Alan meletakkan handuk yang baru saja dipakainya dengan sembarang, tapi Rima hanya diam seraya mengambil handuk itu. Tak seperti biasanya yang mengoceh panjang seperti kereta api.
"Aku tidak akan sarapan di rumah," ucap Alan. Rima hanya mengangguk tanpa sepatah kata.
Lagi ... Alan termangu. Biasanya satu kata itu berhasil menciptakan sebuah drama panjang dengan tangisan.
"Kenapa gak mau makan? Masakanku gak enak? Iya aku memang tak pintar masak, aku gak becus jadi istri," celoteh Rima panjang sambil berkaca-kaca yang pada akhirnya Alan pun mencicipi makanannya.
Tapi kali ini, Rima diam. Istri yang ia nikahi selama tiga tahun itu melenggang keluar kamar sendirian dan menikmati nasi gorengnya yang asin pun sendirian. Alan memperhatikan dari jauh, tapi tak berani bertanya apa pun.
Sudah seminggu ini Alan tak mendengar keluh manjanya, bahkan ia tak lagi mendapat laporan dari sang ibu tentang aduan Rima atas sikap dinginnya. Rumah ini seketika hening. Ia begitu berbeda, seperti dua orang yang asing.
"Kamu kenapa?"
"Aku Baik."
"Bukan itu, sikapmu kenapa? Kenapa aneh?"
"Tidak ada yang aneh," ucap Rima sambil menyantap nasi gorengnya.
Alan menghela napas panjang. "Aku tidak akan pulang malam ini."
Rima menganggguk tak peduli.
Alan berdecit. Bukan seperti seharusnya, biasanya Rima akan merengek tak ingin ditinggalkan, membuat dirinya kesal dan marah dengan sikap kekanakan istrinya itu. Diamnya Rima saat ini harusnya membuat ia senang, tapi kenapa Alan semakin kesal.
"Ini uang untukmu, kamu bisa menghabiskan waktu untuk mengusir bosan."
Rima melihat amplop cokelat itu, pasti isinya seperti biasa, tebal.
"Simpan saja, uang darimu masih ada," ucap Rima.
"Aku memberimu uang seminggu yang lalu, Rima!"
"Iya! Dan itu masih ada."
Alan menatap tak percaya, sama sekali heran dengan perubahan drastis dari istri manjanya itu. Istri yang selalu menyebalkan di matanya, istri yang luar biasa boros, istri yang selalu memandang sesuatu dengan uang, istri yang bisa menghabiskan puluhan juta untuk perawatan tubuh, istri yang tidak ingin tersaingi oleh orang lain. Istri yang berhasil menumbuhkan rasa benci di hati Alan selama tiga tahun ini
"Ambil saja uangnya," ucap Rima seraya beranjak dan membawa piring kotor ke tempat cucian, kemudian setelah itu membersihkannya. Membuat Alan kembali terperangah, sebelumnya Rima tak pernah memegang semua urusan rumah, Alan menyediakan asisten rumah tangga lebih dari satu di rumahnya.
Merasa geram dengan sikap Rima, Alan mendekat dan menarik tangannya sampai piring yang ia pegang jatuh ke lantai. Tapi wajah Rima masih datar tanpa melihat me arah Alan.
"Kamu kenapa? Kamu sedang meledekku?"
Rima diam.
"Ini bukan kamu! Ngomong jangan kaya gini! Ada apa?"
"Aku tidak apa-apa, Mas," jawabnya dengan memalingkan wajah. Cengkraman tangan Alan di tangannya membuat Rima meringis.
Biasanya Rima akan bergelayut manja ketika menghadapi sikap dingin dan marah Alan, tapi kali ini ia hanya diam, membuat Alan semakin marah, kesal dan akhirnya pergi meninggalkan Rima begitu saja.
Piring yang berserakan pun dibersihkan oleh ART, sementara ia naik ke atas dan masuk ke kamar, ia duduk menghadap jendela, menatap taman yang indah dari lantai dua. Tak terasa air matanya luruh.
