Suara-suara kicauan bersahutan, suasana tentram itu membuat alam seakan-akan berinteraksi satu sama lain. Silir semilir ikut serta memeriahkan, membuat dedaunan menari bersamaan. Sementara manusia yang berada di atas batu besar tak berkutik sama sekali, berkonsentrasi sembari duduk bersila.
Sesekali kupu-kupu mendarat tepat di atas rambut ikal berwarna hitam itu, belum bisa membuat anak muda berbusana serba putih dengan sabuk hitam bereaksi. Dia bermeditasi, tak lain tak bukan berusaha membuka sukma untuk diterima oleh Prana. Prana adalah kekuatan yang berasal dari alam, tidak, Prana adalah alam itu sendiri.
Manusia lebih memilih Prana untuk sarana berdamai dengan keadaan. Melibas tekanan dalam berkehidupan. Namun, di antara mereka tentu ada yang memanfaatkan Prana untuk hal kekerasan. Mendambakan keabadian yang secara tidak normal membuat mereka kehilangan akal sehat. Seperti itulah Prana berlaku, ada dampak yang akan diterima.
Lambat laun dia membuka kedua mata, terlihat iris hazel berkilau merefleksikan sinar baskara yang menembus kepekatan hutan. Hembusan napas dikeluarkan, kini sanubari terasa kecewa dan rasa khawatir meneror benak anak muda itu. Ketakutan bila dia tak disambut oleh Prana.
Anak itu turun dari batu besar, menoleh ke sana kemari seakan mencari sesuatu. Sebuah tas rotan yang berisikan tumbuhan dan obat-obatan herbal diambil dari sebelah bebatuan, berlalu ke suatu tempat. Suara kasar besi yang bertabrakan ikut meramaikan kesunyian selama dia berjalan, sebab kedua kaki buatan yang tersemat di tubuhnya sudah terlalu tua dan terbentuk dari bahan-bahan sisa.
Dia bernama Suluh, menderita sindrom yang terlahir tanpa kedua tangan dan kaki. Oleh sebab itu dia kesusahan menadah Prana, kesulitan berkultivasi. Namun, kehadiran Suluh di dunia membuka suatu abnormalitas yang sukar ditemui, terutama untuk kasus kalau dia masih bernapas sampai saat ini.
Berkat temuan alat bantu tersebut, dia dapat beraktivitas secara normal. Kini dia hendak kembali ke rumah dan memberitahukan kepada Bara, ayah Suluh, akan sebuah masalah yang tengah mengacaukan konsentrasi anak itu. Tangan robotik tersebut kini terasa sulit dioperasikan, seakan ada titik yang tak bisa dirasakan. Semua benda yang dikenakan Suluh adalah hasil racikan dari Pak Bara; terkenal mahir dalam mekanikal.
Dia melalui setapak yang menuntun ke suatu sawah luas, suara aliran sungai terdengar deras melintas di sebelahnya. Petani sibuk menanam tanaman, tak sekali-kali menoleh ketika Suluh lewat. Hal yang tak biasa ketika salah satu dari mereka memakai sebuah mesin yang memudahkan bercocok tanam. Benda itu dikendalikan oleh mekanisme uap, tabun-tabun keluar dari selah ventilasi yang terlihat kotor nan hitam.
Setelah melewati bukit kecil, panorama Kerajaan Niskala terlihat luar biasa dari sana. Ada bangunan-bangunan menjulang, balon udara mengapung di udara, serta istana yang tentunya menjadi pusat perhatian kelimun umum. Muka berseri Suluh tersungging senyuman, membiarkan sepoi-sepoi melambaikan rambutnya. Glamor kerajaan itu selalu bisa menyihir mata siapapun akan pesona keindahan yang ditawarkan.
Bila menilik lebih ke dalam, situasinya lebih ramai dari yang terkira. Jalanan diisi manusia berlalu lalang, komplet dengan kendaraan diesel melintas sangat berhati-hati tak menabrak orang. Di pelataran trotoar tersedia kursi panjang, tampak ada insan bercengkrama riang. Di sisi lain ada suara dentingan baja yang ditempa bersamaan, timah panas itu lambat laun membentuk sebuah pedang.
