tersenyum.

“Ya sudah, Neng. Kalau begitu Bapak pamit dulu,” kata pak Jamal balik badan, berjalan menuruni anak tangga.

“Pak Jamal, mampir dulu. Kami baru saja panen singkong dari kebun belakang rumah, alhamdulillah hasilnya lumayan banyak.”

“Terima kasih, Neng. Bapak buru-buru, masih ada tugas dari pak RT lagi.” Tolak pak Jamal.

“Tunggu sebentar saja, Pak. Gak lama, kok. Titip buat ibu di rumah,” cegah Ami, menahan pak Jamal untuk menunggu sebentar saja. Pak Jamal menurut, ia menunggu di dekat motornya.

“Kebetulan ada Rivan datang,” ujar Ami menatap senang kedatangan adik lelakinya itu. “Van, tolong ambilkan bungkusan plastik di atas meja dapur. Bawa ke sini ya, kasih sama pak Jamal.”

Rivan, bocah lelaki berumur delapan tahun yang baru saja datang bermain di luar rumah bergegas masuk ke dalam rumah. “Kak Ami, bungkusan plastik hitam ini bukan sih?” teriak Rivan dari dapur rumah.

“Iya, ada dua kan. Bawa saja semua keluar,” sahut Ami setengah berteriak.

“Oke.”

Rivan keluar dengan menenteng plastik berisi singkong mentah di tangan kirinya, satu kantong plastik lagi ia bawa dengan cara menggigit talinya.

“Ish, kok gitu bawanya.” Ami mengambil bungkusan plastik berisi daun singkong dari mulut Rivan, yang langsung berlari turun menyerahkan kantong plastik di tangannya pada pak Jamal.

“Terima kasih, anak ganteng.” Pak Jamal mengacak rambut kepala Rivan, yang tersenyum mendengarnya.

“Sama-sama Pak,” jawab Rivan lalu berbalik menghadap Ami yang berjalan mendekat. “Kak Ami, Rivan mau jemput Rio di lapangan,” pamitnya, dan tanpa menunggu jawaban dari Ami ia langsung mengambil sepedanya yang berada di kolong rumah dan mengayuhnya cepat.

“Hati-hati!” teriak Ami mengingatkan. Ia lalu menyerahkan bungkusan plastik di tangannya pada pak Jamal. “Ini Pak, lumayan buat lalapan di rumah.”

Pak Jamal terkekeh melihat tingkah Rivan, ia pun segera berpamitan dan tak lupa mengucap terima kasih sekali lagi pada Ami. Ia pun menghidupkan kembali mesin motornya dan berlalu dari sana.

Ami membolak-balik surat di atas meja, membaca satu-persatu nama pengirimnya.

Bagi Ami, tak mengapa ia harus bekerja keras demi memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan adik-adiknya. Ia juga tidak pernah mengeluh bila setiap hari harus disibukkan dengan mengurus dua orang tua jompo yang tinggal bersamanya.

Ia juga sangat mengerti bagaimana setiap bulan pihak sekolah selalu mengirim surat pemberitahuan yang menjelaskan dengan sangat sopan bahwa ia lagi-lagi telat membayar uang bulanan sekolah adik-adiknya. Ia menerimanya dengan tetap tersenyum dan bersabar menghadapi semuanya. Tapi tidak dengan surat yang satu ini.

Surat berlogo nama perusahaan Terrajaya Corp, yang isinya meminta kesediaan dirinya sebagai pemilik lahan untuk datang dan bersedia memenuhi undangan dari pihak perusahaan terkait masalah ganti rugi rumah dan lahan yang selama ini ditempatinya.

“Surat dari siapa, Kak?” Rumi adik perempuannya yang paling besar berusia dua belas tahun, muncul dari dalam rumah dengan membawa sepiring rebusan singkong yang masih mengepulkan uap dan semangkuk kecil gula. Ia duduk di sebelah Ami, menjulurkan lehernya berusaha melihat surat yang sedang dibaca Ami.

“Hanya surat biasa saja, dari sekolah.” Sahut Ami melipat surat itu kembali dan memasukkannya ke dalam amplop. Ia masukkan ke dalam kantong bajunya yang lebar, lalu mencomot singkong yang masih panas dan mencocolnya ke mangkuk gula.

“Kemarin siang pas Kakak lagi di kerjaan, ada pak RT datang bersama dua orang laki-laki. Katanya sih orang dari perusahaan yang mau beli lahan rumah kita ini, Kak. Mereka cari pemilik rumah, tapi Rumi bilang kalau Kakak lagi kerja. Katanya sih nanti malam selepas isya mau ke sini lagi,” cerita Rumi yang kontan membuat Ami terkejut.