Ia pikir, Alan mencintai dan mensyukuri keadaan dirinya, tiga tahun merasa paling memiliki suaminya, tiga tahun menjadikan Alan ada dalam jari telunjuknya, ia begitu dimanjakan, ini menjadi kebanggaan luar biasa bagi Rima untuk ditunjukkan pada teman-temannya.
Tapi ... satu Minggu yang lalu ia baru tahu, bila Alan tak pernah sedikitpun mencintainya. Dengan mesra dan penuh kelembutan, ia sampaikan rasa sayang pada Gayatri, sahabatnya sendiri, wanita baik dan sederhana.
"Aku mencintai kesederhanaanmu, Gayatri. Aku mencintai lembut mu, aku mencintai caramu bersikap. Sungguh aku sangat mencintaimu, sebuah perasaan yang tidak pernah aku dapatkan dari Rima. Aku masih bersedia, menyediakan diri untuk mencintaimu, tetaplah menetap di hatiku Gayatri sayang. Menatapmu adalah sebuah keteduhan."
Pesan itu Rima baca dengan hati yang sesak, namun ia tak bisa marah pada sahabatnya Gayatri. Wanita itu tak secantik dirinya, tapi merebut seluruh dunia Alan sementara dunianya sendiri hancur.
DAN AKHIRNYA ISTRIKU DIAM
[Mas, ini tidak benar! Sebaik-baiknya wanita adalah istrimu, Rima.]
Satu baris kalimat balasan dari Gayatri membuat Alan seketika tidak fokus pada pekerjaannya. Gayatri memang ia kagumi sejak lama, jauh sebelum ia menikah dengan Rima. Gadis sederhana yang membuatnya terpukau, kepintarannya dibalut dengan kelembutan yang sempurna. Sosok yang begitu mempesona bagi seorang Alan.
Hingga ... satu langkah menggapai cinta Gayatri kandas, ketika Rima mendatanginya dengan binar penuh cinta. Sebuah perasaan yang tidak bisa ditolak, satu kenyataan yang membuat Gayatri mundur perlahan.
Gayatri dan istrinya adalah dua sahabat yang begitu dekat, mereka saling menyayangi seperti kakak beradik, sosok Gayatri yang merupakan anak dari seorang tak berpunya, kemudian dibawa oleh orang tua Rima yang kaya raya, ia diberi tugas menemani Rima yang merupakan anak semata wayang, Gayatri diberi semua yang terbaik, termasuk pendidikan.
Seketika lamunan Alan buyar, ketika satu hal ia sadari, ponselnya sepi. Biasanya, dari mulai ia berangkat ke kantor, hape miliknya terus berbunyi, entah itu telepon atau deretan chat dari Rima.
[Aku pulang larut malam ini.]
Alan merasa aneh dan memancingnya dengan satu pesan.
[Iya, Mas!]
Pria itu mengernyitkan dahi, benar-benar bukan Rima yang selama ini ia kenal, biasanya Rima akan merajuk dan datang ke kantor, membatalkan pertemuan dan membawa dirinya pulang bersama, perusahaan ini memang milik Ayah Rima, sehingga dirinya memiliki wewenang dan terkadang seenaknya.
****
.
.
"Hey, kenapa pesan dan teleponku gak dibalas!" ucap Gayatri menemui Rima, sahabatnya itu sedang terbaring hanya mengenakan daster dengan rambut yang acak-acakan dan membaca sebuah buku.
"Kamu sakit?" Gayatri mendekat dan dengan cemas memegang kening Rima.
"Tidak! Aku tidak sakit. Beberapa waktu ini aku memang sedikit malas, aku ingin sendirian."
"Kenapa? Ada masalah? Sama Mas Alan?"
Rima menggeleng pelan dan memaksakan untuk tersenyum. "Aku tidak sakit. Kamu tak perlu khawatir."
Gayatri menatap sahabatnya itu, ada yang lain.
"Aku sudah menyiapkan hotel terbaik dengan kamar favoritmu untuk anniversary kamu sama Mas Alan, ayo dong jangan mager! Kita nyalon!" ucap Gayatri lagi.
