NovelToon NovelToon

LOVE WITH MY HOT UNCLE

BAB 1 : MAHLIGAI DOSA

“Om Abi …” rintih Kaniya pelan mengigit bibirnya sendiri merasa geli dan nyaman saat leher putihnya di endus dan di sesap sedikit oleh Abian saudara ayahnya. Hal itu sering terjadi, berulang – ulang oleh pria beranjak dewasa yang secara silsilah adalah Om Kaniya.

Usia mereka terpaut hampir tujuh tahun. Saat itu Abian berusia 26 tahun, memiliki jabayan sebagai Manager di Perusahaan yang di miliki oleh Abrar Waluya ayah Kaniya. Ya … Abian Wiguna adalah adik bungsu dari Abrar Waluya. Kaniya merupakan anak tunggal dari hasil pernikahannya dengan Veronia. Pernikahan mereka hanya berselang 13 tahun. Pernikahan itu tak bisa di lanjutkan karena adanya bukti perselingkuhan Veronia dengan mantan kekasihnya. Abrar tak bisa melanjutkan pernikahan yang ternoda itu. Mengusir Veronia dari rumahnya dan meminta agar Kaniya tetap tinggal bersamanya.

“Biar kan begini dulu Kaniya. Ini akan Om rindukan selamanya.” Pinta Abian yang kini tangannya sudah menangkup buahan kecil di dada remaja yang masih mengenyam pendidikan Sekolah Menengah Atasnya. Salah memang, dosa itu pasti. Secara silsilah mereka adalah om dan keponakan.

“Om Abi yakin akan pergi dari Niya …?” ringisnya pelan. Ada air yang tanpa ijin jatuh membasahi pipi remaja itu. Saat pria yang sedang menempel di tubuhnya itu pamit untuk pergi ke London untuk melanjutkan kuliah pasca sarjananya.

Abian tak sanggup jika terus dekat dengan Kaniya Putri Waluyo. Ia mengakui perasaan sayangnya pada Kaniya sudah bukan sebagai Om dengan keponakan. Tetapi lebih menjurus pada cinta terhadap lawan jenis. Ini salah, jelas terlarang. Kaniya masih harus menjadi Sarjana, pun anak dari kakaknya sendiri. Ia tau akan adat istiadat, Abian tau ini tabu.

Tetapi, dapatkah Abian selalu menahan diri untuk tidak melakukan hal di luar nalar. Saat seluruh organ tubuhnya sudah aktif dan minta di puaskan. Dorongan untuk melakukan hal tak pantas selalu menjadi beban terberatnya.

Kaniya menarik kepala yang mengendus lehernya, kemudian mengarahkan wajah itu tepat di depan irasnya. Kening mereka bertemu tanpa jarak, ujung hidung keduanya pun saling bersentuhan. Pelan namun pasti, kini giliran bibir mereka yang saling bertautan.

Decakan saliva yang tetukar jelas terdengar pada ruang dengar keduanya. Sepinya ruang kosong di gudang belakang kediaman Abrar Waluyo menambah syahdu, dosa itu terjadi. Ini bukan yang pertama. Ini sering terjadi antara om dan keponakan itu. Abian tak pernah memaksa, namun Kaniya sendiri yang tak pernah menolak.

Huh … tangan Abian tidak hanya berhenti pada buah-buahan kecil yang bahkan baru tumbuh di dada Kaniya. Tapi tangan Abian pria yang beranjak dewasa itupun sering mampir menyentuh sesuatu yang sering di sembunyikan dalam kain berbentuk segitiga di balik rok yang Kaniya kenakan.

“Niya sayang Om Abi.” Manja Kaniya pada Abian. Dan hal itu membuat Abian makin gila.

“Om Abi lebih banyak sayang kamu.” Dengus Abian kesal melepas ciuman panas nan brutal mereka.

“Kalau Om Abi sayang Niya … kenapa Om tinggalkan Niya?” tangisnya pecah, tak terima jika ini adalah hari terakhirnya dekat dan bertemu sang paman.