Di pusat pasar, kebutuhan pokok lengkap terjajakan di setiap sudut. Ada banyak yang mencuri perhatian konsumen diantaranya adalah penemuan canggih membantu pekerjaan manusia. Hingar bingar lingkungan itu sangat jauh bertolak belakang ketika Suluh berada di hutan. Dia mustahil melewati tempat tersebut bila tak ada urusan dengan langganan kue manis kesukaan adiknya.
Pemilik toko kecil di sebelah jembatan itu bertubuh gempal, wataknya ramah tamah selalu terlihat gembira. Semangat dalam berdagang tak pernah luntur dari suara cemprengnya, tak sesekali putus asa bila kenyataannya tiada satupun yang bertamu maupun bertegur sapa. Hanya Suluh, seseorang yang mendekati wanita berusia tiga puluhan itu tampak sibuk mengolah adonan.
"Banyak pembeli, Bu?" Suara datar Suluh itu tak sengaja mengejutkan pemilik toko, dia sontak menoleh.
"Ah, Nak Suluh," sambut wanita itu merapikan celemek dan menepuk-nepuk tangannya yang masih dipenuhi tepung. "Hanya sedikit, tapi tak apa daripada tidak sama sekali."
Suluh tersenyum tipis walaupun merasa miris, dia kemudian mencari-cari sesuatu. "Apa kue cokelat kukus masih ada?"
"Oh, kesukaan Nak Sabrina, ya?" Dia kemudian menunduk, kembali mencuat hanya untuk memastikan. "Beli satu kotak?"
"Eh, dua," tutur Suluh membuat Ibu Sahira secara cekatan meletakkan dua kotak itu bertindihan, Suluh kemudian menaruh tas hendak memasukkan kue-kue itu ke dalam. "Seribu empat ratus, Bu?"
Bu Sahira menaik-turunkan kepala. "Seperti biasa."
Suluh merogoh kantong kain yang terlihat kerempeng sudah robek di sana-sini, menarik tali hanya untuk terkesima melihat isi di dalamnya. Suluh mengeluarkan koin sisa itu yang jatuh tepat di telapak tangan, membuat wajahnya berubah masam seketika menyadari bahwa dia tak bisa membawa dua makanan yang sudah disiapkan.
Bu Sahira menyadari hal itu lantas bertanya, "Apakah ada masalah, Nak?"
Suluh malah terkekeh, berusaha tersenyum walau terpaksa. "Ah, bila dikira-kira, mungkin satu saja sudah cukup."
"Tak apa, ambil saja satu lagi," timpal ibu itu tahu bahwa uang Suluh kurang. "Ini bentuk terima kasihku kepada dikau yang suka kemari."
"Jangan, Bu!" Suluh menolak uluran tangan Bu Sahira yang membawa kotak kue, mengambil satu kemudian memberikan dua koin itu. "Kami takut bila tak bisa menghabiskan."
Tatkala dia menerima benda berbentuk lingkaran yang berwarna perak, Bu Sahira menyahut, "Baiklah bila itu yang kau minta, kembaliannya jadi tiga ratus."
Namun, Suluh bergegas melangkah pergi sambil membalas, "Itu buat Ibu saja!"
"Hey, Suluh! Macam mana pula kau kabur begitu saja!" Wanita itu tak bisa melakukan apapun untuk mengejarnya. Senyuman tipis di wajah keriput itu tampak bercampur antara bahagia dan kasihan, memperhatikan benda-benda yang menempel di tubuh Suluh. "Kau memang anak istimewa."
Suluh menerobos kemeriahan makhluk berakal yang entah sibuk berbuat apa, menembus selah-selah keributan. Yang dilihat di sana adalah kendaraan baru, sebuah inovasi yang senantiasa semakin memberikan kenyamanan. Suluh masih sempat mengintip di balik orang-orang berbadan menjulang, semakin terhimpit hingga dia harus keluar sebelum benar-benar kekurangan oksigen.
Suluh dapat bernapas lega akan tetapi setelah dia kembali melanjutkan melangkah, ada segerombolan remaja terlihat tak ramah. Air mukanya menggambarkan keangkuhan, memasang rasa tak suka ketika Suluh terpampang jelas di depannya. Anak itu tahu bahwa situasinya akan sangat buruk bila dia masih berada di sana, tergopoh-gopoh berusaha menghilang dari pandangan mereka.