"Mas Alan yang menyuruhmu?"
Gayatri mengangguk semangat. "Dia itu ingin istrinya bahagia dan senang, apa pun dilakukan untuk itu. Jadi kamu jangan mager!"
Rima menghela napas dan membuangnya perlahan. "Aku tidak ingin kemanapun, ingin di rumah saja, katakan pada suamiku, batalkan seluruh rencananya!"
"Tapi hotel sudah dipesan, semua sudah dipersiapkan," ujar Gayatri.
"Membatalkan satu malam kamar hotel tidak akan menipiskan tabungannya bukan?"
Gayatri diam dengan segala keheranan atas sikap Rima.
"Sebaiknya kamu pun pulang, Ay. Aku ingin sendiri, nanti aku akan mengabarimu dan bercerita tentang perasaanku."
Gayatri mengangguk, kemudian ia pergi dengan perasaan berat. Sesampainya di mobil, ia pun menghubungi Alan, memberitahu atasannya itu bila istrinya menyuruh untuk membatalkan seluruh rangkain acara anniversary pernikahan mereka.
"Dia mengatakan sesuatu padamu?" tanya Alan melalui sambungan telepon.
"Tidak, aku rasa dia menyembunyikan sesuatu."
Alan menghela napas. "Baiklah! Aku tutup dulu."
"Iya, Mas!"
Setelahnya tanpa banyak berpikir, Alan pun memutuskan untuk pulang, pikirannya tak karuan, sikap Rima membuatnya pusing.
Ia lajukan kendaraannya di tengah keramaian kota, membutuhkan waktu hampir satu jam untuk tiba di rumah. Ia segera masuk dan mencari istrinya, hingga ia dapati Rima sedang berbaring di kamar.
"Kenapa kamu batalkan rangkaian acara yang sudah ku buat?"
Rima tidak buru-buru menjawab dan hanya menatap Alan.
"Jawab, Rima! Sebetulnya ada apa? Sikap diam itu kenapa? Seandainya aku bersalah, aku tidak tahu letak salahku dimana? Katakan! Jangan diam! Aku bukan cenayang."
"Aku hanya ingin melewatkan hari jadi kita di rumah, itu saja!"
Alan tersenyum kesal. "Sungguh ini bukan dirimu. Rima adalah seseorang yang akan meminta sesuatu hal yang sangat mewah untuk sebuah perayaan," jawab Alan.
Setidaknya Rima paham satu hal akhirnya, segala hal yang dilakukan Alan selama ini bukanlah tentang cinta, tapi untuk memuaskan dirinya dan mungkin tak berarti untuk Alan sendiri.
"Ada waktu dimana aku mulai berpikir, apa semua yang telah kita lewati itu keinginan kita atau hanya untuk menyenangkan aku saja dan kamu berat."
"Maksudmu apa? Sudahlah jangan drama. Apa tidak cukup selama ini dramanya?"
Bila dulu kata-kata itu terdengar bagai angin lalu, kenapa hari ini Rima merasakan begitu sakit.
"Sebagai kado pernikahan kita, aku ingin meminta sesuatu darimu."
"Tentu! Kamu boleh meminta apa saja, Rima. Seperti biasa aku akan mengabulkannya. Apa pun itu."
"Aku hanya ingin kejujuran."
Alan diam sejenak, menatap istrinya yang kini bersandar pada dipan.
"Kejujuran apa?"
"Apa saja yang kamu tutupi dariku!"
Alan kembali tersenyum heran, istrinya benar-benar aneh. "Kejujuran macam apa? Bukankah pada beberapa hal ada yang harus ditutupi agar tidak saling menyakiti?"
"Termasuk kenyataan bila yang kamu cintai adalah Gayatri?"
Alan termangu. Bibirnya seketika tergagap, ia tak bisa berkata satu huruf pun dan hanya menatap Rima dengan mematung. Keangkuhannya seolah pudar dalam seketika, istri yang tak jauh di hadapannya kini memandang dengan wajah polos dan mata memerah
TERIMAKASIH TELAH MEMBACA NOVEL KUH
SEMOGA KAMU BISA AMBIL SISI BAIK NYA
___________
"Berapa tarifmu?" Tanya pria yang sedang ada didekatku ini.