“Uhuk!” Ami tersedak, ia berlari masuk ke dalam rumah dan dengan cepat menyambar botol minuman berisi air putih dan menegaknya dengan tergesa. Ami menepuk dadanya yang menyesak tiba-tiba.

“Kakak kenapa?” tanya Rumi cemas, wajah Ami terlihat tegang.

“Rumi kenapa baru cerita sama Kakak soal ini?” Ami balik bertanya, mengusap mulutnya dengan punggung tangannya. Ia berjalan ke luar dan duduk kembali di kursinya lagi.

“Maaf, Rumi lupa Ka.” Sesal Rumi tidak menyangka kalau berita yang baru saja diutarakannya itu ternyata membuat kakaknya menjadi tegang.

Ami mencoba tersenyum, meski ia tidak yakin kalau hal itu bisa membuat Rumi adiknya tenang. “Ya sudah, nanti malam setelah adik-adikmu selesai belajar ajak mereka segera beristirahat. Biar kalau pak RT dan temannya itu datang, mereka sudah pada tidur.”

“Iya Ka.”

Tak lama kemudian terdengar suara tangisan bocah lelaki dari samping rumah. Rio turun dari boncengan sepeda Rivan, hanya mengenakan kaus oblong warna putih yang sudah lusuh dan tanpa alas kaki. Celana pendeknya kotor penuh noda lumpur, di sebelahnya Rivan berjalan sambil menenteng sebelah sandal jepit yang sudah putus talinya.

“Rio kenapa menangis, sayang?” tanya Ami bergegas menyambut Rio. Berjongkok di hadapannya dan memeluk bocah lelaki yang masih berusia enam tahun itu. Tak dipedulikannya bajunya yang ikut kotor karena memeluk tubuh Rio yang terkena lumpur.

“Tadi Rio coba belajar naik sepeda, eh jatuh terus masuk parit. Sandalnya hilang cuman ketemu satu, nih putus pula talinya.” Rivan menunjukkan sandal jepit di tangannya pada Ami.

“Ish, Rivan. Ngapain coba sandal putus dibawa pulang segala, cuman satu pula!” sela Rumi.

“Kan buat bukti, jadi kalau Kak Ami tanya Rivan bisa tunjukkan sandalnya.” Balas Rivan dengan wajah polosnya.

Ami menghela napas, “Sudah-sudah, sekarang Rivan cepat mandi dan ganti bajunya. Sandalnya dibuang saja. Percuma kan gak bisa dipakai juga.”

“Jangan dibuang, Ka. Kan bisa dipakai buat rem kaki sepeda Rivan,” jawabnya seraya menyembunyikan sandal ke belakang punggungnya.

“Ish, Rivan. Sudah buruan mandi sana. Mana sandalnya, sini Rumi buang!”

“Gak!” Rivan berkelit, berlari menuju kamar mandi di belakang rumah sambil meleletkan lidahnya pada Rumi.

“Rumi!” panggil Ami, membuat gadis kecil itu menoleh padanya. “Rumi bantu bersihin badan Rio, ya. Dan ingat pesan Kak Ami tadi, ajak adikmu makan, belajar, terus istirahat tidur.” Perintah Ami pada Rumi yang langsung diangguki Rumi.

“Rio badannya ada yang sakit gak jatuh dari sepeda tadi?” tanya Ami, yang dijawab dengan gelengan kepala Rio. Ia lalu memperlihatkan telapak tangannya, ada luka kecil seperti sebuah titik yang memerah. “Sakit gak?” tanya Ami lagi.

Ami meniup-niup telapak tangan Rio, dan sekali lagi bocah lelaki itu menggelengkan kepalanya. Tangisnya sudah mereda, meski di pipinya masih ada sisa air mata.

“Sekarang, Rio ikut kak Rumi ya. Mandi terus maem.”

Rio mengangguk dan memeluk leher Ami, lalu mencium pipinya. “Rio sayang Kakak Ami,” ucapnya berbisik di telinga Ami.

Ami memejamkan matanya, rasa haru menyeruak dalam dadanya. “Kakak juga sayang sama Rio.”

“Yuk, kita mandi.” Ajak rumi lalu menggandeng tangan Rio.

Ami bangkit berdiri, menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Sudah sore, ia harus segera membantu menyiapkan keperluan mandi dan makan nenek Ana dan nenek Mira sebelum mempersiapkan diri menyambut kedatangan tamunya.