“Kamu anak mas Abrar, Niya. Kamu seolah anakku sendiri. Kita salah jalan, kita tak boleh terus begini. Terima kasih untuk kebersamaan kita selama ini. Kamu tetap pernah jadi yang terindah dalam hati Om. Kamu kesayangan Om.” Urai Abian frustasi. Ia sadar Kaniya bahkan lebih cocok ia sayang sebagai anak, sebab Abrar kakaknya. Hanya dia yang bodoh memanfaatkan derita Kaniya dengan pesonanya ternyata dapat mengganggu pikiran remaja labil itu.

“Mama sudah pergi, Papa tak peduli lagi dengan Niya, sekarang Om Abian pun meninggalkan Niya. Kenapa Niya tidak mati saja Om. Untuk apa Niya hidup tanpa orang-orang yang sayang dan peduli dengan Niya.” Kaniya sesungukan. Tak sanggup membayangkan hari-harinya tanpa saudara ayahnya yang selama ini memperhatikannya itu.

Abian adalah pahlawan dalam hidup Kaniya, saat dunia tak lagi menganggap ia ada. Sejak kelas 4 Sekolah Dasar Kaniya tak punya mama, karena di usir sang ayah. Hanya 2 minggu setelah surat cerai resmi keluar, Abrar sudah kembali menikah bahkan dengan seorang janda beranak satu. Soraya yang bekerja sebagai sekretaris di kantornya.

Tak perlu di tanya bagaimana tidak adilnya Soraya pada Kaniya. Papanya bahkan tak begitu terliti dalam hal memperhatikannya. Apalagi pernikahan mereka baru sebulan, Soraya sudah hamil. Bagai nerakalah suasana rumah tangga tersebut.

Semua derita itu berubah membaik, saat seorang remaja berusia 16 tahun datang dari desa. Setelah kematian Indah nenek Kaniya, yaitu ibunda Abrar dan Abian. Ia menjadi yatim piatu di desa asal mereka, untuk itu Abrar mengajak adiknya untuk tinggal bersamanya di Kota yang sama. Agar dapat menempuh pendidikan yang layak serta menikmati semua fasilitas yang ia punya.

Sejak itu, Abian dan Kaniya menjadi akrab. Merasa senasib sepenanggungan. Membuat keduanya selalu mengisi waktu bersama. Saling bertukar cerita, keluh kesah. Abian selalu berusaha melindungi Kaniya sekuat mungkin. Hal itu yang membuat keterikatan satu sama lain. Kaniya tumbuh semakin besar menjadi siswa berseragam putih biru, masa pubernya pun telah terjadi. Perubahan fisiknya pun tentu mengalami perubahan.

Perubahan dari bocah ke remaja, membuat Kaniya semakin terlihat cantik. Rambut nya panjang, hitam legam. Tak sekali Abian yang menguncir surai itu. Haid pertamanya pun Abian yang mengajarinya untuk menggunakan pembalut. Abian bisa menjadi apa saja bagi Kaniya.

Abian bisa menjadi ibu yang selalu menenangkan Kaniya. Abian bisa menjadi ayah yang dapat mengingatkan agar ia sabar menghadapi kejamnya perlakuan ibu tiri. Abian bisa menjadi guru, saat Kaniya tak bisa mengatasi soal-soal yang di berikan oleh guru di sekolahnya. Abian bisa menjadi sahabat tempat Kaniya menumpahkan kekesalannya pada teman-teman sekolahnya. Bahkan Abian juga bisa sebagai penolong dalam hal apapun saat Kaniya merasa tak sanggup melewati hal yang menderanya.

“Kita manusia biasa Niya. Kita mahkluk penuh dosa. Jika selalu dekat dan bersama maka kitalah penunggu neraka itu sendiri. Jika Om boleh meminta pada sang pencipta … Om hanya ingin terlahir menjadi orang lain. Bukan sebagai adik mas Abrar. Om sangat mencintai mu Niya, percayalah.” Bisik Abian kesal dengan silsilah kekerabatan antara mereka.