Aku menatapnya menggoda, "Lima Juta tuan... itu sudah sepuas ronde yang tuan mau"
Aku hanya sedang menguji pria tampan yang dihadapanku ini, Sepertinya dia terlihat kaya dari penampilannya. Apa salahnya jika aku mencoba memerasnya kan?
"Aku bisa bayar lebih dari itu, bahkan kau minta Seratus juta sekalipun." Ujarnya membuat netraku melebar seketika.
"S-seratus juta?" Tanyaku.
Pria itu mengangguk, "Ya, apa kau mau?"
'Wahh bisa kaya mendadak aku kalau begini. Ini kesempatanku kan?' Batinku berujar.
"Halo... Nona?" Aku sedikit tersentak saat sebuah tangan melambai-lambai didepan wajahku.
"A-aa iyaa..."
"Bagaimana, apa kau mau?" Tanya sekali lagi.
"Oke aku mau." Entah kenapa aku langsung menyetujuinya. Aku tidak munafik bahwa aku juga mata duitan.
Aku langsung duduk dipangkuannya dan mengalungkan tanganku dilehernya. Aku menatapnya sayu dan menggoda.
"Apa kita akan mulai sekarang hmmh?" Ujarku dengan suara yang menggoda.
Ku lihat dia sedikit menyunggingkan bibirnya sinis.
"Kau tidak sabar hm?" Aku mengangguk. Pria itu membelai rambutku.
Dia mendekatkan wajahnya kearah telingaku, "Apa kau mau melakukannya ditempat lain?" Dia berbisik dan mulai membel*i pahaku yang terekpos.
Aku menggigit bibir bawahku, "Terserah tuan melakukankannya dimana."
"Baiklah ayo kita pergi." Dia menggendongku menuju ke mobilnya. Setelah itu dia melajukan mobilnya entah kemana, atau mungkin dihotel?
Setelah sekitar 15 menitan kami pun sampai entah dirumah siapa, rumah itu sangat besar dan mewah. Perkarangan yang tadi kami lewati pun tak main-main luasnya.
Apa mungkin rumahnya?
Pria itu turun dari mobil lalu membukakan pintu mobil untukku. Tangannya terlulur untuk menggandeng tanganku. Dia menggiringku untuk masuk kedalam rumah mewah itu.
Kami langsung disambut seorang wanita paruh baya, "Selamat datang tuan."
Kulihat pria itu hanya mengangguk. "Apakah dia sudah tidur?"
"Sudah tuan, bahkan tadi sebelum tidur selalu menanyakan tuan terus." Ujar wanita itu.
Dia? Apa pria ini sudah punya istri? Lantas kenapa harus menyewaku jadi pemuasnya? Duhh ngeri banget jika nanti ada adegan jambak-jambakan antara aku dan istrinya.
Dan aku semakin yakin ini rumahnya karena tadi wanita paruh baya ini menyebutnya dengan sebutan 'Tuan' berarti pria ini majikannya kan?
"Yasudah terima kasih. Ayo Ai." Dia menggandeng tanganku. Loh? Kok tau namaku? Padahal kami belum kenalan tadi.
Aku terus digandeng olehnya olehnya, kami menaiki tangga. Hingga akhirnya kami sampai didepan sebuah pintu kamar.
"Ini kamarku, tunggulah aku didalam. Aku ingin menemui sesuatu dulu." Ujarnya datar kemudian dia langsung pergi kekamar sebelah.
Apa benar dia punya istri? Tapi kenapa mereka tertidur terpisah? Apa mungkin perjodohan ya? Duhh pusing lama-lama aku. Aku langsung membuka kamar yang diklaim oleh kamar pria tadi.
Perlahan aku masuk kedalam, "Wow, bagus banget kamarnya."
Aku langsung merebahkan diriku pada ranjang empuk yang pasti selalu ditiduri oleh pria tadi.