🌹🌹🌹

Bab 3. Menolak ganti rugi

Tepat jam delapan malam tamu yang ditunggu pun tiba, Ami sedang berada di dapur rumah membereskan sisa makan malam ketika mendengar pintu rumahnya diketuk dari luar diiringi ucapan salam.

Ami menjawab salam dan bergegas membuka pintu, dan menatap penuh selidik pada kedua pria yang berdiri di samping pak RT. Yang satu penampilannya perlente dan berkacamata, sementara satunya kurang lebih sama. Hanya terlihat lebih muda saja dan terus menebar senyumnya.

“Pak RT, tumben malam-malam begini datang ke rumah Saya. Ada perlu apa ya Pak?” tanya Ami pada pak Maliki, RT di kampungnya. Kedua lelaki di sebelahnya kembali tersenyum ramah dan menganggukkan kepala padanya, namun Ami hanya diam tak membalasnya.

“Begini, Bapak datang mau mengantarkan mereka menemui Neng Ami. Ada hal penting yang akan disampaikan, nanti biar mereka langsung yang bicara. Jadi Bapak mohon sudilah kiranya Neng Ami meluangkan waktunya sebentar untuk mendengarkan penjelasan dari kedua bapak-bapak ini,” pinta pak RT pada Ami.

“Kenalkan Saya Dani, asisten tuan Gavin Alexander Wijaya. Pemilik Terrajaya Corp, yang kantornya akan segera dibangun di kawasan ini.” Ujar lelaki yang lebih muda mengenalkan diri.

“Saya Alvin, pengacara tuan Gavin yang akan mendampingi asisten Dani saat bertemu dengan pemilik lahan di kawasan ini.”

Ami mengerutkan keningnya, untuk apa pemilik perusahaan itu mengirimkan pengacara ke rumahnya, ia memasang sikap waspada. Ami mulai menduga-duga kalau kedatangan mereka malam ini ada hubungannya dengan surat yang diterimanya siang tadi. Bukankah tadi mereka menyebut nama perusahaan Terrajaya Corp.

“Bisa kita bicara di dalam?” tanya Dani, dan Ami langsung menunjuk bangku panjang di beranda rumahnya.

“Kalian bisa duduk di sana, pak RT juga. Di dalam adik-adik Saya sedang belajar dan nenek Ana juga nenek Mira sedang beristirahat. Saya takut mereka terganggu kalau kita bicara di dalam,” ucap Ami mengungkapkan alasannya.

“Baiklah, tidak masalah. Kita bisa bicara di sana,” jawab Dani masih dengan senyum di bibirnya, yang diangguki oleh rekannya.

“Kalau begitu, kalian bisa bicara bertiga. Bapak mau ke depan dulu, biasalah.” Pak RT memberi kode dengan dua jari di depan bibirnya, lalu terkekeh dan berjalan menuruni anak tangga rumah Ami.

Gubrak!

“Astagfirullah!” terdengar teriakan pak RT diiringi dengan erangan kesakitan, membuat Ami dan kedua orang tamunya itu menoleh cepat.

Di bawah tangga pak RT jatuh terduduk dengan bokong menyentuh tanah, tersandung sepeda Rivan yang setangnya bersandar di salah satu anak tangga. Ami menutup mulutnya, mati-matian berusaha menahan tawanya, sementara kedua tamunya hanya mengulum senyum.

“Aduh, kok bisa jatuh sih Pak. Bapak gapapa?” tanya Ami hendak turun membantu.

“Tadi pas baru datang gak ada itu sepeda, kok sekarang tiba-tiba parkir di sini!” Pak RT bangkit berdiri sambil mengibas-ngibaskan tangan di celana panjangnya. “Saya gapapa, silah kan kalian lanjutkan pembicaraan saja.”

“Maaf ya, Pak RT. Besok-besok Saya suruh adik Saya buat taruh sepeda itu di belakang rumah saja,” ucap Ami lagi.

“Ya ya ya, gapapa.” Pak RT berjalan ke depan halaman rumah Ami sambil memegangi pinggangnya.

“Dosa loh orang jatuh diketawain,” ucap Dani melihat reaksi Ami, yang langsung melengos mendengar ucapannya.

“Dih!”

“Di sini sumber air lancar gak ya, apa harus punya penampungan untuk tadah hujan atau bagaimana?” tanya Dani sambil mengusap tenggorokannya.

“Di daerah ini hampir semua rumah punya sumur air tanah, dalamnya sekitar sepuluh meteran. Jadi kalau mau masak air, mandi, atau lain-lainnya harus nimba air dulu.” Jawab Ami cepat.