“Apa hukumannya bila kita terus bersama Om. Aku sangat butuh Om?” sungut Kaniya bertanya pada Abian sedih dan lirih.

“Om bukan Tuhan, jadi Om tidak tau upah dosa itu apa? Namun, sebelum semuanya terlambat. Lebih baik kita berpisah saja.” Kalimat itu tak bersambung. Sebab lagi-lagi Kaniya menyergap bibir yang sedari tadi banyak bicara itu. Kaniya sudah akrab bercanda dengan deretan gigi dalam rongga mulut pamannya itu. Menyerang lincah, menerobos dalam dan lama dalam mahligai dosa yang sulit mereka akhiri.

Bersambung …

BAB 2 : MEMILIH PERGI

Tekad Abian sudah bulat. Apapun yang akan hatinya rasakan saat jauh dengan Kaniya nanti. Akan ia terima. Ia tidak dapat terus dekat dengan Kaniya yang tidak lain adalah anak kakaknya sendiri. Abian jatuh cinta pada Kaniya. Pun Kaniya terhanyut dengan kasih sayang Abian yang sudah berlebihan. Mereka telah melewati batas.

Abian sudah menyandang gelar sarjana, strata satu. Kemudian bekerja di perusahaan kakaknya Abrar. Itu membuatnya pelan pelan tumbuh menjadi pria dewasa yang beranjak mapan. Tetapi perasaannya pada sang keponakan baginya sangat meresahkan. Kebutuhannya sebagai lelaki tentu sudah harus tersalurkan dengan teratur.

Sebab itu ia segera pamit pada Kakanyanya. Untuk melanjutkan studinya ke London. Abrar sangat menyayangi adik satu-satunya itu. Maka, dengan segala bentuk dukungan moril dan materil ia pun memfasilitasi keberangkatan Abian untuk melanjutkan Kuliah.

“Jangan kamu habiskan waktumu dengan menimba ilmu terus Abian. Lirik lah beberapa gadis teman kuliahmu. Agar selesai kuliah nanti, kamu bisa pulang dengan calon istri atau dengan anakmu sekalian.” Gurau Abrar melepas kepergian Abian saat mereka sudah di Bandara.

“Siap Mas, selesai Wisuda Pasca Sarjana nanti. Aku akan segera melangsungkan pernikahan. Tugas Mas hanya siapkan dana untuk acaranya saja.” Abian tak kalah meladeni gurauan Abrar. Walau ia melihat, ada raut wajah tak suka pada wajah Kaniya keponakannya yang ikut mengantarnya.

“Ha … ha … jangankan dana. Jabatan pada perusahaan Mas juga sudah menunggu mu.” Jawab Abrar serius menanggapi permintaan adiknya.

Begitulah Abrar yang sangat menyayangi adiknya. Tak tega ia melihat adiknya sebatang kara hidup di desa, selepas lulus SMP. Sehingga ia menjemput Abian untuk di sekolahkan bahkan kini sudah bergelar Sarjana Ekonomi. Jatah jabatan di perusahaannya pun sudah Abrar siapkan, 15 % adalah pembagian saham yang di berikannya untuk Abian.

Tentu saja hal itu membuat Soraya istri keduanya itu agak gusar. Tak pernah ia rela Abian memiliki saham dan akan mendapat jabatan diperusahan milik suaminya. Namun, Abian memang termasuk orang yang cerdas. Sembari kuliah ia juga sudah terjun langsung sebagai pegawai di perusahaan yang di pimpin kakaknya.

“Belajar yang rajin, Kaniya … atau mau kuliah bareng Om di London.” Abian memencet hidung Kaniya di hadapan kakaknya. Bagi Abrar itu perlakuan biasa, sesuatu yang wajar antara om dan keponakan. Abrar tak menaruh curiga pada hubungan anak dan adiknya tersebut. Sebab baik Kaniya maupun Abian memang terlihat biasa saja jika di rumah dan di hadapan orang rumah.