Namun sayang sekali, lajur Suluh dihalang oleh seseorang berbadan besar; secara kasar menarik Suluh masuk ke dalam gang sempit yang penuh dengan sampah. Anak berusia empat belas tahun itu terjatuh, menumpahkan seluruh isi tasnya beserta kotak kue yang masih hangat. Suluh mencoba bangkit tapi hantaman kuat dari kaki pemuda buntal itu memaksa Suluh hampir memuntahkan sarapannya, menggelinding menahan rasa sakit yang teramat sangat.
Disela-sela keterpurukan itu, Suluh sempat menengok; wajah tak asing di balik siluet cahaya. Ketua dari sekumpulan itu mendekat, sepatu tak terawatnya secara sengaja menginjak makanan spesial untuk adik Suluh. Tak lama kemudian mukanya terlihat, rambut pirang bergelombang serta bekas luka di pipi kiri itu dikenali oleh anak yang sedang tergeletak di tanah.
"Kau masih berani memperlihatkan tubuh cacatmu itu di depanku, Suluh?"
......................
Riuh acara yang dimeriahkan oleh kendaraan diesel versi terbaru itu membuat situasi semakin ramai, menarik insan-insan yang sekadar lewat. Alhasil semua mata hanya terfokus ke satu titik, membiarkan tempat lain seakan-akan tertelan Bentala. Termasuk tempat kumuh yang kini Suluh berusaha keluar, terbebas dari neraka sosial yang sudah dialami selama bertahun-tahun.
"Kau tak sadar bahwa kehadiranmu di dunia membawa bencana," tukas ketua itu dengan wesket cokelat yang sudah acak adut, tidak terawat dan tampak kotor. "Alat busukmu itu telah meracuni Prana!"
Suluh berusaha berdiri walau kedua kaki buatan itu sedikit terkilir, dia membalas, "Tak ada bedanya denganmu, Rehan."
"Hah," sahut laki-laki itu terkekeh, semakin mendekat ke arah Suluh yang terseok-seok untuk mundur. "Benar, berkat mesin-mesin bututmu ada manusia sepertiku."
Rehan memberikan sepakan keras ke arah Suluh yang ditangkis dengan kedua tangan besinya. Meski begitu, anak itu tak mampu menahannya, terdorong sedikit semakin memperburuk kondisi alat tersebut. Rehan tersenyum sinis, tahu bahwa ada yang salah dari tangan Suluh. Dia yang belum puas, segera saja menginjak-injak secara terus menerus ke arah Suluh.
Sementara anak malang itu tak bisa melakukan banyak hal kecuali meringkuk di balik kedua tangan yang dalam kondisi bertahan. Mundur pun tak memungkinkan dikarenakan dia sudah berada di sudut lorong, terjerembab di antara sampah-sampah serta tanah yang berlumpur. Secara perlahan tangan itu tak dapat digerakkan, mulai peyot dan asap keluar dari selah-selah kerusakan.
Melihat itu, Rehan semakin membeludak. Kebencian yang tak ternilai memberikan kepuasan bila dia berhasil merusak mesin yang berada di tubuh Suluh. Seluruh kemampuan dikerahkan, Prana membantu memperkuat serangan Rehan semakin cepat sampai-sampai membuat metal itu seperti akan musnah. Suara keras hentakan yang disebabkan benda itu masih kalah bising dengan yang berada di luar, lama-lama Suluh tak dapat
menahan. Anak itu mulai lelah dan memilih menyerah menerima semua serangan.
"Itu mereka, Pak!" Teriakannya menggema, serentak mengalihkan semua perhatian insan-insan di sana.
Siluet itu tampak pendek, memakai dress selutut yang disusul oleh beberapa orang dewasa segera saja mendekat. Rehan sontak panik, anak buahnya kocar-kacir layaknya tikus yang berusaha kabur untuk bersembunyi. Pemuda berambut pirang itu tak banyak berpikir langsung berlari meninggalkan Suluh, tak mempedulikan bawahannya yang sudah ada yang tertangkap. Salah satu dari mereka mendekati Suluh sementara lainnya ada yang menyusul ke arah perginya Rehan.