"Nyaman banget, andai aku jadi orang kaya." Sedetik kemudian aku terkekeh.
"Mana mungkin bisa kaya? Orang tua pun aku nggak punya. Anak dari panti Asuhan yang hanya lulusan SMP pula." Gumamku melamun sembari menatap langit-langit atap kamar.
Sampai akhirnya lamunanku buyar karena mendengar suara pintu dibuka. Dan itu adalah pria tadi. Aku langsung duduk bersilang sembari menggodanya.
"Apa kita akan mulai langsung sekarang?"
Dia tersenyum sinis, dan perlahan menghampiriku. Perlahan dia merebahkan tubuhku diranjang dan mulai mengukungku dibawahnya. Duh jantungku tiba-tiba berdetak berkali-kali lipat.
"Nikmati malam ini hm? Jangan lupakan des*hkan namaku ya Aira? Des*ahkan Nama Dirga..." Suara Deep nya mampu membuatku mengangguk seketika.
Pria bernama Dirga itu mulai menci*um bibirku perlahan. Meskipun aku sempat kewalahan tapi aku tetep mengikutinya.
Perlahan suasana kamar ini yang tadinya dingin karena AC sekarang berubah menjadi panas karena kegiatan kami.
Penuh dengan lenguhan serta des*han berasal dari ku dan dia.
,,,
Dirga melenguh dan terengah-rengah saat kami mencapai puncak. Aku merasakan kehangatan pada rahimku.
Tunggu...
"Hei tuan, kenapa kau keluar didalam ha?! Aku tidak membawa obat pencegah!" Marahku padanya.
Duh salahku juga sih tak persiapan sebelumnya. Aku lupa nasihat majikanku tadi untuk membeli obat pencegah.
"Tidak papa, aku memang sengaja." Ujarnya santai.
"A-apa?! Ba--" ucapanku terpotong kala dia mengecup keningku dan memelukku.
"Lagian kalau pertama kali tidak langsung jadi kan?" Ucapannya membuatku syok. Bagaimana dia bisa tau?
"Kenapa kau kaget? Aku juga sama kok. Sudahlah tidak usah marah dan segera tidur." Ujarnya kemudian menenggelamkan kepalaku didada bidangnya yang telanj*ng.
Aku masih terdiam...
Dan tak lama mataku pun ikut terpenjam.
,,,,
"Papa!! Papa!!" Aku terkejut dengan suara gedoran pintu berasal dari luar.
Tak hanya aku, ternyata Dirga juga terkejut dan terbangun dari alam mimpinya. Wajahnya terlihat mengantuk dan rambutnya yang acak-acakkan tak membuat ketampanannya meluntur.
"Kau sudah bangun?" Suara seraknya membuyarkan lamunanku untuk menatap wajahnya.
Aku menarik selimut untuk menutupi tubuh telanj*ngku dan menganggukkan kepala.
"Papaa!! Ayo buka pintunya!!"
Kami langsung menatap kearah pintu. Dirga dengan buru-buru memakai celananya. Kemudian dia berjalan kearah lemari dan melempariku sebuah kimono handuk.
"Ayo cepat pakai." Aku pun langsung memakainya. Dirga berjalan kearah pintu dan membukanya.
"Papaa...!!!"
Aku sedikit syok tak kala seorang anak kecil perempuan masuk kedalam dan memeluk kaki Dirga.
B-bagaimana bisa? Siapa dia? Kenapa memanggil Dirga dengan sebut papa?
Apa memang benar Dirga sudah menikah dan mempunyai Anak?
Bersambung...
KUPU-KUPU MALAM PRIBADI🦋
________
"Papaa...!!!"
Aku sedikit syok tak kala seorang anak kecil perempuan masuk kedalam dan memeluk kaki Dirga.
"Papa semalam kemana? Kok nggak pulang?" Raut gadis kecil itu tampak murung.
Dirga menyamakan tingginya dengan gadis kecil yang memanggilnya dengan sebutan 'Papa' itu.
"Papa semalam udah pulang kok. Waktu itu Dira udah tidur... tapi Papa semalam sempat lihat Dira..." Ujar Dirga lembut.