Padahal, Abian dan Kaniya sering berjalan berdua dengan dalih mengantar jemput Kaniya sekolah, les dan kerja kelompok. Mereka layaknya orang berkencan. Selama ada Abian, Kaniya tak pernah punya teman berlainan jenis. Ia terlalu fokus pada adik ayahnya tersebut. Begitu juga dengan Abian. Tak ada satu teman mahasiswa cewek pun yang membuat hatinya tertarik. Semua ia bandingkan dengan Kaniya. Dan bagi Abian, Kaniya adalah wanita sempurna, lembut dan selalu manja dengannya. Abian merasa menjadi manusia yang sangat berguna di mata Kaniya.

Baginya sosok Kaniya itu terbaik. Patuh, menurut, cerdas mudah di mengerti dan sudah sangat ia kenal kepribdaiannya. Tentu saja. Sebab ia kenal Kaniya sejak usia 10 tahun. Dari usia anak anak, hingga menjadi remaja. Dari dadanya rata sampai kini tidak rata. Pun semua tak lepas dari campur tangannya dalam hal membentuk dan memompanya. Salah. Ini jelas sangat salah.

***

Kini mereka sudah berada di lain benua, beda iklim juga musim. Di awal perpisahan banyak air mata yang tertumpah dari mata Kaniya, sebab selalu merindu saudara ayahnya tersebut. Kaniya menjadi pemurung, tak bergairah menjalani hari-harinya tanpa perhatian Om Abian.

Namun itu hanya berlangsung kurang lebih enam bulan. Hanya selama itu ia terpuruk dalam suasana rindu, sebab si pujaan hati sudah tak memberi kabar padanya. Kaniya hanya bisa memantau kegiatan Abian melalui media social. Jadilah Kaniya bagai pungguk merindukan bulan.

Satu hal yang membuat Kaniya bangkit untuk melupakan Abian adalah, sebuah postingan akan kedekatannya dengan seorang gadis bernama Alice. Wanita modern, cantik juga mahasiswa pasca sarjana seperti Abian.

“Love is you.” Begitu caption yang Abian pajang pada profilnya dengan picture memeluk wanita dewasa mapan yang sangat cantik.

“Forever Love and never ending.” Tak lupa Kaniya mengikuti akun milik wanita yang Abian tandai itu. Dan ternyata, postingan itu memang berhasil merusak tatanan dalam hati Kaniya, yang begitu merajakan Abian Wiguna.

Remaja tanggung itu sungguh terpukul. Tak terima hatinya melihat Abian bahagia dengan wanita lain. Konyol. Cintanya terlalu buta untuk melihat kenyataan, bahwa cintanya saru. Perasaannya hanya membuatnya berkubang di lembah dosa.

Abian menyelesaikan kuliahnya. Dalam kurun 3 tahun, ia sungguh kembali. Dan ternyata janjinya bukanlah isapan jempol. Alice sungguh ia bawa pulang dan di persuntingnya menjadi istri. Pernikahan mereka sungguh di gelar dan Abian pun hidup bersama sang istri terlihat bahagia.

Dengan segala perasaan pecah seribu, kini Kaniya harus tabah menghadapi kenyataan. Bahwa benar, Abian pulang dengan status menjadi seorang Magister Managemen, juga suami orang. Apa yang bisa Kaniya lakukan sekarang? Selain mengubur impiannya menjadi satu-satunya wanita yang Abian jaga dan sayang seperti masa masa lalu.

“Papa … apa aku boleh pindah kuliah?” tanya Kaniya suatu hari pada ayahnya. Tak bisa ia terus berada di kota yang sama bersama sang paman. Yang kadang ia temui di pertemuan keluarga yang tak terhindarkan.