“Oh!” Dani meneguk liurnya, niatnya memberi kode pada tuan rumah, basa-basi untuk sekedar menyediakan air minum. Sayang Ami tidak peka atau mungkin pura-pura tidak paham malah bercerita bagaimana mereka harus menimba air untuk keperluan sehari-hari.

“Masa iya mau minum saja harus nimba air di sumur, keburu kering tenggorokan Gue cuy!” bisiknya pada Alvin, dan lelaki itu terkekeh mendengar ucapannya.

“Ekhem, kalau masih lama juga mending ditunda lain waktu saja bicaranya. Sudah malam, gak enak dilihat tetangga. Ini di kampung, tidak baik malam-malam bertamu di rumah seorang perempuan yang baru dikenal.” Ami menyela, ia sudah tidak betah menghadapi tamunya yang sedari tadi tak juga kunjung bicara menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan mereka di rumahnya.

“Jutek banget dari tadi, tau begini mending tuan Gavin sendiri yang ngadepin.” Rutuk Dani dalam hati.

“Baiklah, Saya langsung saja bicara tentang tujuan kami datang ke rumah Neng Ami.” Alvin mulai buka suara mewakili Dani bicara terlebih dahulu.

“Gak usah ikut-ikutan pak RT panggil Saya Neng. Panggil Ami saja,” protes Ami lagi.

“Oke, Ami.” Alvin mengalah.

Alvin lalu menjelaskan kalau perusahaan Terrajaya Corp yang dipimpin Gavin Alexander Wijaya, akan memperluas area perusahaan miliknya yang berada di daerah itu dengan membangun sebuah kantor baru di sana. Rumah yang ditempati Ami saat ini berada dalam kawasan industri Grand Tulip dan masuk dalam area yang akan dibangun nanti.

Sebagai kompensasi, pihak perusahaan sudah menyiapkan ganti rugi yang layak dan sesuai dengan harga jual lahan di kawasan itu. Mengingat di rumah Ami sekarang, tinggal anak-anak dan orang tua jompo, perusahaan sudah menyediakan tempat tinggal baru dan menjamin semua kebutuhan mereka selama satu tahun.

“Tidak! Saya tidak akan meninggalkan rumah ini.” Tegas Ami, ia berdiri di hadapan kedua laki-laki itu.

“Rumah ini satu-satunya peninggalan orang tua Saya. Ada amanah yang harus Saya emban di dalamnya, melanjutkan perjuangan kedua orang tua Saya untuk membantu anak-anak yang tidak memiliki tempat tinggal. Kami memang miskin, kami hidup seadanya. Tapi kami tidak akan menjual rumah ini, meski kalian menggantinya dengan berkali-kali lipat harganya.”

“Tapi Neng Ami, rumah ini sudah ...”

“Panggil Saya Ami saja!” sentak Ami gusar, ia tidak suka mendengar ada orang asing memanggilnya dengan panggilan itu.

“Baiklah, Ami. Saya harus katakan yang sebenarnya padamu, kalau rumah ini sudah dijual oleh pak Surya Darma, yang mengaku sebagai pemilik sah rumah ini. Dia terlibat penggelapan dana perusahaan dan judi on line. Dari penyelidikan yang sudah kami lakukan, dia ternyata memiliki seorang keponakan yang tinggal di rumah ini. Dan setelah didesak dan dilaporkan kepada pihak berwajib, dia mengakui kalau rumah ini adalah milik almarhum kakak lelakinya yang sudah dihuni lama oleh anak-anak dan orang tua jompo.”

“Rumah ini milikku, Aku punya surat-surat yang menyatakan kalau rumah ini atas namaku. Tidak ada seorang pun yang bisa mengambilnya dariku. Tidak juga paman Surya atau pemilik perusahaan Terrajaya Corp!”

“Saudari Ami, silah kan duduk kembali dan periksa ulang surat-surat kepemilikan rumah ini. Apa benar ini yang Saudari maksudkan?” Alvin mengeluarkan berkas dari dalam tasnya, dan memberikannya pada Ami untuk diperiksa.

Dengan tubuh gemetar Ami menuruti ucapan Alvin, duduk dan membuka berkas di tangannya. Ia merasa seperti seorang terdakwa yang sedang ditanya penuntut umum tentang sebuah kasus yang bahkan baru saja ia ketahui kejadiannya.

“Tidak mungkin, ini pasti bohong!”

🌹🌹🌹

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!