"Benarkah?" Wajah gadis kecil itu tampak berbinar.
Dirga mengangguk kemudian tersenyum manis, "Iya sayang."
"Emm sayang papa banyak-banyak..." Dira kembali memeluk Dirga dengan erat.
Aku yang ada dibelakang hanya terdiam ditempat, tak tau dengan situasi yang terjadi pagi ini. Aku masih bingung, sebenarnya ada apa dengan semua ini?
Jikalau Dirga sudah punya anak, itu berarti dia punya istri kan? Lantas kenapa dia membawaku kesini untuk memuaskan nafsunya? Apa dia tak takut istrinya mengetahui ini?
Aku mendadak merinding tiba-tiba. Takut kalau istri Dirga datang menjambak rambutku dan meneriaki ku sebagai pelakor... astagaaa.
"Itu siapa Pa?" Aku langsung menoleh ke arah gadis kecil itu tak kala bertanya tentang diriku.
Sama halnya dengan putri... nya? Dirga pun membalikan badannya untuk melihat kearahku.
"Eh? I-itu..." Entah kenapa dia mendadak kikuk.
"Apa itu Mamanya Dira Pa???" Ucapannya membuatku terkejut, apa maksud gadis kecil ini? Matanya tampak berbinar bertanya kepada Dirga.
Dirga sempat terdiam beberapa saat, kemudian dia menganggukkan kepalanya dan mengelus rambut Dira lembut.
"Iya... itu Mamanya Dira. Supriseee??" Aku membulatkan mataku saat mendengar penuturan Dirga tadi. Apa? Mama? Oh my god... ada apa sebenarnya ini?
"Uwahhh Dira sekarang sudah punya Mama dong? Asikkk!!" Gadis kecil itu tampak berloncat-loncat ria.
"Mamaaa...." Aku langsung syok saat Gadis kecil itu memeluk erat kakiku. Aku menatapnya yang sedang memelukku.
"Emmm Mama kemana saja Ma? Dira itu kangen sama Mama.. kata Papa, Mama itu sedang kerja cari uang buat Dira. Mangkanya nggak pulang-pulang... Sekarang uang Papa udah banyak Maa, Mama nggak perlu cari uang lagi." Celutuk polosnya.
Aku semakin tak mengerti, aku menatap Dirga untuk mencari jawaban dari mulutnya. Tapi yang ku dapatkan hanyalah sebuah anggukkan darinya.
Aku memasang wajah kebingungan. Aku tak mengerti maksud anggukan darinya.
Dirga menghela nafas, kemudian dia mendekat kearahku, "Tolong kau pura-pura jadi Mamanya." Bisiknya padaku.
"M-maksudnya?"
"Tolong bantu aku, kau harus berpura-pura jadi Mamanya Dira, aku dia senang."
Berpura-pura jadi Mamanya? Loh, memang selama ini Mama Dira kemana?
Dengan terpaksa aku pun mengangguk. Perlahan aku menyamakan tinggi dengan Dira.
"H-hai s-sayang..." Duhh, selama ini aku tuh nggak pernah berkomunikasi dengan anak kecil. Bagaimana jika Dira takut padaku nanti?
Dia tersenyum riang, "Hai Mama... aku kangen banget loh sama Mama."
"M-maaf ya sayang? Mama itu selama ini kerja dan nggak bisa pulang. Tapi sekarang sudah bisa pulang." Ujarku berusaha selembut mungkin agar Dira tak takut padaku.
"Iya Dira maafin kok, tapi janji ya Ma... Mama jangan pergi lagi."
Aku terkekeh pelan kemudian mengangguk, "Oke peri kecil, Mama janji."
Duhh kenapa aku langsung berjanji padanya? Padahal sebentar lagi aku harus pulang.
"Yaudah, sana Dira mandi dulu. Nanti telat pergi sekolahnya lo." Perintah Dirga pada Putrinya.
Dira menggeleng, "Nggak mau, mau mandi sama Mama paa.." rengeknya.