Belum lagi, hatinya sangat sakit saat melihat kemesraan Abian pada Alice istrinya. Yang mungkin tak di sadari oleh Abian maupun Alice. Yang tak luput dari tatapan iri Kaniya.

“Mestinya bahuku yang sekarang Om Abi rangkul, bukan dia.” Geram Kaniya dalam hati.

“Huh … sudah seperti tak punya tangan saja wanita itu. Sampai minuman saja Om Abian yang ambilkan untuknya.” Kaniya sungguh dengki dengan perlakuan manis Abian pada istrinya.

Yang lebih Kaniya kesalkan ialah, sikap Abian berubah drastis padanya. Abian cendrung cuek, dan seolah tak pernah kenal bahkan dekat dengannya. Ia hanya di perkenalkan sebagai keponakan biasa, sama seperti ia memperkenalkan Bayu saudara tirinya dan Lidya saudara satu ayah dengan Kaniya, sebab Lidya lahir setelah Soraya menikah dengan Abrar.

“Apa sesungguhnya aku memang telah Om Abian tipu …?” bisik Kaniya saat ia melihat Abian berjalan ke toilet dan ia mengejar saudara ayahnya tersebut di sela keramaian pertemuan keluarga.

“Maksudnya …?” Abian menjawab namun dengan kepala yang di tolah tolehkan, untuk memastikan tak ada yang melihat kedekatan mereka sekarang.

“Kata Om … Cinta Kaniya.” Ucapnya tegas, masih setengah berbisik mendekati telinga Abian dengan berjinjit.

“Sudahlah Niya … lupakan semua masa lalu tentang kita. Om sudah beristri.” Jawabnya melengos pergi meninggalkan Kaniya yang termanggu. Sungguhkah ia sudah tak ada dalam hati sang paman.

“Heeeii … bahkan bibir ini kamulah orang pertama yang mencicipinya.” Umpatnya dalam hati dengan penuh rasa geram yang teramat sangat.

Untuk semua rasa sakit itu, Kaniya memutuskan untuk pergi saja. Meminta ayahnya bersedia menguliahkannya ke London. Sama seperti Abian yang pernah bersembunyi di Negara itu, menenggelamkan semua bara cinta, bahkan berhasil mendapatkan sepotong hati yang mampu membuat Abian berpaling dari cintanya.

Bersambung …

BAB 3 : UCAPAN SELAMAT TINGGAL

Kaniya tidak terima atas sikap dingin Abian padanya. Hatinya tersiksa saat manik matanya selalu menyaksikan langsung kemesraan Abian dan Alice. Hey … ada apa dengannya. Usia pernikahan Abian bahkan belum setahun. Bukankah wajar mereka memang masih dalam euphoria pengantin baru. Dimana akal sehat Kaniya, harus cemburu dengan istri orang. Itu istri pamannya. Itu masuk dalam kategori tantenya bukan.

Hubungan LDR Kaniya dan Abian hanya berlangsung 6 bulan. Selebihnya, Kaniya tidak mendapatkan akses untuk menghubungi Abian. Hingga Abian resmi menyandang gelar Magister Manajemen. Kemudian sungguh pulang membawa Alice ke tanah air. Lalu tiga bulan setelahnya Abian sungguh bersanding di atas pelaminan bersama kekasih yang ia dapatkan di London. Dan Kaniya hanya sebagai tamu undangan. Miris memang. Tapi rasa cinta siapa yang bisa mengaturnya.

[Om Abi, ku tunggu di café SS] isi chat Kaniya pada kolom wassap. Setelah ia mendapatkan nomor kontaknya di dalam grup Keluarga. Ya, bahkan Kaniya tidak mempunyai nomor kontak Abian, jika tidak tergabung dalam grup wassap keluarga.

[Maaf. Saya sibuk] Jawab Abian singkat.

“What? Saya …?" Bahkan Abian memberi jarak akan hubungannya kini dengan Kaniya. Mengapa kata saya itu terdengar menjadi asing. Asing untuk ukuran Abian dan Kaniya yang pernah di landa cinta walau terlarang.