"Nak, apa kau terluka?" Pria itu sadar bahwa Suluh adalah anak disabilitas, dia lalu menoleh, melambaikan tangan seolah-olah memerintahkan kawannya mendekat. "Septian, kemarilah!"
"Ada apa?" Dia secara cekatan menghampiri.
"Dia membutuhkanmu untuk memperbaiki kedua tangannya," tutur laki-laki berkumis tebal itu yang di dadanya terdapat nama Andrian. "Apa kau membawa alatmu?"
"Ah sialan, aku meninggalkannya di markas," kata Septian menepuk dahinya keras-keras.
"Ayolah, disaat-saat seperti ini kau malah tak membawanya!" Andrian beralih ke arah Suluh yang berusaha untuk berdiri. "Nak, aku akan mencarikan ahli mekanik untukmu, untuk sementara kita keluar dulu dari sini."
Dibantu meniti keluar dari tempat kumuh, Suluh disambut oleh puluhan mata memandang yang sebelumnya menikmati pameran. Berkumpulnya wira-wira kota menimbulkan kecurigaan warga setempat bila saja ada suatu masalah. Siluet yang memakai dress itu tersibak di hadapan Suluh. Seorang gadis muda, tampak seumuran dari umur Suluh. Rambutnya dikuncir kuda berwarna cokelat hampir berubah merah ketika terkena sinar mentari, tiba-tiba mendekati Suluh dengan air muka yang terlihat cemas.
"Tunggu!" Cegat perempuan itu sukses membuat para wira bertanya-tanya. "Biarkan aku memeriksanya."
"Apa kau mekanik?" sahut Septian cepat mempermasalahkan identitas anak itu.
"Kenapa? Apa Anda meragukan keahlianku hanya karena aku masih kecil?" kesal gadis itu lantas beralih kepada Suluh. "Aku, Sekar, bahkan lebih bisa diandalkan daripada kalian, tahu?"
"Kalau begitu, kau duduklah di sini, Nak," kata Andrian membantu Suluh duduk. "Septian, bawakan alatmu, cepat!"
"Tak usah, Pak!" ujar perempuan bernama Sekar bersimpuh di hadapan Suluh. "Rumahku ada di depan sana, aku ada semua alat yang dibutuhkan."
Kini tatapan mereka bertemu. Iris hijau miliknya sangat mempesona, lentik matanya meliuk indah, nyaris Suluh tak dapat berpaling darinya. Satu-satunya hal yang membuat laki-laki itu tersadar adalah pertanyaan yang terlontar dari Sekar. "Siapa namamu?"
"Su-Suluh," bisik Suluh terbata-bata menunduk.
"Bolehkah aku melihat tanganmu?" pinta Sekar yang dibalas anggukan kecil dari Suluh.
Besi itu terlihat suram, Sekar terlihat sibuk meneliti. Dia mondar-mandir di sebelah Suluh, seolah-olah tahu apa yang harus dilakukan untuk menambal kerusakan. Tak lama kemudian di balik keramaian, muncul laki-laki buntal berpakaian modis. Jas hitam, topi kotak, dan sebuah kacamata emas yang terdapat rantai menimbulkan aura intelektual yang disebarkan.
"Sekar!" Suara yang penuh kekhawatiran itu sedikit serak, lantas memeluk anak semata wayangnya. "Apa terjadi sesuatu?"
"Tuan," tutur Andrian bersiap-siap menjelaskan situasi. "Putrimu telah melaporkan tindak kekerasan. Berkat dia, kami dapat menyelamatkan anak ini."
"Bagaimana keadaannya, anakku?" tanya pria itu membiarkan Sekar menjelaskan secara rinci, gadis itu pun berbisik-bisik.
Sementara Suluh terdiam di sana, masih menahan rasa sakit di perutnya yang tak kunjung mereda. Air mata mulai merembes tatkala memperhatikan kedua tangannya yang sangat kacau. Pasalnya alat-alat bantu itu adalah hasil kerja keras ayahnya yang dirusak begitu saja. Tak hanya itu, pakaian putih bersih hasil jahitan ibunya kini tampak lembab dan kecokelatan karena dilumuri kotoran dengan bau tak sedap.