Mandi sama aku? Duhh kenapa minta mandi bareng? Kan aku sebentar lagi harus pulang.
"Dira, mandi sendiri dulu ya? Mama itu capek, kan Mama baru pulang sayang." Ujar Dirga untuk memberi pengertian pada Dira.
Dira memanyunkan bibirnya lucu, "Iya deh. Tapi nanti aku pas makan disuapi Mama lo ya!" Ancamnya.
"Iyaa nanti disuapin Mama, udah sana."
Akhirnya gadis kecil itu keluar dari kamar Dirga, aku menghela nafas lega. Aku langsung menatap Dirga dengan tajam.
"Apa maksud tuan tadi? Kenapa aku harus berpura-pura menjadi Mama nya Dira? Memangnya kemana istri tuan?" Aku berbicara panjang lebar padanya.
Dirga hanya menatapku dengan datar, "Istri? Cih." Dia tampak mendecih.
"Sana cepat mandi dan segera turun untuk makan." Perintahnya kepadaku.
"Hei tuan, aku sedang bertanya padamu. Kenapa tidak menjawab?" Aku teros melontarkan pertanyaan padanya.
"Baju gantinya ada dilemari berwarna putih. Pilih lah sesuka hatimu dan jangan banyak bicara. Aku akan mandi dibawah." Belum sempat aku ingin berbicara, dia menyelonong begitu saja.
Daripada aku sakit kepala memikirkan kejadian ini, aku pun segera membersihkan diriku dikamar mandi.
Sekitar 15 menit, aku pun sudah menyelesaikan ritualku dikamar mandi. Aku teringat ucapan Dirga tadi yang menyuruhku untuk memilih baju ganti dilemari berwarna putih itu.
Aku pun menghampirinya dan membukanya. Setelah berhasil membukanya, netraku seketika membulat melihat isinya.
"Wow banyak banget, baju siapa ini?" Tanganku mencoba untuk memegang baju-baju itu.
Tunggu, kenapa bisa ada banyak baju wanita di kamar Dirga? Apa mungkin... ini milik istrinya? Duhh ogah banget aku jika memakai baju bekas milik istrinya. Kalau ketahuan istrinya kan bisa bahaya aku.
Aku mencoba mengambil dres selutut dengan berwarna cream. Aku pun melihatnya terlebih dahulu. Aku sedikit terkejut setelah itu. Aku pun mencoba melihat yang lain, dan hasilnya sama.
Jika ini milik istri Dirga, kenapa semuanya tampak baru? Dan ini masih ada bandrol harganya.
"Tapi... bisa aja kan dia ngoleksi dilemari ini sebagai baju khusus? Harganya pun tak main-main." Gumamku.
Tiba-tiba aku teringat dengan gadis kecil tadi yang memanggilku Mama. Gadis kecil itu tampak sekali tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari ibunya.
Itu artinya dia tidak pernah bertemu dengan ibunya kan?
Duhhh pusing lama-lama aku mikir ini. Lebih baik aku pakai baju ini dan segera makan terus pulang deh.
,,,
"Mamaa siniii...!" Panggil Dira padaku yang baru saja turun dari tangga. Aku pun tersenyum manis padanya yang sudah dibaluti oleh baju sekolah. Disampingnya tampak Dirga yang sedang memandang kearahku, entah pandangan apa itu.
Aku pun langsung menghampiri mereka dan duduk disamping Dira.
"Uwahh Mama cantik banget. Dira iri dehh." Celetuknya polos membuatku tertawa. Duhh kenapa hatiku tersentuh saat dia memujiku.
"Makasih sayang, Dira juga cantik banget kok. Bahkan lebih cantik dari Mama." Ujarku lembut.
"Beneran Maa??" Tanyanya padaku dengan wajah berbinar.
Aku mengelus rambut panjangnya, "Iya cantik banget, iya kan Pa?"
Aku menoleh pada Dirga dengan alis mengangkat. Ku lihat Dirga tersentak kecil, detik kemudian dia mengangguk sembari tersenyum tipis.
"Iyaa, Dira juga cantik kok."