[Oke, Niya ke rumah Om saja.] Kaniya nekad. Ia bahkan berani mengancam akan menyambangi rumah kekasih di masa lalunya.

[Oke. Di café SS. Om hanya punya waktu 30 menit. Pukul 6 sore. Jangan telat] Abian tak berani menanggung resiko jika Kaniya sungguh nekad kerumahnya. Bagaimana dia memberi penjelasan pada Alice tentang keponakan yang sok akrab dengannya.

“Kenapa menjadikan meja ini sebagai penghalang kita untuk saling dekat. Bukankah dulu kancing bajuku saja Om larang untuk saling bertemu dengan lubangnya. Agar selalu terbuka. Dan tak menghalangi Om untuk bermain dengan buah-buahan yang ku punya ini?” Buset … Kaniya bahkan bicara selantang itu sambil memegang buah dua di dadanya. Bahkan di tempat umum. Tempat di mana siang tadi mereka sepakati untuk bertemu.

“Kaniya … jaga sikapmu. Apa maksudmu memegang benda itu di tempat umum ?” hardik Abian mengalihkan posisinya. Tidak lagi berhadapan, melainkan sejajar dengan Kaniya. Agar jarang mereka terpangkas.

“Om tidak kangen Niya? Om tidak kangen mereka?” Oh Tuhan lirikan mata Kaniya sangat jelas mengarahkan pada bukit yang sering di daki oleh Abian dengan tangan di masa kejayaannya, saat menjadi laki-laki satu satunya yang dekat dengan Kaniya.

“Niya … kisah kita sudah End. Move on Niya. Om sudah beristri.” Abian mencoba untuk memastikan jika hubungan mereka tidak boleh di lanjutkan.

Tes … air mata Kaniya jatuh tanpa ijin. Sakit ulu hatinya, saat Abian memintanya untuk move on.

“Tidak semudah itu Om. Move on itu tidak semudah menghapal teks Pancasila yang tiap Upacara Bendera selalu di ucapkan.” Kaniya memukul dada Abian. Dada yang dulu memang tempatnya bersandar juga menangis melepas segala rasa sedih yang menderanya. Tapi … kini dada itu tidak boleh ia gunakan semena-mena kembali. Itu menciptakan perih tersendiri bagi seorang Kaniya yang masih memiliki cinta untuk sang paman.

“Om … Niya sungguh sudah tidak ada di sini lagi?” Kaniya menunjuk dada itu berkali-kali. Dengan suara super lirih.

Abian menggeleng.

“Nama kamu tidak boleh ada di sini, sekarang bahkan sampai selama-lamanya.” Tegas Abian membuang muka. Ia sesungguhnya hanya sedang mengalihkan akan perasannya yang sesungguhnya. Kaniya terlalu sempurna untuk di lupakan begitu saja. Tentu saja Abian bohong dengan yang ia ucapkan. Antara ucapan dan hatinya sekarang sedang tidak singkron.

“Secinta itu Om Abian pada Tante Alice? Sampai sedemikian mudahnya Om melupakan aku.” Kaniya mereguk segelas oren juice di depannya.

“Melupakan memang tidak semudah di ucapkan. Itu hanya tergantung niatmu sendiri. Percuma kan Om mengolah rasa cinta untukmu. Toh, sampai kapanpun kita tidak akan pernah bersama.” Jawab Abian menyusul Kaniya untuk menikmati minuman yang tampak telah tersedia untuknya di atas meja. Sambil memaparkan logikanya yang tidak salah.

“Om Abi jahat. Sebab sungguh terniat untuk melupakanku.” Ujar Kaniya lirih. Tangannya sengaja meraih tangan yang dulu memang selalu ia pegang di saat suka apalagi dukanya.