"Nak," suara lembut itu terdengar dari mulut pria gempal yang tiba-tiba berdiri di sebelah Suluh. "Saya Arnadi, ahli mekanikal yang baru saja meluncurkan kendaraan diesel baru di sana."
Suluh tak merespons, masih menunduk. Pria bernama Arnadi itu lalu berseru, "Saya ada alat-alat yang dapat memperbaiki kerusakan tanganmu. Kau tak usah khawatir akan hal lain."
Suluh sesekali menoleh kepadanya, merasa bahwa dia telah merepotkan, "Tapi, Tuan, a-aku ...."
Tiba-tiba, tangan yang hampir tak bisa dirasakan itu terasa ditarik. Benar, Sekar secara tak terduga mendekap tangan rongsokan Suluh, disertai senyuman manis yang menghapuskan semua duka seketika. "Kau tak bisa menolak!"
Anak-anak tersebut melenggang pergi ke dalam keramaian, menerobos masuk ke dalam rumah bertingkat yang tampak besar dan menawan. Namun, bukannya melewati pintu depan, Sekar memutar ke belakang yang mengarahkan mereka ke dalam ruangan luas. Tempat itu terdapat beraneka macam alat-alat mekanika serta benda-benda lain yang tak dikenali Suluh.
"Ikuti aku," kata Sekar melangkah lambat ke tengah-tengah yang telah tersedia sofa berwarna merah. "Duduklah, aku akan ambilkan kau minum."
Suluh berusaha menolak akan tetapi Sekar sudah sirna entah kemana. Suluh tak lekas menuruti kemauan perempuan itu, dia terlalu tertarik dengan mesin-mesin yang tergeletak di mana-mana. Semakin dia menilik sesuatu, dia tersadarkan oleh lantai dua yang tampak berisi lemari-lemari buku. Suatu perpustakaan dengan interior kayu yang elegan.
"Selamat datang, anak muda," suara yang terdengar dalam nan menggema itu sontak membuat Suluh langsung berbalik. Arnadi tersenyum kemudian mendekat, "Maafkan saya bila itu mengejutkanmu."
"Kau pasti anak istimewa itu," kata Arnadi yang kini berada tepat di depan Suluh. "Seperti yang mereka beritakan."
Dia tiba-tiba secara lemah lembut menggenggam kedua tangan anak itu, "Suluh, sudah lama saya menantikan pertemuan ini."
"Kau membawa keajaiban yang belum pernah ada sebelumnya."
Suluh membisu, pikirannya tak dapat mencerna penjelasan yang dilontarkan pria itu. Senyuman Arnadi tak sekalipun sirna, harapan terpampang jelas di balik kacamata bulatnya. Dia menempatkan tangan kanannya di punggung anak rengsa, menuntunnya menuju sofa.
"Kau mungkin tak tahu betapa berharganya dirimu," mereka secara hati-hati duduk, warna merah kursi itu terasa empuk. "Itu wajar sekali, sebagian besar dari mereka juga berpikir demikian."
Suara sepatu jinjit menggema di ruangan, tersambut di balik pintu seorang wanita dengan pakaian rapi menguarkan aura mewah yang tak terabaikan. Dia membawa nampan yang di atasnya ada empat cangkir bermodel tua dengan motif abstrak yang terukir indah, dijajakan di atas meja.
"Silahkan diminum," suara lembut itu terdengar menyejukkan hati, dilengkapi senyuman merekah yang tulus berseri. "Tidak apa-apa, kamu aman di sini."
"Kalau begitu, aku bersiap-siap dulu," Arnadi menatap ke wanita yang kira-kira berada di usia tiga puluhan, berjalan menjauh meninggalkan mereka dalam kesendirian.
"Saya Rahayu," ucapnya mengatur pose duduknya yang sedikit dicondongkan ke depan. "Dan kamu adalah?"
"Su-suluh, Nyonya," anak itu masih gugup, terbata-bata hanya sekadar memberitahu identitasnya.