Dira tersenyum riang, "Mama suapin aku ya? Aku udah nunggu Mama dari tadi lo."
"Ohh iya? Maafin Mama ya? Bentar Mama ambilin Dira makan dulu ya?" Tawarku padanya. Oke, demi tips uang dari Dirga. Aku akan mendalami ini.
Dira mengangguk, setelah itu kami pun sama-sama menyantap masakan dari pembantu Dirga. Dengan di iringi celotehan lucu dari Dira.
Duhh seperti keluarga kecil ini mah.
Beberapa menit kemudian kami pun menyelesaikan makan bersama. Dirga segera bersiap-siap untuk kekantor sedangkan aku menunggunya didepan bersama Dira untuk berpamitan pulang.
"Pa hari ini Mama ikut nganter aku ya Pa?" Ujarnya membuatku sedikit terkejut.
Duh kan aku mau pulang, kok malah disuruh ikut nganter ke sekolah.
"Iyaa Mama juga ikut." Ujar Dirga membuatku menatapnya sembari melotot.
"Tapi kan aku harus pulang...!" Bisikku dengan tekan padanya.
"Mama mau kan?" Dira memasang wajah memelas padaku. Duhh kalau begini aku jadi tak tega.
"Tapi..."
"Ayo berangkat nanti Dira telat." Ucapanku terpotong tak kala Dirga langsung menggandeng tangan Dira menuju ke mobil.
Okelah, sekali-kali numpang untuk pulang ke kos-kosan.
,,,,
Kami mengantar Dira sampai kegerbang pintu sekolah.
"Baik-baik disekolah ya? Jangan nakal." Ujar Dirga pada putrinya, Dira pun mengangguk mengerti.
"Hei anak yang nggak punya Mama!"
Kami pun langsung menoleh kesumber suara, dan terlihat anak-anak seusia Dira menghampiri Dira.
"Aku udah punya Mama ya!" Dira tampak ingin melawan.
"Mana? Kamu kan nggak punya Mama dari bayi hahahh.." mereka menertawai Dira. Aku merasa terenyuh melihat ini. Aku menghampiri mereka.
"Ohh jadi ini, yang mengejek anakku tadi?" Ujarku membuat anak SD itu berhenti tertawa.
"Lohh tante Mamanya Dira? Bukannya Dira nggak punya Mama ya?"
"Kata siapa? Saya adalah Mama Dira. Masih kecil tidak boleh berbicara seperti itu. Mulai hari ini, kalian nggak boleh lagi ngejeki Dira begitu." Ucapku tegas, dan anak-anak itu tampak langsung bubar.
"Dira nggak papa?" Tanyaku sembari menangkup wajahnya.
"Nggak papa Ma, terima kasih ya Maa. Pasti mereka nggak akan ejek aku lagi."
"Iya sayang sama-sama. Ayo masuk, belnya udah bunyi tuh." Perintahku padaku. Akhirnya Dira pun masuk kedalam. Aku dan Dirga pun akhirnya beranjak dari sini. Dan segera menaiki mobil milik Dirga.
Yang kulihat dari tadi Dirga hanya terdiam setelah kejadian tadi.
"Terima kasih..." ujarnya tiba-tiba. Aku mengerutkan keningku bingung.
"Terima kasih buat apa?" Tanyaku yang penasaran.
"Terima kasih udah bikin Dira bahagia. Aku bahkan tak tau jika dia selalu diejek seperti tadi." Dirga tampak sedih, meskipun raut mukanya datar. Tapi aku bisa lihat dari ucapannya yang sedang sedih.
"Iya sama-sama." Aku tersenyum tipis menanggapinya.
Dirga tiba-tiba menyodorkan hpnya padaku. "Tulis nomor rekeningmu, aku akan transfer uangnya sekarang."
Aku pun mengangguk dan mengambil Hp mahalnya itu, aku langsung mengetik nomer rekening. Setelah itu aku mengembalikan pada pemiliknya.
"Oke, Dua Ratus Juta sudah ku transfer." Ucapnya membuatku membulatkan mataku.
"Dua Ratus Juta?"
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!