“Percuma Niya. Kamu adalah anak Mas Abrar. Untuk apa selalu membingkaimu menjadi yang terindah, sedangkan restu itu tidak pernah menjadi milik kita.” Abian memegang kepalanya merasa ini sangat sulit untuk di jelaskan.

“Aku tau cinta kita terlarang. Tapi aku siap menerima hukuman asalkan tetap bisa memiliki Om sepenuhnya. Sejak ada Om di dunia, nampaknya ibu-ibu di seluruh dunia ini sudah berhenti memproduksi lelaki dewasa seperti Om Abi.” Kaniya melingkarkan tangannya pada pinggang Abian dengan erat.

Abian kaget dengan serangan itu. Dia tidak mengira Kaniya kecilnya kini tumbuh menjadi gadis pemaksa. Bahkan tak kenal tempat untuk lebih dahulu memeluknya. Lalu, ada apa dengan aliran darah Abian yang mendadak memanas. Kemudian ada apa dengan bisikan setan dalam tubuhnya. Hey .. buah jakun Abian naik turun saat buah-buahan itu tertempel di dadanya erat, dekat. Bukan hanya dekat, itu memamg menempel tidak berjarak. Kenapa lagi dengan suhu tubuhnya. Kenapa memanas. Dan otaknya memerintahkan untuk tangan-tangannya bergerirya pada tubuh yang dulu sering menggoda imannya di masa yang telah lama berlalu.

“Kaniya … kenapa tubuhku memanas?” Abian masih sempat berpikir, mungkin saja Kaniya memberikan sesuatu pada minuman yang baru ia minum tadi.

“Apa yang Om Abi pikirkan?” tanya Kaniya dengan polosnya.

“Jujur Niya … apa yang kamu berikan pada minuman tadi?” Abian merasa sungguh tak nyaman dengan segala rasa yang menjalardalam tubuhnya.

“Om … Niya sudah memutuskan untuk pergi. Niya akan pergi ke Negara tempat Om berhasil mencampakkan perasaan Om terhadap Niya. Karena itu, Niya ingin berpisah baik-baik dengan Om. Sebaik dulu, saat Om tinggalkan Niya ke London.” Jawab Kaniya dengan penuh rasa sadar. Ia dapat melihat jika lawan bicaranya sudah tidak fokus menatapnya. Bola mata putih itu sudah mulai keruh kemerahan, akibat menahan sesuatu yang sulit ia bendung.

“Niya … kami tega sama Om. Kenapa harus menyiksa Om dengan mimuman bedebah itu?” Abian yakin, minuman itu sudah tercampur dengan obat perangsang dengan dosis tinggi. Abian merasa kebutuhan biologisnya harus segera di tuntaskan.

“Aku hanya ingin om mengungkapkan perpisahan dengan benar. Persis oh… bukan. Bahkan lebih, seperti yang pernah kita lakukan di gudang belakang rumah papa.” Oh … celaka. Kenapa Kaniya sangat berani meraba bagian tubuh Abian yang sangat sensitive sekali. Apa dia sudah berani menerima akibat dari perbuatannya sore itu.

“Niya … kalo kamu masih cinta Om. Mestinya jangan siksa Om begini.” Ucap Abian dengan tatapan sayu. Makin tak berdaya menahan hasrat yang semakin membuncah.

“Aku tidak bermaksud menyiksa. Hanya ingin menerima ucapan selamat berpisah saja.” Tegas Kaniya berani merogoh kantong celana Abian untuk mencari sesuatu.

“Hey … kondisikan tanganmu…!” hardik Abian dengan tatapan nanar namun makin tak berdaya.

“Aku hanya sedang mencari ini. Tolong, bahagiakan aku sekali ini saja.” Ujar Kaniya dengan mengengam sesuatu dengan tangannya. Dengan tatapan mengiba. Nampak pada bola mata itu, sangat penuh harap. Bahkan ia tidak perduli dengan konsekuensi yang akan terjadi setelah kebersamaan mereka kali ini.

Bersambung ….

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!