Rahayu tampak terkekeh-kekeh, merasa aneh bila Suluh memanggilnya seperti itu. "Suluh, kamu punya nama yang bagus."
Wanita itu mengambil secangkir teh yang masih menguar asap-asapnya. "Api yang membara, penerang saat gelap gulita."
Entah mengapa dia beranjak secara tiba-tiba, mendekati Suluh dan duduk tepat di sebelahnya. "Ini, ibu bantu minum."
Situasinya menjadi sangat mendebarkan, terutama Suluh yang masih kikuk tak tahu yang harus dilakukan. Dia hanya duduk manis sembari menunduk dalam, sesekali memperhatikan Rahayu di sampingnya dengan perasaan sungkan. Terlebih sikap mereka yang terlalu baik semakin membuat Suluh merasa sangat merepotkan orang lain.
"Tanganmu masih sulit digerakkan, bukankah begitu?" seru wanita itu mencurahkan bibirnya yang merekah hangat.
Meski Suluh di lubuk hatinya menolak tawaran Rahayu, dia tak bisa berbuat apa-apa untuk menahan wanita itu. Dia pun meminumnya, rasanya seperti teh namun lebih kuat, pahit, serta sedikit masam. Reflek ekspresi anak itu berubah kecut sontak membuat Rahayu tertawa kecil, kembali meletakkan cangkir itu di atas nampan.
"Aku tambahkan sedikit herbal di dalamnya," suara halus itu dibalas anggukan Suluh. "Untuk menghilangkan rasa nyeri di tubuhmu."
"Te-terima kasih," lirih anak itu berkali-kali menunduk, tak mampu membalas kebaikan mereka.
Pintu masuk terbuka memperlihatkan Sekar membawa tas kecil yang langkahnya mengarah kepada mereka. Benda itu sepertinya berisi peralatan yang dibutuhkan, lengkap dengan suatu wadah kosong entah untuk apa. Secara bersamaan pula Arnadi kembali dengan pakaian yang berbeda. Busana khas mekanik yang hendak melaksanakan pekerjaannya.
"Baiklah, mari kita mulai," pria besar itu duduk di sebelah Suluh, mengambil beberapa alat bersiap membongkar lengan buatan anak itu.
Suluh tak meronta, membiarkan Arnadi mengotak-atik besi metalik yang menempel di tubuhnya. Sementara Sekar melihat-lihat sembari mencatat, sesekali memperhatikan Suluh bersama ekspresi keingintahuannya. Rahayu pun duduk kembali di kursinya dengan anteng, tak banyak memberikan komentar maupun bersuara. Hanya diam sesekali meminum teh herbal.
Arnadi sedikit kewalahan walaupun dia terbilang mahir di bidangnya. Entah mengapa dia butuh setidaknya setengah jam lebih hanya untuk membuka lapisan besi itu, melepaskan dari induknya. Namun, justru di balik perekat itu, Arnadi jauh lebih terkejut dengan isi di dalamnya. Di sana terdapat banyak sekali serat kabel di mana-mana, menyebar ke segala arah. Motif yang aneh dan Arnadi langsung mengenali kegunaannya.
"Suluh," peluh keringat merembes dari dahinya, mengalir jatuh ke bawah. "Apa ini sarafmu?"
Anak itu malah bertanya-tanya, tak mengerti sama sekali. "Saya tidak tahu, Tuan."
Arnadi membeku di tempat dengan mata melotot, bibir menganga, shock dengan apa yang dilihat. Baginya, ini sungguh di luar kapasitasnya. Seorang mekanik profesional sepertinya bahkan tak pernah terpikirkan sama sekali, dan yang lebih menyulut rasa penasaran adalah bagaimana Suluh dapat mengoperasikan kerumitan itu. Bahan bakar apa yang digunakan.
"Papa?" suara lembut Sekar yang khawatir itu menyadarkan Arnadi. Dia menoleh ke anak semata wayangnya sembari mengelus-elus rambutnya, beralih ke Rahayu yang tercengang.
"Coba kamu lihat," seruan Arnadi ditanggapi Rahayu dengan was-was. Wanita itu kini berada tepat di depan Suluh, memberikan senyuman menenangkan sebelum melihat ke tangan anak itu. "Bagaimana menurutmu?"
Rahayu tampak menelan saliva beberapa kali lalu membalas, "Tidak salah lagi."
Entah kenapa wanita berambut cokelat yang diikat konde itu berlutut di hadapan Suluh. "Nak, apa kamu tahu tentang Prana?"
Suluh yang mendengarnya sempat semringah, memercik semangat membara. Dia mengangguk cepat dan berseru, "Saya berusaha keras untuk dapat menerima Prana."
Sudut-sudut bibir Rahayu merekah kecut, sedikit merasa skeptis, "Apa Suluh yakin?"
Muka cerah Suluh perlahan pudar, benar-benar kebingungan. "Maksud Nyonya?"
"Bila kamu menjawab dengan jujur, ibu akan memberitahu sesuatu kepadamu," kata Rahayu mencoba meyakinkan anak itu. "Setuju?"
Suluh secara cepat mengiyakan, menaik-turunkan kepala tanpa pikir panjang.
Rahayu merapatkan jarak di antara mereka kemudian secara intens bertanya, "Bagaimana rasanya saat kamu menggunakan alat-alat bantu ini?"
Anak dengan wawasan secetek itu tak dapat mengungkapkan kalimat yang komprehensif. Kesulitan menemukan kata. Suluh tak tahu apa yang dia rasakan tatkala menggerakkan benda itu. Semua terasa natural, seolah-oleh dia mempunyai tangan dan kaki asli; selayaknya manusia pada umumnya. Setelah beberapa menit terdiam, anak berambut hitam itu bersuara.
"Itu ... itu terjadi begitu saja," ujar Suluh menatap ke arah wanita di depannya. "Ketika saya menginginkan alat itu untuk berfungsi."
Rahayu melempar pandang kepada suaminya bergantian, memastikan bahwa semua yang disampaikan anak itu tertangkap jelas oleh Arnadi. Kedua iris hijau itu kembali tertuju ke arah Suluh, memberikan senyuman andalannya yang indah.
"Suluh, bila ibu memberitahumu bahwa tak ada manusia sepertimu selama ini yang dapat menggunakan tangan dan kaki buatan secara luwes tanpa masalah, apakah kamu akan percaya?"
Anak itu terbelalak, mematung tak merespons barang sepatah kata.
"Ada alasan mengapa orang-orang memanggilmu anak istimewa," kedua tangan Rahayu kini mengelus lembut betis besi milik Suluh. "Dan mereka yang iri denganmu akan terus membencimu."
"Kamu tak merasakan Prana di sekelilingmu," lanjut wanita itu masih dengan wajah yang menentramkan. "Itu mungkin karena kamu telah menemukannya di dalam dirimu."
Kelopak mata Suluh terbuka lebar, terpengarah tak karuan. Dia menelan ludah lamat-lamat, kemudian mengungkapkan unek-uneknya, "Apakah di dalam diriku ... ada Prana?"
"Kemungkinan besar Prana berperan penting dalam membantu dirimu mengendalikan alat bantu ini," ucap wanita itu beranjak. "Walaupun begitu, tanpa rancangan yang tepat hal itu mustahil dilakukan."
"Suluh, apakah semua ini buatan ayahmu?" kini Arnadi melempar pertanyaan.
Anak itu mengangguk samar-samar, masih tenggelam dalam benak yang saling bertengkar. Perasaannya campur aduk antara senang dan gelisah. Di satu sisi, dia mungkin memang benar telah menyerap Prana dan disaat itu, atmosfernya terasa penuh tekanan; dapat merasakan keringat dingin yang bercucuran di balik busana putihnya.
"Kami juga belum tahu sejauh mana kekuatan Prana," lirih Rahayu dengan merambatkan jari-jemarinya ke kedua pipi Suluh. "Kamu tak perlu khawatir. Semuanya akan baik-baik saja."
Wanita itu seakan-akan menerawang isi benak seseorang, memberikan sentuhan yang terasa nyaman. Arnadi kini berdiri di sebelah istrinya dengan tatapan penuh kecurigaan.
"Saya akan mengganti lapisan terluar tanganmu," seru pria itu ada maksud di baliknya. "Dan, bolehkah saya bertemu dengan ayahmu?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!